Rabu, 27 Maret 2019

PERANG PUPUTAN JAGARAGA DALAM PERSPEKTIFBELA NEGARA



Oleh
Prof. Dr. I Made Pageh, M.Hum.

1.      Latar Belakang
Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban membela negara. Perspektif bela negara itu sangat luas, dari yang paling halus, hingga yang paling keras. Mulai dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata. Tercakup di dalamnya adalah bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Unsur Dasar Bela Negara : Cinta Tanah Air; Kesadaran Berbangsa & bernegara; Yakin akan Pancasila sebagai ideologi Negara; Rela berkorban untuk bangsa & Negara; Memiliki kemampuan awal bela negara. Contoh-Contoh Bela Negara: Melestarikan budaya; Belajar dengan rajin bagi para pelajar; Taat akan hukum dan aturan-aturan Negara; Mencintai produk-produk dalam negeri (Wikipedia, diunduh tanggal 15-12-2015).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara untuk memperingati berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dibentuk 19 Desember 1948, dengan presidennya Amir Syafrudin Prawira Negara. "Saya telah mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara," katanya di Pelabuhan Teluk Bungus Padang saat memperingati Hari Nusantara. Pada acara yang turut dihadiri ibu Ani Yudhoyono, Presiden menyatakan, pembentukan PDRI 1948 terpaksa dilakukan karena pemerintahan pada saat itu sudah tidak bisa melaksanakan tugasnya. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak bisa melaksanakan tugasnya karena desakan Belanda. www.depdagri.go.id 19/12
Perang Jagaraga merupakan Perang Puputan pertama dalam sejarah perlawanan menentang kolonialisme Belanda di Bali. Dominasi ini terjadi dalam rangka menguasai geopolitik dan geostrategis dalam mewujudkan politik Pax Neerlandica, atau dalam konteks persaingan imperialisme dan kapitalisme Belanda dengan Inggris. Pusat pedagangan Belanda di Kuta, setelah Jagaraga jatuh, dipindahkan secara administratif dari Kuta --melalui Mads Lange-- ke Bali Utara. Belanda melihat potensi ekonomi pantai Bali Utara jauh lebih baik dibandingkan dengan Bali Selatan. Daerahnya terbuka dan lebih menguntungkan dijadikan pusat politik dan perdagangan. Ambisi pemindahan pusat pemerintahan ke Bali Utara, di samping faktor geopolitik dan geostrategis tersebut di atas, juga terkait dengan persaingan dagang dengan penjajah Inggris (Parimartha, 2002; Pageh, 1998).
           “Mati ring rana nemu swarga“, menjadi dasar ideologis perang puputan di Bali. Perang Jagaraga memiliki kronologis latar belakang: (1) diawali dengan terdampar dan tergeledahnya dua kapal berbendera Belanda di Pantai Purancak dan Pantai Sangsit, dengan kejadian itu, maka (2) pemerintah  Belanda mengintimidasi akan menyerang raja Buleleng, karena melakukan pelanggaran kesepakatan tahun 1843, agar tidak memberlakukan “Hak Tawan Karang”. Dituntut (dapat diampuninya), (3) kalau mau nyerahkan Patih Jelantik sebagai ganti ruginya, menjadi tawanan politik Belanda. Menyerahkan Patih Jelantik menjadi persoalan bagi raja Buleleng, karena Patih Jelantik sangat karismatik, maka raja tidak kuasa menyerahkan Patih Jelantik, sehingga menyerahkan permasalahan itu keputusannya pada patih Buleleng ini. Tentu Jelantik dan laskarnya mengadakan perlawanan “bela diri dan bela Negara”. Negara dalam konteks ini adalah tanah kelahirannya, kerajaannya, rakyatnya yang kini mejadi bagian dari NKRI 17 Agustus 1945, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2.      Pertunjukan Drama Bela Negara Orang Bali.
Jagaraga merupakan wilayah NKRI yang berada Bali Utara di sebelah timur kota Singaraja. Dengan jarak tempuh sekitar 20 menit dari Singaraja.




Lokasi Jagaraga
 
peta pulau bali


Perang di Bali Utara merupakan pertunjukan dramatis pertemuan antara pasukan tradisional dengan senjata modern barat seperti: meriam, mortir, houwizer dan senapan api, melawan senjata tradisional seperti keris, tombak, panah, cuntrik, pedang, kelewang dan sumpitan yang diisi racun getah ancardi oleskan pada ujung anak panah dan sumpitnya. Namun di baliknya dipercayai memiliki kekuatan magis, sehingga keberaniannya dalam perang heroik itu, karena adanya kepercayaan terhadap kekuatan magisnya, di samping pilosofi dan keyakinan bahwa “mati ring rana swarga, artinya mati dalam perang menemukan surga. Inilah dasar patriotisme dalam perang-perang puputan di Bali, di samping faktor kepemimpinan karismatik yang taktis dan penuh perhitungan rasional yang ditunjukkan oleh Patih Jelantik. Di pihak lain, pasukan Belanda terdiri dari pasukan altereli, kavalri, genie serta staf administratif dan kesehatan. Belanda lebih banyak menggunakan tentara bayaran dalam perang Jagaraga. Sedangkan laskar Jagaraga terdiri dari gabungan beberapa laskar bantuan dari simpatisan kerajaan lain di Bali (Sastrodiwiryo,1994:104).
Perbandingan jenis senjata dalam perang di Buleleng (Gambar 01).
meram bld (2)P_20150313_105005 (2)
Gambar 01: Perbandingan Senjata Modern dengan Senjata Tradisional Bali.

Tawan Karang itu adalah hak adat yang sudah diwarisi turun temurun, dan siap membela warisan nenek moyangnya. Karena diketahui usaha kolonial untuk mempertahankan motif-motif ekonomi dengan mematikan hak-hak adat yang telah diwarisi menjadi milik rakyat pinggir pantai. Hak Tawan Karang sesungguhnya bukan hanya ditemukan di Bali, juga diberlakukan di kepulauan Tanimbar dan Kalimantan Tenggara, dengan demikian hak tawan karang adalah suatu lembaga adat yang mempunyai segi-segi religius dan ekonomis, maka dimaknai tidak dapat dihapus sepihak begitu saja.
Asisten residen Basuki Maijor langsung datang meratifikasi perjanjian penghapusan Hak Tawan Karang pada bulan Mei 1845. Namun ditolak oleh raja Buleleng, karena belum sempat koordinasi dengan Patih Jelantik. Penolakan ini menjadi penyebab Perang Buleleng. Tugas Maijor ke Bali menyampaikan ketentuan-ketentuan perjanjian dan ancaman jika tidak dipenuhi, seperti disebutkan oleh Soehartono, sebagai berikut.
Pertama, melaksanakan ketentuan perjanjian tahun 1843, bahwa raja Buleleng menjadi bagian dari Hindia Belanda. Kedua,Buleleng harus mengganti rugi kapal yang dirampas oleh penduduk Jembrana dan Sangsit. Ketiga, telah menghina utusan Belanda. Keempat, tidak menjawab surat Gubernur Jenderal. Kelima, tidak mengibarkan bendera Belanda (1973:212).
Tuntutan kolonial Belanda itu melanggar hak-hak kerajaan yang berdaulat, pemahaman perjanjian yang pernah dibuat tidak lebih sebagai sebuah perjanjian persahabatan, bukan perjanjian pengakuan hak politik mengendalikan kekuasaan raja dan adat tradisional yang telah dilaksanakan secara turun-temurun. Ketentuan di atas dianggap melanggar oleh sehingga ditolak I Gusti Ketut Jelantik, dengan menghina utusan Belanda dihadapan raja dan para punggawa yang hadir di kerajaan Klungkung, dengan kata-kata pedas dan penuh permusuhan, sebagai berikut:
Hai kau utusan anjing besar”, dan katanya lagi “sampaikan perkataanku pada pimpinanmu di Jawa dan suruh pula ia dengan lekas menyerang Bali Utara. Kerahkan anjing putihmu itu.” Jelaskan Buleleng tidak gentar melawan serdadu-serdadu Belanda. Selama itu Dewa Agung tidak berbicara sedikitpun karena gusar hatinya. Para punggawa kerajaan dan bangsawan tepekur mendengar kata-kata Gusti Ketut Jelantik itu (Soehartono, 1973:213).[1]
            Perundingan dilakukan dengan Raja Karangasem dan Raja Klungkung dengan mengirim I Gusti Ketut Jelantik sebagai utusan Raja Buleleng. Tepat jam 08.00 pagi tanggal 27 Juni 1846 akan habislah waktu 10 hari yang diberikan itu. Utusan Belanda ke Batavia dan Patih Jelantik ke Buleleng, sementara persiapan perang terus dilakukan. Daerah Jembrana dan Buleleng dipersiapkan dengan membangun kubu-kubu dan pagar-pagar bambu dan rintangan di daerah yang kemungkinan didarati Belanda. Daerah Buleleng terutama di daerah Kampung Bugis, dan Kampung Pacinan Kampung Tinggi, di sekitar Pelabuhan Buleleng, Pelabuhan Sangsit dibangun benteng-benteng pertahanan berupa galian tanah sebagai perlindungan dan tempat-tempat persembunyian dalam persiapan melawan pasukan Belanda yang sudah dibayangkan” menggunakan senjata-senjata modern. Laskar raja Karangasem, Mengwi dan Tabanan, bersedia membantu Buleleng, mereka bersama-sama membuat pertahanan untuk menghadapi serangan Belanda (Soehartono, 1973:214). Pasukan Buleleng yang terdiri dari orang-orang Bali, Melayu, Bugis, dan Cina bersatu melawan musuh. Menggunakan senjata tombak, keris, panah, sumpitan dan kelewang. Ada sekitar 2000 tombak dan keris. Tiang tombak menggunakan kayu Jabung panjangnya 3-5 m; sedangkan sumpitan panjangnya sekitar 2,5 m di bagian ujungnya diisi pisau kecil dan beracum. Dalam tulisan Soehartono (dalam Sartono Kartodirdjo) diuraikan Patih Jelantik adalah sangat ahli memanah, kebal, cerdas, dan karismatik. Busur panahnya memiliki panjang sekitar 1,6 m dan talinya menggunakan rotan, kulit kerbau dan kulit menjangan, anak panahnya diisi racun dari Getah Pohon Ancar, racun yang sangat mematikan.
Jumlah semuanya ada 70 orang perwira dan 1.753 serdadu. Mereka terdiri dari 400 orang Eropa, 700 bumi putra, 100 Afrika dan 582 orang budak dan prajurit pembantu.  Sedangkan Angkatan lautnya di bawah komando Schout Bij Nacht van den Broeke. Terdiri dari 5 buah kapal laut, 12 buah Kruisboot masing kapal membawa Kanon dan 6 buah Perahu Mayang. Devisi pendarat terdiri dari 600 orang pelaut di bawah Kapten Letnan A.J. de Smith van de Broeke, mereka membawa 34 pucuk senjata (Soehartono, 1973).

Namun karena persenjataan Belanda menggunakan senjata berat dan menghancurkan rumah-rumah penduduk, raja Buleleng  dan Patih I Gusti Ketut Jelantik bersama Brahmana Ida Bagus Tamu mengungsi ke Desa Jagaraga, ke benteng yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perang berlangsung selama tiga hari dari tanggal 27, 28, 29 Juni 1846. Dengan keberanian pasukan Buleleng sangat luar biasa, walaupun dalam perang itu Buleleng dapat ditundukkan, tetapi perlawanan belum selesai (Soehartono,1973:217). Kekalahan Puri Buleleng dalam Perang Buleleng tahun 1846 bukan berarti penyerahan kepada kolonialisme Belanda, karena kekuatan pasukan Buleleng dikonsentrasikan di Benteng Jagaraga.

3.      Perang Jagaraga I
Perjanjian Belanda yang sangat mengikat dilanggar oleh Karangasem dan Buleleng, sehingga Belanda merasa ditantang pada Tanggal 7 Maret 1848, Gubernur Jenderal Rochussen memerintahkan untuk menyerang Bali kedua kalinya. Diangkat Gubernur Jenderal diangkat J. van der Wijck sebagai panglima ekspedisi. Pada tanggal 8 Juni 1848 pasukan Belanda mendarat di Pantai Sangsit, langsung mengeluarkan ultimatum bahwa dalam 14 hari pasukan Buleleng, Karangasem dan Klungkung harus menyatakan diri menepati perjanjian tahun 1846. Permintaan yang paling menghina adalah raja Buleleng harus menyerahkan I Gusti Ketut Jelantik akan dikenakan hukuman politik. Kapal-kapal penduduk dirampas dan benteng-benteng harus dibongkar. Dalam ekspedisi itu Belanda menggunakan kekuatan penuh, karena tidak mau mengulang kekalahan dalam ekspedisi kedua ini, dikenal dengan Perang Jagaraga I tahun 1848.
Pasukannya diikuti oleh komisaris Letnan Kolonel A.H.W. de Kock dan ajudan J. Van der Capellen beserta stafnya 10 perwira tinggi, puluhan staf kesehatan dan administrasi. Belanda menggunakan kekuatan penuh dalam menyerang Jagaraga. Pertempuran sudah terjadi di daerah Bungkulan, karena laskar Bali mengadakan pengintaian menggunakan rmuah-rumah penduduk, parit dan pematang sawah yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Van der Wick juga memerintahkan mengadakan pengintaian, tanggal 6 Juni 1848 itu pasukan Belanda berada di depan Pura Sangsit dan Bungkulan. Di medan perang Bungkulan berhadapan laskar Bali dengan kolone I dan III yang membawa senjata berat, terus menghalau pejuang Bali ke selatan memasuki daerah bebukitan gersang, terjal penuh gundukan dan pohon kaktus. Kolone IV dari sebelah kiri, sedang kolone II belum keluar dari perlindungannya.
Pasukan Jagaraga bertahan di pematang persawahan, sedangkan pasukan Alteleri Belanda terhalang oleh gundukan sawah yang tinggi, sehingga sulit memasuki daerah pedalaman. Pertempuaran di Bungkulan Belanda dapat menduduki Pura di Bungkulan, namun terjadi korban jiwa yang menewaskan Letda Infantri J.M.M Wichers dan 7 serdadu, seorang perwira, dan 7 anak buahnya luka-luka. Pasukan Belanda terus mendekat ke Jagaraga dengan medan yang makin terjal dan persawahan luas, dengan sungai di kanan dan kirinya.
Pada Jagaraga jarak sekitar 600 meter, kelihatan dua benteng besar yaitu benteng II dan IV berupa benteng tertutup. Benteng IV dekat dengan Tukad Sangsit yang dilengkapi dengan Meriam. Sedangkan benteng II berbentuk persegi empat. Tiap benteng itu berpagar bambu dan kayu, dengan tinggi dinding tiga meter dengan ketebalan dua meter. Parit-parit dibuat mengelilingi benteng dengan kedalaman 8 m  dan lebarnya 3 m. Jalan-jalan dirintangi dengan bambu dan pohon dadap berduri, dan tiap  benteng dihubungkan dengan parit-parit yang dipasangi bambu runcing, dan “sungga” pecahan bambu tajam kecil-kecil. Di persimpangan jalan ada benteng pertahanan, dengan sisinya sekitar 50 kaki, tinggi 5 kaki dan tebalnya 3 kaki, pertahanan ini berhadapan dengan Sungai Bungkulan yang sangat dalam di timurnya. Tidak jauh dari benteng itu terdapat Pura Dalem Jagaraga dikelilingi oleh Penyengker dari paras yang kuat, terletak sekitar 80 langkah disebelah Barat Benteng II. Di depan Pura Dalem ada pos penjagaan tempat mengintai pasukan Belanda yang datang dari Utara. Pertempuran di benteng II, Belanda dibuat kocar-kacir sehingga Kapten Maanen dibantu oleh Kapten Kallerman, terpaksa menghujankan mortir sehingga memaksa pasukan Bali masuk ke benteng pertahanannya. Perang hebat terjadi, mengorbankan sekitar 60 laskar Bali dalam mempertahankan Benteng Jagaraga. Pasukan Belanda merasa kawalahan melawan laskar Bali. Pasukan terlatih pun mengalami kepanikan dalam menghadapi serangan-serangan mendadak pasukan Jagaraga. Karena benteng pertahanannya tidak diketahui secara pasti, dan membingungkan pasukan Belanda. Van Sweiten berusaha menghancurkan benteng IV, perkelahian seperti perang tanding antar  geng terjadi dimana-mana, sehingga akhirnya Mayor Vos memerintahkan untuk mundur, untuk menghindari korban nyawa lebih banyak. Dalam pertempuran itu pihak Belanda terhitung menjadi korban: (1) tewasnya Kapten Donleben, (2) Letnan Uhlenbeck dan (3) 74 serdadu. Dan korban luka sebanyak 7 orang perwira dan 98 serdadu. Pasukan Kavaleri kehilangan 7 kuda dan ratusan kuli-kuli dalam perang itu. Jendral van der Wijck menarik seluruh kolone mereka tanggal 20 Juni 1848 menuju Bungkulan dan Pelabuhan Sangsit (cf.Soehartono, 1973; Weitzel, 1859).
Hasil Perang Jagaraga tahun 1848 laskar Buleleng dapat mengusir pasukan Belanda dari Jagaraga, dengan demikian dapat dikatakan pertempuran itu dapat dimenangkan oleh pasukan Buleleng yang terdiri dari pasukan Buleleng, Karangasem, Klungkung yang diperkirakan berjumlah 7000-8000 prajurit, yang sangat jauh besarnya dari perkiraan Belanda semula. Demikian juga Benteng Jagaraga tidak terbayangkan sebelumnya, sehingga taktik perang modernnya yang diterapkan Belanda sama sekali tidak dapat mengatasi serbuan laskar Bali di daerah Jagaraga. Kegagalan Belanda kali pertama itu, tidak menyurutkan kehendaknya untuk menundukkan Bali, sehingga mereka merencanakan serangan kedua dengan persiapan satu tahun mempersiapkan dengan berbekal pengalaman kekalahannya dalam perang tahun 1948.

4.      Puputan Jagaraga
Perang Jagaraga tahun 1849 lebih hebat dari perang tahun 1948. Belanda berdasarkan pengalaman perang sebelumnya, mempersiapkan pasukan khusus untuk menghadapi pasukan Jagaraga. Persatuan raja-raja Bali sangat baik dalam Perang Jagaraga tahun 1848, mulai mengendor dalam Perang Jagaraga tahun 1849. Alam pun tidak bersahabat, ketika sedang berlangsungnya perang kedua ini, terjadi hujam yang sangat lebat, sehingga hampir semua parit dan benteng tergenangi air, seperti kubangan. Perang ini masih memiliki 4 benteng pertahanan yang dihubungkan oleh lorong dari benteng ke benteng (Bentang I-II-III). Pada benteng terakhir (benteng IV) airnya dialirkan ke Tukad Sangsit. Bambu-bambu dipasang miring untuk menahan tembakan meriam dan granat Belanda. Dalam pertempuran ini kekuatan I Gusti Ketut Jelantik terdiri dari: (1) laskar dari Buleleng, (2) Klungkung, (3) dan Karangasem, berjumlah sekitar 1.500-2.000 orang bersenjata senjata tradisional seperti: keris, tombak, panah, kelewang, bambu runcing, dan sebagainya. Juga digunakan beberapa senjata modern hasil pampasan perang Jagaraga tahun 1848 yang ditinggalkan pemiliknya karena terbunuh, atau lari menyelamatkan diri. Kemudian dimodifikasi disesuaikan dengan kemampuan lokal agar dapat dimanfaatkan.
Ekspedisi kedua Belanda ke Jagaraga melibatkan jenderal dan pasukan sangat besar, dapat dibaca dalam buku De Derde Militaire Expeditie Naar Het Bali Eiland Bali in 1849 (Met Drie Kaarten door den Kapitein A.W.P Wietzel, 1850). Ekspedisi Belanda ke dua ini diikuti oleh para senior tentara Belanda, dipimpin oleh Mayjen. A.V. Michiels, dibantu oleh tiga ajudan: (1) W.A.C Ardesch pimpinan Inf. (2) Kepala Staf Letnan Kolonel C.A. de Brauw; (3) Wakil kepala staf Kapten Alteleri S. von Stampa; (4) Kapten Infantri H.C. Staring, (5) J. Vertholen, (6) dan T. van Capellen, (7) beserta, turut juga Auditur Militer Haastert. Dengan kekuatan 4 batalion. Batalion I Inf., dipimpin oleh Kapten G.B Beekinf, dan III batalion inf., dipimpin oleh kolonel T. Polan, dengan bawahannya pangkat Mayor dan puluhan Pangkat Kapten, beserta pasukannya yang memiliki disiplin militer modern.
Pasukan Belanda mendarat tanggal 28 Maret 1849 di Pelabuhan Sangsit, utusan patih Jelantik pada Michiels dikirim untuk kesediaannya melakukan perundingan (tanggal 7 April 1849), tawaran itu diterima oleh kolonial Belanda, tetapi karena Patih Jelantik membawa 1500 pasukan untuk menghindari penangkapan, ditolak karena dianggap demonstrasi dan pamer kekuatan terhadap Belanda.
Sejak penolakan itu Benteng Jagaraga sudah siap-siap untuk berperang. Telah terkumpul sekitar 12.000 pasukan bersenjata. Raja Buleleng dan Karangasem sesungguhnya telah menerima apa yang disepakati bertiga. Namun Michiels bersikeras menuntut perjanjian tahun sebelumnya, agar dipatuhi, sehingga perang tidak dapat dihindari.
Perang puputan terjadi dipimpin oleh Jro Jempiring, ketika itu pimpinan perang Patih Jelantik ikut lari ke Karangasem. Jro Jempiring dengan keberaniannya mengambil alih pimpinan pasukan Jagaraga dengan memekikkan ‘Perang Puputan’, sehingga perang dilanjutkan yang menelan korban tidak sedikit. Berujung pada kekalahan Gusti Ketut Jelantik, karena meninggalkan pasukannya ikut pasukan kerajaan Karangasem. Sejak itu Jelantik juga disebut Jlantik Gingsir  karena bertempat tinggal selalu bergerak dan berpindah untuk menghindari sergapan kolonial dan kerajaan Karangasem (Widja, 1984). Jero Jempiring adalah anak dari Ida Mpu Pande Nyoman Gempol pahlawan yang dibuang ke Padang tahun 1858 bersama dengan Raja Jlantik dari Puri Buleleng; Jro Jempiring bersaudara putri Jero Ratna istri Pungagawa Panji bernama I Gusti Ngurah Raka, mempunyai putra Pahlawan Nasional Mr. I Gusti Ketut Pudja (pahlawan Nasional tahun 2011); dan Jero Banjar istri dari Oda Made Rai, pahlwan banjar dalam Prang Banjar tahun 1868, semuanya menjadi anti Belanda dan mengobarkan semangat perjuangan melawn kolonial Belanda. Sedanhkan Nyoman Gempol adalah keturunan Pande bernama Kedosot dan Kedumpyung yang menjadi penjaga Gajah di Banjar Jawa dekat kubur Islam pertama di Banjar Jawa, terutama bertugas untuk menjaga taksu Keris Ki Baru Semang yang diyakini sangat bertuah dalam mitologi di Bali Utara.  
Dampak psikologis peristiwa perang Jagaraga sangat besar pada pasukan Belanda, dua puluh tahun setelah Perang Jagaraga yaitu setahun setelah Perang Banjar tahun 1869 Belanda membuat “Monumen Bali” di Surabaya, tepatnya tanggal 4 September 1869. Pendirian monumen Perang Bali 1849 ini, tidak dapat dilepaskan dari Perang Banjar Buleleng yang terjadi pada tahun 1868, mengorbankan petinggi-petinggi tentara Belanda, seperti sejarawan Unud I Wayan Tagel Edy (1984:125) menyebutkan: Kebesaran Perang Banjar tidak dapat diabaikan dalam konteks kekuasaan Belanda di Bali Utara. Dapat dibuktikan dengan terbunuhnya perwira Belanda Mayor C. Beerns, Kapten Stegman, Letnat Bode, Kapten de Nijs, Ajuan Hafely, beserta dua puluh opsirnya dalam perang itu.

5.      Simpulan dan Saran
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa laskar Perang Puputan Jagaraga mempertun jukkan drama heroisme dalam membela Negara (kerajaan Buleleng) dari dominasi kolonial Belanda yang mencari-cari alasan untuk menjadikan Bali Utara (Singaraja) sebagai kota dagang dalam pertengahan abad ke-19. Bali Utara merupakan daerah pertama-tama dijadikan objek kolonisasi, setengah abad lebih dulu dari daerah Bali Selatan, yaitu Puputan Badung 1906, dan Puputan Klungkung 1908. Klaim penguasaan Bali oleh Belanda tidak berani dibuat monumennya di Jagaraga daerah kemenangannya dalam Perang Puputan Jagaraga, tetapi justru dibuat di Surabaya, untuk menghindari “Bangunnya Macan Tidur” atau heroisme orang Bali dalam Bela Negara.
Pengorbanan para pejuang di Jagaraga dalam mengusir kolonial Belanda dilihat dari perspektif Bela Negara dapat dikatakan merupakan pengorbanan tanpa pamerih karena membela tanah air dari kekuasaan asing, penuh dedikasi dan penuh keberanian dalam melawan kekuatan asing dengan senjata modern yang sangat lengkap. Membela tanah kelahiran dengan semangat berani mati dengan pengorbanan semangat puputan (Jagaraga) disebut sebagai patriotisme sujati.
Saran yang dapat disampaikan kita harus mau belajar dari peristiwa keberanian laskar Bali Utara dalam mengatakan tidak untuk menyerahkan wilayahnya, walaupun harus mengorbankan nyawanya. Pelajaran sejarah di skolah-sekolah era Masyarakat Ekonomi Asean dan Globalisasi butuh diberikan ruang dan perhatian lebih, bukan hanya dari dimensi ekonomi, karena pembangunan karakter bangsa sangat ditentukan oleh pemahaman terhadap sejarah bangsa dan negaranya. Dengan demikian tidak terjadi borderless state for all, secara fisik okelah karena keniscayaan untuk dihindari, tetapi secara kejiawaan rasa nasionalisme itu agar bertumbuh sendirinya dari dalam diri manusia Indonesia, dengan adanya rangsangan luar yang selalu menindih dan menjapit nasionalisme kita. 


DAFTAR PUSTAKA

Edy, I Wayan Tagel. 1984. Perlawanan Rakyat Banjar di Bali Utara Pada Tahun 1868”. Yogyakarta: Tesis S-1 UGM.

Kartodirdjo, Sartono. 1973. Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.

Pageh, I Made 2015. “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”, Disertasi (Ujian Tertutup). Unud, Denpasar. 

Pageh, I Made, 1998. “Dari Tengkulak Sampai Subandar: Perdagangan Komuditas Lokal di Bali Utara,  zaman kolonial di Pantai Utara Bali, 1849-1942”. Tesis S-2 UGM.

Parimartha, I Gde, 2002. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, KITLV-Djambatan: Jakarta.

Sastrodiwiryo, dr. Soegianto. 1994. Perang Jagaraga (1846-18490): Kisah Heroik Patih Jelantik dari Bali, dalam Melawan Tentara Kolonial Belanda di Abad XIX. Kayumas Agung, Denpasar.

Soehartono, 1973. “Perang Jagaraga”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.) Sejarah Perlawanan-perlawanan terhadap Kolonial. Jakarta: Dep. Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI. 

Wietzel, A.W.P. 1850. De Derde Militaire Expeditie Naar Het Bali Eiland Bali in 1849 (Met Drie Kaarten door den Kapitein)





[1] Kata-kata ini nampaknya sangat rekonstruktif dari pengarang, tidak mungkin keluar kata-kata seperti itu di hadapat raja yang dihormati, karena seorang bangsawan (Patih Agung) penulis berkeyakinan bahwa kata-kata kasar tidak akan dikeluarkan seperti tafsir marah yang dibayangkan oleh penulis, dalam konteks budaya kepara, yaitu ke luar dari ikatan budaya yang mengikat seorang kesatria.