Jumat, 11 September 2015

Bali Utara zaman kolonial Belanda

Singapura II (Singaraja) Vs Singa Pura (Benteng Singa)

Kedatangan Belanda ke Bali Utara dilatari oleh persaingan dagang dengan Inggris, karena seringnya pedagang Inggris berlabuh di Pelabuhan Buleleng, maka mata-mata Belanda Ki Bagus Buang melaporkan kepada Belanda dan menjadikan belanda sesak nafas, karena sejarah perdangan Inggris di dunia selalu mencari daerah ujung benua yang potensial dilihat dari SDA dan SDM yang ada di hadapannya, seperti daerah sempait masuk ke terusan suez (Gibon), Madagaskar, Srilangka, Singapura, Brunai Darussalam, Fermosa (Hongkong), Malfinas (Folk Land), dan pulau-pulau kecil lainnya di dunia yang memiliki posisi strategis dalam perdagangan. Belanda belajar dari sejarah Inggris "khawatir Singaraja dijadikan Singapura ke-2", sehingga tergesa-gesa memindahkan pusat dagangnya di Kuta Badung ke Bali Utara.

Ketergesaan ini dapat dilihat dari tuduhan pemeintah Belanda terhadap raja Buleleng yang melanggar persetujuan persahabatan yang dibuat di tahun 1843, karena adanya penerapan 'Hak Tawan Karang' di Purancak Negara dan Sangsit Buleleng. Rekayasa ini dikhawatirkan dilakukan oleh Belanda sendiri untuk dapat segera dijadikan alasan untuk penundukan secara dominatif, karena jika tidak demikian seharusnya dapat dinegosiasikan penguasaan itu, tidah harus dengan Perang Puputan sampai dua kali, 1846 dan 1849. Kemudian segera Pabean Buleleng dijadikan pusat perdagangan Belanda di Bali Utara. 

Sampai awal abad XX terjadi perubahan cara pandang dalam mencari keuntungan di Bali, setelah dicoba membuat beberapa perkebunan oleh pihak Swastawan zaman itu gagal, terutama kebun kapok dan kelapa di daerah Sumberkima, Sendang pasir, Tegal Bunder, dan Manyupoh gagal. 

Munculnya konflik kasta di Bali Utara, masuknya pengaruh Modernisme ke Bali melalui elite terpelajar, munculnya Organisasi Suryakanta yang menggagas "Zaman Kemajuan/Modernisme dalam rumusan lain", dan  
adanya atmosfer Kebangkitan Nasional di jawa makin kuat, menjadi latar belakang perubahan kebijakan kolonial Belanda dari penguasaan atas tanah dan kebudayaan untuk mendapatkan keuntungan (asimilasi untuk substitusi peradaban dengan tujuan pengendalian), diubah dengan menetapkan Baliseering, yaitu memelihara ketradisionalan Bali seperti dikehendaki oleh golongan Triwangsa dalam konflik kasta itu. Sejak itu budaya Bali dipelihara untuk dijual ke pada Tamu Asing yang datang ke Bali (pariwisata eksotik). 

Pembangunan sarana dan prasaranapun menjadi disesuaikan dengan tujuan pariwisata, termasuk gagasn untuk melakukan Baliseering dalam dunia pendidikan (pengidiologian Baliseering). Sekolah menjadi agen Baliseering, Flieerhar adalah tokoh pendidikan yang menjadi Penilik Sekolah di Klungkung pertama-tama membawa gagasan Baliseering itu ke dalam dunia pendidikan. Sangat menarik dipahami gagasan Baliseering itu, proses, dan implikasinya di era globalisasi. Karena kita sering melihat prilaku bangsa kita dalam kehidupan pascakemerdekaan menjadi lebih belanda dari belanda. Mempersulit birokrasi, rekruitmen pegawai, sertifikasi guru, kelulusan dokter umum, sarjana tertentu, pendidikan kedinasan yang kalau dimaknai tidak jauh berbeda dengan pendidikan, dan birokrasi zaman kolonial. Birokrasi bukan digunakan untuk memperlancar dalam rasionalisme urusan negara, tetapi mlebih berfungsi sebagai pengendali kekuasaan seperti dikehendaki oleh penguasa (kolaborasi legislatif dan eksekutif), rekrutimen PNS misalnya berubah dari regenerasi menjadi komoditas yang diperdagangkan untuk memperkaya diri dari kong-kalikong yang memiliki kekuasaan. 

banyak persoalan menarik kemudian, sehingga modernisme, kapitalisme, dan revitalisasi primordialisme dan feodalisme gaya baru menjadi subur. 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda