Kamis, 08 Maret 2018

AKTUALISASI NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN UNTUK REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA




Oleh
Drs. I Made Pageh, M.Hum.[1] 

1.      Pendahuluan
            Makalah ini mencoba untuk memadukan lokal genius dengan rasa nasionalisme di era globalisasi, kemudian untuk dapat dijabarkan ke dalam bentuk media penanaman rasa nasionalisme melalui kegiatan dalam kehidupan keseharian anak bangsa. Untuk itu dimulai dengan mencari etimologi pahlawan dan menggali dalam etika moral dan ajaran guru (dalam arti uas) pada anak bangsanya di Bali.    
            Secara etimologi kata pahlawan terdiri dari dua kata “phahala + wan”, yang berarti “buah dan orang”. Dengan demikian “pahlawan dapat dimaknai orang yang telah membuahkan hasil bermanfaat untuk orang banyak, menyumbangkan buah perbuatannya kepada masyarakat, bangsa dan negara”. Kata pahlawan juga bermakna agung, indah, luhur, jagoan, sederhana, antagonis, melawan arus jaman edan.
            Figur pahlawan dalam cerita Ramayana adalah Rama dan Laksamana, Sinta, Jatayu, Hanoman, dan Kumbakarna. Dalam Mahabratha tokoh Bisma yang Agung, Panca Pandawa, Drupadi, Karna, Wikarma, sedangkan figur provakator adalah Sakuni, dan Kresna. Sakuni provokator masuk neraka dan Kresna adalah provokator masuk surga. Sesuai dengan kehidupan kita, bahwa hidup itu adalah pilihan, hanya manusia memiliki kemampuan untuk memilih berdasarkan rasionalitasnya, karena pikiran adalah hadiah terbaik dari Tuhan. Kalau pilihannya berdasarkan emosi (Sekuni dan Duryodana) tentu akan mengantarkan pada pilihan yang sesat. Sebagai manusia memiliki dua tuntutan mendasar yaitu nafsu dan hati nurani, maka kepahlawan dirujuk pada pilihan berdasar hati, bukan berdasarkan nafsu, hasrat kenikmatan perut. Pertarungan dua kebutuhan hidup ini terjadi selama manusia hidup. Soekarno-Hatta dan pejuang kemerdekaan lainnya mengalami pertarungan yang ada zaman kolonial. Dalam sejarah dari zaman ke zaman, selalu ada muncul tokoh antagonis zamannya, sehingga muncul pahlawan. Seperti pahlawan pergerakan nasional (melawan Kolonial Belanda dan Jepang), pahlawan revolusi (menegakkan kemerdekaan), pahlawan pembangunan, pahlawan reformasi, dan sebagainya dalam mengisi kemerdekaan kita. Terakhir dicanangkan revolusi mental oleh Jokowi-JK (dalam melawan kemiskinan dan kebodohan) serta masalah integritas bangsa lainnya, seperti kebobrokan mental (amoral, korup, sadis), mengumbar nafsu birahi (pejabat publik juru kawin), tidak punya malu dalam pamer kekayaan hasil korupsi (konsumerisme) dan bercitera generasi lembek, masa bodo dan mau menang sendiri (karakter modernitas). Dalam kondisi seperti itu, masyarakat Indonesia berharap Jokowi menjadi tokoh (Presiden 2014-2019) yang antagonis, keluar dari citra bangsa di atas.
            Motto: “bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghormati jasa-jasa pahkawannya” selalu dikumandangkan setiap peringatan hari pahlawan. Hari pahlawan diperingati setiap tahun, lebih banyak bersifat serimonial “mengenang, mengagumi dan bahkan meratapi” dalam konteks mental paternalistik diikuti berbagai harapan dan belas kasihan dari pemerintah (minta bantuan terus) tidak ada kamus kata “membantu” walaupun kekayaannya lebih dari kekayaan negara. Tidak pernah ada solusi good practisce, demi perbaikan bangsa, sehingga dengan demikian kualitas Sumber Daya Manusianya terus merosot. Bahkan ironis terjadi, makin kaya sumber daya finansial makin lemah mental anak bangsa ini (keluarga, masyarakat dan pemerintah) karena pengaruh budaya konsumerisme, linglung terhadap nilai-nilai kepahlawanan dan perjuangan Revolusi Kemerdekaan tanggal 17-08-1945, dalam ideologi praksis di masyarakat.
            Dengan tujuan dan latar belakang di atas, maka masalah yang perlu diaktualisasikan dalam revolusi mental bangsa dalam konteks ini: (1) dari mana kita memulai revolusi mental itu untuk membenahi benang kusut bangsa; (2) Mengapa pendidikan generasi muda dijadikan sasaran? (3) Bagaimana ajaran Catur Guru dapat diaktualisasikan dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara?
            Masalah ini dikaji menggunakan pendekatan sejarah kritis, khususnya pendekatan pendidikan, sehingga aktualisasi nilai-nilai kepahlawanan dalam usaha mengentaskan kebodohan dan kemiskinan dapat diatasi.

2.      Revolusi Mental: Dari Pendidikan Diri Sendiri (Generasi Muda) Melawan Kemiskinan dan Kebodohan
            Mengubah ideologi masyarakat tidak dapat diperintah tetapi harus diajak dan dimuai dari diri sendiri, dengan dicontohi oleh pejabat publiknya dan publik figurnya. Bangsa agraris yang paternalistik dengan tingkat pendidikan yang belum merata, membutuhkan contoh nyata bukan teori, tetapi praktek langsung (good practisce).
            Generasi Muda yang dijadikan sasaran perubahan mental dalam melawan kemiskinan dan kebodohan, kata kuncinya  adalah pendidikan dan belajar dengan disiplin dan kerja keras tanpa kenal lelah. Anggaran pendidikan butuh prioritas (20% dari APBD/N), sarana dan prasarana sekolah, guru, kurikulum, buku ajar, dan revolusi birokrasi dalam pendidikan. Guru jangan dijadikan objek politik, sekolah jangan dijadikan kartel, sekolah jangan menjadi ajang permainan kekuasaan dan budaya konsumerisme. Dalam masyarakat Bali yang masih banyak ada sisa-sisa budaya feodalistik yang paternalistik pimpinan (Kepala Sekolah, pengawas, diknas, dan pejabat politik lainnya seperti DPRD, Gubernur, Bupati dan jajarannya) harus mampu merevolusi mental (mind seet) dan mengubah budaya korup bangsa dengan pengawasan ketat pada jajaran di bawahnya agar tidak korup. Terutama berawal dari birokrasi yang menyangkut kepentingan publik, harus dibersihkan dari korupsi, seperti Kantor Samsat, kantor Kepegawaian (BPKD), kantor Pajak, Penegak Hukum (Polisi, Hakim, Jaksa, penyidik) sebagai ranah rekayasa (kolusi), kepala pasar tradisional, Rasia Polisi dijalan raya, harus diawasi dengan ketat dikoordinasikan dengan publik/wartawan/NGO/civil society di dalamnya. Dana masyarakat dari manapun asalnya, harus dibuka secara transparan, dengan fokus pada pemegang kekuasaan yang dapat mengendalikan jabatan dan kekuasaan dalam bidang tertentu secara menyeluruh (good gaverment dan good gavernance).
            Semuanya ini dalam membentuk karakter bangsa yang disiplin dan tidak main-main dengan kekuasaan, jangan dengan kekuasaan mereka mendapatkan keuntungan finasial, diawasi sejak pemilihan pejabat strategis (adakah indikasi K K N dan Cecungukisme di dalamnya). Dalam masyarakat feodal, kekeluargaan dari landasan sifat menjadi geneologis (AMPI= anak, misan, ponakan dan ipar, klen dsb.). Pengaruh budaya politik inilah  sesungguhnya dunia pendidikan kita tidak dapat berkutik dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Ditambah dengan permainan “uang sogok” dalam mencari kerja, maka kualitas pendidikan akan menjadi kabur, bahkan gelar dapat dibeli di hotel-hotel berbintang. Adakah pejabat kita yang mempraktikannya, dosennya, mahasiswanya, gurunya dan pelaksana legitimasi bidang pendidikan lainnya. Sebenarnya  “pejabat/guru yang sakit tidak berkualitas, sejatinya lebih berbahaya dari obat-obatan terlarang/Narkoba”. Kondisi ini berakibat lunturnya semangat belajar, pelecehan profesi guru/dosen, kurangnya penghormatan gelar pendidikan (karena bacik mana asli dan mana aspal), kurangnya kompetisi dalam pendidikan bermutu, karena telah ada pola pikir nantinya toh akan nombok dalam mencari pekerjaan, kurangnya wibawa kejujuran dan harga diri manusia dan penghormatan terhadap pejabat jujur (digenderalisir korup ). Semuanya itu menjadi bangsa kita kurang kompetitif, kehilangan rasa jengah dan rasa malu, dan paling menyedihkan munculnya budaya “kejengat-kejengit di media pencitraan tidak bersalah” karena yakin dengan uangnnya akan dapat membebaskan segala masalahnya. Dengan demikian muncul penyakit masyarakat dan menular pada generasi mudanya.
            Pertama, penyakit “kurap-kudis” yaitu kurang siap dan kurang disiplin, sehingga membutuhkan motivasi “obat ekstasi” yang mampu memabukkan semangat kompetisi, semangat belajar, dan semangat kerja, dan merasa berdosa kalau tidak siap dan tidak disiplin. Hal ini dapat dilihat pada pejabat publik (politisi) yang terkadang menyedihkan, karena ditugaskan (politik) pada bidang yang tidak sesuai keahlian dan pendidikannya, sehingga tidak memiliki karakter disiplin diri dan antisipatif dalam pekerjaannya (wright men in wrong job). Birokrasi digunakan untuk belajar dan trial and error. Ini membuktikan sistem berbangsa dan bernegara kita tidak siap dalam melaksanakan antisipasi terhadap tantangan zaman era globalisasi. Kedua, sakit “sembelit” yaitu sedikit membaca literatur”, tidak sempat dan tidak memiliki budaya membaca, sehingga lebih banyak mendengarkan bisikan (bagaimana kalau bisikan setan?), omongan di warung kopi, media massa yang siarannya “dagelan artis yang tak berujung pangkal”, sehingga “sembelit itu” penyakit mematikan bagi bangsa kita. Karena mereka dalam jabatannya tidak memiliki pertimbangan logis, filosofis dan mendasar dalam menangani masalah publik. Realitasnya diisi dengan mengangkat staf ahli, yang diisi oleh orang staf out of date (tidak efisien). Sering diisi oleh pejabat power sindrom, terindikasi korup, dan nonjob, karena kedekatannya dengan pejabat dia diangkat menjadi staf ahli (bagaimana kalau ahlinya korupsi?). Ketiga, penyakit “mencret dan mules” yaitu menjabat “nyeroscos dan cerewet dengan mutu lesu”, dengan terkesan pejabat banyak yang hanya mengamankan jabatan tidak mengunggulkan mutu dan hasil karya pada jobnya. Tidak banyak muncul pejabat yang makan ‘pil Aspirin” yaitu pejabat memiliki pilosofi penuh aspirasi, refleksi, dan inspiratif terhadap bawahannya karena dampak kualitas dan integritas pribadinya.
            Dari bahasa akronim dengan menggunakan penyakit dan obat diharapkan mudah diingat dengan akronim di atas, maka implikasi dalam pendidikan masyarakat paternalistik, figur publik yang mampu memberi contoh adalah sangat dibutuhkan. Misalnya hidup sederhana dicontohkan presiden dengan naik Pesawat kelas ekonomi. Di ranah lain diharafkan muncul seperti di sekolah oleh kepala sekolah dan gurunya, di masyarakat oleh pejabat dan jajarannya, Bupati dan jajarannya, Presiden dan pembantu-pembantunya menteri dan setarap menteri sebagai pemegang otoritas kebijakan publik. Membutuhkan revolusi mental pejabat kita sebagai publik figur dan kesadaran masyarakat ditumbuhkan dari diri sendiri (Generasi Muda) sebagai publik figur di lingkungannya untuk dapat di contoh ideologi hidupnya, dalam belajar, bekerja keras, integritas dan kejujuran, yang selalu berkaca pada kemaslahatan hidup orang banyak.
            Jalan yang harus diambil dalam mengatasi krisis multidimensional bangsa ini: pertama, melalui revolusi Birokrasi pemerintahan, revolusi mental dilakukan dalam birokrasi kita yang sarat dengan kepentingan politik/kekuasaan, sehingga kekuasaan memberikan peluang untuk KKNC sehingga penyakitan; kedua, melalui pendidikan formal, dan pendidikan nonformal melalui pejabat publik. Hal ini sangat penting dalam kultur dan struktur masyarakat paternalistik, dengan demokrasi yang masih mobokrasi. Masyarakat adalah sebuah kesatuan sistem jaringan yang saling ketergantungan antarkomponen bangsa. Dengan demikian keberhasilan pendidikan di sekolah, sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang berkembang pada pemerintahan, masyarakat, dan keluarga (trikonsentris pendidikan).

3.      Revolusi Mental Anak Bangsa Melalui Generasi Muda.
            Generasi Muda bukan hanya dilihat dari umur usia muda, tetapi juga dapat diartikan orang perorang tidak terbatas umur yang memiliki jiwa sesuai dengan zamannya. Generasi muda selalu dipertentangkan dengan golongan etablishment, umumnya kelompok orang yang telah mapan dalam kekuasaan. Di antara mereka ada yang melawan kelompok berkuasa demi kepentingan orang banyak. Kelompok ini dapat dikategorikan kelompok pemuda. Karena pemuda adalah kelompok orang yang sedang mencari status untuk mendapatkan kekuasaan pada zamannya.
            Jiwa kepahlawanan adalah kesadaran jiwa yang di dalamnya ada kehendak untuk memperjuangkan hak-hak sipil/civil society dari penindasan kekuasaan, baik dari bangsa asing maupun dari bangsa sendiri. Karena terkadang bangsa sendiri lebih “kolonial dari kolonialisme, lebih belanda dari Belanda pada zaman penjajahan. Adakah niat dalam tindakan dan kebijakannya untuk membantu masyarakat yang dipinggirkan, apakah hanya wacana saja, seperti wacana politik umumnya. Dalam kenyataannya sangat berlawanan tindakannya.
            Maka kesadaran kepahlawanan itu harus dibangun dan dieksplorasi oleh penguasa sebagai “publik figur--tokoh, pejabat/kepsek/guru/ pimpinan/ kepala keluarga”—kalau dianalisis dapat disimpulkan kondisi objektif bangsa kita sebagai berikut:
§  Belum memiliki kesadaran akan potensi yang kita miliki sebagai bangsa yang besar, yang siap dikembangkan untuk kemajuan bangsa. Belajar dari alam, “kalau biji lemtoro saja dapat menembus beton bertulang”, mengapa manusia yang berakal tidak?, karena manusia memiliki potensi yang tak terbatas. 
§  Perlu ditumbuhkankembangkan kesadaran bangsa (melalui pendidikan generasi muda), jangan berpikir pendidikan seperti “sistem bank” (paulo Priere). Sadari bahwa “... setiap anak/generasi muda tetap akan bertumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan zamannya, ada atau tidak orang disekitarnya. Tugas guru membekalinya dengan cara hidup sehat, kemapuan mengases ilmu pengetahuan, kemanpuan membaca dan menulis yang kuat, cara mengahadapi tantangan situasi masa depan, dan keyakinan terhadap kemampuan dirinya (self esteem) bahwa manusia memiliki potensi besar (from Teaching to learing).

§  Tumbuhkan kesadaran waktu dalam kehidupan dan managemennya, waktu lewat adalah masa lalu, waktu sekarang adalah kehidupannya, dan waktu yang akan datang adalah masa depannya. Berikan visi untuk menentukan masa depannya. Karena masa depannya adalah milik generasi muda. Terkadang orang tua menentukan masa depan anak seperti yang dikehendaki, sehingga terjadi gap antargenerasi. Jadi setiap generasi muda memerlukan kesadaran akan waktu (sejarah dan masa depan) dan kemampuan memanagemen waktu untuk bisa melakukan sesuatu sesuatu sesuai dengan “inkubasinya” masing-masing.

§   Kembangkan besar expectation (harapan) Generasi Muda, membutuhkan motimasi agar dapat menggugah harapannya yang tinggi, sehingga cita-citanya itu akan diisi dengan kemampuannya sendiri menggunakan seluruh potensinya. Bukan foto copy-an orang tua, setiap generasi, akan menorehkan prestasi pada zamannya.

§  Publik figur sebagai motivator dan kepemimpinannya yang visioner, dengan kata lain apa yang dilakukan seorang pemimpin bukanlah untuk kepentingan sesaat (lima tahunan), tetapi menghasilkan karya yang hasilnya baru akan dapat dinikmati di masa depan. Seperti rancangan penguatan bidang maritim oleh Jokwi-Jk dilaksanakan tahun 2014 mungkin baru dapat dinikmati oleh bangsa ini setelah minimal 5-10 tahun ke depan. Sungguh program yang sangat visioner di era kegaduhan politik di tanah air ini (Maryanto, 2009:7).

            Persyaratan pendidikan formal dan informal harus mengikuti antisipasi masa depan bangsa yang akan berhadapan dengan kualitas SDM bangsa asing yang akan memasuki kepulauan Indonesia di era globalisasi. Bangsa asing (western) dan negara tetangga yang ulet, disiplin, kerja keras adalah tantangan bangsa kita yang lemah karena dimanjakan oleh kekayaan alam dan budaya paternalistik (KKNC) yang mengantar terjadi penurunan kualitas anak bangsa secara segnifikan (Darmaningtyas et.al.,2014:19). Kelemahan generasi baru kita  yang diwarnai oleh budaya berutang dan menunggu alam mengahasikan sendiri tanpa dibudidayakan, sudah satnya melakukan revolusi mental, melalui aktualisasi nilai-nilai kepahlawanan dengan menumbuhkan “rasa jengah”, dengan prinsip “learning by doing”, menunjukkan ‘good practice”, belajar dan bekerja keras untuk menghasikan generasi muda kompetitif untuk mengatasi ketertinggalan dengan negara tetangga (cf. Ilahi, 2014).

4.      Dengan Lokal Genius Catur Guru Membentuk Bangsa Unggul.
            Sejak lama telah menjadi persoalan karakter bangsa Indonesia, menurunnya kualitas SDM-nya, dan nasionalismenya sebagai bangsa majemuk. Terjadi bentrokan berbau SARA, pembunuhan di luar prikemanusiaan (mutilasi), perang antar aliran agama, partisan partai, perkelahian di DPR dalam perebutan kursi pimpinan, tawuran pelajar dan mahasiswa. Semuanya ini sangat memprihatinkan dilihat dari kehidupan bangsa yang majemuk. Bhineka Tunggal Ikha hanya menjadi Motto hiasan kaki Burung Garuda Pancasila, tidak bermakna sama sekali, terkait dengan kebutuhan sesaat seperti seks, kekuasaan, jabatan dan kekayaan, bahkan rela mengorbankan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
            Manusia sebagai makluk simbolicum, makhlun educandum, homo sapiens, dan homo rational memiliki harapan besar dapat diadabkan memalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal. Pendidika formal di sekolah tidak bermakna sama sekali kalau tidak dibarengi dengan  good performance figur publik sebagai pendidikan nonformal yang ada di luar sistem sekolah (Illich, 2013:22; Widja, 2012). Keterbatasan waktu dan kefiguran di masyarakat menjadi faktor penentu dalam mengantarkan kesadaran berbangsa dan bernegara, khususnya dalam menyumbangkan kebaikan untuk kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Menurut Easton (1957:312) objek politik, nilai-nilai politik, dan sikap politik seorang figur harus dapat dijadikan panutan oleh masyarakat luas (Sirozi, 2005; Maliki, 2000).
            Nasionalisme kita yang dibangun dari sejarah kolonialisme di Indonesia, menjadi kabur setelah terjadi “pergaulan dunia” yang tidak memandang latar belakang negara tersebut sebagai penjajah atau yang dijajah. Rongrongan nasionalisme yang datang dari luar (globalisasi) dan dari dalam yaitu otonomi daerah (etnosentrime) yang tidak kita sadari telah  merongrong jiwa dan nilai-nilai nasionalisme bangsa (Smith, 2002:49). Dengan demikian nasionalisme sebagai ajaran kecintaan kepada bangsa dan negara (nation state) harus terus dibangun, dipelihara, dan disemaikan karena “perasaan senasib-sepenanggungan” berkembang karena dari semangat anti-kolonialisme. Kini kolonialisme bertransformasi mengubah diri dari langsung menjadi tidak langsung, dari penguasaan fisik menjadi penguasaan mental melalui IPTEKS dan sebagainya. Transformasi penjajahan politik (kekuasaan) menjadi penjajahan di bidang budaya, ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, tantangan baru kita adalah bagaimana mengantisipasi penjajah bentuk baru itu, maka pendidikan dan kerja keras adalah kata kunci suksesnya (Ilahi, BP Tanggal 10 November 2014, hal.4).
            Dengan kondisi bangsa seperti diuraikan di atas, maka dengan local genius catur guru yang ada di Bali dapat dijadikan vitaminnya: (1) pendidikan pada Generasi Muda dengan pengembangan potensi guru swadiyaya belajar sendiri dengan kekuatan sendiri. (2) Guru rupaka, keluarga harus melaksanakan pendidikan sesuai dengan tuntutan anak, jangan “ketidak baikan anak” dituduhkan pada guru pengajian, karena sebagian besar waktu anak ada di rumah. Didik anak untuk menjadi anak yang suputra, sempatkan waktu untuk berdialog dengan anak. (3) Guru pengajian, memberikan bimbingan dan tuntunan belajar dan mencari ilmu untuk antisipasi masa depannya, kembangkan potensi anak sesuai dengan minat dan kesenangannya, sehingga dia belajar tidak seperti di neraka, dijajah, dan dipasung tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi dan kesenangan dirinya. (4) Guru Wisesa cukup memberikan panutan sebagai publik figur, sederhana, visioner dalam memimpin. Kendalikan nafsu (jangan mengumbar nafsu), nafsu seks, kaya berlebihan, komsumeris, dan arogan. Memotivasi dan menghargai Generasi Muda berprestasi, beri peluang untuk menunjukkan kelebihannya, dan dorong dengan motivasi menuju masa depannya yang gemilang.
            Catur guru dalam menjalankan amanat UUD 1945 salah satu amanatnya “mencerdaskan kehidupan bangsa, menuju masyarakat adil dan makmur”,  semua harus memiliki kemampuan berpikir visioner, dalam mencerdaskan bangsa. Karena dengan pendidikan demikian akan tumbuh generasi muda yang cerdas, dengan kecerdasannya kemiskinan akan lebih mudah teratasi. Pendidikan sekarang sepertinya terfokus menyiapkan Pegawai/Buruh/ PNS, kurang mengembangkan prinsip sekolah INS Kayutanam  (Syafei) di Sumatra zaman penjajahan, yaitu “learning by doing” belajar sambil bekerja, sehingga produktivitas bangsa tidak ada yang sia-sia, tanpa menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri, keluarga, bangsa dan negara (Navis, 2000:379). Misalnya belajar “ngrakit komputer”, bikin meja, kosen, bengkel, masak, dsb. di sekolah SMK, dijadikan produk untuk dibayar oleh pengguna.
            Kegagalan Indonesia dalam mengimbangi kemajuan bangsa tetangga adalah Indonesia ada dalam kondisi “kemanjaan keluarga-nasional” karena tumbuh mentalitas “berger dan keju” yang dikembangkan pada generasi muda. Mengapa berger dan keju bukan tempe dan singkong, karena berger dan keju itu bermakna mewah,  “siap saji”, tapi memiliki sifat lembek dan datang dari pengaruh barat modernisasi (westernisasi), butuh filter. Kalau dalam relegi Hindu India dapat diakomudasikan dan ditansformasikan dengan kepercayaan lokal (Hindduisme) mengapa dalam budaya material tidak. Seharusnya jauh lebih dangkal dibandingkan nilai-nilai relegius itu sendiri. Di sinilah dibutuhkan cultural heroes untuk melakukan transfortasi budaya pada generasi muda. Bangsa yang berada dalam kemiskinan dan kebodohan sulit memulainya, bagaikan lingkaran setan (vicius circle), yang satu menyalahkan yang lain, yang tua menyalahkan generasi muda dan sebaliknya, agar dihentikan.

5.      Simpulan dan Saran  
            Aktualisasi nilai-nilai kepahlawanan di era globalisasi sangat penting dilakukan dalam usaha untuk merevolusi mental kita, karena dengan belajar dari sejarah atau mereflekasikan pengorbanan para pahlawan diharapkan anak bangsa (generasi muda) termotivasi untuk  mengembangkan potensinya secara maksimal, melalui belajar dan bekerja keras untuk melawan kemiskinan dan kebodohan.
            Generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa di masa depan, wajib untuk memahami peristiwa sejarah bangsanya (termasuk pahlawannya). Saya berharap pengorbanan (kepahlawanan) harus di mulai dari “dalam diri kita masing-masing baru keluar seperti lingkaran konsentris melebar”, dengan diinternalisasi dan enkulturasi nilai-nilai kepahlawanan, semangat belajar dan bekerja keras menjadi bagian dari kepribadian dan integritas kesehariannya.
            Bangsa/pemimpin yang besar adalah mereka yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai kepahlawanannya, dengan belajar dari sejarah kiprah para pahlawan dapat bertindak visioner dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari. Sumbangsih belajar dan kerja keras karakter pribadi-pribadi visioner ini akan mengantar massa depan bangsa jadi gemilang berdasar Pancasila dan UUD 1945.
            Saran saya, jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa akan memberikan banyak manfaat dan kearifan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Demikian juga dapat belajar dari maju-mundurnya peradaban yang telah dicapai oleh suatu bangsa, akan menjadi cambuk bagi kita untuk menorehkan prestasi sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Mari dari Margarana kita mengurai benang kusut bangsa, belajar dari pengorbanan jiwa dan raga pahlawan, memulai dari diri sendiri untuk kebaikan keluarga, negara dan bangsa multikultural.
            Melalui kesempatan yang sangat baik ini saya mengajak mari  revolusi mental kita untuk mengatasi kemiskinan dan kebodohan, melalui belajar dan bekerja keras dimulai dari diri sendiri dan keluarga kembangkan demi kemaslahatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas, et al.2014. Melawan Libralisme Pendidikan. Jakarta. Penerbit Madani.

Ilahi, Mohamad Takdir. 2014. “Revitalisasi Makna Kepahlawanan”, dalam Bali Post, Senen Pon, Tanggal 10 November 2014, hal.4.

Illich, Ivan. 2013. “Setelah Sekolah dibubarkan Lantas Mau Apa?, dalam Seri Wacana Pendidikan: Sekolah Dibubarkan Lantas Mau Apa?: Pro dan Kontra Terhadap Pandangan Ivan Illich, dkk. (IGN. Gatut Saksono, Penyadur). Yogyakarta: Penerbit Ampera Utama.

Maliki, Zainuddin. 2000. Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam Negara Transisi. Yogyakarta: Galang Press.

Maryanto, JP. Herman. 2009. Lima Penyakit Mematikan Profesi Guru: Refleksi Proses Pembelajaran. Jakarta: Sentrajaya Utama.

Navis, A.A. 2000. “Tiga Ragam Pendidikan Yang Dilupakan”, dalam 1000 Tahun Nusantara. Jakarta: Kompas.

Sirozi, M. 2005. Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelengaraan Pendidikan: Politik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Smith, Anthony D. 2002. Nasionalisme: Teori, Ideologi Sejarah. Frans Kowa (penerjemah). Surabaya: Erlangga.

Widja, I Gde. 2012. Pendidikan Sebagai Ideologi Budaya: Mengamati Permasalahan Pendidikan Melalui Pendekatan kajian Budaya. Denpasar: Penerbit Kabud Unud dan Penerbit Krishna Abadi.














Biodata Penulis:
            I Made Pageh adalah dosen di Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha, lahir di Desa Gunung kangin Baturiti Tabanan Bedugul. Pendidikan S-1 di FKIP Unud selesai tahun 1986, S-2 lulusan Sastra Sejarah UGM tahun 1998, dan kini (2012-kini) sedang mengikuti program S-3 di Kajian Budaya Unud. Pernah menjabat sebagai Kejur Pend. Sejarah 2 periode (1998-2002), PD III dua periode 2002-2010. Sebagai Ketua Masyarakat Sejarawan Cabang Singaraja dua periode, dn kini jadi anggota pimpinan pusat cabang Denpasar. Menulis beberapa buku ber ISSN: (1) Sejarah dan Kearifan Berbangsa dan Bernegara: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah (Kenangan Purna Bhakti Prof. Dr. I Gde Widja), tahun 2010; (2) Metodologi Sejarah dalam Perspektif Pendidikan, (tahun 2010); Pahlawan dan Perjuangan Sejarah Sekitar Proklamasi Kemerdekaan  NKRI: Konteks Lampah Mr. I Gusti Ketut Pudja, 1908-2010, tahun 2011; Model Integrasi Masyarakat Multietnik: Nyama Bali- Nyama Islam (Belajar dari Enclave Muslim di Bali), tahun 2014. Menyumbang beberapa artikel diterbitka dalam kumpulan karangan, (1) “Jasmerah “Puputan” Margarana: Menyoal Aktualisasi Nilai-nilai Sejarah di Era Globalisasi” (dalam  Anak Agung Gde Putra Agung: Sejarawan dan Budayawan Bali, tahun 2013); (2) “Pendidikan Multikultural Melalui RRI Singaraja” (dalam Merajut Asa di Rumah Rakyat, tahun 2013. Dan beberapa hasil penelitian yang belum diterbitkan. Kini sedang menggarap Disertasi dengan Judul “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”, dibawah Promotor Prof. Dr A.A Anom Kumbara, dan Kopromotor Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan S.U  dan Dr. Putu Sukardja, M.Si.;  dalam pernikahan lahir 3 orang Putri (dua dr. Umum) dan satu masih SD Klas 6.













                [1]MAKALAH ini telah disampaikan oleh Drs. I Made Pageh, M.Hum (sejarawan pendidik Undiksha), dalam “ Sosialisasi Nilai-nilai Kepahlawanan, dengan Tema kegiatan “Melalui Peringatan Puputan Margarana Kita Perkuat Jatidiri dan Karakter Bangsa’, dilaksanakan oleh Balai Kajian  Nilai-nilai Sejarah dan Tradisi Bali-Lombok-NTT dan NTB. Di Monumen Margarana, tanggal 19 November 2014. Dengan revisisi beberapa bagiannya kembali disampaikan di FIP TP 30 Desember 2014.