Selasa, 02 Januari 2018

MULTY LEVEL ROLE MODEL: REKAYASA IDEOLOGI DESA BALI AGA BERBASIS KEARIFAN LOKAL TRIHITA KARANA DI ERA GLOBALISASI

.

 By
I Made Pageh,[1]

            Ideology has a direct impact to the life of desa pakraman society. In the historical development of Desa Pakraman, there was acculturation of various ideologies brought by some Rsis (heroes culture) in order to organize the life of Bali Aga. The social engineering focused at Bali Aga was initiated by: (1) implanting concepts related to the ideology, basic concept of desa pakraman,  and tri hita karana concept (2) fixing focus group i.e. daha-truna the youth, the eldest, social figure of desa pakaraman, dulun desa, as well as influential social figure, They were model/some strategies used  (1) Multy Level Role Model (MLRM), (2) Expository, (3) Focus group discussion (FGD), (4) Interactive dialogue, and (5) Presentation of electronic media. In order to get the projected goal, the social engineering materials were created based on trihita karana which were developed from the previous research. The materials consist of the ideology basic concepts understanding, desa pakraman, and local genius of trihita karana, object as well as strategy. The material of social engineering strategy is determined by time, focus group, and cultural context of the society. The materials are, (1) the characteristic of pakraman desa Bali Aga, (2) development of ancestral cult from animism to dynamism (megalithic) and the cult of ancestral spirit, (3) the cult of king’s ancestral spirit, (4) structure of rwabhineda ideologcal based temple, like Agung Gunun Raung Taro temple, Dalem Balingkang temple, Daha Twa temple and Panorajon temple complex, (4) governmental system of  Bali Aga, Bali Dataran, and others governmental systems (5) the development of Desa Pakraman, dan (6) uncovered Balinese local genius, (7) trihita karana based Balinese local genius, (8) Mojopahitism local genius, (8) cultural local genius and ideology dominance of desa dataran. The material can be undergone some adjustment depend on duration, focus group, and the aim of desa pakraman.


Keyword:   Ideology Engineering Model, Desa Bali Aga, Local Genius.
     

1.  Pendahluan
1.1  Latar Belakang
Ideologi memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan kehidupan masyarakat Desa Pakraman di Bali. Akulturasi beberapa ajaran yang pernah berkembang di Bali, yang dibawa oleh pembuka agama (heroes culture) dalam penataan kehidupan masyarakat Bali masih ada saling dominasi satu dengan yang lain, saling resistensi di desa pakraman di Bali (cf. O,donnell,2009;42; Sugriwa,1991; Sztompka,2008:48). Ideologi yang resisten itu, dalam pembinaan umat sering diabaikan oleh pemerintah, sehingga acapkali memunculkan konflik ideologis dan konflik nilai di masyarakat. Konflik desa pakraman di Bali menjadi lahan subur   Media massa, karena setiap saat ada berita konflik adat menarik dipublikasikan. Seperti masalah perebutan pura, setra/penguburan, pemekaran desa, klaim perbatasan, konflik tanah desa pakraman, dan sebagainya. Kasus konflik adat bagaikan “gunung es”, hanya teramati ujungnya saja, yang selalu menarik untuk dikaji (cf. BP 2010-2011).
Menangani konflik adat, membutuhkan pemahaman ideologi dasar konflik secara mendalam. Guna dapat dijadikan pengembangan model pemahaman ideologi berbasis lokal genius trihita karana. Rekayasa ideologis difokuskan pada masyarakat Bali Aga, karena kelompok masyarakat ini yang paling termarginalkan dalam penanaman ideologis warisan leluhurnya yang telah mendarah daging bahkan sudah diwriskan melalui sistem sosial, politik, budaya, dan relegi yang dianut di desa pakraman Bali Aga.
Perubahan ideologis membawa konsekuensi dalam kehidupan masyarakat. Usaha untuk melakukan akulturasi, akomudasi dan modifikasi ideologis yang dianut di desanya justru membawa konsekuensi dan implikasi yang sangat mendalam. Inilah beberapa masalah strategis menarik untuk ditangani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya di Bali.

1.2 Metodologi dan Konsep Teori
Pengembangan model diawali dengan melakukan penelitian mengikuti langkah-langkah penelitian sosio-budaya, yaitu melakukan penentuan subyek penelitian, pengumpulan data, kritik sumber (analisis), interpretasi (pembangunan fakta sosial), dengan sumber artifact, mentifact, sociofect, dan relegiofact. Hasilnya dimanfaatkan untuk pengembangan model (MLRM) berbasis kearifan lokal trihita karana di pakraman  Bali Aga.

Prosedur pelaksanaan MLRM diawali dengan: (1) menanamkan konsep-konsep terkait dengan ideologi, konsep desa pakraman dan trihita karana. (2) menetapkan kelompok sasaran, yaitu daha-truna, tetua desa, elite desa, dulun desa, serta tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh. Dengan mengambil model/strategi (1) Multy Level Role Model (MLRM), (2) Ekspositori, (3) Focus Group Discussion (FGD), (4) Dialog interaktif, dan (5) pemuteran peraga elektronik.
Untuk mencapai tujuan ini, maka dibikinkan materi MLRM berbasis trihita karana itu, yang dikembangkan dari hasil penelitian mengenai ideologi desa Bali Aga berbasis kearifan lokal trihita karana di Bali. Berdasar hasil penelitian ditemukan pertalian konsep teori sebagai berikut.

Dagan 01: Pertalian Ideologi, Trihita Karana dan Perkembangannya.

Sumber: Diadaptasikan dari hasil penelitian (Pageh, 2009).

2.Hasil dan Penerapannya
2.1   Ideologi Desa Pakraman
           Kajian basis pengembangan model berupa desa pakraman tidk ada masalah desa pakraman sebagai sistem pemerintahan tradisional yang telah dijalankan turun-temurun, sehingga bahkan telah mentradisi. Desa pakraman dalam sejarahnya telah pernah menjado republik desa, yang memiliki wilayah dengan batas-batas yang jelas, pemerintahan berdasarkan senioritas (ulu-apad),memiliki hokum adat dengan sanksi yang jelas, telah diputuskan dalam forum masyarakat (sangkep). Dengan demikian secara konsep dia mampu mengelola dirinya dengan solid.
Add caption
           Konsep trihita karana sebagai blue print pengembangannya di era globalisasi ini, telah dilembagakan dan dijadikan dasar oleh Mpu Kuturan dengan konsep trimurthinya. Para heroes culture seperti markandeya, kuturan, dan nirartha selalu mengadaptasi, dan memberikan ideologi/ ajaran-ajaran yang sudah berkembang sebelumnya untuk hidup secara berdampingan, dipergunakan secara berkesinambungan hingga era globalisasi ini. Namun ideologi yang telah ditanamkan secara halus maupun sedikit dipaksakan pada desa pakraman di Bali, karena menyangkut isi dan makna dari bangunan suci, ritual (wali), dan tata nilai dalam kehidupan kesehariannya. Masalahnya baru dirasakan berdampak setelah dilaksanakan bertahun-tahun, bahkan berabad-abad lamanya. Sehingga konflik laten itu sering akhirnya menjadi konflik ideologis yang berakibat fatal bagi masyarakat yang berkonflik.

2.2 Latar Belakang Perbedaan Ideologi Desa Pakraman di Bali.
Kepercayaan animism dan dinamisme berkembang sejak zaman megalitik yang  masih hidup, dilestarikan dalam sistem relegi yang dianut, (Syaifuddin,2006:122; Geertz,1992; Dharmayuda, 1995) (Najamuddin,2002; Jiwa Atmaja,2005).[2]  Ada juga roh-roh diyakini menjadi bagian hidup sehari-hari manusia disebut sanak catur.[3] Wujudnya berstransformasi mengikuti zaman berlanjut mengikuti akulturasi ideologi besar yang berpengaruh kemudian di Bali (cf. Kapland dan Manners,2002; Kukla, 2003:51).
Roh halus dan sanak catur  menyebabkan ritual di Bali berlangsung ajeg turun-temurun (Titib,2003; Patera,1996:209). Sifat catur sanak dilihat dari konsep ideologi rwabhineda  ada yang berpengaruh baik ada pula yang buruk. Manusia meninggal Rohnya memiliki gender yang disebut purusha dan pradana (Budhiartini,2000; Kusumawati,1996:147).[4] Awalnya ideologi ini masih merupakan personifikasi orang tuanya, kepala sukunya, rajanya, yang difungsikan sebagai pelindung (bhatara) diwujudkan dengan patung, pratima, dan daksina (Kompian Gede, 2000:24; Mahaviranata,1993:1-4). Sedangkan pada pusaka, benda sakral seperti keris, dan barang alam ajaib lainnya, tetap menjadi bagian ritual manusia, di masyarakat dimusuhi dan diburu (Suantika, 1993:71; Suarbhawa, 1993:78).[5] Di Desa Songan ada sekitar 45 benda sakral, turun kabeh saat wali ngusaba desa, yang diikuti oleh 20 Dadia dengan Bhatara  Setiman (45 Bhatara), dituwur kalau keadaan memaksa, mendesak, gawat dan ada genting desa (Bagus, 2007:69).[6]
            Lingga-yoni keberadaannya dalam perjalanan kepercayaan di Bali didedikasikan pada roh leluhur (abad VIII) dimodif dengan konsep rwabhineda oleh Rsi Markandeya).  Kemudian diformat oleh Mpu Kuturan menjadi trimurti ( abad X-VI), dan terakhir disempurnakan dengan ideologi Dewa Nawa Sanga oleh Danghang Nirartha, mulai  masuknya dewa-dewa India di Bali. Telah terjadi akulturasi kepercayaan, bahwa pelingdungan pakraman bukan hanya dilakukan oleh catur sanan, roh leluhur, dan kekuatan gaib, tetapi juga kekuatan dewa-dewa pujaan pakraman Bali Aga (sektarian/paksa).
Munculnya sektarian di Bali dengan adanya pembuatan kahyangan inti/tunggal di tengah-tengah dari segara-gunung yang disebut pancering jagat, puseh, penataran, pemulungan dengan inti dewa faksa sebagai pelindung pakraman. Sitem relegi ini ditemukan pada Catur Desa disebut Banwa (Gebog/Kanca Satak/Domas) di Desa Bali Aga. Pura inti berwujud penerapan ideologi sarwa genap antara lain keluar pura nyatur dengan titi ugal-agilnya (Desa Taro/Selulung). Juga ideology ini ada di Catur Desa Gobleg, Sukawana, Depaha, Bantang, Awan, Tejakula, Pacung, Sembiran, Bintang Danu (Suardana, 2010; Dikbud Prov.  Bali, 2009).
Pelinggih pelengkap lainnya adalah Pelinggih bermakna nyatur, Pintu masuk pura ngempat, Balai Pegat, Balai Agung Kembar, Gedong Rong Dua. Ini merupakan penerapan ideologi Rwabhineda dan nyatur. Hal ini bermakna penghayatan bhuwana alit ke bhuwana agung (mikrokosmos ke makrokosmos), sehingga pemaknaan roh dari roh leluhur/raja sakti menjadi roh jagat raya yang disebut Sang Hyang Tunggal, Temuwuh, Sang Hyang Taya, Sang Hyang Embang, Sang Hyang wibuh, Jaga Pati, dll. (Sudarsana,2005). Ideologi ini kemudian dijadikan dasar menata palemahan dan pawongan yaitu membentuk sistem pemerintahan Ulu-Apad, dengan sistem ritual yang mengikutinya, berupa pembersihan diri menuju jadi orang suci sesui kedudukannya dalam ulu-apadluan-teben di pakramannya. Dari Jero Kubayan ke bawah, kemudian ada satu jabatan turun-temurun masuk dalam struktur ulu-apad (kekuatan politik Gelgel/Mojopahit, Belanda), sehingga mengganggu keharmonisan binary oposition (cf.Parimartha,2004:29; Astra, 2003:107).

            Catur sanak dipuja di empat lokasi (Jero Eka Songan): (1) di setra (Mrajapati), (2) di Halaman Rumah (Anggapati), (3) di merajan  disebut Banaspati (Jero Ketut), dan di Angkul-angkul  Banaspatiraja (Jero Nyoman Pengadang-ngadangan). Oleh karena itu, awalnya di Desa Bali Aga tidak ditemukan adanya Dalem Durga, kecuali pakraman sekta Ciwa, tapi banyak ada Dalem Purwa, Dalem Pingit, Dalem Ratu Lingsir, Kedaton, dsb. Demikian juga rong telu, sebagai pengganti padma tiga, setelah dibuat pelinggih padmasana zaman Danghyang Nirartha. Bali Mula berkiblat ke Gunung Raung (barat), dan ke “dulun desa”  Gunung ke hulu, konteks nyegara-gunung.[7] Sehingga jelas berbeda struktur pelinggih zaman Markandeya, Kuturan, Danghyang Nirartha, dan model percampuran darinya.  Fungsi dan peran masyarakat Bali Aga diatur berdasarkan prinsip senioritas, dengan demikian tampak jelas prinsip “sasana manut linggih, dan linggih manut sasana”, bergilir dengan dasar senioritas dan tingkat penyucian tradisi ritual desa pakramannya. Senioritas berlaku dalam mengatur persembahyangan (wali), pemerintahan desa, pembagian palemahan (laba pura/tanah ayahan desa), dukun desa dan sebagainya [8]. Dengan kata lain penerapan kearifan lokal trihita karana on order harmonization di pawongan, palemahan Bawna (Catur Desa), dan di parhyangan (lihat Pitana dan Setiawan,2004).[9]
             Kemudian muncul ideologi Trimurti Kuturan pada zaman pemerintahan Udayana Warmandewa bersama istrinya Gunapriya Dharmapatni, karena konflik sering terjadi (abad X) maka didatangkan kelompok Mpu dari Jawa Timur disebut Mpu Kuturan.[10] Dari 9 sekta yang ada dijadikan 3 kelompok penganut (dasar hukum alam): (1) Bhudaisme, (2) Siwaisme, dan (3) Brahmanisme gabungan desa-desa Bali Aga (Pande, Indra, dan dsb). Kemudian disebut aliran trimurti.
             Saling mendekat (reinecment) ideologi Rwabhineda dengan Trimurti  (hasil Samuan Tiga), maka muncul bentuk Lingga-Tiga, pelinggih Padma TrilinggaGedong Rong Telu, dan bangunan lain pengejawantahan ideologi itu (Wikarma, 1998:5-14; Titib, 1989:21). Padma Tiga ditemukan di Songan, Pura Pegonjongan, Besakih, Pura Dalem Balingkang, dan sebagainya. Dengan  diwajibkan semua desa pakraman membangun Tri Kahyangan Desa, Pura Dadya, Kawitan, dan Pekurenan wajib ada rong tiga, terkesan ada dominasi (Sudarsana,2005, Fox,2010; Titib, 1989). Ketika Gedong Rong Telu muncul, maka Padmatiga (Padmatrimurti) disebut juga Sanggah Surya (hilang) diganti dengan Padmasana. Ajaran dewa nawa sanga ini melengkapi bentuk bangunan lainnya sebagai alternatif dalam menerjemahkan berbagai ajaran yang mau diwujudkan di Bali, baik sebagai perwujudan ajaran rwabhineda, trimurti, dan dewa nawa sanga itu. Wujudnya Padmasana, kemulan rong telu, dan meres-mujung (rambut sedana).

            Akulturasi dan sinkritisme menyebabkan ada aneka bentuk bangunan pelinggih, kepercayaan, dan banyak bhatara lokal dipuja bahkan berbeda-beda antarsatu merajan dengan merajan lainnya. Terutama muncul pembikinan meru (pagoda/fundenberundak) pemujaan heroes culture yang berjejer panjang dari meru tumpang 2 sampai dengan 11, makin tinggi status pura dan klan makin tinggi pula meru yang bisa dibangun, seperti Batur, Songan, Besakih, Sukawana. Besakih adalah pendedikasian yang penuh makna dari tradisi megalitik, kultus roh leluhur, kultus dewa raja, sampai kultus rsi dewa (cf. Fox, 2010; Sudarsana, 2005; Covarrubias,1973:263; Pageh, 2009).
             
2.3 Perbedaan Ideologi Desa Bali Aga dengan Desa Bali Dataran  
Perkembangan system relegi di Bali akarnya dapat diselusuri dari zaman megalitik, ajaran Rsi Markandeya (abad ke-8), Mpu Kuturan (abad ke-11) dan Danghyang Nirartha (abad ke16). Munculnya dualisme ideologi yaitu idealisme berdasarkan konsep rwabhineda dengan konsep trimurti, menjadikan berdampak ikutan yaitu konflik desa pendukungnya yang berkonotasi desa Bali Aga dan Desa Bali Dataran. Dualisme ini sepertinya ada dikotomi Bali Aga (pendukung Raja Bali Kuno, sentrum Kediri/Daha Jawa Timur, dengan Desa Apanage wong Mojopahit. Pemaksaan idealisme trimurti yang menjadi kebijakan kerajaan/pemerintah, melalui berbagai kewajiban (“menghukum”), Lomba Desa, bantuan tunai pemerintah menjadikan proses mojopahitisasi makin keras sejak abad ke-16 hingga kini, sangat memarginalkan desa pakraman Bali Aga. Kesempatan ini menjadikan desa dataran mendominasi desa Bali Aga, berarti pula mengukuhkan fiodalisme di era demokratisasi. Maka konflik sering tidak terselesaikan, dan berujung kekerasan, walaupun penampakannya baru terlihat ketika terjadi hajatan politik, pemekaran desa, pembangunan pelinggih baru dan sebagainya (cf. Suyasa, 2002; Sudiana, 2007).

Perbedaan Ideologi Desa Bali Aga dengan Desa Bali Dataran
Ideologi  Desa Bali Aga
Ideologi Desa Bali Dataran
§ Kahyangan inti nunggal, klg dengan kayu sakti  
§ Pura Trikayangan, Dalem-Puseh-Balai Agung.
§ Penerapan tradisi megalithikLingga-Yoni, Pohon Besar di sekitar pura , Batu besar, untuk roh leluhur, serba dua.
§ Pemujaan roh heroes culture, muncul dadia, bentuk pelinggih mulai didominasi oleh Meru tumpang ganjil.
§  Pura Utama (Pancering Jagat, Puseh, Pemulungan Agung, Pura Desa) tempat pemujaan roh-roh klan yang ada di pakraman itu.
§  Pura Kahyangan Tiga, Sadkayangan, Dangkahyangan.
§ Konsep Nyegara-Gunung, Gunung Raung sebagai orientasi utama. Dengan Kandaphat sebagai dasar keyakinan (kekuatan gaib).
§  Konsep kelipatan tiga, trikahyangan, sadkahyangan, Gunung Agung Pusat orientasi bergama.
§ Konsep Nyaga Satru (Nyatur), dan  maulu ke tengah (pempatan agung), dan  Gunung Raung Jatim
§  Konsep Padma BhuwanaDewa Nawa Sanga sebagai penjaga penjuru mata angin, maulu kangin dan Gunung Agung.
§ Bebaturan, Padma Capah, ada juga Padma Trisakti (Surya Rong Tiga, rong dua). Gedong rong dua, Tugu di Mrajapati, pekarangan, sanggah, dan lebuh. Bersifat serba genap. 
§  Padmasana, Rong Telu, Meru dengan tumpang Ganjilnya dari 3 sampai 11, Rong Tiga menjadi pembeda dengan sebelumnya. Tugu berlanjut.
§ Sistem pemerintahan Ulu-Apad. Berdasarkan senioritas, desa pakraman dibentuk menggunakan macapat dan rwabhineda, di tengah-tengahnya ada perempatan agung.

§  Kekuasaan diutamakan dipegang oleh triwangsa dan mandat dari penguasa Gelgel turun -temurun. Berdasarkan hak-hak istimewa dari kerajaan (feodalis) .
§ Resistensi tradisi megalitik, penghormatan leluhur, dan kekuatan alam (animism-dinamisme).
§  Pemojopahitan dari desa-desa pakraman, termasuk dominasi pada desa Bali Aga.
§ penggunaan lahan diatur mendasarkan kedudukan dalam ulu-apad. Berdasar kedudukan , sistem bergilir. 
§  Tanah telah dibagi secara permanen berdasarkan penguasaannya (bekal), pecatu kerajaan.
§ Pura ditempatkan pada pusat desa, dan pelaksanaan kegiatan pecaruan banyak dilakukan di perempatan Agung.
§  Pura ditempatkan di Teben Desa (Dalem), Tengah Desa (Puseh dan Balai Agung).
§ Penataan ruang pura, menggunakan triangga, dasar Gunung, yaitu Kaki, Badan, dan Puncak (kasus Pura Penulisan).
§  Penataan ruang pura menggunakan trimandala yaitu jaba sisi, jaba tengah, dan jeroan.
Sumber: Disarikan dari studi dokumen, wawancara dan observasi lapangan, (Pageh, 2010).
Klasifikasi ideologis berdasarkan jejak-jejak sejarah berupa bangunan fisik/artefactmentifact, sociofect dan religiofact menyangkut keyakinan (budaya agama) membutuhkan kemampuan kritik sumber kuat, untuk dapat pemahaman jiwa zaman dan ikatan budaya zaman (ideologis) secara kronologis. Kenyataannya di lapangan tidak ada desa monotradisi yang dapat dijadikan model saat ini, karena telah berakulturasi dari tiga ideologi utama di atas.

2.4 Dampak Dominasi Ideologis Bagi  Desa Bali Aga
            Tidak ada paradigma tunggal dapat dipergunakan untuk memahami kebenaran ideologi, nilai, dan struktur yang ditemukan di masyarakat. Migrasi penduduk dengan kepercayaannya desa pakramannya, membawa kesulitan sendiri dalam menganalisis jejak yang tersisa (Putrawan, 2008). Kini  di desa ditemukan campuran tradisi yang berdasar tradisi besar dan tradisi kecil (Mantra,1997; Sudiana, 2007; Agastia, 1999;lihat Wisnumurt, 2008:29).
Jika tidak dipahami dasar ideologinya maka terjadi saling tinjak  (Atmadja,2010). Dalam konflik ideologi, masyarakat Desa Bali Aga jadi pihak termarginalkan. Karena ideologi Markandya, dan Kuturan banyak sudah dikosongkan nilainya kemudian diisi dengan nilai Nirartha sebagai nilai ideologi yang dikembangkan di Geria yang menjadi pusat penjelasan tradisi, bahkan tatwa dan susila (Siwasidantha), dan terakhir mendapat legitimasi dari pemerintah melalui kegiatan lomba desa (Artika, 2008).
Hegemoni ideologi Nirartha, terhadap tradisi yang dikecilkan masih berciri megalithik dan ajaran Markandeya terus berlangsung (Wisnumurti, 2008:29). Galungan saja dinilai bahwa intinya kemenangan dharma melawan adharma, yang dikonotasikan wong mojopahit (dharma) dan Bali Aga (Mayadanawa) adalah adharma. Hal ini dapat dijelaskan dalam konteks perlawanan tradisi, seperti masyarakat Busungbiu yang tidak mau memenjor saat Galungan.[11]
Dominasi Bali Dataran, nampaknya tidak mudah, membutuhkan waktu sudah lebih 1000 tahun hingga kini. Kuatnya basis ideologi Desa Bali Aga, terlihat sekta Brahma dan Indra melakukan revitalisasi  ideologinya, terlihat sistem relegi di Desa Sukawana, Songan (Indra) Trunyan (Indra), Tenganan Pegringsingan (Indra), Gobleg (Waisnawa), Pedawa (Indra), Sepang (Indra/Surya), Bungkulan-Depaha-Bulian-Tajun (Indra), dan desa kuno lainnya. Tamblingan sebagai penganut sekta Brahma dan Wisnu, kemudian Brahmanismenya dihancurkan (Sastra,2008; Krepun,tt). Pengideologikan Trimurti (Mojopahitisasi) ini sulit dipaksakan secara tuntas di Desa Bali Aga. Seperti tidak mau wali/upacaranya dipuput oleh Pedanda. Bentuk upacara ngaben lebih sederhana di Gobleg ngiyehin, di Sidatapa ngaben adat. Inilah yang berdampak luas munculnya konflik laten dalam berbagai dimensi di masyarakat (lihat Suyasa,2002).
Usaha menyatukannya dari Gelgel (sebagai pemersatu), kemudian Besakih, Batukaru dan Lempuyang, tidak serta merta berhasil. Kemudian Bali Aga dikoptasi dengan Kerbau/Sapi/Wadak sebagai simbol Siwaisme. Seperti di Tenganan dilepas bebas Kebo Duwe, juga di Taro, di Mengani, Desa Selulung, Tampekan bahkan menjadi hama, tetapi dihormati (Pageh, 2006). Upacara Bulu Geles (sapi) di Bulian, Bulu Emas (kerbau) di Bungkulan, dan tidak boleh membawa kuda (kendaraan perang) ke Songan, dan sebagainya. Dan upara Pemayuh Jagat dengan 12 kerbau, upacara Pamalik Sumpah, dan wajib daging kijang di pura tertentu, sebenarnya berideologi penyiwaan (lihat Disbud Bali, 2009; Pemda Bali, 1980). Tradisi yang berusaha mensiwakan Bali Aga sering tidak disadari oleh Desa Bali Aga, bahkan sudah dianggap tradisi Bali Aga, ini berkat kehebatan tokoh culture heroes  di Bali.[12] Seluruh pura segaranya Desa Bali Aga diproklamirikan dibangun oleh Nirartha, secara historis telah ada sekitar 5 adad  sebelumnya. Untuk mengkultuskan orang-orang suci dibikin Meru dengan tingkatan sebagai pembeda kesucian dan kedudukan di Pura Kahyangan Jagat (Titib, 2003:760).
            Ketika terjadi konflik yang diunggulkan ideologi trimurti dominasi ciwaisme. Usaha menyiwakan/mojopahitisasi terus berlangsung hingga kini. Adanya usaha kelompok elite terpelajar dari golongan nontriwangsa, mengadakan menyelusuran sampai ke India, ketika membawa pembaharuan (Samradaya), dicurigai sebagai pengacau Ajeg Bali (lihat Sudiana, 2007; Soebandi,1983). Dengan demikian agama Hindu di Bali, masih berciri Agama Hindu zaman Brahmana di India, mengutamakan ritual dibandingkan tatwanya. Karena ada politik Agama melalui budaya, maka dibangun beberapa mitologi untuk mengembangkan ideologi menjadi arus formal sebagai menerjemahkan kehigupan beragama di Bali (Wikarman,1998). Bahkan konflik ideologi ini terarakhir munculnya dua organisasi umat, yaitu  PHDI Samuan Tiga dan PHDI Besakih (Sudiana, 2007).

2.5 Multy Level Role Model: Rekayasa Ideologi Desa Pakraman Berbasis Kearifan Lokal Trihita Karana.
Materi rekayasa social, meliputi pemahaman konsep-konsep dasar ideologi, desa pakraman, kearifan lokal trihita karana, sasaran dan strategi. Materi, strategi rekayasa sosial, ditentukan oleh waktu, masyarakat sasaran, dan sikon budaya masyarakat yang melingkupinya. Materi yang disediakan menyangkut, (1) karakter pakraman desa Bali Aga, (2) perkembangan pemujaan roh leluhur dari animisme- dinamisme (megalitik) dan pemujaan roh leluhur, (3) Pemujaan roh raja (kultus Dewaraja), (4) wujud fisik pura berideologi rwabhineda, seperti pura Agung Gunun Raung, Taro, Dalem Balingkang, pura Daha Twa  dan sebagainya, komplek pura Panorajon, (4) Sistem pemerintahan Bali Aga, Bali Dataran, dan system pemerintahan lainnya. (5) Perkembangan Desa Pakraman, dan (6) beberapa kearifan lokal Bali yang dapat diungkapkan, (7) kearifan lokal Bali berbasis trihita karana, (8) kearifan lokal Mojopahitisasi, (8) kearifan lokal kultural, dan dominasi ideologis desa dataran. Materi ini dapat dikemas kembali sesuai dengan durasi, kelompok sasaran, dan kepentingan pakraman (lihat “Buku Model Rekayasa Desa Pakraman Bali Aga Berbasis Kearifan Lokal Trihita Karana di Era Globalisasi, Pageh 2011”.).

3. Simpulan dan Saran 
3.1  Simpulan
Klasifikasi perbedaan ideologi dalam perspektif heroes culture, menghasilkan babakan ideologi rwabhineda pada abad ke-8, trimurti, apad abad ke-11 dan dewa nawa sanga (Ciwa Sidhanta) sejak abad ke-16. Pertumbuhan ideologi dengan tetap mengakomudasi kepercayaan terhadap leluhur dan dinamisme memberikan ruang ideologi dominan baru dengan lama saling resistensi, sehingga muncul karakter desa pakraman yang bervariasi dan unik (desa-kala-patra).
Keyakinan untuk mendapatkan keselamatan bersama, memunculkan sistem relegi akomodatif dalam menerima dewa-dewa lokal dan kearifan lokal. Rwabhineda berkembang sejak abad ke-8. Rsi Markandeya mengajarkan basis kekutan itu yang menjadi sumber kehidupan ada pada dualisme harmonis (binarry opostion), dengan kekuatan yang “dapat diduniakan” melalui empat kekuatan (sanak nyatur, dewa nyatur), kemudian difungsikan sebagai penjaga musuh dari empat penjuru (nyaga satru), dilakoni penganutnya sehingga muncul dua saling bertentangan. Muncul ajaran trimurthi sejak abad ke-11, menempatkan triol dewa utama yaitu dewa Brahma, Wisnu dan Siwa (utpeti, stiti, praline).  Danghyang Nirartha menyempurnakan dan memodifikasi relegi yang sudah ada, mengajarkan konsep Ida Sanghang Widhi Wasa, dan dewa nawa sanga ngider bhuwana, yang condong ke Siwa Sidantha. Keinginan menyiwakan menjadi terjadi beberapa usaha melakukan dominasi namun tidak selamanya berhasil, karena konflik laten dapat memunculkan konflik terbuka setiap saat.
Pertarungan mempertahankan ideologi ini, secara idealis dan praksis sering berdampak merugikan Desa Bali Aga. Letak keunggulan sekta trimurti yang didominasi oleh dewa nawa sanga, tidak pada keunggulan filsafati, nilai, demokratisasi dan pelaksanaanya membentuk karakter masyarakat Bali, tetapi ada pada keuntungan posisi yang mendapat dukungan dari penguasa (kerajaan sampa republik). Usaha memarginalkan Bali Aga serta wujud budaya agamanya, tidak disadari terus berlangsung hingga era globalisasi ini. Perbedaan ideologis bukan hanya mengakibatkan konflik ideologis, tetapi juga konflik sistem tatwa, susila, dan upacara, di samping sistem penataan parhyangan, pawongan dan palemahan (trihita karana) di era globalisasi. Multy Level Role Model: Revitalisasi Ideologi ini merupakan tawaran bagaikan setitik air di samudra luas, dalam marginalisasi desa Bali Aga.

3.2  Saran-saran
  • Disarankan pada pemerintah memperhatikan perbedaan ideologi pakraman yang ada dalam mengambil kebijakan menyangkut trihita karana desa pakraman di Bali.
  • Perlu diadakan pelestarian ideologi desa Bali Aga dengan revitalisasi ideologinya yang termarginalkan sudah hampir 13 abad,sehingga kearifan lokal desa Bali Aga dapat berkembang di era globalisasi.
  • Direkomendasikan menggunakan Multi Level Role Model dalam pelaksanaan revitalisasi ideologi desa pakraman berbasis kearifan lokal trihita karana di era globalisasi.



DAFTAR PUSTAKA

 Atmaja, Jiwa. 2005. Leak dalam Foklore Bali. CV Bali Media Adhikarsa: Denpasar
Bagus, AAG. 2007. “Kultus Dewa Raja dalam Seni Arca di Pura Sibi Agung Kesian”, dalam Seri Penerbitan Forum Arkeologi, Nomor I Mei 2007. Balai Arkeologi: Denpasar. Hal. 61-79.

Bangli, IBP. 2004. Agama Tirtha dan Upakara.  Paramita : Surabaya.

Bocok, Robert, t.t. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni, I Mahyudin (penerjemah). Jalasutra: Bandung.

Budhiartini, PP. 2000. Rangda dan Barong Unsur Dua Listik, Mengungkap Asal-Usul Umat Manusia. Lampung Tengah.

Carspecken, P.F., (1998). Critical Etnography in Educational Research: A Theoritical an Practical Guide. London and New York: Routledge.

Covarrubias, M. 1973. Island of Bali. PT Java Books Indoneisa : Jakarta.

Dharmayuda, I Made Suasthawa. 1995. Kebudayaan Bali: Pra-Hindu, Masa Hindu dan Pasca Hindu. Kayumas Agung: Denpasar.

Dharmayuda, IMS. 1995. Kebudayaan Bali Pra Hindu, Masa Hindu dan Pasca Hindu. CV Kayumas Agung : Denpasar.

Dinas Kebudaaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng. 2006.  Usada Bali. Pemerintah Kabupaten Beleleng : Singaraja.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 2009. Purana Pura Dalem Balingkang, Alih aksara dan Terjemahan.  Dinas Kebudayaan Provinsi Bali: Denpasar.

Geertz, C. 1995. Kebudayaan dan Agama, Budi Susanto (pen.). Kanisius : Yogyakarta.

Geria, AAG. 1977. Desa Bedaulu. Proyek Sasana Budaya Bali: Denpasar.

Kompiang Gede, D. 1999. “Phallus dan Vulva di Pura Puseh Mambal Badung, Tinjauan Bentuk dan Fungsinya”, dalam Seri   Penerbitan Forum Arkeologi, Nomor I Juli 1999. Balai Arkeologi: Denpasar. Hal. 24-33.

Kompiang Gede, D. 2007. “Potensi Kehidupan Prasejarah di Pura Dang Khayangan Luhur Pasatan, Kabupaten Jembrana”, dalam Seri Penerbitan Forum Arkeologi, Nomor II Oktober 2007. Balai Arkeologi: Denpasar. Hal. 110-123.

Korn, VE. 1978. Hukum Adat Kekeluargaan di Bali. I Gde Wayan Pangkat (penerjemah). Biro Dokumentasi dan Publikasi FH. Unud Denpasar.
Kukla, A. 2003. Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Jendela : Yogyakarta.

Kusumawati, A. 1996. “Unsur-unsur Prasejarah pada Arca-arca Pemujaan di Beberapa Pura di Bali (Kajian Data Arkeologi) dalam I Wayan Ardika dan I Made Sutaba (ed.) Dinamika Kebudayaan Bali. Upada Sastra : Denpasar.

Kyimlicka, W. 2003. Kewargaan Multikultural. PT Pustaka LP3ES Indonesia : Jakarta.

Leanch, Edmund. 1968. “Claude Levis-straus: Athropoloist and Philosopher”, dalam Theoy in Antropology A Sourcebook. Robert A. Manners dan David Kaplan (eds.). Chicago: Aldine Publish Company.

Mahaviranata,P. 1993. “Celak Kontong Lugeng Luwih”, dalam Seri Penerbitan Forum Arkeologi, Nomor I Maret 1993. Balai Arkeologi: Denpasar. Hal. 1-5.

Mantra, IB. 1997. Tata Susila Hindu Dharma. Upada Sastra: Denpasar.

Nadjamuddin, L. 2002. Dari Animisme ke Monoteisme, Kristenisasi di Poso 1892-1942. Yayasan Untuk Indonesia: Yogyakarta.

Nordholt, HS. 2006.  The Spel of Power, Sejarah Politik Bali 1650-1940. Pustaka Larasan : Denpasar.

Nurkancana, W. 2009. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Offset BP Denpasar : Denpasar.

O’Donnell, K. 2009. Sejarah Ide-Ide. Kanisius : Yogyakarta.

Pageh, IM; Atmadja, NB. 2010. Sejarah dan Kearifan Berbangsa, Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah.Pustaka Larasan : Denpasar.

Parimartha, I Gde.  “Desa Adat. Desa Dinas, dan Desa Pakraman di Bali: Tinjauan Historis Kritis”, dalam  Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik, Ardika, I Wayan dan Dharma Putra (ed.). Balimangsi: Faksas Unud Denpasar.

Parisada Hindu Dharma Indonesia. 2006.  Selayang Pandang Pura Ulun Danu Batur. Kabupaten Bangli : Bangli.

Pemda Provinsi Daerah Tingkat I Bali. 1980. Bali Tempo Doeloe.  Pemda Provinsi Daerah Tingkat I Bali: Denpasar.

Pitana, I Gde; Setiawan, AP. 2005. Revitalisasi Subak dalam Memasuki Era Globalisasi. Andi: Yogyakarta.

Putrawan, N. 2008. Babad Bali Baru: Sejarah Kependudukan Bali 1912-2000. Manikgeni: Denpasar.

Saiffudin, A.F. 2006. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Prenada Media Group: Jakarta.

Sastra, G.S. 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini. Pustaka Bali Post: Denpasar.

Steger, MB. 2005. Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar. Lafadl Pustaka : Jogjakarta.

Stuart-Fox, DJ. 2010. Pura Besakih: Pura Agama dan Masyarakat Bali. Pustaka Larasan: Denpasar.

Suantika, IW. 1993. “Sri Maha Raja Haji Jayapangus, Cakap dan Bijak”, dalam Seri Penerbitan Forum Arkeologi, Nomor I Maret 1993. Balai Arkeologi: Denpasar. Hal. 71-77.

Suarbhawa, IGM. 1993. “Migrasi pada Masyarakat Bali Kuna”, dalam Seri Penerbitan Forum Arkeologi, Nomor I Maret 1993. Balai Arkeologi: Denpasar. Hal. 78-87.

Sudarsana, K.2005. Bali Dwipa Mandhala. Denpasar.

Sudiana, IGN; Artha,IM. 2007. Samhita Bhisama, Parisada hindu Dharma. PHDI: Denpasar.

Sudiasta, IGB. 2002. Katuturan Jro Pasek Bulian. Gedong Kirtya : Singaraja.

Sugriwa, IGB. 1991. Dwijendra Tatwa.  Upasada Sastra : Denpasar.

Sutha, I.G.K. 1993. “Hukum Adat dalam Kaitannya dengan Kebudayaan Serta Kepribadian Bangsa (dalam Menghadapi Berbagai Tantangan dan Arus Globalisasi)”, dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Upadasastra:Denpasar.

Syafa’at, R (et all.). 2008. Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal. In-Trans Publishing: Jawa Timur.

Syam, N. 2009. Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Kanisius : Yogyakarta.

Titib, IM. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Paramita : Surabaya.

Titib, M. 1989. Pengertian Pura dan Bangunan Suci di Bali. Dharma Jati : Denpasar.

Wikarman, INS. 1998 . Sanggah Kamulan, Fungsi dan Pengertiannya. Paramita : Surabaya.

Wingarta, P.S.2006. Bali-Ajeg, Ketahanan Nasional di Bali Konsepsi dan Implementasinya Perspektif Paradigma Nasional. Grafika Indah : Jakarta.

Wisnumurti, AAGO. 2008. Elite Lokal Bali. Arti Foundation : Denpasar.

Yendra, I W. 2008. Dokter Bali Spesialis Leak, I Balian Putus, Mengobati Tanpa Obat Menyembuhkan Tanpa Kambuh. Paramita: Denpasar.

Yudabakti, I M.; Watra, I W. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali. Paramita: Surabaya.






[1] I Made Pageh, Wayan  Suyasa, Wayan Sugiartha adalah dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FIS, mendapat hibah Strategis Nasional tauhn 2010/2011. Bibiayai dari Anggaran DIPA Lembaga, dengan Kontrak No. 0541/023-04.1.01.00/2011.Tanggal 20 Desember 2010

[2] Hampir setiap pura kuno yang dikunjungi dalam penelitian ini ada pohon besarnya, benda purbakalanya, baik di dalam lingkungan Pura maupun di luar pelinggih. Umumnya di pura-pura kuno hidup Pohon Beringin, pohon Jepun, dan pohon Pule.
[3] Kepercayaan asli Melayu Austronesia ini disebut Animisme dan Dinamisme, berkembang sejak zaman Megalithik, tradisi Megalithik ini masih banyak ditemukan dilaksanakan di Pura-pura kuno.
[4]Kepercayaan ini dikonsep dalam nama ajaran Rwabhineda pertentangan dua unsur yang nampaknya bertentangan, namun jika harmoni terjadi baru disebut hidup sejati.
[5]Diyakini dapat memberikan manfaat untuk keselamatan, misalnya dalam keadaan perang, dan konflik masal yang mengatasnamakan desa/kelompok kawitan. Benda sakral itu diyakini bisa menyebabkan kebal, kuat dan memiliki ciri-ciri kekuatan diluar jangkauan akal sehat.
[6]Awig-awig Desa Songan, (1912 Caka:5-6); Wawancara dengan Mangku Songan (23th), dan hasil pengamatan partisifasi aktif saat wali Bhatara Turun Kabeh di Ulun Danu Batur Songan. Genting Negara bermakna perang dengan negara (desa) lain yang menjelekkan Songan. Hal ini terbukti tahun 2011 terjadi kasus konflik desa dengan desa Kawan Bangli bentrok terjadi sampai mengorbankan seorang dari Desa Songan.
[7] Wawancara dengan Jero Pande Eka Songan (52th), Pan Suwati Tabanan (75th), Sri Mpu Juwuk Manis Negara (48th), Mangku Sumedana Sepang 72th), Jero Gede Sutawan (48 th), Jero Mangu Kartika Songan (23 th).
[8] Mengikuti Edmund Lech (1968) “Laude Levi-Strauss – Anthropologis and Philosopher”, dalam Theory in Anthropology A Sourcebook, Robert A. Manners and David Kaplan (eds.). dan John Pike Teori Struktural Prancis (1967).
[9] Desa Julah tanah desanya telah dikonversi menjadi milik perorangan, disertifikasi sehingga siklus bergilir hilang.
[10] Mpu empat bersaudara, yaitu Mpu Semeru (Siwaisme) di Besakih, Mpu Ghana di Dasar Bhuana Gelgel, Mpu Kuturan (Bhudaisme) di Silayukti,dan Mpu Genijaya (Brahmanisme) di Lempuyang Luhur.
[11] Galungan sudah ada zaman Bali Aga, sebagai upacara syukur dan “berterimakasih pada-Nya” atas berlangsungnya panen raya. Tradisi memed-medan, gabur-gaburan air, perang ketupat, meguak-guakan, guak ngalih ikut, tradisi di Sanur dan Kapal, ciri Waisnawa. Juga Penjor simbol Sungai (Waisnawa) diubah menjadi Nagabasuki (Ciwais) di Gunung Besakih, ideologi mengubah Waisnawa menjadi Siwaisme.
[12] Danghyan Nirartha memiliki 6 istri (3 orang dari Penyeroannya), lahir 10 anak (9 Laki dan 1Perempuan). Poligami dianggap legal pada zaman itu, sehingga tidak dianggap Cuntaka.