Kamis, 30 November 2017

KETAHANAN NASIONAL DAN PROXY WAR



1. PENDAHULUAN  

       NKRI adalah daerah yang sangat luas, dari Sabang sampai Meraoke, dari Talaud sampai ke Timor, dengan wilayah yang begitu luas maka kesatuan dalam kebhinekaan adalah sebuah anugrah bagi bangsa ini. Rasa kebesamaannya dibentuk oleh kesadaran sejarah, sebagai bangsa yang pernah sama-sama menderita dijajah oleh kolonial Barat (Belandan, Inggris), dan bahkan timur (Jepang). Rasa senasib dan sepenanggungan itulah menjadikan bangsa yang sangat luas, dengan variasi budaya, daerah, kemajuan, dan perkembangan ekonomi berbeda itu dapat bersatu dalam NKRI. Sesungguhnya betapa pentingnya pemahaman sejarah perjuangan Indonesia dalam memupuk persatuan untuk bersama-sama seia sekata mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia ini. 
       Kesadaran nasional kita tumbuh tahun 20 Mei 1908, ditandai dengan berdirinya BudiUtomo, kemudian pada 1925 dengan adanya manifestopolitik para pemuda di Negeri Belanda yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Indonesia (pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di Belanda) menyadari bahwa perjuangan Indonesia harus dilakukan sendiri menggunakan kekuatan sendiri, dan kekuatan itu adalah persatuan Indonesia, tanpa persatuan yang kuat tidak mungkin kemerdekaan menggunakan kekuatan sendiri itu akan diraih, dalam pada itulah sistem kerajaan tidak sesuai dengan pengembangan masyarakat egaliter. Oleh karena itu manifestopolitik para pelajar di negeri Belanda itu telah memenuhi syarat pembentukan negara  unity, liberty and egality. Dan akhirnya pada tahun 1928 diadakanlah kongres pemuda II yang di dalamnya menghasilkan sumpah pemuda yang berisi wawasan persatuan dalam Tanah Air, bangsa, dan menjunjung bahasa  persatuan yaitu bahasa Indonesia. 
       Kesadaran dengan melihat ada musuh yang terlihat, ada penjajah yang nyata bangsanya, fisiknya, budayanya, dan tanahnya berbeda dengan bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan masih memiliki musuh yang tampak, sedangakan dalam proxy war musuhnya tidak jelas, tidak maujud,bahkan cenderung ada di dalam negeri, yang hak-haknya dilindungi oleh undang-undang, sbagai warga negara republik Indonesia.

        Proxy war adalah perang dengan tidak jelas wujud lawannya, sehingga menjadi sangat menarik untuk didiskusikan untuk dapat memberikan pemahaman kita terhadap kesadaran berbangsa, di era serba tidak jelas dan serba tidak terbuka tabirnya, sehingga lawan perang tidak merasa risih satu sama lain.
        Menariknya bagaimana itu proxy war dikaitkan dengan ketahanan nasional? di era globalisasi ini pemahaman proxy war ini menjadi sangat penting kalau dikaitkan dengan daerah yang sangat luas, dan ketimpangan ekonomi, dan kemajuan dalam segala bidang tidak merata. Dianalisis menggunakan teori kajian budaya, dalam memahami ketidakadilan dan kerancuan publik di era pascakolonial ini. 

2. PEMBAHASAN 

         Apa itu proxy war, untuk dapat mengaitkan dengan ketahaan nasional, maka harus dijawab dulu proxy war itu, baru kemudian dikaitkan dengan ketahanan nasional.
seperti dikutif oleh Yehu Wangsajaya (2015:18) menyatakan sebagai berikut:
"Proxy War adalah bentuk peperangan dengan menggunakan pihak ketiga, sebagai perpanjangan tangan pihak-pihak tertentu, untuk menghindari perselisihan, serta langsung sekaligus terhindar dari beban politik internasional. Pihak pengganti yang dimaksudkan, yaitu: pemerintahan, violent non-state actor berupa LSM, Ormas, kelompok masyarakat atau perorangan, perusahan, atau pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan (spt. ilmuan dari penulis) (Chris Loveman, 2002:30; cf Wangsajaya, 2015:18). 
           Pradigma Nasional Indonesia, terkadang hanya berupa utopis, yang isinya melenceng dari kenyataannya, beda isi dengan wacananya, demokrasi, tapi mobokrasi, kacang lupa kulitnya. 
       (1) Pembukaan UUD 1945 adalah kaiah fundamental bangsa, yaitu sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, karena mengubah pembukaan berarti mengubah negara. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ada beberapa gerakan memisahkan diri dari NKRI, sepanjang pembukaan itu tidak diubah tidak mungkin membentuk negara baru di tanah air Indonesia. Karena daerah yang diproklamasikan adalah daerah bekas jajahan kolonial Belanda. Silahkan membentuk negara baru, namun jangan di Indonesia yang daerahnya seperti disebutkan di atas. Jika ada kelompok yang menggembar gemborkan mau merdeka... merdeka.. merdeka? itu artinya melanggar kaidah fundamental bangsa (pembukaan UUD 1945). 

      (2) Pancasila sebagai ideologis, falsafah hidup, atau Pancasila sebagai landaan ideal bangsa. Dalam kenyataannya tumbuh dan berkembang ideologi keagamaan, ideologi liberal, bahkan cendarung kapitalistik (neolib), padahal Pancasila sebagai kanter ideologi dari kapitalisme (anti kapitalisme), anti-kolonialisme, dan anti-materialisme. Ada kecenderungan di masyarakat (klp.tertentu) berlawanan dengan ideologi Pancasila, karena organisasi dari penganut mayoritas  maka diberikan bertindak sebagaimana dimauinya (kasus FPI), sehingga kadang kala terjadi pengabaian ideologi negara,mengutakana ideologi kapitalis dan imprialisme, atau ideologi bentuk lainnya. Contoh lain, memaksakan semua sekolah bertarap internasional misalnya di masa lalu dengan mewajibkan berbahasa Inggris, bergelar master, atau Dr, dan sekarang misalnya untuk PT wajib memiliki journal bersecopus (bertaraf internasional) sehingga secara otomatis journal berskalan nasional (terkreditasi A) misalnya menjadi tidak sepadan, lebih rendah, bahkan cenderung ditinggalkan, karya bangsa menjadi tidak bisa mengakui sebagai bangsa kelas satu, sama dengan klasifikasi penduduk zaman Belanda di Indonesia. Dengan demikian akan terjadi aliran kekayaan intelektual bangsa ini diarsip dan dipahamai oleh negara maju, dan bila perlu didahului mempatenkan, sehingga kita sebagai bangsa penghasil karya ilmiah itu menjadi gigit jari, di samping itu ada aliran dana besar untuk membayar journal internasional itu, dan membendung kariri bangsa sendiri (seperti kasus ayam Bali). Kenapa  dapat dikatakan demikian mempatenkan itu bukanlah budaya kita (Bali), biasa memberikan apa yang berharga untuk Dewanya, dan atau untuk masyarakatnya, sehingga karyanya menjadi anonim (milik masyarakat Bali). Seperti bangunan Bale Bali, Lumbung, dan sebagainya, demikian juga dalam karya seni (kasus tari Pendet sebagai bukti), Malaysia mengklaim dirinya sebagai pemilik, walau akhirnya dapat diselelsaikan secara damai.
      (3) UUD 1945 Negara Republik Indonesia sebagai landasan konstitusional, karena UUD 1945 (sebelum di amandemen tahun 1999, amandemen 1 dst.), merupakan konstitusi otentik bangsa, bukan yang diamandemen. Seharusnya amandemennya dibedakan dengan aslinya UUD 1945 (otentik), sehingga nilai-nilai historisnya tetap terjamin, karena setiap zaman akan memiliki respons terhadap tantangan zamannya berbeda-beda. Sejarah adalah dialog generasi masa kini dengan masa lalunya secara berkesinambungan, beda zaman beda interpretasi, sesuai dengan kepentingannya, memang peristiwanya sama, namun ceritanya mengikuti zamannya. 
        (4) Wawasan Nusantara kita terus dijadikan landasan visional alam perjalanan bangsa ini menuju cita-citanya, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jangan lupa dengan sejarah (JASMERAH kata Soekarno) sebagai perekat bangsa, terutama pendidikan sejarah perjuangan bangsa bagaimanapun kondisinya wajib diberikan dari generasi ke generasi secara keberlanjutan bahkan bila perlu menjadi prasyarat jadi PNS, ABRI, Kuliah di LN, dan wajib kelulusan kesarjanaan, dll,seperti TOEPL itu posisinya. Mengapa demikian agar bangsa ini tetap memiliki "rasa kebersamaan, karena nasib sama", bukan hanya diukur dari elektibilitas atau melihat dari kekuatan politik yang dijadikan dasar untuk dapat kekuasaan sesaat (lima tahunan/10 tahunan), sehingga seolah-olah pepimpin bangsa ini hanya bertanggung jawab pada masa kepemimpinannya, sedang ketika turun jabatan tidak pernah ada usaha untuk melakukan kesinambungan melalui serah terima jabatan: apa yang perlu dilanjutkan, apa yang sudah rampung, berapa hutang dimiliki, berapa devisa dimiliki, bagaimana masalah politik yang ada terkait dengan keamanan negrara dan bangsa dan sebagainya. Dengan tidak adanya UU yang mengatur hal itu, maka selalu setiap  ada pergantian pimpinan puncak (negara, Gubernur, Bupati, dll), ada kehendak untuk menyusahkan yang berikutnya, dan menghancurkan arsip-arsip penting terkait dengan pemerintahan sustaineble (continuity), selalu terasa diskontinum, dan memulai baru.... kapan bangsa ini akan bisa maju???? belum lagi hegemoni kolonial terus berlanjut, setelah berkuasa kadang kala pemimpin kita,pejabat kita dari bawah sampai tingkat atas "menjadi pejabat lebih kolonial dari kolonial Belanda", semuanya dipersulit dengan alasan birokrasi, namun jika dibayar semuanya oke....,jika atasannya semuanya oke....,jika pacarnya (gundiknya) semuanya oke.... sadar atau tidak yang saya amati secara kritis seperti itu. Sehingga wajar saja otonomi daerah menjadikan para pemimpin daerah menjadi  raja-raja kecil, namun kuasa besar, lebih besar kekuasaannya dari zaman kerajaan dulu...bukan???
        Lemahnya struktur dan kultur masyarakat pascakolonial itu menjadikan bangsa ini sangat rawan dengan proxy war, mudah digoyang, mudah disusup, dan mudah dikendalikan dari luar, sehingga kita lupa diri, bagaikan "ayam Bali bersanding dengan ayam Bangkok", ketika diberikan makan bersama-sama dialaman secara bebas dan liar, ayam Bali akan bertarung dulu dengan temannya, sampai ada yang mengalah, sementara ayam Bangkok masa bodo dengan teman mau apa, yang penting perutnya/gondoknya penuh, setelah itu dia dapat berkokok keras, sementara ayam Bali habis napas, muka hancur, dan makanan sudah habis, sehingga hanya bisa menyalahkan teman sebangsanya saja (kuat di dalam lemah diluar, kayak sabit tajam ke dalam tumpul ke luar, seharusnya kita bersuluh pada keris pusaka, tajam kesegala penjuru, bukan?.

3. IMPLIKASI 

          Bangsa Indonesia di era globalisasi ini, yang diwarnai oleh adanya aliran deras dari negara maju ke negara yang sdang berkembang (lemah struktur dan kultur) berupa ideologi luar (mengancam Pancasila), arus manusia (pariwisata) mengusir penduduk lokal, arus modal (kapital, kuasa, pengetahuan, dan simbolik), arus media massa/informasi (HP, internet, koran, dll), dapat mengancam ketahanan nasional kita. Kesadaran ini harus datang dari ilmuan, pemimpin, dan penguasa dalam berbagai bidang kehidupan (kuasa politik, ekonomi, sosial-budaya, ipteks) agar sadar bahwa proxy war ini sangat potensial menghancurkan dari dalam. Seperti adanya LSM didanai oleh LN namun diberikan tugas mengawasi hal tertentu,karena informasinya dibutuhkan (NGO itu menjadi kaki tangan pemilik modal, informasi ditukar dengan uang); beasiswa bersekolah di PT LN diberikan ijazah dan status tertentu, kemudian diberikan tugas sebagai alumni untuk melakukan perombakan sesuatu di negaranya, bahkan cenderung menurun penghargaannya pada negaranya setelah kuliah di LN, dan mengagungkan asal sekolahnya, sehingga menjadi bangsa ini menurun terus citranya, karena wibawa ilmiah dijadikan alat penghancur (science is power); orang pintar diambil disekolahkan, kemudian diberikan pekerjaan dengan jangka waktu tertentu, terus tinggal di negara tersebut (orang pintar diambil untuk memajukan negara orang lain); bangsa asing diberikan kuliah di sekolah unggulan, dengan membayar sejumlah uang lebih, kemudian ditempatkan di daerah perbatasan Indonesia (kebudayaan, dan pengetahuan dijadikan senjata). Bangasa kita tidak dapat bangku kuliah, sementara bangsa asing diberikan, dengan alasan kerjasama, internasionalisasi, meningkatkan status, dll. intinya rasa kebangsaannya sudah hilang karena uang, kuasa dan pengetahuan bernegosiasi mengalahkan nasionalisme kita. 

4. SIMPULAN
   Waspadalah  terhadap ketahanan nasional kita terhadapa proxy war, karena jalan ini sekarang yang paling mungkin untuk menguasai negara asing, sementara perang terbuka seperti di masa lalu memiliki porsi sangat kecil. Jangan lupa sejarah bangsa Indonesia menjadi bersatu karena faktor sejarahnya, bukan karena faktor mayoritas, faktor agama, faktor politik, dan faktor ekonomi, apalagi budaya dan bahasa. karena sukar mengidentifikasi mana lawan dan mana kawan, dan cenderung bergerak di dalam negari menggunakan bangsa sendiri karena kurang sadar pada nasionalisme dan ketahanan nasional, dengan visi wawasan nusantara/nasional kita. Semoga. 










































Rabu, 29 November 2017

Gagasan Penulisan Buku LITERASI ENCLAVE TIONGHOA DAN ADAPTASI BUDAYANYA ZAMAN BALI KUNO



Oleh:
Dr. I Made Pageh, M.Hum.

1.      Pengantar      
Lierasi tionghoa di Bali, secara temporal spasial Bali dapat dikaji paling tidak menjadi tiga sempalan, pertama literasi zaman Bali Kuno, kedua zaman kolonial, dan  zaman kemerdekaan. 
Secara historis telah ditemukan jejak-jejak literasi hubungan Tionghoa/Cina dengan Bali dalam bentuk kontak perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Terutama terjadi ketika jalan sutra mendapat gangguan dari bangsa Hsiung-nu di Asia Tengah pada awal abad Masehi. Kemudian perdagangan beralih ke Asia tenggara, sehingga hubungan Iindia-Cina melalui Asia tengah (jlaan Sutra) beralih menjadi perjalanan perdagangan pantai (Van Leur). Dengan demikian hubungan menjadi melibatkan daerah nusantara yaitu Cina-Indonesia-India. Hubungan itu memnbawa pengaruh makin dalam memasuki system religi di kawasan Nusantara, dimana bangsa Indonesia ketika itu sudah kedatangan dua gelombang migrasi bangsa Melayu Austronesia (Protomelayu dan Detromelayu), sekitar tahun 4000/300- 2000 SM (P. dan F. Sorokin).
            Bangsa Melayu Austronesia ini sudah memiliki system religi yaitu percaya pada roh leluhur dan Catur sanaknya, yanjg diwujudkan dalam benda-benda prasejarah zaman Megalithic yaitu Lingga-Yoni, Funden Berundak, Menhir, Fondusha, tahta batu, sarchopagus dan sebagainya.
            Ketika kedatangan bangsa Tionghoa-India ke nusantara (Indonesia), berarti bukan menemukan penduduk tanpa sistem kepercayaan (Agama Asli), tetapi sudah memiliki peradaban yang tinggi. Kemudian tiga peradaban yaitu Tionghoa/Cina, Nusantara, India saling beradaptasi sehingga memunculkan perkembangan hibridasi sistem religi dan budaya di Indonesia.
            Kalau Tionghoa didominasi oleh sistem pemujaan leluhur dengan Bhuda sebagian besar agama dari Indianya, juga sudah ada ajaran Kung Futsu, Lao Tse dan sebagainya. Perpaduannya di Indonesia akan mendapat kesamaan dengan pemujaan leluhur, Hindu dan Bhudanya. Sedangkan di Indonesia Hindu dan Bhuda serta pemujaan leluhur dengan catur sananknya mendapatkan kondisi yang tidak bertentangan secara prinsif dan filosopis. Hal ini memberikan dasar untuk menemukan hibridasi system relegi  tionghoa dengan system religi di Bali.
            Dengan latar belakang pemikiran kritis bagan-bagian system religi enclave tionghoa di zaman Bali Kuno, terutama zaman pemerintahan Jaya Pangus dengan Kang Ceng Wie, secara monumental dapat ditemukan dalam system bebarongan (Barong Landung), Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar (Perdagangan antarpulau) dapat dikumpulkan data-datanya, pada enclave tionghoa yang ada di Bali. Dengan dasar pikiran sementara itu maka dirumuskan judul kajian ini.
2.      Tema-tema yang direncanakan digarap:
1.       Literasi Enclave Penagruh Cina di Poros Bali:
a.       Literasi Pura Pegonjongan: Lokasi pusat perdagangan Pantai di Bali Utara, tempat saudagar Cina bernama Ping-An, sebagai pedagang pirign sutra (Pinggan) menjadi genealogi munculnya Desa Pinggan di dekat Dalem Balingkang (Ratu Ayu Syahbandar, dengan Padma Trilingganya), sehingga termasuk kategori system religi zaman Kuturan, Bhuda (ratu Syahbandar: representasi Kang Ceng Wie) terjadi Hibridasi budaya di Bali Utara dan Kintamani Bangli.
b.      Literasi Pura Dalem Balingkan: lokasi Puri Jaya Pangus dengan permaisurinya kedua, setelah Dewi Danuh (di Ulun Danu Batur Song-An). Literasi akan dikonstruksi keberadaan Puri Balem Bali-Im-Kang (Im sama dengan tenaga dalam), kaitannya dengan Pura Pagonjongan dengan Nyegara Gunung Desa-desa pendukung Jaya Pangus.
c.       Literasi Nyegara-Gunung Panulisan- Puri Bedahulu-Goa Gajah Gianyar dan perpindahan Pura Ulun Danu Song-An ke Pura Ulun Danu Batur.
d.      Literasi Representasi Barong Landung: Bhuda-Waisnawa, jaya Pangus vs. Kang Ceng Wie di Bali.
e.       Efilog: Hibridasi Cina (Bhuda), Bali (Waisnawa): Kasus Pemukiman Cina di Payangan, Situs Pura Bhuda Waisnawa Bedulu, dll.

2.        Enclave Tionghoa di Bali lainnya
a.       Literasi Tionghoa di Pujungan Daerah Pupuan
b.      Literasi Pemujaan Ratu Ayu Subandar di Bali Utara; Bali Barat dan Nusa Penida.
c.       Literasi Pura kena Pengaruh Kang Ceng Wie: Situs Pura berhiaskan Piring Sutra: Pura Jemeng/Cemeng di Penge Tabanan; Pura Yeh Gangga Tabanan; Pura Kehen Bangli, dll.
3.       Metode Penulisan
Data dikumpulkan melalui: 1. Mencari beberapa tulisan yang sudah dihasilkan oleh mahasiswa, dan hasil penelitian terdahulu: Tesis, Disertasi, dan karya buku yang dapat menunjang penulisan ini. 2. Kritik sumber dilakukan dengan menggunkan triangulasi dari beberapa sumber yang dapat dipercaya. 3. Interpretasi data untuk menghasilkan fakta dalam kajian ini, diutamakan dalam bentuk foto, narasi, dan deskripsi yang sudah ada. Namun ditulis ulang menggunakan perspektif Cultural studies, sehingga akan bercerita dari sisi lain, yang berbeda dengan kajian terdahulu. Tentu berupa literasi, diutamakan wacana lapangan,tidak mengunggulkan akademik. Terutama kalau ada kajian akademik akan dicoba disandingkan dengan literasi lain dengan pemikiran seperti yang dituliskan dalam pengantar. 4. Cerita sejarah (historiografi) yang dihasilkan berupa historiografi kontemporer menyesuaikan tulisan dengan kesenangan pembaca dan tidak mengutamakan keseriusan akademik, tetapi meringankan yang dipandang berat sehingga menjadi bacaan yang mengejutkan pembaca yang selama ini menganggap ceritanya sudah mapan. 
            Dalam penulisan difokuskan pada pusat-pusat yang mewakili wacana yang dapat megubah stigma negative hubungan etnik Cina-Bali, sehingga terwujud masyarakat multikultur. Lebih banyak mengandalkan foto dalam dan kekuatan interpretasi sistem religi, sehingga lebih bersifat ideologis dalam kajian ini.

4.       Jumlah Tim Peneliti 5 Orang
a.       Peneliti dan Penulis Laporan 2 orang.
b.      Field Worker 2 Orang
c.       Foto Grafer 1 orang.


PERANAN MEDIA DALAM MENBANTU PEMAHAMAN PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

PERANAN MEDIA DALAM MENBANTU
PEMAHAMAN PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Oleh
                                                        Dr. I Made Pageh, M.Hum.[1]


1.      Pendahuluan
Media merupakan alat bantu dalam pembelajaran sejarah, karena dalam pembelajaran sejarah guru beusaha menghadirkan masa lalu dan mengambil nilainya untuk dipentaskan dan didialogkan dengan situasi masa kini. Karena masa lalu penuh dengan ketidakjelasan sangat dibutuhkan alat bantu untuk memperjelas masa lalu itu pada pemahaman peserta didik (Kochhar, 2008:210).  
Media yang dipilih membutuhkan penyesuaian terkait dengan: disesuaikan dengan tujuan, materi (tema), strategi, dan metode pembelajaran yang dipilih dalam pembelajaran (Widja,1989; Sanjaya,2011). Karena bagaimanapun juga harus dikaitkan pula dengan bentuk evaluasi yang akan dilakukan sebagai bahan feed back pembelajaran selanjutnya dan juga untuk mengukur kemajuan dan perbedaan  pemahaman peserta didik (cf. Wiyanarti, 2016). Tentu komponen penting terkait dengan jatah waktu pembelajaran itu, kesalahan dalam memperhitungkan waktu bisa jadi justru dapat mengganggu pembelajaran itu.
Tulisan ringkas ini dibuat sebagai bahan diskusi di Universitas Saraswati Denpasar, tanggal 22 April 2017 di Denpasar Bali. Bertujuan untuk  meningkatkan kemampuan pendidik dalam proses pembelajaran pada peserta didik dalam menerapkan K-13, terutama pada masyarakat luas yang konsen dengan dunia pendidikan khususnya pendidikan sejarah.

2.      Kedudukan Media/ Alat bantu dalam Pembelajaran Sejarah
           Guru sejarah dalam mementaskan masa lalu itu sekarang, kita harus merekonstruksinya, ceramah saja tidaklah dapat menghidupkan masa lalu itu, sehingga dalam usaha menghidupkan itu membutuhkan bermacam-macam alat bantu/media, seperti: Peta, Film, Filmstrip, diorama, model, kartun, dekorasi, chart time, grafik, gambar, foto, dan sebagainya. Semuanya untuk memperkuat pembelajaran sejarah, mengubah dari membosankan menjadi menyenangkan, menantang, dan penuh makna (meaningfull), dalam mengatasi rutinitas yang membosankan (tolk and cholk) (cf. Pageh, 2010). Dalam buku “Teaching of History” karya S.K Kochhar (2008:210) disebutkan ada beberapa cara:
1.      Membawa siswa mengenal pengetahuan sejarah secara langsung: misalnya napak tilas rute perjalanan pejuang, cara hidup bergerilya, dsb. Paling tidak digambarkan dalam peta secara jelas.
2.      Menunjang dengan penjelas kata-kata terucap: misalnya melengkapi dengan latar belakang situasi, iklim, hujan, hutan dan sebagainya, dengan penggambaran pada belahan dunia lainnya.
3.      Membuat sejarah nyata, jelas, vital, menarik, dan seperti hidup: gunakan oudio visual aids, animasi, komputerisasi di era digitalisasi dan globalisasi ini. Sangat mendesak dalam kurikulum pendidikan sejarah, agar mahasiswa dibekali pengetahuan dan ketrampilan menghidupkan yang sudah mati dengan animasi, vidioasi, paling tidak film mini, dan sebagainya.
4.      Membantu dalam mengembangkan kepekaan terhadap waktu dan tempat: penggunaan garis waktu, peta, semacam goegle map seperti Encharta.
5.      Mengembangkan kepekaan terhadap hubungan sebab-akibat: hubungan antara peristiwa satu dengan peistiwa lainnya, baik lokal, regional, maupun internasional. Misalnya bagaimana peristiwa “tembok raksasa Cina berhubungan dengan perdagangan dan masa sejarah di Indonesia”; Menghubungkan pamalayu dan pabali dengan sistem religi Bhuda Baerawa di Bali,dll.
6.      Membantu guru dalam mengembangkan pemahaman dalam  pembelajarannya. Misalnya masa prasejarah ada teknik peleburan logam dan munculnya teknik “bevalve dan system cetak” sudah ada di masa lalu, dan digunakan dalam system membuat “bokor, sanggah kapal, dan system pencairan logam pada tukang emas atau perak sekarang. Atau bagaimana dapat dipahami sistem religi zaman megalithic masih hidup ideologinya dengan mimikiri atau berhibridasi di era modern ini. Sejarah harus dapat dipahami implementasi dan diimplikasikan di masa kini dan di masa depan, sehingga dapat dijadikan dasar berpikir, dan menjadi bekal hidup peserta didik dalam mengahadapi tantangan masa depan yang penuh teka-teki (puzzle) (Wineberg, 2006).
7.      Menunjang pemahaman tema pembelajaran: misalnya dalam pemgembangan karakter (nation building), daya kritis (cerdas dan cerdik), kaya pengetahuan, trampil berpikir, menulis, self esteem/bangga pada dirinya sebagai nabi sang waktu, dan wisdom dalam mengubah lingkungannya menjadi civil society yang multikulturalisme (Abdullah, 2010).
8.      Membantu dalam membuat pemahaman permanen: buat agar sejarah tidak mudah dilupakan, buat siswa bukan hanya tahu tetapi menjadi percaya  bahwa sejarah memiliki makna vital dalam kehidupan siapa saja. Adegium “experience is the best teacher”, memori pribadi sangat bermanfaat, apalagi memori kolektif, yakinkan bahwa akan lebih berguna. Butuh media agar mendorong peserta didik di era miskin baca-tulis-hitung ini karena pengaruh digitalisasi dan embah goegle, agar memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berbicara sehingga menjadi kebiasaannya.
9.      Menambah Kesenangan dan minat dalam sejarah: Sosiodrama, karya wisata, gambar animasi, ke museum, dan sebagainya. Tentu tidak setiap hari bias dilakukan, paling tidak dalam semester itu ada halyang menyenangkan dan menambah minat kesejarahan peserta didik, untuk membedah rutinitas dan ceramah yang membosankan.    

Jadi kedudukan alat bantu atau media dalam pembelajaran sejarah sangat strategis karena dapat mengubah pembelajaran dari yang membosankan jadi menyenangkan, dari rutinitas menjadi kegiatan menantang, dan mengubah citra sejarah dari teaching tolk and cholk menjadi tolk show segar dan menyenagkan, bahkan  tak terlupakan sepanjang hidupnya, karena dapat mengalami, memerankan, punya cerita tersendiri pada dirinya sebagai pencinta sejarah.

3.      Jenis-Jenis Media sebagai Alat Bantu Pembelajaran
Edgar Dale mendasarkan klasifikasi pada jenis-jenis pengalaman yang disajikan melalui media tersebut, yang disebutnya “Kerucut Pengalaman”, walaupun tidak kaku dan baku, karena diantaranya saling menunjang satu dengan yang lainnya.
                          
Kerucut Pengalaman Ergad Dale, dalam Kochhar (2008:216)

Agar mudah dipahami dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian utama, yaitu:
A.     Alat Bantu tercetak
1.      Terbitan berkala (utamakan journal sejarah)
2.      Buku (buku klasik dan terbaru dengan variasi perspektif)
3.      Surat Kabar (yang memiliki kredibelitas akademik, misalnya: Kompas, Tempo)
B.     Alat Bantu Visual:
1.      Slide bentuknya Power Point sekarang mudah disimpan dan dibagikan.
2.      Filmstrip (serentetan gambar yang berhubungan satu dengan lainnya)
3.      Model yang menarik minta peserta didik. 
4.      Grafik dengan berbagai jenisnya.
5.      Bagan Waktu
C.     Alat Bantu Audio
1.      Tape recorder, Kaset
2.      Disk Gramafon
3.      Radio
D.     Alat bantu Audio Visual
1.      Gambar bergerak
2.      Film Sejarah/Dokumenter
3.      Televisi

4.      Historionik
Histrionik: seperti drama sejarah, sandiwara, parade sejarah, tablo (sandiwara bisu, penuh simbolik), dan sebagainya merupakan media melampaui atau keluar dari batasannya, karena peserta didik sudah mengidentifikasikan dirinya menjadi orang lain (diperankan). Histrionik dan santra sama fungsinya untuk memberikan peserta didik untuk  mengeluarkan seluruh imajinasinya, hayalannya, pengetahuan, dan fakta yang dipahaminya (Gottschalk, 1986:118). Sehingga histrionik dapat memiliki beberapa tujuan pengajaran: (1) Dapat menimbulkan permasalahan; (2) Dapat membuktikan efektivitasnya sebagai alat bantu untuk evaluasi pembelajaran sejarah, sudah sampai dimana tahap pemahaman peserta didik sudah terjadi.
            Bentuk-bentuk histrionik lainnya: Wayang Orang, Kulit, Golek dan sebagainya. Pemilihan tema untuk histrionik membutuhkan pemilihan yang betul betul meaninfull, terutama dalam pengembangan karakter nation building, dengan pengembangan nilai-nilai karakter bangsa (Pancasila), dengan diterjemahkan menjadi 18 karakter dalam k-13. Nilai-nilai keilmuan sejarah dan sejarah lokal jangan diabaikan (Abdullah, 2010:41; Fauzi, 2016:42).
            Banyak lagi alat bantu yang biasa dikembangkan, terutama disesuaikan dengan era dan kesenangan peserta didik untuk menjadikan sejarah menjadi hidup dan berperspektif multikultur dan multi struktur (Albar, 2016). Hak ini semua berpulang pada kreativitas dosen atau gurunya dalam melakukan strategi pembelajaran (Pageh dan Atmadja, 2010).

5.      History Room dan Taman Sejarah Mini
Ruang khusus untuk peragaan dan pemantapan sejarah (a living center of the study of history), bukan hanya seperti museum mini, tetapi seperti benkel sejarah (camp sejarah) untuk menghayati makna sejarah lebih mendalam. Gerak kehidupan dipentaskan di ruang itu dari masa lalu ke masa kini, sedangkan masa kini dilengkapi dengan media digitalisasi untuk menghidupkan sejarah, memroduksi film sejarah, media sejarah, menerjemahkan sumber, melihat foto-foto tokoh dan peradaban dunia terpenting. Syair-syair, adegium sejarah, tokoh lokal, nasional dan dunia.
            Dilengkapi dengan Standar Operasional Penggunaan (SOP) ruang sejarah,  dari mana mulai dan dimana berakhir. Lengkapi dengan video, layar, LCD dan sebagainya. Sedangkan denah ruangan ditempatkan di sudut tertentu dan di dalamnya menjelaskan logika berpikir sejarah (Historical thinking) para siswa mengapa ruang itu disetting seperti itu (Widja, 1989:70-75).
            Kelengkapan lainnya adalah taman sejarah mini, dengan menyediakan ruang terbuka untuk kreasi kehidupan riil yang dapat dilihat beberapa cukilan/ cuplikan sejarah yang dapat dijadikan taman mini sejarah, kalau memungkinkan memang harus ada benda aslinya satu atau dua benda yang dapat dijadikan bahan kekaguman peserta didik terhadap peristiwa masa lalu itu. Seperti taman sejarah mini di Undiksha menampilkan manusia purba- megalithic dan tokoh pemersatu Gajah Mada.

6.      Simpulan
Peranan media atau alat bantu dalam pembelajaran sejarah adalah membuat pembelajaran sejarah menjadi hidup, menyenangkan dan tidak membosankan, memudahkan peserta didik mendapatkan pemahaman dari peristiwa yang gelap karena telah terjadi berabad-abad lalu menjadi terang menderang dan memliki implementasi dan berimplikasi dengan kehidupan kini dan masa depan. Dengan alat bantu peserta didik menjadi dapat pengalaman senyatanya, bukan hanya verbal dan lisan, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran sejarah dalam arti luas (Wineburg, 2006:3-10). Dengan demikian alat bantu harus dipilih dan disesuaikan dengan latar belakang kemampuan dalam arti luas, bukan hanya yang modern membutuhkan harga mahal dan listrik, bisa juga dalam berbagai bentuk yang dapat dikerjakan bersama oleh pendidik dengan peserta didik, dimanfaatkan secara tepat sasaran, dan direncanakan secara matang kalau memilih histrionik, sosio drama dan bertujuan penanaman nilai-nilai menumbuhkan karakter bangsa dan keilmuan sejarah. 

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2010. Berpihak Pada Manusia: Paradigma Nasional Pembangunan Indonesia Baru. Pustaka Pelajar: Jogjakarta.

Albar, Muhhamad Wasith. 2016. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahan Ajar Whorkshop Guru Sejarah Tingkat SMA Seluruh Indonesia. Penerbit Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah: Jakarta.

Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Penerbit Ombak: Jogjakarta.

Fauzi, M. 2016. Penggalian dan Penulisan Sejarah Lokal. Bahan Ajar Whorkshop Guru Sejarah Tingkat SMA Seluruh Indonesia. Penerbit Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah: Jakarta. 

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Nugroho Notosusanto (penerjemah). UI-Press: Jakarta.

Kochhar, S.K. 2008. Teaching of History. Sterling Publisher Pvt. Ltd.: New Delhi.

Pageh, I Made dan Nengah Bawa Atmadja. 2010. Sejarah dan Kearifan Berbangsa: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah. Larasan: Denpasar.

Pageh, I Made. 2010. Metodologi Sejarah: dalam Perspektif Pendidikan. Larasan: Denpasar.

Sanjaya, H. Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media: Jakarta.

Setiawan, Denny, dkk. 2007. Komputer dan Media Pembelajaran Sejarah. Penerbit UT: Jakarta.

Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Masri Mris (Penerjemah). Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Wiyanarti, Erlina. 2016. Pengembangan Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Sejarah. Bahan Ajar Whorkshop Guru Sejarah Tingkat SMA Seluruh Indonesia. Penerbit Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Direktorat Sejarah: Jakarta.









[1] Dr. Drs. I Made Pageh, M. Hum adalah Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Alumnus S-2 Sejarah UGM Yogyakarta dan S-3 Cultural Studies di Universitas Udayana tahun 2015, Draft Tulisan ini dibuat sebagai bahan diskusi di Universitas Saraswati Denpasar, tanggal 22 April 2017.