Senin, 29 Februari 2016

WAWASAN ADAT DAN BUDAYA AGAMA DI BALI

KONSTRUKSI KEBENARAN, IDEOLOGI, DAN KEPERCAYAAN DI BALI

1. Pengantar

Konsep budaya Rwabhineda yaitu hidup itu terjadi karena adanya keseimbangan secara harmonis dari dua buah hakikat yang bertentangan, yaitu unsur purusha dengan pradana. Baik buruk ditentungan dari ujung mana dua ujung yang bertentangan itu dilihat. Dengan kata lain, penilaian baik buruk sangat ditentukan oleh paradigma perangkat alat ukur yang digunakan. Jika perangkat dapat dibuat dari titik tengah yang tidak memihak, maka penilaian menghasilkan sebuah kehidupan yang harmonis. Budaya Bali memunculkan ketidaksetaraan sehingga terbangun paradigma ditentukan oleh yang menciptakan berdasarkan kepentingannya, yang kemudian dalam konstruksi kebenaran muncul dominasi gender (Maskulin), kekuasaan (power), pengetahuan (science). Secara genealogis, kalau digunakan kosep Foucaultan maka kekuasaan ada pada pusat-pusat secara tersebar dalam hal ini di Bali ada pada laki-laki, kekuasaan, pengentahuan. Pusat kekuasaan itulah di Bali mengkonstruksi kebenaran, termasuk dalam membangun konsep budaya Bali Jani

Tataran konsep ini saya coba untuk memahami masyarakat Bali Jani. Secara historis kosep budaya rwabhineda saya perkirakan dikembangkan oleh tokoh budaya agama Rsi Markandeya di Bali, tetapi di India setara dengan Dharsana yang dikembangkan oleh Aji Samkya. Rsi Markadeya yang juga terlahir di India, ke Bali harus dipahami dalam bentuk perjalanan ide yang berpengaruh secara ideologis ke Bali, sedang orangnya yang bernama Rsi Markandeya mungkin tidak pernah ke Bali dan termasuk ke Jawa.  Asumsi ini didasari oleh umur manusia sangat terbatas secara biologis, tetapi ide gagasannya tidak termakan oleh waktu, dan tak terbatas oleh spasial. 

2. Gender dengan Dominasi Purusha

Dominasi dan hegemoni laki-laki konsep budaya tercipta, dengan demikian perspektif yang digunakan dalam menilai kebenaran hakiki, harus dibongkar dulu dominasi dan hegemoni ideologi kelaki-lakiannya. Kemudian baru dicari titik tengahnya untuk melakukan penilaian (aksi), maka kehidupan akan menjadi harmonis secara konseptual. 
Contoh aksi mengapa di Bali Utara kawin nyentana, termasuk kawin pada gelahang tidak mungkin dapat dilakukan?".
Jawaban sementara saya, karena dominasi ideologi purusha tidak dapat disetarakan disubstitusi dengan ideologi pradana, seperti di Bali Selatan. Manusia laki-laki (purusha) tidak dapat diubah statusnya menjadi pradana dengan alasan apapun secara tradisional, silahkan penyimpangan dilakukan tetapi tidak boleh rohnya dimasukkan dalam mrajan purusha (klan laki-laki), dalam tradisi adat Bali Utara. Dengan penjelasan mengacaukan trah mrajan yang meminta. Termasuk kawin pada gelahang, yang seharusnya diselelsaikan dengan upacara ikutan yaitu "pemerasan", sehingga memasukkan kembali ke trah laku- atau perempuan orang yang kawin pada gelahang (bagi cucu sesungguhnya). Hal ini dapat dilakukan kalau memasukkan roh lain klan dimungkinkan dalam sebuah tradisi, seperti di Bali Selatan, bagaimana di Bali Utara? rasanya masih sangat ditentang, dan tidak dibolehkan. Jadi Bali Utara sangat panatik untuk itu, sebagai bukti Buleleng sesungguhnya sangat tertutup secara ideologis keperusaan. Hal ini dapat dijadikan renungan dan dasar paradigma dalam kajian untuk menanggapi pemikiran Prof. Dr. P. Windia dalam berbagai tulisannya dalam membahas hukum adat di Bali.

Demikian juga dalam berbagai aksi budaya di Bali terutama di Bali Utara, dalam pembagian waris, tanggung jawab, dan aksi budaya Bali lainnya yang sering dilaksanakan seolah-olah adil tetapi sesungguhnya sangat tidak adil dan tidak harmonis dalam kehidupan di Bali, karena didominasi oleh ideologi kelaki-lakian. 

3. Dominasi dan Hegemoni Kekuasaan

Kekuasaan ikut bermain dalam mengkostruksi kebenaran, sehingga kekuasaan misalnya kepala suku, raja dapat melakukan konstruksi kebenaran budaya yang ditemukan dalam masyarakat Bali. Misalnya dalam kultus roh leluhur muncul budaya penghormatan pada leluhur, seperti roh leluhur itu dipuja seperti Tuhan yang Maha Esa. Kemudia roh Raja dipuja sebagai dewa turun ke dunia, kemudian raja yang masih hidu dipuja seperti dewa di dunia ini. Perkembangan selanjutnya dikonstruksi roh raja menjadi dewa/bethara dalam aksi budaya pemujaan Barong Landung misalnya. Jadi esensi budaya Bali Jani banyak merupakan representasi kekuasaan dijadikan kebenaran diideologikan, dibudayakan dan bahkan menjadi keyakinan. Jadi kekuasaan bukan hanya sebagai pengkonstruksi kebenaran, ideologi, dan bahkan keyakinan di Bali.

Top kekuasaan yaitu raja diambil sebagai contoh, tetapi seperti yang diteorikan oleh Foucault bahwa kekuasaan itu menyebar, ada dimana-mana, oleh karena itu sumber kekuasaan dimanapun berada juga memiliki potensi untuk mngkonstruksi kebenaran, ideologi, dan bahkan keyakinan. Dalam tataran negara modern, klian dinas, prebekel, camat, bupati, wali kota, mentri, kepala kantor, polres, kodim, dekan, rektor dan kepala keluarga dan sebagainya yang menjadi terminal kekuasaan ada kemungkinan dapat mengkonstruksi kebenaran dalam beberapa kasus. Sehingga sering dalam pertarungan wacana dimenagkan oleh penguasa dalam ranahnya.  

Pada wacana tradisional kelian adat, dulun desa, mangku, balian dapat mengkonstruksi kebenaran, dan bahkan sering dijadikan dasar kepercayaan di Bali Jani

Berdasarkan gambaran di atas, dengan memahami pusat kekuasaan yang tersebar itu sebagai lokus untuk mengkonstruksi kebenaran, ideologi, dan keyakinan maka dari manapun kebenaran, ideologi, dan kepercayaan itu datang pantas untuk dikritisi untuk dibongkar secara kritis dengan melihat relasi kuasa, yang ada di dalamnya. Dengan demikian akan dapat dipahami bagaimana sebuah kebenaran itu memiliki kaitan atau relasi dengan kuasa secara genealogis. 

4. Dominasi dan Hegemoni Pengetahuan 

Pengetahuan adalah kekuasaan (science is a power) dalam sejarah orang suci di Bali sebagai cultural heroes dapat melakukan konstruksi kebenaran, ideologi, dan kepercayaan di Bali. Masyarakat tradisional di Bali dengan dominasi pengetahuan tenatng Wedha, Agama, Lontar, Tradisi, sehingga masyarakat \bali menjadikan kebiasaan bahwa sebuah kebenaran hanya dianggap syah kalau datang dari geria, atau keraton. Kekuasaan berkolaborasi dengan pengetahuan untuk melakukan legitimasi dan hegemoni kebenaran yang dikonstruksi. 

Uraian di atas dapat dibuktikan dalam kehidupan Bali Jani. Dominasi dan hegemoni dilakukan dengan mentradisikan bahwa kraton dan gria sebagai pusat kebenaran, dengan penyebutan 'Nak Lingsir" sebagai pembentuk kebenaran, mana boleh dan tidak boleh, baik dan buruk. Hubungan Guru-Sisya dalam penabean, panjak dan JABA berarti tinggal di luar gria dan kraton. 

Pelembagaan itu dimaksudkan untuk melakukan legitimasi kebenaran dari pusat kekuasaan, pusat pengetahuan untuk membentuk kebenaran, ideologi, dan kepercayaan dalam masyarakat tradisional Bali Jani

Dengan pengetahuan adalah kekuasaan di atas maka berdasarkan paradigma pengetahuan adalah kekuasaan, maka konsep kultus dewa raja diubah menjadi konsep kultus resi dewa dalam masyarakat Bali Jani. Mulanya kekuasaan sebagai dasar berubah menjadi pengetahuan sebagai dasar, dengan demikian legitimasinya adalah wedha dan lontar. Apakah benar begitu makna dan isi sastra, wedha, lontar dan sebagainya disebutkan sastra sebagai dasar. Sastra sebagai hasil berupa tulisa, perlu dipahami tulisan/sastranya dibuat oleh siapa, kapan, dimana, kondisi bagaimana, dalam pusat kekuasaan dimana dan sebagainya. 

Banten dan Ritual di Bali Jani sebagai contoh, dalam pengetahuan sejarah jelas dapat dipahami bahwa Agama Hindu di Bali sangat berbeda dengan Agama Hindu di India. Agama Hindu India pemujaan pada Dewa dan Tuhan (Brahman) jelas dapat ditemukan dalam Catur Wedha yang lahir di India. Sebagai Dewa Tolak Bala misalnya dipuja dan diajarkan adalah Dewa Ganesha dan Ang Hyang Kumara, dimitoskan sebagai anak  Dewa Ciwa. 

Agama Bali yaitu agama yang didasari oleh pemujaan terhadap roh leluhur beserta catur sanaknya. Esensi leluhurnya adalah Purusha dan Pradana, dipuja dalam bentuk Lingga-Yoni (Vallus dan Vagina), representasi dari Rwabhineda dari dua "barang ini secara skala terlahir manusia kasat mata. Ditingkatkan pemahamannya secara filosofis setelah datangnya Agama Hindu ke Bali menjadi Bapa Langit/Akasa dan Ibu Tanah/Pertiwi, yang mnghidupi/mensejahtrakan dan melindungi mansusia. Dalam merepresentasikan itulah dibuat persembahan, suguhan, banten untuk leluhur dan catur sanaknya itu, yang kemudian dengan ajaran "Brahman Atman Aekyam" Atman dan Brahman ditunggalkan, kemudian catur sanak didewakan menjadi dewa nyatur, diwarnakan, diberikan simbol senjata, swara, warna bunga, pancoarannya, telaganya, tirtanya dan sebagainya. Dengan demikian menjadi adat di Bali bercampur dengan Agama Hindu sehingga melebur menjadi satu adat-agama tak terpisahkan, bahkan mengaku tahu membedakannya saja tidak tahu, karena ritual dijelaskan dengan wedha, kalau dengan lontar wajar, karena pengetahuan yang dikonstrusi di Bali walaupun sering dibunbui dengan satra wedha dan sebagainya. 

Sanggah, pura, pengastulan, tajuk dicoba diindiakan, padahal di India tidak ditemukan sanggah, karena roh manusia demikian mati langsung dibakar, atau dianyutkan di Sungai Gangga untuk menuju alam baka. di rumah tidak ditemukan tempat khusus seperti Merajan di Bali, yang tertinggal paling foto dan sisa barang kenangan ketika dia masih hidup, tidak didewakan seperti di Bali. 

Oleh karena itu Agama Hindu di Bali, merupakan Agama Sekta Trimurti yang telah diciwasidantakan sarat dengan relasi pengetahuan "seolah-olah benar, tetapi salah dikonstruksi sebagai kebenaran menjadi ideologi, dan didogmakan menjadi keyakinan. Siapa melawan kebenaran yang telah dikonstruksi di Bali Jani disebut melawan agama Hindu dan merusak tradisi. Padahal perlu dikritisi bahwa Tradisi, Adat, dan Agama di Bali penuh dengan relasi kuasa, yang menguntungkan golongan dan kelompok terdekat dengan kekuasaan di masa lalu. Kekuasaan, dan prstise dilembagakan melalui sistem religi, ritual, ideologi Bali. dengan sakralisi harus dijaga agar tidak berubah Bali seperrt Bali di Masa lalu itu. 

Konflik kasta di masa lalu terjadi karena dominasi dan hegemoni kepentingan triwangsa di masa lalu dibongkar, ditelanjangi, dan dimodernkan. Hanya saja kekuasaan modern asing yaitu kolonialisme Belanda, memihak golongan tradisional dengan alasan agama Hindu sehingga dibela rakyat walau tidak menguntungkan demokratisasi masyarakat kebanyakan di Bali. 

Hal di atas berimplikasi di Bali Jani, sebagai etnis yang serba salah, melawan dominasi golongan triwangsa dengan ajaran Hindu India (Samradaya) dituduh merusak Bali, mengikuti apa yang ada di Bali, adat diagamakan, kesalahan dibenarkan dan sebagainya. Dengan demikian dibituhkan waktu panjang untuk membebaskan, mencerdaskan, dan mencerahkan etnis Bali dalam keberagamaannya di Bali, tetapi dalam keadatannya menjadi sangat mapan, melampaui keberagamaannya. 

5. Efilog
Berawal dari kemampuan memisahkan mana Agama Hindu (Ekspor ke Indonesia/Bali), dan mana Agama Melayu Austronesia yang berakar dari zaman megalithicum pemujaan roh leluhur dan catur sanak, orang Bali akan dapat memurnikan keyakinannya mana yang sedang dilakukan, diritualkan, mana Tuhan, Dewa (India) mana roh leluhur, catur sanak, sakti (Lokal Genius Bali), akan dapat mencerahkan dalam keberagaan di Bali. Demikian pula domonasi dan hegemoni kuasa, pengetahuan, dan legitimasi kebenarannya dapat dipahami. Semoga.