Kamis, 17 September 2015

Komodifikasi Banten: Dari Monotheisme ke Moneytheisme (?)

Bali terkanal dengan seribu pura dan ritual yang penuh dengan religius magis yang bercitrakan sangat animis dipublikansikan besar-besaran di luar negeri, sejak tahun 1920-an dilengkapi dengan beredarnya foto-foto eksotik yang mengairahkan, sehingga dijuluki sebagai pulau surga terakhir. Tahun itu adalah situasi Bali yang sedang dipublikasikan unktuk dijadikan objek wisata eksotik oleh belanda yang dikenal dengan program kebijakan baliseering. 

Pergolakan politik ikut berpengaruh, namun dalam perjalanannya bali tetap dijadikan objek wisata budaya setelah kemerdekaan. Bali tetap dijadikan pabrik dollar, industri tanpa asap, dan mendapat pengaruh kuat dari anak kapitalisme yaitu dunia pariwisata. Bali tumbuh menjadi etnik yang hidup dalam pergulatanh wisata budaya baik dilakukan oleh kolonial belanda dengan baliseeringnya, maupun zaman kemerdekaan dengan ajeg balinya. Keduanya  memiliki roh yang sama menjadikan bali sebagai industri pariwisata yang sarat dengan pergulatan modal di dalamnya. modal-modal yang bergulat bukanlah hanya modal ekonomi yaitu uang dan dollar serta saham yang ada di dalamnya, tetapi juga modal-modal lain seperti disebutkan dalam gagasan Bourdieu ada modal politik, sosial, budaya, dan pendidikan. 

Bali menjadi hidup dalam gelimangan dollar, terutama di daerah-daerah pariwisat, di sama berkembang, calo tanah, penjual tanah, villa, bungalow, restouran, jasa pariwisata lainnya, industri souvenir, industri atraksi budaya, dan sebagainya. Kenyataan ini dapat dikatakan merupakan hasil dari Baliseering dalam menyelamatkan bali dari pengaruh luar, dan menjadikan bali tetap sebagai museum hidup, dan mengembangkan objek wisata menarik. Jadi implikasi baliseering dewasa ini adalah munculnya etnosentrisme, feodalisme, kapitalisme, libralisme dalam kehidupan di Bali. 

Bagaimana Banten dapat dikatakan sebagai komodifikasi di era globalisasi ini di bali? Kehidupan dunia pariwisata sudah berpengaruh dalam kehidupan bergama bali. Modernisasi yang mulanya dibendung masuk bali oleh belanda, di samping ideologi lainnya seperti kristenisme, islamisme, dan radikalisme lainnya, tidak dilakukan setelah zaman orde-orde pascakemerdekaan. Dengan demikian modernisme, kapitalisme, dan komodifikasi ritual, banten, tanah, dan ngaben serta pembakaran mayat yang dianggap eksotik menjadi berbaur di bali. Dengan demikian "ukuran ideal" dalam kehidupan sehari-hari menjadi double standart. Dengan demikian komodifikasi dalam bantenpun terjadi. 

Apa persoalan yang terjadi dengan adanya komodifikasi banten? secara hakiki teks-teks ritual yang sesungguhnya berisi ajaran kebalian terkait dengan penghayatan terhadap dunia gaib menjadi ikut terkomodifikasi (tidak terpahami dengan baik), karena banten hanya dinilai dengan harganya dalam bentuk rupiah, bukan nilai-nilai kebalian yang terkandung di dalamnya. 

Di samping itu terjadi perubahan dasar filosopisnya yaitu dari pengabdian tanpa pamrih, tidak mengenal untung dan rugi, berubah menjadi semuanya didasari oleh prinsip untung dan rugi.Jika demikian adanya kita sesungguhnya telah beribah agama yaitu dari agama Hindu menjadi beragama mall (pasar). Dasarnya berubah walaupun aksinya sama, berarti ideologi yang ada di dalamnya pun berubah, karena zaman uang menjadi kita beraga uang (dari monotheisme ke moneytheisme). (Hegap, 17 09 2015). 


Minggu, 13 September 2015

Memahami Babad Sebagai Sumber Menulis Sejarah

1. Pengantar

Babad sesungguhnya sejarah tradisional yang pengerjaannya di Bali memang diperuntukkan klan pemilik babad, terutama terkait dengan wangsa-wangsa yang ada di Bali. Oleh karena itu perpsketif penulisan babad  memang sangat subjektif, dan sarat kepentingan untuk memosisikan masing-masing klan pada kedudukan sosial yang sangat tinggi dan tidak ada cacat. Terutama posisi yang ditugaskan oleh raja dalam kerajaan yang menugaskannya untuk membuat babad klan tertentu di Bali. Babad hampir sebagiannya adalah berbau mitologi yang kebenarannya tidak masuk akal tetapi dilengkapi dengan berbagai bisama dan kutukan agar tidak dilanggar, karena kalau dilanggar dapat memunculkan malapetaka bagi klan yang melanggar apa yang diceritakan dalam babad tersebut.

Dengan uraian singkat itu maka menjadi masalah menarik, bagaimana seorang dapat memanfaatkan babad sebagai sumber dalam penulisan sejarah, karena diwarnai oleh subjektivitas dan larangan pelanggaran terhadap apa yang disebutkan di dalam babad klan tertentu di Bali? Masalah ini sangat menarik untuk dijadikan bahan diskusi dalam tulisan kecil ini.

2. Asal-usul Babad

Babad banyakan berisi tentang silsilah suatu wangsa yang ada di Bali. Perbabadan mulai mucul pada zaman pemerintahan Dalem Watu Renggong (Batur Enggong) berkedudukan di Gelgel, dari tahun 1460-1550-an (Pertengahan abad ke-16). Beliau memerintahkan agar seluruh wangsa yang ada di Bali masing-masing membuat sebuah babad (silsilah) untuk ketrurunannya masing-masing. Dalam Simpen (1989) disebutkan perintah ini dikeluarkan pada hari "Selasa Keliwon, Kurantil, penanggal 13, sasih kapat , tahun 1543 M. Sejak itu terbitlah beberapa babad di Bali, misalnya: Babad Dalem, Babad Ksatrya, Babad Brahmana, Babad Arya, Babad Pande, Babad Pasek KayuSelem, dan sebagainya.

Ada pula babad yang dibuat untuk sebuah kerajaan, seperti misalnya Babad Buleleng (Museum Bali, kitab No. 435) ditulis dengan Bahasa Jawa Tengahan, dan Bali Tengahan dengan huruf latin, kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Simpen AB, tahun 1989.

3. Babad dalam masyarakat di Bali

Babad dengan demikian asal usul dan tujuan pembuatannya dapat ditetapkan beberapa pandangan dasar sebelum memahami babad sesungguhnya, sebagai bahan patokan berpikir dalam memahami isi babad untuk dapat dipetik menjadi fakta, agar tidak membuat sejarah menjadi babad modern.
a. Tahun babad sudah jelas pertengahan abad ke-16
b. Pahami Jiwa Zaman dan Ikatan Budaya Zaman yang mengungkung penulis babad, dan kemungkinan variasi lainnya seperti politik, Agama, tekanan dan sebagainnya.
c. Mengaitkan kebenaran dengan berbagai situasi sehingga yang kebenaran ecil menjadi besar kalau dipentingkan oleh klan pemilik babad.
d. Mencari asal-usul leluhur dengan "berayah Dewa" dengan demikian klan adalah turunan orang terhormat, sakti, dewa, dan tidak boleh ada cerita mencedrai karena "dipandang sebagai dewa" turun ke dunia. Iini sesungguhnya dalam babad dijiwai oleh budaya kultus dewa klan, kultus dewa raja (anugrah raja), dan melekat budaya Melayu Austronesia (leluhurnya sakti mantraguna), ditunjukkan dengan berbagai persoalan yang pernah dialami oleh leluhurnya sebuah klan.
e. Kejadiannya tidak dapat dilacak sepenuhnya dengan pertanyaan 5 W+ H (Who, where, when, why and  how, and) secara faktual.
f. Disakralkan oleh klan yang memiliki babad tersebut, di tempatkan di Merajan dengan sistem pengamanan yang ketat, walau tidak seketat Prasasti yang menyangkut hak-hak yang diberikan oleh kerajaan, terutama terkait dengan tanah dan kemerdekaan, dan pajak serta kewajibannya. .

4. Penggunaan dalam menjadikan fakta untuk menulis sejarah

Penulis harus memanfaatkan kepekaan sosial, kritis, dan berpegang pada beberapa prinsip pemahaman babad. Dengan melakukan kritik sumber yang sangat hati-hati. Penulis harus dapat memahami arti yang ada di balik apa yang dituliskan secara tersurat (sujektivitas sangat tingg), karena sarat kepentingan meninggikan klan.

Kedudukan politik di dalam kerajaan sangat menentukan dalam menuliskan babad, apakah klan itu bagian raja, dan menjadi bagian penguas di kerajaan; atau sebaliknya merupakan oposisi dari raja. Pro dan kontra dengan kerajaan menentukan isi dan alur dari babad yang ditemukan.

Apa yang disebutkan masih membutuhkan konfirmasi secara ketat apakah memang demikian adanya, atau sebaliknya. karena buruknya jarang ditulis, dan disampaikan dengan mengaitkan dengan kesalahan, kutukan, melanggar perintah raja dan sebagainya.

Silang singkalut terjadi karena babad itu dibuat dalam perjalanan klan dan kedudukan di kerajaan pun pasang surut, dengan demikian terjadilah berbagai dinamika di era globalisasi ini, karena banyak politisi dan pengusaha sukses mencari babad baru dan melegitimasi kedudukan tradisionalnya dengan babad itu, yang sesungguhnya karena kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, dll) dapat meproklamirkan diri dalam klan tertentu dewasa ini. Jarang ditemukan orang berbali dari kasta yang sudah terhormat ke klan yang rendahan. Misalnya seoarang Arya berubah menjadi pasek. Contohnya, mana mungkin seorang penduduk Wed desa pakraman Desa Bali Aga ujug-ujug muncul menjadi Arya Mojopahit (Bongkol-Ngalih Muncuk), kalau sebaliknya okelah.

4. Simpulan
Pemanfaat babad dalam menul;is sejarah tidak salah, tetapi perlu hati-hati dalam mengupas kebenarannya.
Babad memiliki tingkat releabilitas yang rendah dalam menulis sejarah. Sedangkan Prasasti adalah jauh lebih baik dan objektif, karena tidak dapat digandakan dengan mudah, karena Tambra sasti, perubahan harus mendapat ijin dan disahkan oleh pembesar kerajaan (Hegap, 13/09/2015)







Gde Darna Yang Saya Kenal


MERAH PUTIH

Merah... putih.... benderan Tiange
Berkibaran di langite terang galang
nika lambang jiwan rakyat Indonesia
merah brani putihe mearti suci
terharu watek leluhur jaya sakti
merah putih benderan tiange
marhaen menang Pancasila pasti jaya.

Lagu ini kemungkinan diciptakan ketika zaman perjuangan PNI di masa lalu, ketika harus berhadapan dengan lagu-lagu dari Partai Komunis yang juga banyak menggunakan lagu dalam kampanye.
Pak Gde Darna adalah sosok manusia pejuang yang memiliki kepribadian pengabdi, kreatif, dan sportif dalam posisi yang diberikan oleh atasannya. Lagunya banyak dinyanyikan orang mungkin tidak banyak yang tahu siapa sesungguhnya penciptanya. Banyak lagi karya beliau yang lain yang dinyanyikan tanpa meminta ijin padanya, bahkan tidak dikenal siapa penciptanya!!!

Sabtu, 12 September 2015

Masalah yang harus dibahas dalam Sejarah Bali Nusra

Permasalahan
Sejarah Bali Nusra sumber dan bahan bacaannya masih timpang, hanya mengenai Bali yang berlimpah, sedangkan sumber untuk daerah Lombok ke Timur sangat langka, oleh karena itu.
1. Kumpulkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk belajar dan berdiskusi bersama sumber yang ditemukan.
2. Susun sejarah lokal yang ada di temukan sumbernya untuk bahan pengayaan di kemudian hari.
3. Gunakan paradigma baru dalam menulis sejarah lokal Nusra agar menjadi lebih berisi.
4. Sebagai nabi Sang Waktu" harus dapat memahami Jiwa Zaman dan Ikatan Budaya Zaman yang mau diceritakan dengan fakta yang jelas dan dapat membedakan secara jelas mana fakta dan mana opini!!!

Catus Pata dengan Lonceng Belandanya

1. Pengantar
Lonceng di Perempatan Agung zaman kolonial tidak disadari memiliki tujuan hegemonik pada rakyat Bali yang memiliki rasa pengabdian dan rasa bhakti pada Tuhan Yang Maha Esa tanpa memandang berapa waktu, materi, tenaga, dan bahkan nyawa yang dikorbankan demi-Nya. Kalau menyimak gagasan Edward Said (orientalisme) tidak ada sesuatu yang dilaksanakan tidak memiliki makna struktural, dengan barat diposisikan pada posisi pribumi, minder, bawah, budak dan terbelakang. Termasuk dalam sistem religi yang mereka yakini berstatus lebih tinggi dari dunia timur umumnya, padahal secara genealogis Agama Kristen itu berasal dari dunia timur (Jarusalem Timur Tengah). Apa sesungguhnya yang ingin didominasikan oleh kolonial Belanda dengan menempatkan Lonceng pada Catus Pata-Catus Pata yang ada di Bali? Menggunakan gagasan poststruktural Edward Said (2012), dan Foucault (1969) sangat menarik untuk didiskusikan, dalam membahas catus pata dengan loncengnya. 

2. Catus Pata dalam Hinduisme di Bali.
Pandangan Agama Lokal (Melayu Austronesia) yang disebut Animisme dan Dinamisme dalam pandangan Agama import belakangan (istilah ekonomi dalam zaman kapitalis) tentang Catus Pata adalah lokasi ritual yang sangat sentral, karena lokasi itu adalah tempat untuk "Nedunang Ida Bhatara" dan mengembalikan-Nya setelah riatual dilakukan. Demikian juga sebagai tempat untuk menetralkan kekuatan Catur Sanak dalam menyeimbangkan dunia ini. Kemudian pada perkembangan kemudian, Catur Sanak itu didewakan, karena Roh Leluhur yang terdiri dari Ibu dan Bapak dengan simbolisasi Lingga-Yoni menjadi Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi (Ciwa dalam perkembangan terakhir, sektarian sebelumnya). Karena rohnya di Tuhankan dengan ajaran Brahman Atman Aekyam, maka catur Sanaknya ditranspormasikan menjadi Dewa Nyatur (Iswara, brahma, Maha Dewa, dan Wisnu, di tengah-tengah adalah Tuhan dalam konteks Sektarian. Pengetahuan ini dipahami dengan baik oleh sarjana orientalis zaman Belanda, sehingga pengetahuan itu dijadikan alat, senjata untuk melakukan penguasaan mental/ hegemoni oleh penjajah Belanda. 

3. Lonceng di Catus Pata

Demikian pentimg dan centralnya peranan C.T dalam hinduisme di Bali (hibridasi Hindu dengan Kebalian) maka Belanda melakukan "pengrecokan, mengacaukan, mentranspormasikan, menggeser posisi sentral dalam ritual ke dalam posisi sentral sebagai posisi persimpangan transportasi kendaraan untuk jasa dan perjalanan manusia untuk memenuhi hasrat dan perutnya. 

Penempatan Lonceng di Perapatan Agung, secara tidak sadar masyarakat Hindu di Bali dihegemoni dengan word view barat yaitu mentranspormasi pandangan masyarakat Bali (di desa pakraman) dari menengadah ke atas menjadi menengok ke bawah, secara hakiki berubah dari pengabdian tanpa tanda jasa, menjadi kerja dengan kesadaran jasa dengan bayarannya.  Secara perlahan masyarakat menerima dan berkesadaran duniawi, sehingga hanya memandang Catus pata itu sebagai penghalang tabrakan "mepalu jangkrik" dalam berlalu lintas. masyarakat yang sudah beraga pasar, sesungguhnya masyarakat kita telah berubah "dari monotheisme ke moneytheisme". Lonceng juga sebagai simbol Gereja kehendak yang tersembunyi di baliknya adalah menyampaikan "pesan secara tersembunyi/bisu" itu kristen yang punya kok, bukan hinduisme. 

Hegemoni sudah merasuk ke dalam struktur budaya masyarakat, dan pascakemerdekaan, walaupun Catus Pata sudah dikembalikan pada fungsinya di beberapa tempat, namun Lonceng itu masih dipelihara dengan baik dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan, bahkan kadung sudah biasa tidak baik rasanya tidak ada lonceng itu karena sudah sejak lama keberadaannya. 

Catus Pata dalan fungsi ritual, kecuali sebagai fungsi ritual pemerintah, masyarakat rela pindah dari CT pusat ke CT kecil lainnya, dirasionalisasikan karena merasa mengganggu lalulintas yang dipandang sudah sangat penting dan sebagai kepentingan umum yang tidak dapat diganggu, sementara ritual kebaliannya harus rela pindah kemana saja yang dapat dipakai pengganti (sebagai substitusi). Apalagi CT digunakan untuk "kenasakang sastra , dalam menduniakan catur Sanak, bagi yang melakoni kebahtinan di Bali". 

3. Simpulan
Catus Pata diisi Lonceng merupakan dominasi penuh muslihat, karena dapat dibuktikan pandangan Edward Said dan Foucault itu dapat dipergunakan untuk mengkaji hegemoni kolonial terhadap hinduisme di Bali zaman kolonial, dam implikasinya di era globalisasi ini. Belanda menempatkan Lonceng didasari oleh pengetahuan kebalian secara mendalam, terbuktikan science is a power yang diterapkan dalam Catus Pata di Bali bukan (Hegap, 12/9/2015).
























Memahami sebuah Atraksi Budaya (event)

Peristiwa budaya (poleksosbudhankam) sesungguhnya sama dengan menempatkan peristiwa itu dalam periode tertentu dalam perjalanan sejarah. Sejarah dalam hal ini adalah sejarah menurut Foucault yaitu berupa patahan, seri, ambang, transpormasi. Jadi tidak harus kontinum, bisa diskontinum. Sehubungan dengan itu maka sesungguhnya terkait dengan "Jiwa Zaman" atau Zeitgeist, tijdgeest (Bhs. Belanda) (Sartono Kartodirdjo, 1992:37). Dalam melakukan analisis tentu penulis membutuhkan perspektif untuk dapat menjelaskan sebuah atraksi budaya itu. Sebagai sebuah jejak sejarah, tetntu masalahnya harus ditempatkan dalam seeting historis, untuk dapat dilokalisasi menjadi sebuah fakta yang dapat dijadikan pemahaman terhadap atraksi tersebut. Atraksi budaya itu sudah kena pengaruh ikatan kultural, situasional, yang bertranspormasi dalam perjalanan waktu yang disesuaikan dalam perjalanan waktu itu, dengan kata lain gejala itu telah diikat oleh budaya zamannya (ibid, 1992:42). Dengan demikian menguatnya ikatan budaya zaman dapat mengaburkan jiwa zaman yang melekat pada atraksi budaya itu, dan sebaliknya. 

Dalam konteks itu pembahasan sebuah jejak masa lalu berupa atraksi budaya yang masih hidup, tentu memberikan peluang sangat besar bagi munculnya subyektivitas dalam deskripsi budaya itu yang diinterpretasikan oleh peneliti. Demikian juga ikatan teoretis terutama filsafat yang digunakann untuk mendekati sangat menentukan kedalaman dan variasi cerita yang muncul. 

Dari uraian singkat itu dapat dikatakan sebuah atraksi budaya yang memiliki ideologi sama, akan memunculkan variasi tampilan dalam atraksi karena manusia sebagai bagian zaman dalam menerjemahkannya menjadi sebuah atraksi mengikatnya dan mewujudkan wujud budaya yang disesuaikan dengan kepantasan keputusan sebuah atraksi yang dinilai sesuai dengan pemahamannya. Setiap zaman akan memberikan penilaian yang berbeda terhadap sebuah atraksi budaya, sangat bergantung pada zeitsgeist dan cuktuurgebudenheid.

 Daftar Pustaka
Kartodirdjo, Sartono, 1992. Pendekatan iIlmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Jumat, 11 September 2015

Membedakan Adat dengan Agama Hindu di Bali

Agama secara antropologis adalah sebuah percaya pada kekuatan gaib yang datang dari luar manusia. Agama Hindu adalah kepercayaan import dari India yang mana perjalanannya ke Bali dapat dipahami datangnya dari jawa Timur dibawa oleh Rsi markandeya (abad VII), kemudian muncul sektarian di Bali, lalu datangnya Kuturan abad ke-10-11 melalkukan liquidasi sektarian itu menjadi ssekta trimurti, Brhma Wisnu Ciwa dijadikan sekta agama di Bali sejak itu. Kemudian penundukan Mojopahit ke Bali membawa pengaruh  yang sangat besar terutama setelah Sri Kresna Kepakisan menjadi raja perwakilan Mojopahit. Danghyang Nirartha sebagai purohito kerajaan melakukan panunggalan dalam Cia-sada siwa, dan Parama Ciwa sebagai reaksi dari Islamisme pada saat itu. 

Agama lokal (Kebalian( yang berbasis pada kepercayaan terhadap Roh Leluhur serta Catur sanaknya (Mrajapati, Anggapati, Banaspati, dan Banaspatiraja) sebagai fungsi-fungsi yang dikehendaki oleh manusia, terutama dalam sistem sakti (ngiwa dan negngen) di Bali. Terkait dengan Catur sanak inilah ritual berupa bebantenan secara simbolik dihidupkan dalam agama Hindu di Bali. 

Perpaduan antara religi India dengan Lokal Bali inilah menjadi ciri agama Hindu di Bali sekarang, sehingga Agama Hindu berdasarkan Kitab Suci Wedha, sedangkan Agama Bali berdasarkan kepercayaan yang sudah turun temurun sejak zaman Megalithicum. Catur Sanak di dewakan sedangkan roh Meme dan Bapa di jadikan Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi dalam sistem berpikir dualistik yang harmoni. Posisioning Ayah dan Ibu dalam konteks unsur atas dan bawah menjadikan Sakral itu ada di tengah-tengah. Sistem inilah yang kemudian dikenal dengan sistem religi Desa Bali Aga yang bertahan hingga era globalisasi ini. Sekta yang muncul adalah pengaruh Hindu India yang memosisikan Bapa Akasa sebagai Dewa yang dianut (Sektarian), dalam perjalanannya nampaknya "Kultus Dewa Raja" menjadikan sekta Wisnu (Waisnawa) menjadi sekta yang menhegemoni sekta yang lainnya zaman Bali Aga, karena Prasasti Raja-raja Hindu awal menyebutkan "inilah telapak kaki Sang Purnawarman menguasai dunia sebagai telapak Wisnu" di Jawa Barat dengan jelas mengambil ajaran awatara wisnu turun ke dunia (raja adalah dewa turun kedunia), di dunia barat ketika absolutisme terjadi zaman abad pertengahan raja adalah Tuhan turun ke dunia. 

Dengan demikian dalam perspektif ini, maka yang disebut Agama Hindu adalah ajaran dan sistem religi yang didasari oleh Kitab Suci Wedha, sedangkan yang didasari oleh Agama Austronesia yang sudah ada zaman Megalithicum menjadi adat di Bali. hanya saja dalam perjalanan sejarahnya hibridasi, memikri, akomudasi, akulturasi dan beberapa istilah lainnya menyebabkan sulit membedakannya kalau tidak dicari genealoginya. 

Pandangan postrukturalisme barat terutama gagasan Foucault memberikan perspektif teori dalam genealogi pengetahuan, dengan metode arkeologi dan genealogi pengetahuan, sebuah wacana harus dicari asal-usul dan relasi kuasa yang ada dalam sebuah diskursus, sehingga dapat dijelaskan makna dari sebuah wacana secara genealogis. 

Contoh dalam memahami adat atau agama, misalnya dalam Ngaben  di Bali, beberapa tokoh agama dan akademisi mencari asal-usul ngaben itu dengan menganalisis asal katanya yaitu ada yang mencari di "Abu" dan "Api" (Titib, Wiana, dan Atmadja, 2015) sebagai akibat dari pembakaran yang dapat menjadikan jasad manusia menjadi abu, seperti yang ditemukan di bebera tempat (desa pakraman) yang kena pengaruh Majapahit kuat (Desa Pakraman Bali Dataran, Apanage Mojopahit). Dapatkan semuanya ini diberlakukan dalam seluruh desa pakraman di Bali? tentu tidak.

Jika ngaben dimaknai sebagai proses mengenbalikan manusia pada-Nya, maka sekta sebagai dasar orientasi penyatauan harus dipahami dengan baik, dan tidak semuanya "musnah terhegemoni', masih banyak resistensi terjadi di desa pakraman Bali Aga di Bali, sesuai dengan sektanya. 

Bukti yang dapat ditunjukkan adalah adanya Ngaben di Sidatapa (SCTP?), Gobleg, Trunyan, dan desa lainnya yang menjadi bagian dari sistem religi itu, seperti desa pantai Bondalem, Julah, dan sebagainya. Ngaben dalam konteks mengembalikan pada-Nya maka di Gobleg dikenal dengan "Ngiyehin", "Ngaben Adat", dengan tata ritual yang berbeda dalam prosesi penunggalan di Merajan masing-masing. 

Dengan demikian kata ngaben bukanlah secara genealogis berasal dari kata "Abu/Api", harus dicari dalam genealogi mlain. Saya lebih suka mencari akarnya pada zaman megalitichum, bahwa ada tradisi "Bekal Kubur/ Funeral Gift) yang dalam bahasa Balinya disebut "Ngaba" + in menjadi Ngaben. Karena dilihat dari hukum sengau dalam Bahasa seperti disampaikan oleh Poerwadarminta (lihat Kamus Bahasa Indonesia, sebelum KBBI), diuraikan kalau senagu U+ I bukannya jadi E, tetapi berubah menjadi UWI. Dengan demikian secara genealogis dilihat dari Foucoultan, dan Gramscian dunia akademik kita, Agamawan kita, dan Masyarakat kita di Bali sudah mendapat pengertian yang tidak menyejarah. Jika ngaben hanya berasal dari Ngabuin menjadi Ngaben, terkait dengan Api, maka sekta QWaisnawa (Gobelg dan trurunannya, Trunyan (sekta Indra/Hujan Angin dan turunannya/ sejajarannya) tidak terkandung dalam pembahasan nagben yang disebutkan berasal dari Abu. Dengan kata lain Desa Bali Aga yang memiliki tradisi Ngaben sesuai dengan aslinya di zaman prasejarah bukan berarti salah, atau harus ngikut sekta Api/Nabguin, karena hakikat yang dituju berbeda. Apalagi dikaitkan dengan Ngabehin (berlebihan dalam potong hewan, kerbau, sapi, babi, ayam, dan bebek) sesungguhnya itu adalah untuk foya-foya bagi yang menyelengarakan Ngaben, bukan untuk Sang Newata. Apalgi sangat tragis terjadi sampai menjaual carik, Tegal, dan warisan leluhur lainnya untuk mudah dibagi demi menggledah hasrat keduniawian. 

Dengan perspektif genealogis ini maka dapat dikatakan ritual ngaben adalah adat, tradisi, yang memiliki relasi dengan gengsi sosial. Karena ajaran Agama Hindu mengajarkan bahwa Karma tidak dapat dibeli atau dibayar dengan ritual, sehingga Phala buruknya tidak dipetik oleh yang meninggal. sebagai sebuah doa, dan harapan itu adalah sangat mulia, memaksakan kehendak agar Atman Manunggaling Kaula-Gusti, sama dengan pemaksaan kehendak dan tidan menjalankan Ajaran-Nya. 

dari urain ini dapat dikatakan untuk menjawab judul ini, setiap ritual terkait dengan pemujaan terhadap Roh Leluhur dan catur Sanak hakikatnya Agama Asli Bali, sementara kenyataanya dikoptasi oleh ajaran Wedha India, sehingga seolah-olah menjadi sulit dibedakan. Jika menggunakan perspektif di atas ini, maka tidak ada dosa bagi keluarga yang melaksanakan pengabenan alit, dengan mengambil pagu Ngaben Adat, Ngiyehin, dan tradisi ngaben ngerit bagi Hindu di Bali, Hanya saja kemajuan ekonomi dengan membeli banten ngaben denga harga tinggi, dapat meninggikan gengsi sosial pelaksananya. Apalagi pengabenan di kerajaan seperti Ubud misalnya, dalam konteks modern (konteks modal capitalnya Bourdieu) menjadi sangat menguntungkan, karena adanya komerialisasi ngaben (komodifikasi ngaben) terhadap Turis yang berkunjung ke Bali. jika dalam konteks komodifikasi itu tidak ada salahnya melakukan pengabenan dengan biaya banyak, karena bukan dengan memjual warisan yang mengakibatkan penderitaan bagi Nyeh Kapatan Sang Newata.

Gengan genalogi pengetahuan Foucault dapat dipahami berbagai persoalan yang di dalamnya ada relasi kuasa bagi Putra penyelenggaranya. Bahkan dapat mengugurkan tulisan-tulisan yang memiliki pengertian seperti disebutkan di atas. 

















Sampah dan Nilai Kehidupannya

Sampah dan limbah jika kreatif dapat memberikan nilai tambah dalam kehidupan manusia. Sampah dapur misalnya dapat dipisahkan antara organik dengan unorganik, organik dapat menghasilkan pupuk dan menyuburkan apotik hidup sekitar rumah dan kebun halaman, serta tanaman hias lainnya. Jika diolah menggunakan pengolahan sederhana akan dapat menghasilkan pupuk cair yang sangat efektif dalam mensejahtrakan dan menyehatkan msyarakat. Pupuk organik dapat digantikan dengan pupuk unorganik, akibatnya tanaman memiliki daya subur panjang, tidak terkontaminasi oleh kimia bahan pupuk. TPA tidak sesak dan memunculkan pencemaran lingkungan, jika mulai dari kelyarga, maka tetangga, masyarakat, dan negara akan terbantu secara tidak sadar. Karena dari keluarga membangun lingkungan yang sehat, maka secara otomatis alam terselamatkan. 

Pemulung mencari limbah unorganik dapat dengan mudah membawanya ke pusat pengolahan limbah yang dapat membahayakan lingkungan, mengotori lingkungan, dan menyebarkan logam berat di sunagi sungau dan tanaman yang menggunakan air sungai itu. Jika dalam sebuah banjar di Bali kena penyakit "ginjal, jantung, hati, empedu, tensi, dan stroke misalnya, maka dalam waktu dua atau tiga tahun akan mengantarkan keluarga itu ke ambang kemiskinan dalam melawan penyakit yang sangat sulit diobati. Itu berarti sakitnya seorang anggota keluarga akan dapat memiskinkan anggota keluarga itu dalam mengobati anggota keluarganya. Jika JKBM, dan asuransi lainnya yang membaayai bukan berarti dak berdampak pada masyarakat luas, karena dana masyarakat, pemerintah, dan keluarga habis untuk kemanusiaan itu. 

Dalam perspektif ekonomi limbah palstik, kertas, dan lainnya yang berbahaya terhadap lingkungan dapat diolah menjadi bernilai ekonomis sangat tinggi, jika dihitung nilai tambah dan out come yang muncul di masa depan bangi bangsa dan negara. semoga kesdaran lingkungan dapat terbangun dari keluarga. 

Bali Utara zaman kolonial Belanda

Singapura II (Singaraja) Vs Singa Pura (Benteng Singa)

Kedatangan Belanda ke Bali Utara dilatari oleh persaingan dagang dengan Inggris, karena seringnya pedagang Inggris berlabuh di Pelabuhan Buleleng, maka mata-mata Belanda Ki Bagus Buang melaporkan kepada Belanda dan menjadikan belanda sesak nafas, karena sejarah perdangan Inggris di dunia selalu mencari daerah ujung benua yang potensial dilihat dari SDA dan SDM yang ada di hadapannya, seperti daerah sempait masuk ke terusan suez (Gibon), Madagaskar, Srilangka, Singapura, Brunai Darussalam, Fermosa (Hongkong), Malfinas (Folk Land), dan pulau-pulau kecil lainnya di dunia yang memiliki posisi strategis dalam perdagangan. Belanda belajar dari sejarah Inggris "khawatir Singaraja dijadikan Singapura ke-2", sehingga tergesa-gesa memindahkan pusat dagangnya di Kuta Badung ke Bali Utara.

Ketergesaan ini dapat dilihat dari tuduhan pemeintah Belanda terhadap raja Buleleng yang melanggar persetujuan persahabatan yang dibuat di tahun 1843, karena adanya penerapan 'Hak Tawan Karang' di Purancak Negara dan Sangsit Buleleng. Rekayasa ini dikhawatirkan dilakukan oleh Belanda sendiri untuk dapat segera dijadikan alasan untuk penundukan secara dominatif, karena jika tidak demikian seharusnya dapat dinegosiasikan penguasaan itu, tidah harus dengan Perang Puputan sampai dua kali, 1846 dan 1849. Kemudian segera Pabean Buleleng dijadikan pusat perdagangan Belanda di Bali Utara. 

Sampai awal abad XX terjadi perubahan cara pandang dalam mencari keuntungan di Bali, setelah dicoba membuat beberapa perkebunan oleh pihak Swastawan zaman itu gagal, terutama kebun kapok dan kelapa di daerah Sumberkima, Sendang pasir, Tegal Bunder, dan Manyupoh gagal. 

Munculnya konflik kasta di Bali Utara, masuknya pengaruh Modernisme ke Bali melalui elite terpelajar, munculnya Organisasi Suryakanta yang menggagas "Zaman Kemajuan/Modernisme dalam rumusan lain", dan  
adanya atmosfer Kebangkitan Nasional di jawa makin kuat, menjadi latar belakang perubahan kebijakan kolonial Belanda dari penguasaan atas tanah dan kebudayaan untuk mendapatkan keuntungan (asimilasi untuk substitusi peradaban dengan tujuan pengendalian), diubah dengan menetapkan Baliseering, yaitu memelihara ketradisionalan Bali seperti dikehendaki oleh golongan Triwangsa dalam konflik kasta itu. Sejak itu budaya Bali dipelihara untuk dijual ke pada Tamu Asing yang datang ke Bali (pariwisata eksotik). 

Pembangunan sarana dan prasaranapun menjadi disesuaikan dengan tujuan pariwisata, termasuk gagasn untuk melakukan Baliseering dalam dunia pendidikan (pengidiologian Baliseering). Sekolah menjadi agen Baliseering, Flieerhar adalah tokoh pendidikan yang menjadi Penilik Sekolah di Klungkung pertama-tama membawa gagasan Baliseering itu ke dalam dunia pendidikan. Sangat menarik dipahami gagasan Baliseering itu, proses, dan implikasinya di era globalisasi. Karena kita sering melihat prilaku bangsa kita dalam kehidupan pascakemerdekaan menjadi lebih belanda dari belanda. Mempersulit birokrasi, rekruitmen pegawai, sertifikasi guru, kelulusan dokter umum, sarjana tertentu, pendidikan kedinasan yang kalau dimaknai tidak jauh berbeda dengan pendidikan, dan birokrasi zaman kolonial. Birokrasi bukan digunakan untuk memperlancar dalam rasionalisme urusan negara, tetapi mlebih berfungsi sebagai pengendali kekuasaan seperti dikehendaki oleh penguasa (kolaborasi legislatif dan eksekutif), rekrutimen PNS misalnya berubah dari regenerasi menjadi komoditas yang diperdagangkan untuk memperkaya diri dari kong-kalikong yang memiliki kekuasaan. 

banyak persoalan menarik kemudian, sehingga modernisme, kapitalisme, dan revitalisasi primordialisme dan feodalisme gaya baru menjadi subur. 

Pahlawan Nasional Mr. I GK Pudja

Pahlawan Nasional Mr. IGK Pudja yang ditetapkan pemerintah SBY tahun 2011 memiliki peran tersendiri di era globalisasi dan otonomi daerah. Beliau dapat dijadikan contoh dalam sejarah seorang tokoh nasional dari Bali yang beragama Hindu yang memiliki toleransi sangat tinggi dalam bergaul dengan teman seperjuangannya di sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam menetapkan dasar negara yang diabngun beliau menyadarkan
para pejuang lainnya agar mengganti isi sila pertama Pancasila yang termaktub dalam Piagan Jakarta, dengan mengusulkan agar berbunyi 'Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa ada  lagi "kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya". Pemikiran ini terkadung makna bahwa NKRI yang terbentuk adalah sebagai negara yang multikultur, sehingga sesuai dengan Moto Bhineka Tunggal Ikha", berbeda-beda tetapi satu adanya, unity in diversity, jangan dibalik seperti zaman Ordebaru.

Persoalan yang ada Buleleng sebagai pemilik pahlawan yang sangat brelien dan monumental itu tidak banyak memberikan perhatian setelah beliau diakui sebagai pahlawan nasional, kecuali hanya acungan jempol dan mungkin akan menjadi perhatian jika menguntungkan dari kampanye politik dalam ajatan pemilukada ke depan. Sebagai bangsa yang besar ditunjukkan dengan seberapa besar penghargaan kita terhadap jasa para pahlawan itu. Ukuran itu diabaikan karena dialihkan ke pertanyaan seberapa besar suara dapat diraup kalau memperhatikan sebuah isu atau persoalan yang ada. 

Dari perspektif nasionalisme dan pendidikan moral bangsa, pendidik tidak boleh lupa akan penggagas multikulturalisme itu, karena hakikat bangsa kita adalah bangsa yang besar karena perbedaan itu. Bagaikan sebuah taman nasional, tidak akan indah, harmoni, hidup, dan menyenangkan kalau taman hanya terdiri dari sejenis bunga saja. 

Kresna Paksa dan Bulan Terang

Dalam perjalanan manusia memahami Bulan mati dan Bulam Purnama, mengalami pasang surut dan perubahan konsep di kepala manusia mengikuti peradaban yang berkembang pada zamannya. dalam prasasti  bulan mati disebut Kresna paksa (waktu 15 hari sejak penanggal apisan sampai Bulam Kartika atau Purnama paling penuh (Purnama Kapat). oleh karena itu dalam penetapan Purnama Kasa untuk menuju bulan Purnama berikutnya menjadi persoalan dalam ilmu kalender di Bali. Pandangan Gede mariana, senior dalam penyusunan Kalender di Bali, memberikan informasi dengan menggunakan lontar sebagai pedoman penentuan Purnama Kasa itu, dengan melihat lahirnya bintang Kartika kelihatan di upuk timur. Untuk dapat melihat Bintang itu ditemukan ada di Pura Ponjok Batu berlokasi di Ujung Utara pulau Bali.  Sesuai dengan namanya lokasi itu terdiri dari ponjokan batu, menjorok ke pantai Utara, dan terdapat Pura Ponjok Batu. 

Pura Ponjok Batu merupakan Pura sudah ada sejak zaman Megalitikum, terbukti di pura itu ditemukan Sarkopagus tife panjang, beda dengan penemuan di Busungbiu tide lipat dalam penguburan. Pada zaman Bali kuno, ketika pantai Utara Bali menjadi pusat peedagangan dikendalikan oleh Ratu Ayu Syahbandar (Kang Ceng Wie) istri dari Raja Jayapangus yang mengeluarkan prasasti sekitar 42 buah (sampai saat ini), menunjukkan betapa strategisnya posisi dan peran ponjok batu itu. Perdagangan intersuler di laut dikendalikan dari Pura Pagonjongan, sebagai Pusat Perdagangan Bali Kuno di daerah Buleleng Timur. Lokasi itu dikendalikan oleh Bapaknya Kang Ceng Wie bernama Ping An yang menjadi populer dengan perdagangan Pinggannya sampai ke pegunungan dengan pusat di Desa Pinggan Kinta Mani Bangli. Desa ini kemudian menjadi salah satu Banwa yang ada di sekitar kerajaan Dalem Balingkang di Puncak Penulisan. 

Dalam perspektif "Kultus Dewa Raja", perkawinan Hindu-Bhuda ini menjadi persoalan dalam mencari raja pengganti, karena anak-anak yang lahir dipahami bukan turunan dewa dalam konteks kultus dewa raja itu. Dengan demikian perkawinan Jayapangus dengan kang Ceng Wie yang kemudian dikenal dengan penguasa/raja pelabuhan (syah Bandar;Bahasa Parsi). Ketika itu orientasi persembahyangan masih ke Gunung Raung jawa Timur, sebagai pusat diterimanya Bisama oleh Rsi markandeya dalam melakukan tirtayatra ke dua ke Bali, dengan melaksanakan puisik agar menanam Pancadatu di Tohlangkir. 

Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa banyak persoalan yang perlu dikaji terkait dengan kerajaan Bali Kuno, khususnya keterlibatan etnis Cina dalam perkembangan peradaban di Bali; Perdagangan di Bali; Bhuda di Bali; dan Peranan Bali Utara sebagai jembatan masuknya peradaban asing ke Bali.

Mengerti Sejarah

Sejarah harus dipahami: (1) Sejarah sebagai peristiwa, event, kejadian; yang telah terjadi dan terjadi hanya sekali dan tidak dapat diulang lagi (enmalig). (b) Sejarah sebagai cerita peristiwa yang sudah terjadi, sehingga peristiwa itu makin hari makin mengabur dari ingatan manusia, bergantung dengan perjalanan waktu,      
kekuatan bukti, dan urgensinya dikaitkan dengan kelompok sosial-politik yang berkepentingan terhadap eksistensi sebuah peristiwa itu.

Sejarah Akademik adalah merupakan kajian mengenai berbagai peristiwa di masa lalu yang masih memiliki bukti, jejak, artefact yang dapat dibuatkan cerita sejarah. Karena cerita sejarah adalah cerita berfakta, maka persoalannya adalah bagaimana fakta itu dibuat dan dirangkai agar menjadi cerita sejarah yang menggambarkan secara naratif peristiwa sejarah itu, karena sesungguhnya masa lalu itu adalah misteri yang hanya dapat dipahami lewat artefact yang tersisa. jadi "no artefact no history". Hanya adanya artefact dapat dijadikan certita sejarah. Tentu artefact itu harus diuji keabsahannya. (kritik sumber internal dan eksternal). 

Dari pemahaman itu, kronologis, bukti, artefact harus dibedakan mana bukti kuat sehingga menjadi fakta keras dan mana fakta yang lemah. sebagai contoh "bagaimana memahami sebuah "kekacauan jiwa manusia dalam menanggapi isu lautan airnya bah yang memunculkan kenyataan bahwa penduduk berlarian ke gunung untuk menyelamatkan diri" tentu pernyataan yang dapat dibuat dengan menggunakan "Ilmu Jiwa Massa" dapat dipahami, apakah dapat dibuat pernyataan sehingga menjadi fakta keras. Mungkinkan sebuah peristiwa yang demikian bersilang-singkalut dapat diurut dengan kronologis yang sesungguhnya?
dalam konteks itu jawabannya ada mengatakan bahwa dengan bantuan Ilmu Sosial dapat dijelaskan dengan baik, sehingga muncul sejarah struktural (sejarah ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, dll.). 

Keyakinan di atas diragukan oleh teoretisi poststruktural seperti Foucault. Sejarah dengan demikian bukanlah kontinuitas dalam konteks waktu, tetapi bersifat diskontinuitas, patahan, seri, ambang, dan transformasi. Dengan demikian bentuk narasi sejarah bukanlah harus kronologis, dan kontinuitas, karena secara teoretis kronologis itu dalam kenyataannya keitka cerita sejarah ditulis menjadi bersifat imajiner. 

Dari uraian diatas bukankah sejarah kontinuitas dan kronologis itu adalah sudah mengalami kematian?

Kamis, 10 September 2015

Nyama Bali Nyama Islam di Bali

Sejarah masuknya Islam ke Bali memunculkan penyamabrayaan orang Bali Hindu dengan Islam. Persaudaraan ini sudah menjadi tradisi bahkan masuk ke struktur ritual yang dilakukan oleh nenek moyang orang Bali. Zaman I Gusti Ngurah Panji Sakti perjalanan melasti ke segara setelah acara ritual selesai dilanjutkan dengan melakukan anjang sana ke Mesjid Kuno di Bali Utara yang berlokasi di sekitar pelabuhan Buleleng. Pembahasan lebih detail dapat dibaca dalam Buku "Model Integrasi masyarakat Multietnik, Nyama Bali Nyama Islam: Belajar dari Enclave Muslim di Bali, oleh I Made Pageh, et.al.

Ideologi Desa Bali Aga

Desa pakraman desa Bali Aga memiliki ideologi yang dikembangkan oleh Rsi Markandya di bawa ke Bali abad ke-8, dan kemudian datang Empu Kuturan membawa ideologi trimurti sebagai konsiliasi sekta-sekta yang ada di Bali. sampai abad ke-16 Danghyang Nirartha mendominasi sekta di Bali dengan ciwaistik, sehingga Bali berstransfortasi dalam tiga ideologi cultural heroes itu. Uraian detail mengenai hal ini terurai dalam hasil penelitian strategis nasional 2011.