Senin, 16 Juli 2018

LANDASAN PENGEMBANGAN KEILMUAN DALAM PERSPEKTIF SOSIAL


LANDASAN PENGEMBANGAN KEILMUAN
DALAM PERSPEKTIF SOSIAL
1.  LANDASAN SOSIAL
Pembahasan ini berusaha untuk menampilkan diri sebagai kenyataan (par exellence) hidup sehari-hari sebagai yang tertib dan tertata, di sini sekarang dan nyata (realissimuni). Dalam menanggapi nyata, sekarang, di sini tentu memiliki ragam pandangan dalam masyarakat luas (Berger dan Lukcmann, 2012:32). Dunia kehidupan sehari-hari memiliki struktur, sosio-kultur,  ruang dan waktu. Dimensi sosio-kultural manusia ditata secara intrinsik dan memiliki kesadaran intersubjektif dalan interaksi sosial sehari-hari. Suatu pemahaman dalam interaksi akan menjadi  lebih baik, jika dibarengi dengan refleksi historis dalam interaksi sosial itu. Bersifat khas bagaikan bayangan dalam cermin, karena refleksi terkoneksi dalam aksi dan reaksi orang lain dalam pergaulan yang meruang dan mewaktu. Jadi pengetahuan kita terhadap orang lain (interkonektif) adalah sebagai refleksi (cermin) dalam relasi sosial kita dalam kontek waktu dan ruang itu (Sztompka, 2007:48).  Karena pemahaman itu terjadi sebagai refleksi interaksi selama pergaulan (perjumpaan), sesungguhnya bukan pemahaman orang lain (individu) seutuhnya, karena hanya tergambar dari interaksi dan informasi sepenggal-sepenggal saja.
Dalam memahami perubahan sosial yang terjadi di sekeliling kita, pengetahuan sosial dapat memberikan pemahaman kita lebih baik/dalam dari sekadar apa yang dilalui dalam perjumpaan di atas. Akal manusia dapat memformulasikan dengan menganalisis pengalaman dalam ideasional, interaksi sosial, fakta sosial, dan kritik sosial secara sistematis, dengan berbagai perspektif dalam paradigma (efistimologis) yang berkembang dalam ilmu sosial.
2. Kenyataan Sosial di Masyarakat
Ilmu Pengetahuan dan teknologi (sains) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penting membawa perubahan dan dampak dalam kehidupan manusia sehari-hari (Berger dan Luckmann, 2008). Inilah kenyataan sosial yang ditemukan dalam masyarakat kampus. Tekonogi sebagai produk ilmu pengetahuan menjadi faktor pengubah terbesar kehidupan manusia modern. Besarnya peran teknologi dalam masyarakat, bahkan dapat mengantar masyarakat menjadi nungkalik, yaitu teknologi yang diciptakan dalam mengatasi keterbatasan manusia, berubah menjadi manusia diciptakan oleh teknologi itu, manusia terjebak oleh ciptaannya. Terutama  pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informatika masalah jarak dan waktu dalam intetraksi dapat diatasi secara ektif dan efisien. Dengan demikian Ilmu Telekomunikasi berdampak luas terhadap pemahaman manusia mengenai realitas sosial dan dunia, jarak dan waktu. Perubahan ini membutuhkan perhatian khusus dalam dunia pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan  itu.  Bahwa dengan Hand Phone dan internet jarak, waktu, bahkan dunia dilipat dan dimasukkan ke saku. Inilah realitas yang kita hadapi, yaitu dunia berubah menjadi kampung global, berubah sangat cepat dan revolusioner (Piliang, 2010:37). Masyarakat tumbuh menjadi masyarakat jaringan dengan cyberspace menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, bahkan agama di masyarakat.
Kenyataan sosial terkadang wujudnya bersifat multirupa, kadang hadir dalam manusia sebagai dugaan, kadang juga tidak terduga. Kadang muncul seperti yang dibayangkan, tetapi di pihak lain hadir tidak seperti yang dibayangkan; kadang keberaturan tapi sering juga tampak dalam ketidakberaturan; kadang refleksi dari rasionalitas, kadang juga refleksi dari irasionalitas. Dengan demikian keberagaman pemahaman kita terhadap realitas ini perlu disadari keberagamannya. Keberagaman itu di dalamnya ditemukan berbagai bentuk, rupa, wajah seperti: keterputusan (discontinuity), keretakan (rupture), titik balik (reverse), ektrimitas, fatalitas, dan promiskuitas, penuh ketidakberaturan, ketidakterdugaan, ketidakpastian, dan keacakan. Inilah tantangan masa depan kita di era globalisasi yang penuh dengan teka-teki (complex pussle). Seperti dikonsepkan dalam geografi bahwa kehidupan manusia modern dewasa ini, kehidupan sosial kemasyarakatan ditemukan penuh: “retakan, celah, ceruk, letupan, reruntuhan, pecahan, kepingan, puing-puing, dan lain-lain. Bangunan sosial penuh dengan instabilitas, kontradiksi, dan interdepensi. Dengan demikian dalam membangun realitas sosial, dibutuhkan dekonstruksi, hibridasi dalam mengatasi anomali di bidang keilmuan. Dalam masyarakat ditemukan banyak persilangan, persimpangsiuran, tabrakan ,tumpang-tindih, berimpitan, campuran, hibridasi, hal ini membentuk topografi sosial yang serba tidak beraturan, diskontinuitas. Piliang menyebut realitas sosial itulah yang membentuk realitas dunia yang sangat kompleks era globalisasi ini (Piliang, 2010:xxviii).
Demikian kompleksnya kenyataan sosial itu, maka rumpun keilmuan itu merupakan usaha manusia dengan pengetahuannya untuk mengklasifikasikan atau menyederhanakan kompleksitas itu. Usaha itu juga tidak sepenuhnya berhasil, dengan demikian makna yang dapat dipahami bahwa tidak ada kebenaran tunggal yang dapat dijadikan acuan dalam memahami dan menjelaskan kompleksitas masalah sosio-kultural. Sedangkan dalam natural science hukum umum yang diciptakan, tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam memahami masalah sosial dan budaya (termasuk ilmu pengetahuan) di masyarakat.
Implikasinya betapapun sempurnanya dipandang pembentukan rumpun keilmuan itu (cf. Pasal 10 UU No.12 Tahun 2012), baik selanjutnya ada pohon keilmuan, cabang keilmuan, ranting keilmuan, dan sebagainya yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sosial di masyarakat, maka secara teoretis tidak akan dapat mengakomudasi secara sempurna apa yang dikembangkan oleh masyarakat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan di dunia modern itu. Bahkan kebenaran dalam masalah sosio-kultural lebih banyak wacana kebenaran lahirdari penguasa (mainstream).  Juga dapat dipahami pengembangan keahlian yang sangat kompleks menjadi sekitar 817 jenis (perumusan Dirjendikti, belum final), bahkan terus berkembang dan bertambah untuk menjawab kompleksitas persoalan dalam menghadapi masalah sosio-kultural dan pengembangan peradaban manusia era globalisasi ini (cf. Santoso, dkk., 2012).
Walaupun demikian kompleksitas itu harus diatasi, dengan penetapan pilihan (agar legitimit) sementara menunggu kesempurnaan itu didapatkan. Tugas IPTEK memang menyederhanakan dunia kompleks itu untuk dapat dipahami secara konseptual secara bersama-sama, seperti disebutkan di atas. Untuk itu butuh ditetapkan aturan berupa UU, Permen, SK Rektor, dan sebagainya. Sebagai masyarakat akademik, sesuatu yang dapat dijadikan pedoman harus berdasarkan naskah akademik (KK), sehingga tata aturan yang akan dipedomani, secara logika telah berazas akademik juga.
3. Beberapa Simpulan
Dari uraian di atas mengingat kompleksitas dan pluralitas kenyataan sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan IPTEK yang ada, maka ada beberapa rekomendasi pemikiran alternatif dilihat dari perspektif sosial-kultural:
a.       Bahwa tidak ada kebenaran tunggal dalam memahami keilmuan dan masyarakat, terutama karena wacana kebenaran lebih banyak dikonstruksi oleh penguasa. Sehingga dibutuhkan pemahaman dan kesadaran kritis dan multikultural dalam melihat perubahan yang multiarah dan multiperspektif dalam terwujud lembaga (Undiksha) yang unggul berdasarkah falsafah trihita karana di masa depan.
b.      Bahwa IPTEK, khususnya Teknologi Informatika menjadi faktor penting dalam mengubah sistem sosial masyarakat, sehingga perlu dijadikan perspektif dalam pembuatan naskah akademik (KK) ini.
c.       Bahwa dalam penerapan ilmu (rumpun Ilmu Terapan) di lembaga kita, sangat dibutuhkan pemikiran hibridasi dalam inovasi pendidikan dan pengajaran, pengembangan keilmuan, pengabdian pada masyarakat untuk menghasilkan bentuk baru dari persilangan itu (cf. Deleuze dan Felix Guattari, 2010).
d.      Bahwa perlu kesamaan pemahaman tentang Pendidikan sebagai Rumpun Ilmu Trapan (mayoritas di Undiksha), sedangkan Batang Keilmuan (Fakultas) dan Ranting Keilmuan (Jur-Prodi) dipahami dengan jelas interkoneksitasnya, sehingga pandangan masing-masing batang keilmuan itu, tetap berbasis pendidikan, sehingga visi Trihita Karana dapat diejawantahkan dalam pengembangannya ke depan (cf. UU No. 12 Tahun 2012).
e.       Visi masa depan terkait dengan dimensi sosial, bahwa lembaga, lulusan, steakeholder (masyarakat luas), menghadapi tantangan dan perubahan yang undifinate, penuh teka-teki, berubah secara cepat, sehingga gambaran ini perlu dipahami  dan diantisifasi secara bersama-sama.
f.       Bahwa ke depan SDM kita harus dibekali dengan pikiran, sikap, ketrampilan  yang berkesadaran kritis, antisipatif, inovatif, dan progresif visioner, diarahkan untuk mampu menghadapi persaingan global serta dampak yang dihasilkan oleh globalisasi dan IPTEK itu (Wineburg, 2006).  






DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Pengantar Frans M. Parera. Jakarta: LP3ES.
                            
Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media Group: Jakarta.

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post Metafisika. Jalasutra: Yogyakarta.

Santoso, Listiyono, dkk. 2012. Seri Pemikiran Tokoh: Efistimologi Kiri. Arruzz Media: Yogyakarta.

Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Masri Maris (penerjemah). Yayasan Obor: Jakarta.

Delauze, Gilles dan Felix Guattari. 2010. What is Philosophy? (Reinterpretasi Atas Filsafat, Sains, dan Seni. Muh. Indra Purnama (penerjemah). Jalasutra: Yogyakarta.



Minggu, 15 Juli 2018

FILSAFAT SEJARAH, ILMU SEJARAH, DAN PENDIDIKAN SEJARAH  KOMPONEN HOLISTIK WAJIB DIPAHAMI GURU SEJARAH




 Dr. I Made Pageh, M.Hum
Universitas Pendidikan Ganesha

I.       PENDAHULUAN  
Mengajarkan sejarah sebenarnya tidak cukup hanya hafal terhadap cerita sejarah yang ditulis oleh sejarawan profesional, tetapi membutuhkan pengetahuan ilmu sejarah, filsafat sejarah secara baik dan konprehensif. Agar sejarah tetap menjadi sebagai sekolah moral (Atmadja, 2010), atau sebagai bank menyimpan model of (aspek kognitif), atau model for (aspek evaluatif) kata  Kleden(1999), atau collective representation Sartono mengutif Dukheim (1987).   Karena super market disinyalir oleh Atmadja  menjadi tempat pendidikan moral di era globalisasi ini, karena sudah sebagian besar kebutuhan labido manusia disediakan di  Super Market awal abad XXI ini (2010:107).
Hendry Ford pernah berkata “sejarah adalah omong kosong”, tetapi Soekarno membantahnya, dan mengatakan sejarah memberikan banyak bahan, perspektif dan pelajaran penting dengan pidato Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Dua tokoh ini bermakna  memiliki pandangan berbeda terhadap pentingnya sejarah. Dari sini dapat dipahami bahwa cerita sejarah memiliki aksiologi berbeda, seperti disebutkan dalam Majalah Sintesa (1995) bahwa kategori sejarah dibagi menjadi tiga, yaitu sejarah kekuasaan, sejarah akademik, dan sejarah “apa adanya” (common sense). Pertama sejarah kekuasaan adalah sejarah yang telah diberi “makna” kepentingan kekuasaan. Kedua, sejarah direkonstruksi pemaknaannya melalui teori dan metodologi yang digunakan, sedangkan yang ketiga, sejarah yang bangunan kisahnya diserap dari tradisi dan diwariskan secara “apa adanya” given (Ananda, 1995:4). Sejarah kekuasaan dan sejarah akademik disebut sebagai sejarah uncommon sense, karena banyak kepentingan lebih cocok disebut “mithology’, dibandingkan dengan history. Berbagai tafsir miring terhadap sejarah kekuasaan terutama, bermunculan. Nampaknya hal ini sudah merupakan masalah klasik dalam sejarah.
Makna sejarah secara umum sering diuraikan orang dalam dua kategori, pertama dalam literatur klasik ditemukan kategori penekanan kajian: (1) penekanan pada teoretis yang menguraikan bahwa ada satu struktur makna yang terkandung dalam sejarah, yang dapat mengantar manusia menjadi manusia (memanusiakan manusia), dan (2) di lain pihak ada yang melihat secara moral bahwa perjalanan sejarah umat manusia yang mengarah pada sasaran melihat keburukan sejarah (Meyerhoff, 1959:292). Kedua, berbagai pendekatan dalam kajian sejarah, termasuk pendekatan filsafat sejarah (historiografinya penulis besar) mulai dari St. Agustinus hingga Hegel, mencoba memenuhi keduanya baik faktor kebajikan maupun faktor keburukannya, dengan berbagai cara yang ditempuh oleh pemikir sejarah untuk dapat menuliskannya secara objektif. Sampai abad ke-19 terus mengalami perubahan, bahkan sampai penghujung abad 21 ini, sikap terhadap sejarah ditemukan beberapa uraian: (a) pencarian suatu makna sejarah adalah suatu kesia-siaan, (b) bahwa penyakit manusia modern yang disebabkan oleh kegagalan dalam menemukan makna sejarah. Ada yang mengarahkan kembali ke makna teologi, etika, moral (modernisme) dan atau ada yang kembali ke pencarian makna kemanusiaan (kebebasan manusia posmodern), dengan mengubah standard kehidupan dari melihat secara simbolik kebesaran manusia bagikan pohon beringin, berubah menjadi masyarakat manusia ideal bagaikan rizhome, bersatu bagaikan padang rumput kuat di bawah, tidak ada yang mengungguli satu dengan yang lain.
            Sejarah secara umum dapat dibedakan sejarah sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi (‘res gestae’) dan sejarah sebagai cerita sejarah (rerum gestarum). Sebagai peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi peristiwanya hanya sekali jadi, setelah itu tidak pernah terulang lagi, dia ditelam Sang Kala, dan hanya meninggalkan jejak-jejaknya pada manusia berikutnya. Sedangkan sebagai sebuah cerita sejarah terus berkembang diceritakan berulang-ulang, terus diberikan makna baru sesuai dengan perkembangan zaman, peruntukan, dan ideologi yang melatarinya. Peranan penulis sejarah sangat penting, karena tanpanya cerita sejarah tidak pernah ada. Bagaikan karya sastra lainnya, seorang satrawan,memiliki peranan yang sangat penting, jika tidak ada sastrawan dan atau sejarawan maka cerita sejarah tidak akan pernah ada (Pageh, 2010).
Secara filosofis kritis dapat dipahami bahwa sebuah karya sejarah memiliki bias pribadi penulis (personal bias), bias kelompok (group prejudice), konflik-konflik teori dalam interpretasi sejarah (conflicting theories of historical interpretation), konflik filosofis, ideologis yang melatari penulis (Walsh, 1967:99-105).  Sejarah sarat aksiologi kekuasaan untuk melanggengkan status quo, kekuasaan, ideologi, ditentang keras oleh kelompok oposisi, menjadikan sejarah sebagai monument politik,  bahkan moral politik, oleh pendukung kekuasaan yang umumnya dilabeli dengan “nasionalisme”. Dengan demikian pendidikan sejarah, penulisan sejarah adalah sebuah pilihan seorang sejarawan (subjektif), mengenai topic (departemental), sudut pandang, ideologi, dan filsafat yang dikembangkan. Di sinilah ontologi, efistimologi dan aksiologi dari sejarah dapat ditemukan, karena paradigma dan metodologi penulisan sejarawan secara tersamar ada di baliknya (lihat Purwanto, 2005; dan 2006).
Kekuatan kritik sejarah yang digunakan dalam menulis atau membaca sebuah karya sejarah menjadi sangat penting untuk dapat menemukan makna otentik dari sebuah cerita tentang masa lalu yang tidak pernah dapat dihentikan dari absolutisme dari perjalanan sang waktu. Makin jauh Sang Kala meninggalkan sebuah generasi, makin sering generasi berganti, maka makin terbuka masalah subjektivitas itu terjadi. Sehingga otentisitas dari cerita sejarah itu dapat diduga makin menjauh pula. Tetapi roh penulisannya (zeitgeist-nya) atau alikan guminya makin mendekat dengan zaman penulisannya, karena ikatan budaya zaman (cultuur gebudenheid atau trand-nya) silih berganti, sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia itu. Oleh karena itu, penulisan cerita sejarah terus dilakukan oleh generasi belakangan, karena pemaknaannya berkembang terus, walaupun peristiwanya hanya terjadi sekali (enmalig) (Widja, 1989).
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan:
(1)          Bagaimana hakikat sejarah itu (problem filsafat)?
(2)          Bagaimana hubungannya dengan ilmu sejarah?
(3)          Bagaimana kedudukan filsafat sejarah, sejarah dan pendidikan sejarah?
Untuk menjawab persoalan ini (efistimologinya) digunakan prosedur kerja (1) pengumpulan sumber, pembacaan beberapa sumber tulisan, dokumen, jurnal dan karya ilmiah lainnya, (2) diklasifikasi dan dikritik sumber agar dapat memenuhi kredibelitas penulisan, (3) dilakukan interpretasi dan penulisan paper ini. Dengan demikian secara efistimologi dapat memenuhi standard karya ilmiah. Berpikir filosofis menggunakan filsafat kritis, spekulatif dengan mencoba memahami sejarah sebagai metahistori (dengan perenungan dan pemikiran mendalam dan menyeluruh).
Dengan demikian kajian ini akan berguna (aksiologis) untuk mewujudkan sejarah dan pendidikan sejarah dapat memberikan sumbangan pada manusia, sejarah history make man a wisetidak mengalami kematian, digantikan oleh super market (Atmadja, 2010), dan kolektivitas kita menjadi buyar, dan nasionalisme kita hanya tinggal sejarah saja. Tulisan ini ingin menunjukkan pilihan (pilihan rasional) bahwa manusia banyak dapat belajar dari sejarah, bahkan sejarah make a life tobe life, terutama dapat memahami hubungan dan kedudukan antara filsafat sejarah, sejarah dan pendidikan sejarah yang tidak dapat dilepaskan, kalau sejarah tidak mau kehilangan makna.

II.  PEMBAHASAN
             Pembahasan masalah di atas diawali dengan pembahasan karakteristik berpikir filsafat, kemudian dilanjutkan dengan pengertian filsafat sejarah. Permasalahan kedua diawali dengan menguraikan hakikat peristiwa sejarah, baik yang unik maupun yang bersifat massal, bahkan kemungkinan generalisasi terbatas dalam sejarah. Baru kemudian dihubungkan kedudukan filsafat sejarah, peristiwa sejarah, dan pendidikan sejarah. Sebagai aksiologi dari pentingnya sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dibahas beberapa persoalan mendasar terkait dengan pendidikan dan keraifan sejarah di dalamnya untuk dapat menunnjukan dan memberikan pilihan rasional pembaca untuk memilih sesuai dengan kepentingan dan rasionalitasnya.


2.1    Karakteristik Berpikir Filsafat
Kata filsafat yang merupakan kata bahasa Arab, berasal/bersumber dari bahasa Yunani, yaitu “philosophia” (philein = cinta; sophos = hikmat, kebijaksanaan). Jadi, secara etimologi filsafat menunjuk pada pengertian “cinta pada kebijaksanaan”. Secara lebih luas makna kata filsafat  adalah keinginan yang kuat untuk mencapai atau mewujudkan kebijaksanaan yang ada di dalamnya terkandung pengertian mendasar, yaitu hakikat kebenaran tentang sesuatu.
Hakikat pengertian filsafat ini (keinginan yang kuat untuk mengeti secara mendasar tentang sesuatu) sering dikaitkan dengan hakikat manusia sendiri yang sering disebut ‘makhluk berpikir’ (animal rationale). Sebagai makhluk istimewa dengan kemampuan pikiran yang dimilikinya itu, menyebabkan manusia selalu terdorong untuk tahu/mengerti tentang segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Keingintahuan yang kuat tersebut memang menjadi pendorong manusia untuk terus menerus bertanya tentang segala sesuatu itu sampai akhirnya ketemu pada satu hakikat tentang satu kebenaran (Suriasumantri,1999:19-20).
Dengan demikian sering dikatakan bahwa hakikat berpikir fisafati tersebut memiliki cirri-ciri seperti: (a) berpikir secara menyeluruh, maksudnya melihat sesuatu secara keseluruhan sehingga bisa dipahami satu pengertian yang utuh. (b) Berpikir secara mendasar, artinya berpikir menuju ke hakikat kebenaran sesuatu. Sehingga filosof tidak puas dengan jawaban dipermukaan saja dan harus tuntas, dalam arti tidak muncul pertanyyan lagi, atau dilain pihak juga berarti tidak habis-habisnya bertanya sampai adanya jawaban hakiki. (c) Berpikir sedalam-dalamnya,: artinya berpikir sampai ke luar batas-batas dunia empiris (yang ditangkap pacaindera); atau berpikir (lihat Suriasumantri,1999:20-22).
Oleh sifat-sifat berpikir filsafati seperti dikemukakan di atas, maka berpikir semacam itu lebih banyak mengandung unsur perenungan (reflektif) dan imajinatif. Ini sering diulas sebagai berpikir tentang pikiran (berpikir tingkat kedua) artinya, berpikir tingkat pertama menghasilkan pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan berpikir tingkat kedua menghasilkan hakikat pengetahuan tentang sesuatu itu dan inilah merupakan hasil berpikir filsafati.
Dari penegasan di atas ini terlihat hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat, yaitu ilmu hanya membatasi diri pada pengetahuan tentang fenomena (kenyataan empiris), sedang filsafat merupakan pengetahuan tentang noumena (kenyataan yang ada di metafisis); dengan demikian ilmu lebih membatasi diri dalam upaya menemukan kebenaran terjangkau oleh indera, tetapi filsafat bisa mengelana sampai ke dunia metafisis, kemana pikiran mau menjangkaunya. Namun, di antara ilmu dan filsafat ada saling keterkaitan, yaitu bahwa filsafat karena ketidakterbatasannya dalam pencarian kebenaran sering dianggap sebagai sumber pengembangan ilmu (mother of science).
Dengan kata lain berbagai cabang ilmu kita ketahui terkait dengan cabang filsafat tertentu dan selanjutnya sesuatu cabang ilmu itu diperdalam oleh pemikiran filsafati. Dengan kata lain filsafat sejarah yang intinya memperdalam pemikiran-pemikiran dari ilmu sejarah, ilmu sejarah mengambil pemikiran filosofis dalam pengembangan keilmuannya.

2.2 Pengertian Filsafat Sejarah
Meskipun konsep-konsep dasar pemikiran filsafat sejarah sudah berkembang sejak zaman Yunani-Romawi, namun istilah filsafat sejarah sendiri baru dikembangkan sekitar abad ke-18 di Eropa. Menurut Collingwood (1973:1-7) yang pertama-tama memunculkan istilah filsafat sejarah adalah Voltaire. Dia menekankan konsep filsafat sejarah sebagai filsafat sejarah kritis, untuk membedakannya dengan sejarah atau lebih tepatnya cerita-cerita yang termuat dalam buku klasik. Ini sejalan dengan semangat zaman pencerahan (Aufklarung) yang mengutamakan rasionalitas, memunculkan modernitas di dunia sekarang.
Istilah filsafat sejarah, kemudian digunakan pada akhir abad ke-18 oleh Hegel yang lebih mengartikannya sebagai World Universal History. Ini dimaksudkan sejarah yang bersifat menyeluruh dalam arti meliputi seluruh umat manusia, bukan menyangkut kelompok –kelompok tertentu saja. Tegasnya tentang gambaran kehidupan manusia di dunia sebagai keseluruhan, kemudian memperjuangkan masyarakat tanpa kelas (ideologi komunis).
Pengertian filsafat sejarah selanjutnya muncul abad ke-19, digunakan oleh kelompok positivis dengan tokohnya Auguste Comte. Mereka memaknainya sebagai upaya untuk menemukan general laws yang menguasai jalannya peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam hubungan ini, Comte bertolak dari anggapan bahwa sejarah harus disejajarkan dengan ilmu nomotetis yang tujuan utamanya adalah merumuskan hukum-hukum umum. Ini berbeda dengan anggapan-anggapan pemikiran sejarah yang bersifat ideografis yang tekanannya pada upaya memahami sejarah sebagai peristiwa unik (bersifat kondisional) (Widja, 1989).
Terlepas dari berbagai pandangan awal tentang filsafat sejarah itu, seperti ditegaskan Collingwood, filsafat sejarah kemudian lebih dilihat sebagai teori pengetahuan, yang intinya bukan sekadar pengetahuan tentang rangkaian peristiwa yang terjadi di waktu lampau, tetapi tentang hakikat peristiwa masa lampau yang bersifat menyeluruh mendasar dan mendalam. Dari perspektif ini yang menjadi perhatian utama adalah “makna dan tujuan dari keseluruhan proses sejarah”(Walsh, 1970:26), artinya terlepas dari banyaknya kekhususan yang ditampilkan sejarah, namun sangat penting diperhatikan bentuk-bentuk atau pola-pola umum dari proses sejarah sejarah itu. Pola-pola umum proses sejarah ini bisa dianggap menggambarkan overall plan yang di dalamnya mengandung hakikat kausalitas, hakikat kontinuitas  dan hakikat diskontinuitas fenomena sejarah dari zaman ke zaman yang membawa karakteristiknya sendiri sesuai dengan semangat zaman dan ikatan budaya zamannya (zeitgeist dan cultuurgebudenheid-nya)  (Kartodirdjo, 1990). Sebagai teori pengetahuan, filsafat sejarah juga di lain pihak memasalahkan sejauh mana kita dapat memperoleh pengetahuan yang benar mengenai masa lampau itu, dan bagaimana sifat pengetahuan tentang masa lampau tersebut (lihat Ankersmit,1987:1-75).

2.3 Peristiwa Sejarah Unik
   Sebelum kita membahas lebih jauh konsep-konsep serta substansi yang dikembangkan dalam filsafat sejarah ada baiknya kita melihat lebih dahulu membahas karakteristik (hakikat) dari peristiwa sejarah. Ini perlu dipahami unyuk dapat membedakan peristiwa sejarah dengan fenomena alam. Pertama peristiwa sejarah terakit dengan kehidupan manusia, sedangkan kedua (peristiwa alam terkait dengan benda-benda alam/fisik atau hewan, tumbuh-tumbuhan yang berbeda dengan manusia. Manusia memiliki jiwa/roh yang menyebabkan peristiwa atau tindakan manusia tidak sama dengan gejala alam dalam menghadapi situasi yang sama. Dengan kata lain, peristiwa/tindakan manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor eksternal tetapi juga ditentukan oleh faktor internal, yaitu unsur kejiwaannya yang terdiri dari pikiran, rasa, kesadaran, serta kemampuan lainnya (Gazalba, 1966:12-13).
Karakteristik seperti di atas ini memang berbeda dengan peristiwa alam yang menunjukkan sifat pasif atau sangat ditentukan oleh alam sekitarnya, dan karena itu pula bisa dikatakan tidak akan menghasilkan tindakan yang sama atas dasar sebab yang sama, karena ada faktor pikiran dalam diri manusia. Sebagai kelanjutannya maka pada peristiwa alam seperti ini akan mungkin dirumuskan pola-pola yang kokoh dari berlakunya hubungan sebab- akibat yang berlaku pada peristiwa alam. Sebaliknya pada peristiwa manusia perumusan pola-pola semacam itu dapat diduga akan mengalami kegagalan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apabila dengan filsafat sejarah kita maksudkan upaya untuk merumuskan pola-pola proses sejarah yang mengandung di dalamnya makna dan tujuan yang terlihat dalam keseluruhan jalannya sejarah, apakah hal ini dapat diwujudkan. Karena peristiwa sejarah tersebut bersifat unik, apakah masih relevan mengkaitkannya dengan filsafat sejarah, yang kita ketahui berusaha menemukan pola-pola/ kecenderungan dalam keseluruhan proses sejarah. Secara singakt dibahas berikut ini.

2.4  Peristiwa Sejarah Massal
Seperti telah dikemukakan di atas kekhasan dari peristiwa sejarah adalah sifat unik, karena bergantung pada tempat, waktu, dan situasi/kondisi tertentu yang terkait dengan unsur-unsur kejiwaan yang merupakan keistimewaan dari  manusia. Keadaan ini sering disebut asas “kondisionalitas” dari peristiwa sejarah yang menghalangi sifat perulangan dari peristiwa sejarah (Gazalba,1966:16-17; lihat pula Renier,1961:225). Sebagai konsekuensinya, seperti yang ditegaskan di atas, kelihatannya sulit untuk menemukan pola-pola/ umum dalam peristiwa sejarah seperti yang diinginkan terutama oleh filosof sejarah spekulatif.
Namun demikian, seperti dikemukakan oleh Robert V.Daniels, kalau sejumlah peristiwa sejarah diparalelkan/diperbandingkan kelihatannya nampak pula unsur-unsur kesejajarannya, di samping unsur kekhususannya (1981:97). Misalnya bila kita membandingkan berbagai peristiwa revolusi politik di berbagai daerah, maka di samping unsur-unsur kontekstualnya yang terkait dengan waktu, tempat, dan situasi yang melatarbelakangi peristiwa perang atau revolusi tersebut, terlihat pula unsur-unsur kesamaan (umum) yang dikandungnya. Sebagai contoh nyata bila kita bandingkan peristiwa revolusi politik dunia seperti Revolusi Prancis, Revolusi Amerika, Revolusi Rusia, dan bahkan Revolusi Indonesia, maka di samping kekhasannya masing-masing revolusi tersebut, maka bisa pula diambil beberapa unsur kesamaannya, seperti mengandung sifat penjungkirbalikan kekuasaan lama oleh kekuasaan baru secara cepat dan radikal (hukum revolusi). Unsur persamaan lainnya terlihat dari proses pematangan (necessary condition) terjadinya revolusi umumnya ditandai dengan terjadinya “deadlock” komunikasi antara kekuatan lama dengan kekuatan pembaharu (revolusioner). Unsur-unsur umum dalam peristiwa-peristiwa sejarah ini bukan hanya menyangkut perang atau revolusi tetapi juga menyangkut peristiwa-peristiwa penting lainnya, seperti perkembangan budaya, ekonomi, sosial,sistem politik dan lain-lain.
Namun, seperti ditegaskan oleh Nugroho Notosusanto, unsur-unsur umum dari peristiwa sejarah ini lebih disifatkan general tendencies, bukan hukum-hukum pasti seperti hukum natural science. Oleh karena itu, Nugroho lebih memilih istilah “kejadian massal” (mass occurrence) untuk menggambarkan kecenderungan umum tersebut, sebagai lawan dari unique event yang menjadi perhatian studi sejarah. Studi tentang kejadian massal ini sering disebut studi sejarah teoretis (cf.Notosusanto,1964:65). Sifat atau konsep kejadian massal seperti itulah yang menjadi dasar studi filsafat sejarah, terutama yang bersifat spekulatif yang berupaya mencapai suatu pengertian tentang jalannya sejarah secara keseluruhan seperti tampak pada karya-karya filosof terkenal Vico, Herder, Hegel, Toynbee, dan lain-lain (Walsh,1970).
Timbul pertanyaan kemudian, mana di antara kedua pandangan tersebut yang bisa dianggap lebih berdasar (benar) karena keduanya punya argumentasi masing-masing. Nugroho Notosusanto, yang mengutip hasil pengkajian dari “Social Science Research Council” di Amerika Serikat berkesimpulan : “boleh dikatakan semua sejarawan menggunakan generalisasi di dalam penulisannya, tetapi tingkatan penggunaannya tidak sama. Ada semacam spektrum mulai dari mazab unik sampai mazab peristiwa massal seperti dianut filosof sejarah” (Susanto,1979:6).
Lebih lanjut dapat dikategorikan bahwa ada semacam rentang anggapan para sejarawan dari: (1) yang sangat menekankan sifat unik peristiwa sejarah; (2) yang menggunakan generalisasi dengan sangat terbatas; (3) yang berusaha menemukan benang merah atau “trend” di dalam sejarah yang memungkinkan mereka membuat sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang saling berhubungan (interpretatif); (4) yang berusaha menemukan episode-episode yang menunjukkan keteraturan yang sejajar atau analog walaupun belum pasti punya hubungan kausal (komparatif); dan (5) yang berusaha merumuskan generalisasi-generalisasi dari peristiwa sejarah yang bahkan bisa dimanfaatkan untuk meramalkan peristiwa-peristiwa yang akan datang (nomotetis).
Di ujung rentang ini, yang sebenarnya memanfaatkan anggapan-anggapan kelompok nomor 3,4,5 yang mencari unsur-unsur umum dalam sejarah adalah para filosof sejarah; namun berbeda dengan para sejarawan, mereka ini (para filosof sejarah) memandang keumuman dalam peristiwa sejarah terutama dari sudut pandang metafisis untuk menghasilkan apa yang menjadi “makna dan tujuan keseluruhan proses sejarah” (the meaning and purpose of the whole historical process) (lihat Walsh, 1970:26).

2.5  Karakteristik Bidang Kajian Filsafat Sejarah, Ilmu Sejarah, dan Pendidikan Sejarah
            Dilihat dari batang tubuh keilmuan ketiga dimensi kajian sejarah ini memang bersumber dari bidang kajian yang berbeda. Filsafat sejarah seperti yang kita ketahui memang merupakan bagian/cabang khusus studi filsafat. Dengan demikian filsafat sejarah sebenarnya merupakan studi filsafati yang bersifat supraempiris (menerobos batas-batas dunia empiris/pengalaman) tentang peristiwa sejarah. Maka dari tiu, seperti yang telah diungkapkan dalam bab I, sifat metodologi kajiannya memang bersifat khusus, yaitu menyeluruh, mendalam, dan mendasar. Ini menyebabkan filsafat sejarah lebih memperhatikan gambaran peristiwa yang utuh/menyeluruh dari peristiwa kehidupan manusia baik dari fakta-fakta yang bisa ditangkap dengan pancaindera maupun yang hanya bisa direnungkan/diimajinasikan (maka dari objek studinya sering disebut noumena, lihat Ankersmith 1987: bab I dan bab II). Kecenderungan seperti ini menyebabkan para filosof sejarah tidak henti-hentinya mengajukan pertanyaan tentang gambaran peristiwa yang dihadapinya sampai akhirnya terjawab yang menjadi tujuan utamanya yaitu “makna dan tujuan yang ada di balik proses sejarah” (lihat Walsh,1970:26). Tujuan seperti ini tentu sulit dicapai apabila filosof hanya dibatasi pada fakta-fakta sejarah seperti yang bisa diungkapkan secara empiris oleh para ahli sejarah. Apalagi para ahli sejarah sering lebih tertarik pada fakta-fakta dari zaman-zaman (periode) tertentu saja atau dari wilayah yang terbatas. Jadi sejarah factual yang sifatnya sepotong-sepotong tidak menjadi perhatian filosof sejarah.
            Dari gambaran di atas sudah tergambar perbedaan studi filsafat sejarah dengan ilmu sejarah. Ilmu sejarah adalah satu disiplin keilmuan (biasanya dimasukkan dalam kelompok ilmu-ilmu humaniora) yang terutama mempelajari peristiwa masa lampau melalui jejak-jejak yang ditinggalkan oleh peristiwa sejarah tersebut. Untuk itu studi sejarah sebagai satu disiplin keilmuan telah mengembangkan perangkat metodologi seperti heuristic, kritik, interpretasi dan penulisan gambaran/cerita sejarah (lihat Widja,1988). Berbeda dengan filsafat sejarah studi sejarah terutama menaruh perhatian pada fakta-fakta yang terkait dengan dunia pengalaman (fenomena) kehidupan manusia diwaktu yang lewat. Dengan kata lain studi sejarah terutama ingin membangun gambaran kehidupan masa lampau berdasarkan fakta-fakta yang masih berada di dunia pengalaman tanpa berpretensi masuk jauh ke dunia supraempiris (di luar dunia empiris). Ahli sejarah juga biasanya tidak berupaya mengungkap hal-hal yang berada di balik dari peristiwa seperti menyangkut makna gerak sejarah seperti yang sangat diperhatikan para filosof sejarah. Maka dari tu untuk memudahkan mekanisme kerjanya para ahli sejarah sudah biasa membagi sejarah atas dasar periode-periode tertentu atau memfokuskan studinya atas dasar unit-unit sejarah tertentu seperti Sejarah Lokal, Sejarah Nasional ataupun Sejarah Global/Universal. Bahkan ahli sejarah juga sejak pertengahan abad 20 membuat focus yang lebih spesialistik dalam studinya seperti studi Sejarah Sosial, Sejarah Pedesaan, Sejarah Kota, dan lain-lain. Model sejarah yang terpecah-pecah ini justru dikritik oleh para filosof sejarah sebagai suatu yang tidak menggambarkan sejarah yang sebenarnya. Mengenai pendidikan sejarah (di sekolah), ini terutama menyangkut proses pendidikan/pembelajaran dengan memanfaatkan hasil kajian sejarah untuk mencapai tujuan pendidikan seperti yang biasanya tertuang dalam kurikulum sekolah. Dari sini bisa dipahami bahwa pendidikan sejarah pada dasarnya adalah bagian dari ilmu pendidikan yang terutama bertujuan menanamkan pada subjek didik hal-hal yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap/nilai-nilai tertentu seperti yang biasanya tertuang dalam peraturan perundang-undangan terutama yang terkenal dengan sistem pendidikan. Bila kita berbicara tentang pembelajaran sejarah ini berarti bahwa ada proses untuk menanamkan pada anak didik hal-hal yang menyangkut pengetahuan sejarah, keterampilan yang bersumber pada studi sejarah dan nilai-nilai serta sikap yang dijabarkan dari pengetahuan sejarah (lihat Widja,1989).
            Dengan demikian dari uraian di atas kita ketahui filsafat sejarah, ilmu sejarah dan pendidikan sejarah masing-masing merupakan bidang kajian yang berdiri sendiri dengan metodologi dan tujuannya sendiri-sendiri pula. Namun demikian ketiganya juga saling terkait seperti dibahas berikut ini.

2.6    Keterkaitan Filsafat Sejarah, Ilmu Sejarah, dan Pendidikan Sejarah
Di antara ketiga bidang kajian ini, satu hal sudah jelas, yaitu bahwa ketiganya menjadikan sejarah atau peristiwa masa lampau manusia sebagai fokus objek studinya. Lebih dari itu ketiganya pula saling terkait karena di antara ketiganya bisa dikatakan saling memerlukan untuk lebih memantapkan posisinya masing-masing (cf. Pageh, 2010).
Seperti telah dibahas di atas, filsafat sejarah, meskipun memiliki karakteristiknya sendiri, namun memerlukan ilmu sejarah untuk mewujudkan tujuan studinya, karena dibutuhkan pengetahuan awal dengan pengetahuan mendalam tentang fakta dan eristiwa sejarah. Jadi, agar filsafat sejarah mampu menemukan makna umum dan tujuan proses sejarah yang menjadi tujuan utamanya, membutuhkan dukungan fakta-fakta (metahistoris) yang kokoh terutama memanfaatkan hasil kerja para ahli sejarah.
 Sebaliknya, para ahli sejarah pada dasarnya memanfaatkan pemikiran filosof sejarah dalam karyanya, karena sebagai satu kajian keilmuan memerlukan landasan yang kokoh untuk menguji kebenaran fakta-fakta yang dihasilkannya, agar mampu memantapkan gambaran sejarah yang dibangunnya. Dasar-dasar untuk pengujian kebenaran fakta-fakta dan kemantapan cerita sejarah ini adalah terutama menjadi perhatian utama filosof sejarah.
            Secara khusus penting diperhatikan kaitan antara pendidikan sejarah dengan filsafat sejarah dengan ilmu sejarah. Sudah jelas bahwa dalam pendidikan sejarah apa yang telah dihasilkan oleh para ahli sejarah (baik berupa fakta maupun cerita sejarah) akan sangat diperlukan sebagai substansi/materi utama dalam kegiatan pembelajaran sejarah. Dengan kata lain, baik pengetahuan, nilai/sikap dan keterampilan yang ingin ditanam oleh guru sejarah pada anak didiknya adalah berupa fakta dan cerita yang dihasilkan para ahli sejarah. Tentu saja bahan-bahan ini perlu diolah oleh guru sejarah untuk disesuaikan dengan tujuan dan metode pembelajarannya dan juga tentunya sesuai dengan tingkatan sekolah tempat pelajaran sejarah dilangsungkan.
Di lain pihak pendidikan sejarah juga memerlukan dukungan filsafat sejarah karena melalui pendidikan sejarah juga ingin ditanamkan nilai-nilai dan sikap-sikap tertentu pada pesertadidik. Seperti kita ketahui, penanaman nilai yang bersumber dari kehidupan masa lampau dari suatu masyarakat biasanya sangat terkait dengan pengungkapan makna dan tujuan gerak sejarah dalam lingkungan masyarakat tersebut. Ini berarti, agar guru mampu menanamkan nilai-nilai yang dinginkan, maka dia harus mengambil dan menyeleksi dari berbagai pengungkapan makna sejarah yang telah dikembangkan oleh para ahli filsafat sejarah. Memang, seperti yang dikemukakan oleh Lee (1983) dalam tulisannya tentang “History Teaching and Philosophy of History”, banyak hal yang masih perlu diklarifikasikan tentang peranan filsafat sejarah dalam pembelajaran sejarah. Namun seperti yang ditegaskan oleh Burston (1963) dalam bukunya “Principles of History Teaching”, pembelajaran sejarah mestinya tidak hanya bersifat “rote learning” (hafalan fakta belaka). Pandangan ini sejalan dengan pandangan beberapa ahli Hirst (1965), Bruner (1960) yang menekankan pentingnya hal-hal yang bersifat struktural,  konseptual, serta kritis dalam pembelajaran sejarah (Hasan, 2010).
Semua tersebut di atas berarti perlunya guru sejarah memahami aspek-aspek yang lebih mendasar dan mendalam dalam sejarah, yang hanya dimungkinkan bila guru sejarah lebih memperhatikan proses sejarah secara lebih menyeluruh seperti dilakukan oleh filosof sejarah. Dengan kata lain, dalam pembaruan pembelajaran sejarah, guru diharapkan tidak hanya mengarahkan murid untuk menghafal fakta-fakta belaka yang sering dikritik menyebabkan murid tidak tertarik belajar sejarah, maka pemahaman yang lebih mendasar tentang peristiwa sejarah perlu diperkenalkan pada murid. Untuk itu para guru sejarah dalam kegiatan mengajarnya perlu mengajak murid untuk membahas konsep-konsep serta struktur peristiwa sejarah yang tentu saja harus disesuaikan dengan tingkatan usia siswa (lihat Widja,1991).

2.7    Can Be Learn To History (?)
            Secara aksiologis memberikan pembaca untuk menentukan   pilihannya sendiri, dibandingkan dengan menggurui jauh lebih bermakna dalam pembelajaran sejarah. Oleh karena itu untuk melihat apakah sejarah itu penting atau bukan, diberikan catatan akhir dalam tulisan ini, dengan mengajukan pertanyaan “dapatkah kita belajar dari sejarah?”, yang acapkali muncul di benak banyak orang, bahkan di kalangan sejarawan sendiri. Keingintahuan seperti itu muncul, karena seperti ditegaskan oleh kalangan sejarawan, bahwa peristiwa sejarah bersifat unik sekali jadi tidak dapat diulang kembali (einmalig)(Kartodirdjo,1992:153). Ankersmit mengatakan “untuk berguru, seyogyanya tidak mengikuti sejarawan, melainkan sebaiknya ngikut pada ilmuwan ocus (1987:375). Persoalan generalisasi dalam sejarah, seperti aksiologi ilmu- ilmu postivis, sejarah paling minim ocu menjadi perspektif dalam studi/pendidikan sejarah. Tegasnya meskipun banyak sejarawan menyatakan sejarah tidak mungkin membuat peramalan, seperti diungkapkan dalam kutipan berikut.
The knowledge, the detailed knowledge of the past cannot, of course, lead us, historians, to an infallible prediction of what will take place tomorrow on the day after, but it can and must serve to a better understanding of the present. And a good understanding of the present is one of the best guarantees of a wise treatment of this present with a view to the things which the future will bring us“( Renier, 1961:225).

            Dengan dasar perkiraan di atas ini, kiranya prinsip belajar dari masa lalu, bukan saja mungkin, tetapi malah dianggap suatu keharusan dalam menjadikan manusia lebih beradab tidak tertubruk pada tiang yang sama dua kali. Kajian sejarah  mengajarkan, bagaimana dalam krisis multidimensional harus bertindak, disebut dalam adegium historia magistra vitae’ sejarah bertindak sebagai guru dalam kehidupan” (Ankersmit, 1987:374-375). Pernyataan ini sejalan dengan anggapan Carr, bahwa sejarah pada hakikatnya “unending dialogue between the present and the past dialog berkelanjutan tanpa akhir sampai akhir zaman (Carr,1972:35).           Dari dialog semacam itulah muncul pemahaman aksiologis reflektif-inspiratif sejarah yang memungkinkan manusia belajar dari sejarah tentang berbagai pengalaman yang ocu dijadikan pedoman dalam menghadapi permasalahan masa kini dan masa depan, dan menyadarkan secara lebih mantap tetang hakikat jatidirinya sebagai makhluk menyejarah. Seperti yang diucapkan oleh sejarawan Inggris berikut.
Knowing yourself means knowing what you can do; and since nobody knows what he can do until he tries, the only clue to what man can do is what man has done. The value of history, then, is that it teaches us what man has done and then what man is (Collingwood, 1973:10 ).

Melalui makna sejarah seperti ini, dapat dipahami betapa strategisnya fungsi sejarah dalam menghadapi berbagai krisis dan permasalahan dalam kehidupan manusia, seperti yang pernah dinyatakan oleh A. L. Rowse : “ … the truth is that without the sense of history human life as we know it would unthinkable : history is as fundamental to our life as that. Dari berbagai pernyataan dalam kutipan di atas kita mendapat keyakinan tentang fungsi reflektif-inspiratif sejarah, dalam arti bahwa sejarah dapat memberikan kearifan serta kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa, baik secara sosial maupun politik, dengan Pancasila sebagai dasar filosofisnya (Sastrapratedja, 1998:68;Tjokrowinoto, 1998:37. Kearifan bangsa Indonesia secara bijak dapat mengambil nilai-nilai yang berkembang di nusantara, sebagaimana dikembangkan oleh pendahulu negara, hal ini mengingatkan pada ucapan Francis Bacon, “histories make man wise“ yang terkait dengan ungkapan orang Belanda, “a donkey does not twice hurt itself on the same stone” (Renier,1969:19; Cf. Santoso, 1993:16).
            Bertolak dari situasi ini, banyak pihak pula menjadi curiga terhadap berbagai ocusa mengkaitkan sejarah dengan proses reflektif-inspiratif yang memungkinkan manusia ocu mengambil kearifan dari padanya. Sejarah yang sering dianggap sebagai sumber moral precepts dicurigai, karena  mudah menjelma menjadi instrumental indoktrinasi untuk alat legitimasi ocusat kekuasaan (Oakeshott,1962:165). Demikian juga ungkapan sejarah sebagai penumbuh-kembang terhadap “understanding of the present and the future“ dengan terang- terangan dikritik habis oleh Elton, yang dikatakan tidak terbukti, sehingga komentar lanjutannya, “ … any use of the past try to throw light on the present is a cardinal error“ ( Elton, 1967:148).
            Pendidikan sejarah sekolahan di Amerika Serikat pernah muncul suasana yang sangat pesimistis terhadap dimensi reflektif histories. Hal ini terbukti dengan munculnya serangkaian artikel yang seperti tidak percaya lagi pada keberadaan pelajaran sejarah di sekolah. Beberapa artikel yang bermunculan di berbagai media menampilkan judul- judul seperti : “Why Study History ? “, atau “The Erosion of History “, “Clio at the Crossroads “, atau bahkan “The End of History “ (lihat Bain & Mirel, 1982 : 229). Malah ada judul yang tajam menyarankan “Let’s Abolish History Courses“, ini muncul dalam majalah pendidikan terkenal Phi Delta Kappan (lihat Wesley, 1967:3-8). Jadi ada jiwa zaman atau suasana Cliophobia di lingkungan pendidikan sejarah, dengan muara seperti yang dikatakan oleh seorang sejarawan terkenal, “I am very doubtful wether history teachs anyone anything“ (Pratt,1974:411 ). Atau seperti yang secara polos ditegaskan oleh Elton, “in the very real sense, history is not a good subject to teach children, or rather the real thing, academic history is the wrong thing for them “ ( Elton,1967: 146 ).
            Meskipun arus pemikiran seperti digambarkan di atas itu tidak benar- benar melenyapkan posisi reflektif-inspiratif historis di dunia pendidikan, namun sedikitnya cukup mengganggu eksistensi dari pendidikan sejarah. Karena di lain pihak pada hakikatnya banyak pihak yang tetap melihat bahwa dimensi kearifan dan kebajikan bermasyarakat dan bernegara banyak dapat diambil dari peristiwa sejarah (Siswomihardjo, 1998:3; Kartodirdjo, 1998:15). Khusus kasus di Indonesia, seperti berulang- ulang diingatkan oleh sejarawan kondang UGM Sartono Kartodirdjo, tentang arti penting sejarah bagi pembentukan jatidiri dan pembangunan kepribadian bangsa secara luas (lihat Kartodirjo:1990). Di sini posisi sejarah masih cukup dihargai, baik di kalangan sejarawan professional (peneliti). Naupun sejarawan pendidik (guru sejarah), meskipun terkadang muncul sorotan tajam tentang cara sejarawan pendidik dalam memetik pelajaran atau hikmah dari peristiwa sejarah, dianggap kurang kritis atau tidak mengikuti ocusativ kajian sejarah kritis, sehingga terkesan monetun dan membosankan dalam pembelajarannya di sekolah (lihat Abdullah, 1996; cf. Alfian, 1998:23).
            Bangsa kita tidak sukses dalam mengembangkan penulisan sejarah yang mengembangkan jiwa toleransi, terutama semangat menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan (as actuality) dalam kehidupan antaretnis (to life together), yang  ditampilkan dalam perjalanan sejarah, sebagai suatu kearifan yang memudahkan terwujudnya kehidupan berbangsa dengan motto “bhineka tunggal ika” itu, dengan semangat “manyama braya berdasar semangat salunglung sabayantaka”. Semangat seperti itu, nampaknya perlu ditampilkan kembali, terlihat banyak label baru diberikan seperti diistilahkan dengan pendidikan “multikulturalisme” sebagai suatu solusi ocusative dalam menghadapi krisis yang berkepanjangan. Sikap kritis, nampaknya masih dibutuhkan untuk melakukan dekonstruktif  sejarah yang adaptif dalam merespons tuntutan jiwa zaman (zeitgeist) dan ikatan budaya zaman (cultuurgebudenheid).
            Pemikiran di atas dan berbicara masalah membangkitkan jiwa yang cerdas menghadapi tuntutan zaman sebenarnya tidak lepas dengan proses pendidikan sejarah yang secara ideal semuanya menuju (bermuara) pada terbangunnnya sosok subjek didik yang cerdas dan kritis. Subjek didik yang cerdas dan kritis ini, tidak lain dari pada manusia yang memiliki karakter yang utuh antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan kenestetik, dan kecerdasan spiritual, untuk menghadapi berbagai fenomena kehidupannya. Ketidakmampuan dalam merespons berbagai kondisi lingkungannya, secara kritis, adaptif, luwes dalam menghadapi berbagai bentuk perubahan zaman, baik perubahan eksternal maupun internal. Bila hal ini kemudian dihubungkan dengan penanaman nilai-nilai sejarah sebagai salah satu fungsi pengajaran sejarah, maka hal-hal yang diharapkan, yaitu tumbuhnya jiwa bebas, kritis, adaptif yang diyakini ocu dikembangkan melalui berbagai strategi/metode pembelajaran sejarah. Dengan kata lain, pendidikan/pengajaran sejarah semestinya bebas dari sifat instrumental dalam pengembangan jiwa anak dalam mempelajari dan memahami sejarah bangsanya. Hanya dengan cara seperti itu para siswa mampu secara bebas dan kreatif memungut nilai-nilai (kecerdasan dan kearifan) terbaik dari sejarah, sebagai bekal bagi peserta didik berpartisipasi dalam ikut mengkontruksi sejarah bangsanya di masa depan, seperti yang kita diidam-idamkan, kinerja ideal seorang sejarawan pendidik (Hasan, 2010).
            Secara konseptual memang sejarah masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, namum dalam pendidikan sejarah dibutuhkan sinergi antara filosof sejarah, sejarawan profesional dan sejarawan pendidik untuk menhasilkan pendidikan sejarah yang bebas dari kepentingan penguasa, tapi berpihak pada kepentingan kehidupan bersama sebagai nation state dalam upaya pengembangan caracter building bangsa di Indonesia.

III.      PENUTUP
A.    Simpulan
Di lihat dariobjek kajian, metodologi dan tujuan yang ingin dicapai, filsafat sejarah, ilmu sejarah, dan pendidikan sejarah merupakan bidang kajian yang berdiri sendiri-sendiri. Namun demikian di antara ketiganya terlihat adanya saling keterkaitan, di samping karena sama-sama menjadikan peristiwa masa lampau sebagai substansi utama kajiannya, tetapi juga di antara ketiganya saling memerlukan untuk memantapkan bidang kajian masing-masing. Seperti ada hubungan hierarkhis antara filsafat sejarah (paradigma), ilmu sejarah (efistimologis) dan pendidikan sejarah (aksiologisnya).
Filsafat sejarah memerlukan hasil-hasil studi ilmu sejarah karena apapun yang menjadi tujuan akhir filsafat sejarah selalu harus diawali/bertolak dari fakta-fakta sejarah yang merupakan ocus utama kegiatan para ahli sejarah. Sebaliknya ilmu sejarah juga memerlukan dukungan filsafat sejarah karena untuk mewujudkan fakta sejarah yang benar dan kokoh diperlukan cara-cara pengujian kebenaran fakta sejarah (filsafat kritis) yang merupakan satu aspek yang didalami para filosof sejarah. Juga dalam mewujudkan gambaran/cerita sejarah yang mantap yang juga menjadi perhatian utama ilmu sejarah banyak memerlukan dukungan dari aspek lain dari filsafat sejarah, yaitu yang mencoba memahami kekuatan penggerak, pola, dan arah proses sejarah (filsafat sejarah spekulatif).
Secara khusus pendidikan sejarah juga sangat memerlukan baik ilmu sejarah maupun filsafat sejarah. Pendidikan/pembelajaran sejarah memerlukan ilmu sejarah karena bahan dasar (substansi/materi) pelajaran sejarah adalah fakta-fakta serta cerita sejarah yang dihasilkan oleh para ahli sejarah. Sedang pendidikan/pembelajara juga memerlukan dukungan para ahli filsafat sejarah terutama untuk menghindarkan karakteristik pelajaran sejarah yang hanya bertumpu pada pengajaran fakta sejarah belaka. Dalam rangka pembaharuan pembelajaran sejarah yang lebih menekankan pengajaran konsep ataupun struktur peristiwa sejarah, sumbangan dari kajian filsafat sejarah sangat diperlukan dalam membantu guru untuk menemukan struktur serta memilih konsep-konsep penting dari peristiwa sejarah (cf. Widja, 2002).
Dengan uraian di atas sejarah masih sangat dibutuhkan secara filosofis, konseptual dan pendidikan nilai keilmuan dan kemanusiaan oleh bangsa Indonesia dalam pembangunan karakter bangsa dan menjaga NKRI di era globalisasi.

B.     Saran-saran
1.      Disarankan pada pilosof (ahli pilsafat), sejarawan profesional (sastra sejarah) dan sejarawan pendidik (guru sejarah) melalui lembaganya untuk bahu membahu dalam membumikan hasil kajiannya ke dalam dunia pendidikan, sehingga pendidikan sejarah dapat memiliki penuh makna (meaningfull) dalam pendidikan sejarah.
2.      Disarankan agar terjadi sinergi antara filosof sejarah, sejarawan profesional dan sejarawan pendidik untuk mengembangkan materi pembelajaran sejarah dari seluruh tingkatan pendidikan. Secara konseptual memang sejarah masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, namum prakteknya di dunia pendidikan sejarah diharapkan tidak membosankan, tidak menjadi beban kurikulum, dan memiliki makna dalam kehidupan bersama.
3.      Disarankan agar dalam pendidikan sejarah (aksiologis) menggunakan pemikiran-pemikiran baru, dalam mengembangkan nasionalisme dengan kemasan baru teori posmodernisme dan posstrukturalisme, atau sejarah kritis, sehingga sejarah tidak menjadi instrumental dari penguasa, tetapi menjadi kepentingan hidup bersama (life together) dalam mengemban empat pilar kebangsaan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik. 1996. “Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif”, Artikel dalam Jurnal Sejarah No. 6 Februari 1996. Hal. 1-16.

Alfian, Teuku Ibrahim. 1998. “Nasionalisme dalam Perspektif Sejarah, dalam Jurnal Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis, dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.

Ananda, Yussac F. 1995. “Editorial: Mengukir Emas Dengan Sejarah”, dalam Majalah Sintesa, Mahasiswa UGM, hal.4.

Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat SejarahI. Dick Hartoko (penerjemah). Pt Gramedia: Jakarta.

Atmadja, Nengah Bawa. 2010. ”Sejarah Sebagai Sekolah Moral Versus Super Market Sekolah Adab XXI dan Memudarnya Kesejatian Hidup”, dalam I Made Pageh dan Nengah Bawa Atrmadja (ed.)Sejarah Kearifan Berbangsa: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah. Undiksha dan Pustaka Larasan: Denpasar.

Bain, Robert and Mirel, Jeffrey. 1982. “Re-inacting the Past: Using Collingwood at the Secondary Level”, dalam The History Teacher, Vol. XV,  No.3.

Bruner, J.1960. The Process Of Education. New York: Harvard University Press.

Burston, W.H. 1963. Principles of History Teaching. London Routledge & Kegan Paul.

Carr, E.H. 1972. What is History. Pinguin Books: Midlesex.

Collingwood, R.G.1973.The Idea of History. London: Oxford University Press.

Daniels, Robert V.1981.Studying History:How and Why. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Elton, G.R. 1967. The Practice of History. Sidney: The Fontana Library.

Gazalba, Sidi.1966.Pengantar Sejarah sebagai Ilmu. Jakarta: Bharatara.

Hasan,  Hamid, 2010.” Pembelajaran Sejarah yang Mencerdaskan: Mungkinkah?, dalam I Made Pageh dan Nengah Bawa Atrmadja (ed.)Sejarah Kearifan Berbangsa: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah. Undiksha dan Pustaka Larasan: Denpasar.

Hirst, P. 1965. ”Liberal Education and The Nature of Knowledge”, dalam Philosophical Analysis and Education (R.D. Archambault,ed.)

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. PT. Gramedia: Jakarta.

Kartodirdjo, Sartono. 1998. “Beberapa Dimensi Fenomena Nasional dan Negara Kebangsaan (Nation State), dalam Jurnal Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis, dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.

Lee, P.J. 1983. ”History Teaching and Philosophy of History”, dalam History and Theory: Studies in Philosophy of History, Vol.XXII, No.4.

Renier, G.J.1961.History: Its Purpose and Method. London: Goerge Allen & Union.

Meyerhhoff, Hans. 1967. The Philosophy of History in Our Time: An Antology. Doubleday Anchor Books: New York.

Notosusanto, Nugroho.1964.”Teori Sejarah”, artikel dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No.1, Jilid 2 (Februari).

Oakshott, M. 1962. Rationalism in Politics and Other Essays. London:Methuen.

Pageh, I Made. 2010. Buku Ajar:Filsafat Sejarah: dalam Perspektif Pendidikan. Undiksha: Sinagaraja.

Pageh, I Made. 2010. Respons Para Pemikir Pendidik: Sebuah Pengantar, dalam I Made Pageh dan Nengah Bawa Atrmadja (ed.)Sejarah Kearifan Berbangsa: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah. Undiksha dan Pustaka Larasan: Denpasar.

Poespowardojo, Soerjianto. 1999. “Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa Depan”, artikel dalam Jurnal SEJARAH, no: 8.

Pratt, David. 1974. The Function of Teaching History”, dalam The History Teacher, Vol. VII,  No.3.

Purwanto, Bambang & Asvi Varman Adam. 2005. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Santoso, Boedhi. 1993. Mengelola Masyarakat Multy-Etnik dalam Sebuah Negara Bangsa (Etat Nation), dalam Jurnal Kritis: Pluralisme di Penghujung Abad XX , No. 2 Th VIII. Desember 1993, Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga.z

Puwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Penerbit Ombak: Yogyakarta.

Sastraoratedja, M. 1998. “Pancasila Sebagai Etos Pembangunan Nasional”, dalam Jurnal Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis, dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.

Siswomihardjo, Koeto Wibisono, 1998. “Wawasan Kebangsaan dalam Era Reformasi, dalam Jurnal Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis, dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.

Suparlan, Parsudi. 2000. “Masyarakat Majemuk dan Perawatannya”, artikel dalam Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA, no: 63, tahun XXIV.

Suryasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 1998. “Nasionalisme dalam Perspektif Politik, dalam Jurnal Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis, dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.

Toynbee, 1988. Menyelamatkan Hari Depan Umat Manusia. Nin Bakdi Sumanto (penerjemah), University Press: Yogyakarta.

Toynbee, A.J. 1956. A Study of History (Abridgement of Vol. I – IV by D.C. Somervell). London: Oxford University Press.

Triyono, Lambang. 1996. “Globalisasi, Modernitas dan Krisis Negara Bangsa: Tantangan Integrasi Nasional dalam Konteks Globalisasi, artikel dalam ANALISIS CSIS, no: 2, tahun XXV.

Walsh, W.H. 1970. An Introduction to Philosophy of History. London : Hutchinson University Library.

Wesley, Edgar Bruce, 1967. “Lets Abolish History Courses” dalam Phi Delta Kappan, September.

Widja, I  Gde. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta.

Widja, I Gde. 1991. “Pendidikan Sejarah dan Tantangan Masa depan”, Pidato Pengukuhan Guru besar pada FKIP UNUD Singaraja.

Widja, I Gde.1988. Pengantar Ilmu Sejarah. Semarang: Satya Wacana.

Wijdja, I Gde.1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Dept. P&K.

Wikiepedia.org.com.  Tokoh  George Ritser .

Zaccaria, Michael A. 1978. “The Development of Historical Thinking: Implication for The Teaching of History”, Artikel dalam Jurnal THE HISTORY TEACHER, no: 3, vol. XI.