Kamis, 26 November 2015

Tengkulak -Syahbandar di Bali Utara zaman kolonial Belanda


DARI TENGKULAK KE SUBANDAR: 
Perdagangan di Singaraja Kota Keresidenan Bali dan Lombok
Tahun 1850-1940.

ABSTRACT

From Tengkulak and Soebandar: In The Trade of Local Commodities 
in Singaraja Town the Dutch Colonialism 
Era, 1850-1942.

By: I Made Pageh, 53 pages

The Bali and Lombok are dominated by political history, the arrival of the Indonesian nation to the dutch economy to gain advantage the trade in Bali and Lombok keresidenan a very important to be researched. ThatThis study aimed at providing the answers to the following problems chronologically:1) What kind of commodities were marketed in the local region during this time?; 2) What was the structure of the trade like?; 3) How were role of “Tengkulak” and Soebandar in the trade of local commodities in Singaraja town the Dutch colonialism Era ? 
          The procedure of collecting the data was historical method involving: heuristic, critic (external and internal), interpretation (analysis), and historiography. In this case a quantitative analysis was also used. The steps including arranging the members gained the data collecting on tables, and presenting historiography social economic history.
       The North Bali region supported the beach trading in 1850-1942 due to its openness to the traders from South East Asia. Because of its dry land, the region was very conducive for such plantation as coconut and coffee, and also for keeping such domestic animals as pigs and cows to be marketed locally. Under the Dutch administration (1850-1942), both domestic and foreign market could be controlled very well and these period were supposed to be its golden years until the center of the goods export and import was moved to Makasar in 1920s. The market surplus took place in 1914-1919, approximately 23.11% per year. The structure of the market did not follow the mono-mainstream whether it was in the market levels, the traders, the flow of the goods internally or externally. “Tengkulak” and “Subandar” were actually two market behavior important in trade chain. The “tengkulak” collected the commodities from the famers who were running scale small production, while the “subandar” organized the goods export and import in seaport, their co-operation trade ran very well. The town was collapsed because of the Dutch administration’s policy to centralize the export and import the goods of East Indonesia in Makasar in 1920. Beside that there was also an economy depression in 1927-1930s. Because of these the town was then a “sleeping lion”, since it was occupied by the Japanese in 1942.
 Keyword: Tengkulak, Syahbandar, Perdagangan Kolonial Belanda di Bali
  
1.      Pendahuluan
Penulisan sejarah sosial-ekonomi belakangan makin meningkat yang mulanya hanya didominasi oleh sejarah politik. Kajian sejarah model ini berusaha melibatkan rakyat kecil sebagai salah satu faktor penting dalam kajian. Sejak zaman kolonial sampai awal kemerdekaan tidak banyak ditemukan karya yang mengambil tema sejarah sosial- ekonomi. Beberapa tokoh perintis sejarah sosek antara lain: Van Soest (1869), Pierson (1868), Collenbrander (1926), Gonggrijp (1928), Clive Day (1966), van Leur (1955). Beberapa di antaranya merupakan sejarawan Indonesia seperti: Sartono Kartodirdjo (1966) menulis pemberontakan Petani Banten; Benda dan Castel (1969) mengenai gerakan Samin; Onghokham (1975) menulis tentang  Madiun; Kuntowijoyo (1984) mengenai perubahan sosial di Madura; dan Djoko Suryo (1989) tentang perubahan sosial di keresidenan Semarang (Cf. Pageh, 1998).
Selanjutnya di tahun 1970-an sejarah perekonomian mendapat perhatian lebih banyak dalam kajian para sejarawan, baik sejarawan dari dalam negeri maupun luar negeri. Di antaranya  Elson (1984) mengkaji Tanam Paksa di Pasuruan; Fernando (1989) tentang Cirebon, Roger Knight (1983) tentang Pekalongan, Soegijanto Padmo (1994) tentang Tembakau di Pasuruan dan Basuki, Bambang Purwanto (1992) tentang Karet Rakyat di Sumatera Selatan, dan sebagainya. Dalam karya sejarah sosial-eonomi tersebut di atas banyak menemukan hal-hal baru yang sangat menarik. Misalnya keyakinan selama ini bahwa Sistem Tanam Paksa dianggap penyebab terjadinya kemiskinan massal di pulau Jawa, ternyata tidak terbukti demikian adanya. Hal ini kaji oleh tokoh-tokoh dari negeri Belanda,  seperti: C. Fasseur, Th. Lindblad; Amerika Serikat Robert van Niel dan dari Australia seperti, R.E. Elson dan G.R. Knight dalam pembahasannya.
Kajian para sarja tersebut mengilhami penulis, di samping daerah Bali tidak banyak diungkap dalam penelitian-penelitian tersebut. Penulis tertarik pada perpindahan barang dari desa pedalaman atau hinterland  ke kota atau daerah pesisir, khususnya dalam hubungan dagang masyarakat desa dengan masyarakat kota di Singaraja. Petani berperan sebagai juru produks barang, sedangkan dalam pemasarannya lebih didominasi oleh pedagang yang bukan petani. Serplus dari hasil pertanian lebih sering menguntungkan tengkulak dan soebandar.[1] Tengkulak berperan sebagai rantai penghubung antara penghasil dan penjual ke luar dalam memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat pedesaan. Tengkulak berperan sebagai rantai penghubung, di pihak lain soebandar berperan sebagai eksportir dan importir.  Jaringan di antara mereka inilah yang sangat menarik untuk dikaji, karena peran mereka sangat menentukan kelancaran dan perkembangan perdagangan di Bali Utara.[2]
            Dari latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahannya, antara lain:  apa sajakah komoditas yang diperdagangkan; bagaimanakah volume dan struktur perdagangannya; bagaimanakah peranan tengkulak dan soebandar dalam perdagangan di kota Singaraja yang ketika itu menjadi kota Keresidenan Bali dan Lombok? Mari kita diskusikan satu persatu dalam topik berikut.

2. Metode Penelitian
            Penelitian ini menggunakan metode penulisan sejarah, yaitu heuristik (pengumpulan data), kritik (ekstern dan intern), interpretasi (analisis), dan historiografi, atau penulisan, yang dalam penulisannya diwarnai oleh teori sosial-ekonomi. Dengan perspektif social-ekonomi  ini dapat menghasilkan renik-renik dan struktur peristiwa yang dikaji. Perdagangan dari tengkulak sampai Soebandar memiliki struktur linier sebagai berikut.
Bagan/Design: Hubungan linier rantai perdagangan antara Petani, Tengkulak, dan Soebandar.

(1) Raja/Punggawa-----Soebandar (Penguasa Pelabuhan)


 


(2) Bandar---- Bandar ---- Bandar ----Bandar


 


(3) Pedagang/Agen-agen  (Broker/Perantara)
 

(4) Tengkulak (Penendak/Pengalu)


(5) Petani (Produsen)

Sumber: Diadaptasikan dari I Gde Parimartha, “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, Disertasi, Vrije Universiteit, Amsterdam, 1995, hal. 242 


3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1  Kondisi Geografis, Penduduk, dan Sarana Pendukung Perdagangan di Ibu Kota Keresidenan Bali dan Lombok (Singaraja).
            Secara historis pada zaman kekuasaan kolonial Belanda, Singaraja pernah menjadi kota keresidenan Bali dan Lombok sejak tahun 1882-1942. Juga setelah merdeka dijadikan ibu kota Sunda Kecil, di tahun 1958 Nusa Tenggara di bagi menjadi tiga daerah administratif yaitu: (1) Bali; (2) Nusa Tengara Barat; dan (2) Nusa Tenggara Timur. Sehingga sejak itu, Bali menjadi sebuah propinsi tersendiri dengan ibu kota Denpasa,  sedangkan Singaraja berstatus kota kabupaten, bagian dari wilayah Propinsi Bali.[3] Sejak itu sebenarnya Singaraja menjadi “singa ompong atau singa ompong tidur nyenyak”.
            Pegunungan yang membelah Bali menjadi dua bagian, sekaligus menjadi batas alam, antara Bali Selatan dan Bali Utara (Den Bukit).[4] Luas seluruh swapraja Buleleng adalah 1.326 km2, sekitar (23,58%) dari 5.621,3 km2 seluruh luas Pulau Bali. Grader (1937-an) menggolongkan Bali Utara menjadi tiga bagian yaitu Buleleng Barat, Buleleng Tengah, dan Buleleng Timur. Dari ketiga itu, Buleleng Tengah yang memiliki kawasan paling subur dan sangat potensial terhadap berbagai komoditas.
Perkembangan Penduduk: sensus penduduk tahun1815 tahun 1905 dan 1920 hanya berlaku untuk Jawa. Oleh karena itulah maka sensus penduduk Indonesia kecuali sensus penduduk tahun 1930,1920,1961 dan 1971 dan seterusnya zaman Orde Baru, tidak dapat disebut sensus penduduk di Indonesia.[5] Beberapa penulis menuliskan data kependudukan dalam sejarah Buleleng, di antaranya: Medhurst (1837) menyebutkan, “Djambarana is included in the king of Buleleng..., the two states contain a population of from 60 to 80.000 souls.”[6] Sekitar dua dekade kemudian, muncul laporan Waanders (1859) yang menguraikan tentang gambaran komposisi penduduk Buleleng  sebagai berikut.
Pemimpin (230 orang); Brahmana(210 orang); Satriya (240 orang); Wesya (300 orang); Sedahan (41 orang); Keliyan Subak (120 orang); Mangku, Keliyan Desa, Kubayan, Bendesa, Pekaseh (400 orang); Pengayah (3.300 orang); Budak (700 orang). Jumlah seluruhnya  6.241 orang. Sedangkan Orang Timur Asing, disebutkan Cina (40 orang), Arab (3 orang), Bugis dan Makasar (150 orang), seluruhnya berjumlah 6.434 orang.[7]

Sedangkan tahun 1870-an, van Erck (1873) menyebutkan penduduk Buleleng sebanyak 63.111 orang. Terdiri dari; 57.866 orang Sudra, 359 orang Cina, 86 Arab, 2.400 orang  asing lainnya. Dan taksiran Hollander (l898) mencatat berjumlah 67.261 jiwa: brahmana 886 orang, ksatriya 1.205, dan 5.550 orang Wesya.[8] Catatan penduduk tahun 1882 (dalam Regering Almanak,1882:5), menyebutkan berdasarkan etnis; sekitar 65.303 orang Bali, 1.662 orang Bugis, 395 Cina, 138 orang Arab, dan 31 orang Eropa, sehingga menjadi berjumlah 67.519. Pemerintah Belanda pada tahun 1889 mencatat bahwa penduduk Buleleng sebesar 79.763 orang. Sedangkan hasil sensus penduduk tahun 1930, memberikan catatan jumlah penduduk yang agak menggembirakan. C.J. Grader (1937-an) dalam memorialnya menyebutkan, penduduk Buleleng terdiri atas empat golongan yaitu: golongan Pribumi (167.703 orang); golongan Eropa (197 orang); golongan Cina (2.255 orang); dan golongan Timur Asing (483 orang), sehingga jumlah seluruhnya adalah 178.638 orang.[9] Bukan jumlah dan ketepatan angka-angkanya yang menjadi perhatian di sini, tetapi heterogitasnya, untuk menentukan kemetroplitannya, berdasar meltingpotnya penduduk sebuah kota. Dengan melihat gambaran penduduk Buleleng yang sangat heterogin itu, dari tahun ke tahun, maka dapat dikatakan kota Singaraja telah berkembang menjadi kota dagang penting di nusantara saat itu.
Potensi kota Singaraja sebagai kota Dagang keresidenan Bali Lombok, didukung oleh Pelabuhan Laut: Pabean Buleleng, Sangsit, dan Temukus, di samping jalan darat sebagai sarana pendukung perdagangan di Singaraja. Sedangkan bandar-bandar kecil tersebar di Pantai Utara Bali, seperti yang disebutkan oleh Bloemen Waanders, sedikitnya ada tujuh bandar dagang di daerah ini, antara lain: “Pengastulan, Temukus, Anturan, Buleleng, Sangsit, Kubu Kelod, dan Lirang”. Waanders (1859) menyebutkan tujuh pelabuhan ini, disewa oleh Soebandar Cina, dengan pusat perdagangannya di Pelabuhan Buleleng. Tiga pelabuhan yang disebut terdahulu dapat disebut sebagai triangle seaport, karena ketiga pelabuhan ini dalam kerjanya berupa kesatuan organisasi, terutama sebelum datangnya Belanda.[10]
            Di Bali Utara ditemukan segregasi sosial sistem pemerintahan berdasarkan kelompok-kelompok etnis. Para pemimpin etnis tersebut, antara lain. Pecinan dipimpin oleh Kapitein der Chineezen Tan Swie Tjhwan (19 September 1899); tahun 1909 di Buleleng bernama The Kiem Ting, di Temukus pimpinannya bernama The Kiem Hwat dan di Sangsit Oei Hok Sioe. Tahun 1914 diangkat Kapitein Lim Bing Soen (17-2-1914).[11] Pemimpin Islam di Pabean dan Islam Bali lainnya sampai Islam Tegalinggah bernama Abdurrahman (18-1-1899), dan di daerah pengastulan bernama Hadji Machmoed (27Juli 1901).  Sedangkan kepala Arab dan Keling di Pabean Buleleng bernama  Said Moeksin bin Hasan bin Smit (18 Mei 1901), Pemimpim Bugis dan Madura di Buleleng dan Temukus tahun 1901 bernama Akib bin Hadji Djafar alias Rebo (17-2-1901); pemimpin Bugis di Pabean Buleleng dan Temukus bernama Mohammad Sech (27-9-1920) dan Sech Achmad bin Bakar Maasar (25-10-1925); tahun berikutnya bernama Sjech Islam bin Salim Alhadjri (27-9-1920). Sedangkan dalam pemerintahan, penduduk lokal banyak menempati posisi sebagai pekaseh, sedahan dan juru tulis residen Buleleng.[12]

3.2 Struktur Perdagangan Komoditas Lokal di Kota Singaraja
            Geertz (1980) menyebutkan, ada empat hal yang esensial yang harus diperhatikan dalam perdagangan di Bali pada abad ke-19 yaitu, (1) pasar berputar secara periodik, (2) pasar yang muncul akibat hubungan-hubungan pertukaran tradisional (3) pasar terisolasi secara politik berupa perdagangan di pusat-pusat pelabuhan. Disebutkan juga pasar muncul sebagai akibat dari suatu kebiasaan, bukan suatu keharusan. Sedangkan tempat perdagangan yang penting bagi pedagang asing adalah pelabuhan-pelabuhan yang ada di pinggir pantai, yang dikendalikan oleh “negara”.[13]
Di Bali pasarana mengikuti struktur tiga (triwara) yaitu Pasah, Beteng dan Kajeng. Seperti disebutkan oleh Bruyn Kops (1909) pasar lokal dapat ditemukan hampir ada pada kecamatan, hari pasarannya digilir berdasarkan  triwara  yaitu beteng (wet vruchtbaar), kajeng (hout) dan, pasah ( droog).[14] Tingkatan pasar ini, sekaligus menggambarkan tingkatan pedagangnya. Nordholt menggambarkan tingkat-tingkat perdagangan di Nusa Tenggara yaitu: (1) perdagangan lokal Nusa Tenggara, dapat dipandang sebagai pedagang kecil, yang dilakukan oleh penduduk pribumi, pedagang Arab, dan Cina; (2) perdagangan antarpulau yang dilakukan oleh pedagang tingkat menengah, dilakukan oleh pedagang Cina, Arab dan Bugis; (3) pedagang jarak jauh atau besar, terutama dilakukan oleh orang-orang Eropa dengan kapal-kapal besar.[15]
            Dari tingkat pasar dan tingkat perdagangan terurai di atas, dapat dilihat pola-pola perdagangan di Nusa Tenggara. Secara umum hal itu dapat dibedakan menjadi tiga pola utama, yaitu: (1) pola perdagangan di dalam (binnenlandsche handels), yakni perdagangan yang ada di Bali dan sekitarnya; (2) pola perdagangan antarpulau (buitenlandsche handels), yakni perdagangan yang berhubungan dengan daerah-daerah yang lebih luas seperti hubungan dagang dengan Jawa, Singapura, Hongkong, Makasar, Ambom dan pulau-pulau lainnya; (3) pola perdagangan ke luar negeri antarbenua dengan kapal besar (de handels met de schapen), yakni para pedagang Eropa yang telah menggunakan kapal-kapal yang lebih besar, seperti misalnya NHM, KPM  (Belanda) pedagang Eropa lainnya seperti kapal Jerman, kapal Inggris yang telah melakukan kontak dagang dengan Bali Utara pada awal abad ke-19.[16]

Perdagangan komoditas local: pada awal kedatangan Belanda perdagangan ke Surabaya tahun 1847, Buleleng masih mengimpor kopi. Total impor kopi dari Surabaya pada kwartal pertama tahun itu sebesar 2,9 kwintal, tahun 1848 sebesar 24 kwintal. Kemudian tahun 1849 sebesar 213,21 kwintal, dan tahun 1850 sebesar 1.265,40 kwintal. Impor kopi selama empat tahun tersebut di atas, terus mengalami peningkatan secara tajam.[17] Sedangkan ekspor dan impor seluruh wilayah Bali Utara pada tahun 1850-an lihat table berikut.

Tabel 01: Ekspor-Impor Beberapa Komoditas  Lokal Bali Utara Tahun 1850-an
Volume/nilai ekspor (f)
Volume/nilai impor (f)
30.000 pikul beras
100.000
300 peti candu, a 500 biji
450.000
4.000 pikul tembakau
  31.000
700 pikul gambir
    7.350
10.000 pikul kedele
  30.000
420 pikul besi
    9.250
3.000 pikul kapas
  19.000
80 peti kain katun
  30.000
300 kelapa butiran
    7.500
10 pikul benang sutera
    7.500
1.500 pikul minyak
  22.500
Klontong, emas
  10.000
2.000 pikul kopi
  36.000
-
-
1.000 ekor sapi
  18.000
-
-
150 ekor kuda
    4.500
-
-
600 ekor babi
    3.600
-
-
Total nilai ekspor
275.600
Total nilai impor
514.100
Sumber: F.L. van Bloemen Waanders, “Aanteekeningen omtrent de Zeden en Gebruiken der Balinezen, inzonder-heit die van Boeleleng”, TBG, DI. VIII, (1859), hal. 81
            Tahun 1869 nilai impor sebesar f 1.112.723 dan nilai ekspor f 1.181.474, sehingga perdagangan luar negeri mengalami surplus sebesar 16,63%.  Dengan rincian barang-barang ekspor dan impor seperti terlihat dalam tabel 03 berikut di bawah ini.

Tabel 02:  Perbandingan Ekspor dan Impor Bali Utara Tahun 1869
Volume dan nilai ekspor (f)
Volume dan nilai impor (f)
  Gula Aren
       3.187
  gambir
       32.941
  dendeng
     18.639
  kopi
       11.633
  kulit
     14.301
  kain
     467.359
  kedele
   190.156
  candu
     581.259
  kelapa
     21.050
  beras
       19.531
  minyak  kelapa
     87.480


  kopi
   315.623


  kain
     81.930


  candu
     75.121


  sapi
   213.925


  tembakau
   145.766


  babi
     14.297


Total
f 1.181.474
Total
   f 1.112.723

Sumber:  ANRI, “Laporan Keadaan Politik Tahunan Daerah Buleleng dan Jambarana         Tahun 1869”.

           
Hasil per hektarnya sekitar 2,65 sampai 4 kwintal. Produksi kopi pertahunnya, untuk seluruh Bali sekitar 8.198 ton yang terdiri atas kopi robusta 7.131 ton dan arabika sebanyak 1.067 ton, demikian Waanders (1859) menyebut.
Berbagai ekspor komoditas lokal di Bali Utara awal aba XX, lihat tabel di bawah ini.
Tabel 02: Volume Ekspor Beberapa Komoditas Lokal Bali Utara 1909-1918
                 (dalam Pikul)
Thn.
Kopra
Kopi
Kacang
Tanah
Bawang
Temba-kau
Beras
Katun
Minyak Kelapa
1909
1.268.885
682.020
152.554
43.262
8.529
-
-
-
1910
2.276.280
613.847
69.822
66.942
31.740
-
-
-
1911
2.830.840
1.317.132
217.121
133.045
65.881
-
-
-
1912
1.545.571
2.444.188
295.146
37.009
54.175
-
-
-
1913
1.824.984
1.164.128
230.866
50.400
41.140
-
-
-
1914
4.444.716
1.135.980
119.226
174.024
384.799
2.147.659
138.453
168.710
1915
2.419.016
3.299.434
64.299
222.313
446.181
2.569.746
166.637
286.229
1916
3.325.068
1.422.835
118.019
247.848
301.696
2.067.830
114.342
274.197
1917
4.738690
472.494
81.699
310.567
413.086
2.178.918
99.395
429.124
1918
3.035.849
642.279
146.400
224.674
548.520
2.045.337
140.885
365.346

Sumber:ANRI. H.W. Veenhuyzen, Memorie van Overgave der Resident Bali en Lombok, (Singaraja, November 1914), hal.66-67; dan Stenis, Memorie van Overgave der Resident Bali en Lombok, (Singaraja, 1919), hal. 41 dan hal.100

            Besarnya kebutuhan daerah Buleleng terhadap logam mulia (emas dan perak), dapat dijadikan bukti kemakmuran daerah ini.  Logam mulia dipergunakan sebagai perhiasan dan perlengkapan upacara adapt dan keagamaan, baik dikonsumsi maupun untuk dipergadangkan kembali. Berkembangnya kebutuhan akan emas dan perak dari tahun 1909-1918, lihattabel berikut.
Tabel 04: Impor Emas Tahun 1909-1913
Tahun

Buleleng
Total: Keresidenan Bali dan Lombok
Keterangan
Logam
Emas
Perak
Emas
Perak

%
1909
65632
688621
65682
741021
100% Emas dan 92,92% Perak
1910
24130
536100
24190
605375
99,75% Emas dan 88,57% Perak
1911
89650
253380
89650
536100
100% Emas dan 47,26%Perak
1912
162505
1138515
172505
1368603
94,20%Emas dan 83,18%Perak
1913
221365
276000
222565
425000
99,46% Emasan 64,94% Perak

Sumber: ANRI, H.W. Veenhuyzen, Memorie van Overgave der Resident Bali en Lombok, (Singaraja, November 1914), hal.67


Selama lima tahun dalam tabel di atas, tampak rata-rata impor emas untuk daerah Bali Utara sebesar 98,68% dari seluruh impor emas residen Bali dan Lombok, dan sebesar 75,37% untuk perak. Bahkan pada tahun 1901 dan 1911, 100% impor emas daerah ini untuk daerah Bali Utara.[18]
Neraca Perdagangan Bali Utara, 1914-1918, dapat dilihat dari ekspor barang yang dikirim dari pelabuhan Buleleng ke beberapa daerah lain dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 05: Total  Ekspor 1914-1918
Tujuan
ekspor ke:
1914
1915
1916
1917
1918
Luar Ned. Indie
1.399.146
900.457
1093.871
960.314
540.735
Jawa dan Madura
1.332.724
1.206.603
1.612.036
2.536.999
3.017.753
Daerah lain
26.285
32.202
43.446
42.491
25.248
Prop. Lain di Bali
12955664
14012574
13026250
12256453
12750442
Total
15913819
16151836
15775603
15776257
16334178
Sumber: ANRI, L.U. van Stenis, Memorie van Overgave het Gewest Bali en Lombok, (Singaraja, April 1919), hal. 99

Sedang angka-angka impor yang dapat ditemukan dari tahun 1914-1918, yaitu saat  Perang Dunia I berkecamuk,  sebagai berikut.

Tabel 06: Total  Impor 1914-1918
Impor dari
daerah

1914
1915
1916
1917
1918
Luar Ned. Indie
187550
283757
161301
329852
322916
Jawa dan Madura
1216406
1203342
1814060
2479927
2293690
Daerah lain
48480
18356
35306
145298
98855
Prop. Lain di Bali
10245199
16763435
10418775
9609021
9504830
Total
11697635
18268890
12429442
12564098
12220291
Sumber: ANRI, L.U. van Stenis, Memorie van Overdave het Gewest Bali en Lombok, (Singaraja, April 1919), hal. 99

            Dari perbandingan ekspor-impor dalam tabel 14.a dan 14.b di atas, dapat dihitung surplus atau defisitnya suatu perdagangan di Nusa Tenggara yang difokuskan lewat Pabean Buleleng. Pada tahun 1914 perdagangan Luar Negeri (dengan Bali Utara) mengalami surplus 26,49%; tahun 1915 perdagangan mengalami defisit ke poin 13,11%; tahun 1916 kembali surplus  21,21%; tahun 1917 surplus lagi 20,46%; dan tahun 1918 mengalami surplus sebesar 25,19%. Jadi perdagangan luar ngeri selama lima tahun (dari tahun 1909-1918 ) defisit hanya terjadi pada tahun 1915 sebesar 13,11 %, tahun yang lain surplus rata-rata sebesar 23,33%.
3.3   Peranan Tengkulak dan Soebandar dalam Pergagangan di Bali Utara
3.3.1 Peranan Tengkulak: tengkulak dapat dipandang sebagai salah satu pelaku dalam perdagangan pengumpul hasil pertanian dan ternak yang ada di pedesaan, sedangkan di atasnya ada pedagang perantara. Banyak istilah lain yang ada sehubungan dengan tengkulak ini, sangat tergantung pada daerah masing-masing dan barang dagangan yang diperjual-belikan. Seperti ada disebut penedak, pengalu, calo, broker, pialang, saudagar dan  banyak sebutan lainnya lagi secara lokalitas diberikan penduduk.
            Para tengkulak mengontrol perdagangan komoditas pertanian di daerah pedesaan Bali Utara, dengan menetapkan harga sesuai dengan kehendaknya. Atau menukar dengan berbagai kebutuhan lain, seperti barang-barang manufaktur, beras, korek api, barang makanan dari luar, uang perak dan emas yang dibawa dari luar.[19]
            Setelah tahun 1920-an, perdagangan antarpulau (ke luar Bali), hampir sepenuhnya didominasi oleh penduduk asing. Dalam Surya Kanta disebutkan domonasi penduduk asing itu sebagai berikut.
hampir segala jang didjoeal dan di beli Boemipoetra, melaloei tangan bangsa asing. Karena itoe bangsa asing itoe boleh menaikkan dan menoeroenkan harga  barang-barang. Lain dari itoe Boemipoetra itoe soeka berhoetang, sehingga termakan oleh lintah darat.[20]
           
Peranan pedagang Cina itu berperan ganda yaitu, sebagai penghubung petani untuk menjual komoditasnya kepada pembeli di pasar yang lebih tinggi dan menhubungkan pedagang asing dengan pedagang lokal untuk mendapatkan barang-barang yang dihasilkan oleh petani.
3.3.2 Peranan Soebandar: Purbatjaraka menunjukkan istilah Soebandar (ditulis shahbandar) itu dengan variasi penggunaannya, misalnya Kiyai Sahbandar di Banten, Datok Bandar di Indragiri, Tuan Sahbandar di Malaka, Panglima Bandar di Aceh, Datuk Bandar di Deli, Juru Bandar di Banjarmasin, Raja Sahbandar di Ende dll.[21] Sedangkan di Timur Tengah (Parsi), yang dianggap asal kata itu, sebutannya adalah shabandar, syahbandar.[22] Orang barat menyebut xabandar, shahbandar atau sabandar untuk pengertian yang sama dengan port opicer, havenmeester, king of the haven, harbour master.[23] Encik Buang dalam keterangannya mengenai Bali (1805) menyebutkan bahwa pajak ekspor dan impor yang dipunggut oleh raja adalah hasil keSoebandaran (sjabanderij).[24] Dalam urusan perdagangan seperti di Malaka dan Aceh, Lombok, Kuta Badung dikuasakan kepada penguasa pelabuhan yang disebut Soebandar. Bahkan di pelabuhan yang ramai terdapat lebih dari satu Soebandar, seperti misalnya di Malaka terdapat 4 Soebandar yaitu dari Gujarat, India, Cina dan Indonesia. Mereka ditugasi untuk memunggut pajak perdagangan yang datang dari negara mereka masing-masing.[25]
Nusa Tenggara Barat dan Bali istilah syahbandar disebut soebandar.[26] Beberapa soebandar yang pernah ada di Nusa Tenggara misalnya: Soebandar Mads Lange di Kuta; Sahbandar G.P.King di Lombok (Ampenan); dan Soebandar “Jero” Cong Sing Kek di Tabanan. Di bawah soebandar ada bandar-bandar lagi, seperti di lombok terdapat 6-7 bandar, dua bandar yang terpenting adalah Bandar Baba Jawa, dan Bandar Barode, bahkan Goor menyebut sampai 18 bandar di Lombok. Bandar Baba Jawa adalah bandar dari Ratu Banda (Queen’s Banda) mungkin sekali adalah dari keturunan Cina, sedangkan yang kedua dari orang Bugis.[27] Soebandar dan bandar ini adalah seorang pemegang hak sewa (pachter) dari raja lokal, atau bandingkan dengan revenue farmer menurut John Butcher.[28]
            Pada saat kedatangan Belanda pertama ke Buleleng, ditemukan ada tujuh pelabuhan yang disewa oleh Soebandar Cina, dengan pusatnya adalah Pabean Buleleng. Bandar-bandar dagang itu disewa dengan candu sebagai ukurannya. Pelabuhan-pelabuhan yang dimaksud adalah:
Pengastulan (20 bungkus), Temukus (50 bungkus), Anturan (8 bungkus), Buleleng (60 bungkus), Sangsit (40 bungkus), Kubu Kelod (10 bungkus, dan Tanjung Lirang (5 bungkus), jumlah seluruhnya 193 bungkus, diperkirakan sama dengan f. 4.824.[29]

             Di sekitar daerah itu pula ditemukan Pasar Pabean, toko-toko Cina, juga ditemukan perusahan-perusahan besar berbentuk firma, seperti Firma Ngo Hok.[30] Tahun 1920-an di Buleleng telah ada agen penjual Auto Merk Chevrolet yaitu Autohandel Hwie Cwan Hoo.[31] Begitu pula halnya Temukus berkembang menjadi pusat bisnis, terutama dalam pembelian hasil-hasil bumi untuk diekspor. Perusahan-perusahan Cina yang ditemukan di Temukus antara lain Tan Hok Ban, The Kien Jien, Ui Sing Liem, Cia Kok Sun dan sebagainya.[32] Dalam rangka pembelian hasil bumi dan ternak untuk diekspor, terutama kopra, kopi, sapi dan babi, banyak pula di antara mereka yang bermukin di desa. Contohnya di Pasar Tamblang ada pedagang Cina yang memiliki warung dan mengumpulkan kelapa dan kopi, pedagang itu bernama Cek Ngi, Ham Lay, Kwam Lan dll. Di desa Les terkenal seorang pedagang Cina bernama Babah The Book. Kota  keresidenan Bali Lombok akhirnya tenggelam setelah adanya kebijakan ekonomi Belanda yang memusatkan ekspor daerah Indonesia Timur di Makasar tahun 1920-an, di samping, faktor depresi ekonomi tahun 1927-1930-an yang memberikan dampak terhadap melemahnya aktivitas perdagangan di daerah ini. Singaraja akhirnya menjadi  “singa tidur nyenyak” setelah jatuh ke tangan Jepang tahun 1942, kemerdekaan hingga kini.

4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
            Perdagangan komoditas local di Bali Utara mengalami perkembangan pesat sejak kedatangan Belanda daerah ini. Sedangkan hasil pertanian yang diperdagangkan mengalami disvaritas yang sangat tinggi. Surplus perdagangan dapat dilihat dari perbandingan ekspor-impor dari tahun ke tahun meningkat. Sedangkan peranan tengkulak dan soebandar sangat penting dalam struktur perdagangan di Bali Utara. Singaraja sebagai ibu kota Keresidenan Bali dan Lombok menikmati hegomoni pemerintah Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan situasi dunia dlam keadaan Perang Dunia I perdagangan di Singaraja tetap mengalami surplus, tetapi sebaliknya pada tahun 1920-an ketika ada restrukturisasi lokasi perdagangan, difokuskan perdagangan ke luar negeri melalui Makasar, Kota Singaraja langsung kolap. Tengkulak berperan sebagai pengumpul berbagai komoditas yang dihasilkan petani, sementara soebandar menjadi pengumpul di sekitar pelabuhan. Dari dua tangan inilah perdagangan berjalan dalam sistemnya walaupun dominasi dalam struktur itu dipegang oleh orang-orang asing dan timur asing seperti Cina, Arab dan Belanda.
            Singaraja dalam sejarahnya pernah jaya mengungguli kota-kota lain di Nusa Tenggara (1882-1920-an), sedangkan setelah kemerdekaan tahun 1958, setelah berstatus kabupaten, kota ini menjadi kota “singa tidur nyenyak’, kalau tidak mau disebut “singa mati’.
4.2. Saran-saran
            Kalau mau mengembangkan Singaraja agar dapat hidup kembali menjadi kota Singaraja yang perkasa, maka pemerintahnya harus mau belajar dari sejarah Buleleng. Dengan melihat potensi wilayahnya berupa perkebunan dengan komoditas yang pernah unggul, peternakan dan kerajinan yang pernah unggul, dengan mengembangkan potensi laut sebagai sumber daya utamanya, baik sebagai sarana transportasi maupun laut sebagai sumber eksploitasi. Kembalikan triangle seaport: Pelabuhan Buleleng, Temukus, dan Sangsit, dengan mengembangkan jaringan kekuatan potensi lokal dan internasionalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1843. ”Lombok: Rice Port”, Nautical Magazine and Naval Chronicle. London,  hal. 826

ANRI, 1933. Almanak Melajoe.  Yogyakarta: N.V. Voorheen H. Buning

ANRI. “Laporan Financial Kwartalan, 1789-1895”. Nomor  Inv. 85

ANRI. 1905. Regering Almanak, Yogyakarta: N.V. Voorheen H. Buning, hal. 254-255

ANRI. 1920. Malaische Almanak  No. XLIV. Yogyakarta: N.V. Voorheen H. Buning,  hal.160

Bagus, Gusti Ngurah, 1981.  Monografi Kota Singaraja. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.

Bali Adnjana, III, No.30, (1926), hal.4; Bali Adnjana, III, No.29, (1927), hal.6; Bali Adnjana, III, No.30, (1926), hal.4 

Boeke, J.H., 1953. Economie van Indonesie. Haarlem : H.D.Tjeek Willing.

Coppel, Charles A., 1976. “Select Bibliography on the Indonesian Chinese”, dalam  The Chinese in Indonesia. J.A.C. Mackie (ed.). Honolulu: the University Press, Hawai and Institute of International Affairs.

Eck, Van, 1878.  “Schetsen van het Eiland Bali” dalam TNI, I .

Furnivall, J.S., 1944. Nederlands India: Astudi in Plural Ekonomi. Cambrige: at the University Press.

Geertz, Clifford . 1980. Negara: The Theatre State in Nineteeth-Century Bali. New Jersey: Princeton University Press.

Goor, Jurrien van, 1982. Kooplieden, Predikanten en Bestuurder Overzee: beelvorming en plaatsbepaling in een andere wereld. H&G Hes Uitgevers/Utrecht.

Hiroshi Kano, 1986. “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran Kemabali”, dalam  Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Beberapa Aspek Nasionalisme Indonesia. Akira Nagazumi (Penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hollander, J.J., 1898.  De Handleiding Bij de Beoefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsche Oost-Indie. Breda: van Broese Compagnie.

Jawatan Penerangan Sunda Kecil, t.t. Republik Indonesia: Sunda Kecil. Jakarta: Kementrian  Penerangan.

Kops, G.F. de Bruyn, 1909.  Nota van Overgave van het Bestuur over de Resident Bali en Lombok. Singaraja: Gedong Kirtya, 1 April.

Lekkerkerker, 1926. “Bali 1800-1814”, dalam BKI, Nomor 82.

Lohanda, Mona. 1994. The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942. Jakarta: Djabatan.

Medhurst, W.H.,1837.  “Short  Account of the Island of Bali”, dalam J.H. Moor, Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Countries. Singapore.

Nordholt, H.G. Schulte,1981. “The Mads Lange Conections and Political Change 1700-1940”, dalam Indoneia, 32 (October).

Parimartha, I Gde, 1995.“Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, Disertasi S-3 de Vrije Universiteit, Amsterdam.

Purbatjaraka, Purnadi, 1961. “Shahbandar in the Archipelago”, JSEAH, 2.  Tanggal 2 July.

Reid, Anthony. 1993. “The Origins of Revenue Farming in Southeast Asia”, dalam J. Butcher and Howard Dick, The Rise and Fall Revenue Farming. London: St. Martin’s Press.

Stenis, 1919. Memorie van Overgave der Resident Bali en Lombok. Singaraja: Gedong Kirtya.

Surya Kanta, III, no.6. tahun 1927. ”Koperasi (dipetik dari Volksalmanak tahun 1923)” .

Veenhuyzen, H.W. 1914. Memorie van Overgave der Resident Bali en Lombok. Singaraja: Gedong Kirtya.

Vlaming, J.R.,1988. Kongsi dan Spekulasi Jaringan Bisnis Cina. (Bob Widyahartono, penyadur). Jakarta: Grafiti.

Waanders, P.L.van Bloemen, 1859. “Aanteekeningen Omtrent de Zeden en Gebruiken der Balinezen, Inzonderheid die van Boeleleng”, BKI, deel VIII. Arnas.










[1]Lihat J.H Boeke. Economie van Indonesie. (Haarlem : H.D.Tjeek Willing,1953), hal.1; J.S. Furnivall. Nederlands India: Astudi in Plural Ekonomi. (Cambrige: at the University Press,1944), hal. 9; Hiroshi Kano, “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran Kemabali”, dalam  Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Beberapa Aspek Nasionalisme Indonesia. Akira Nagazumi (Penyunting). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986),hal.11.
[2]J.R. Vlaming, Kongsi dan Spekulasi Jaringan Bisnis Cina. (Bob Widyahartono, penyadur) (Jakarta: Grafiti, 1988); lihat pula Charles A Coppel,“Select Bibliography on the Indonesian Chinese”, dalam  The Chinese in Indonesia. J.A.C. Mackie (ed.). Honolulu: the University Press, Hawai and Institute of International Affairs, 1976), hal. 251.
       [3]Jawatan Penerangan Sunda Kecil, Republik Indonesia: Sunda Kecil, (Jakarta: Kementrian  Penerangan, t.t.), hal. 22-23.
       [4] Gusti Ngurah Bagus, Monografi Kota Singaraja, (Fakultas Sastra Denpasar, l981), hal. 5
       [5] Sebaik apapun alat analisis yang dipergunakan oleh ahli demografi dalam melihat perkembangan penduduk Indonesia awal hingga tahun 1920-an, hasilnya tetap dapat dipermasalahkan, karena memang dasar sensusnya adalah taksiran sehingga kebenarannya sangat relatif sekali.
       [6] W.H. Medhurst, “Short  Account of the Island of Bali”, dalam J.H. Moor, Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Countries, (Singapore:1837), hal. 85
       [7] Angka-angka ini diambil dari, P.L.van Bloemen Waanders, “Aanteekeningen Omtrent de Zeden en Gebruiken der Balinezen, Inzonderheid die van Boeleleng”, BKI, 1859, deel VIII, hal. 36.
       [8] Van Eck, “Schetsen van het Eiland Bali” dalam TNI, I (1878), hal.108. Cf. J.J. De Hollander, Handleiding Bij de Beoefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsche Oost-Indie, (Breda: van Broese Compagnie.l898), hal. 57.

       [9] R. Soepomo, Sistem Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia II, (Jakarta: Penerbit Noor Komala, 1960), hal. 13 (cf. Indische Staatsregeling, pasal 163).
       [10] Pelabuhan Buleleng lebih dikenal dengan Pabean Buleleng. 
       [11] ANRI. Regering Almanak, tahun 1905, hal. 254-255 dan  Malaische Almanak  No. XLIV,(Yogyakarta: N.V. Voorheen H. Buning, 1920), hal.160
       [12] Almanak Melajoe, (Sonobudoyo Yogyakarta, 1933), hal. 225.
       [13] Clifford Geertz itu, Negara: The Theatre State in Nineteeth-Century Bali, (New Jersey: Princeton University Press, 1980), hal. 87
       [14] ANRI.  G.F. de Bruyn Kops, Nota van Overgave van het Bestuur over de Resident Bali en Lombok, (Singaraja: 1 April 1909),139
       [15] H.G. Schulte Nordholt, “The Mads Lange Conections and Political Change 1700-1940”, dalam Indoneia, 32 (october, 1981), hal.16-47
       [16] Lihat I Gde Parimartha, “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, Disertasi S-3, de Vrije Universiteit, Amsterdam, (1995), hal. 89-90
       [17] ANRI. “Laporan Financial Kwartalan, 1789-1895”. Nomor  Inv. 85
       [18] Hingga abad ini masyarakat Beratan masih memiliki tradisi mendulang limbah emas dan perak jika ada masyarakat di daerah itu membongkar tembok kuna, yang diperkirakan berisi sisa-sisa logam mulia itu.

       [19] ANRI. Veenhuyzen, MvO op.cit., hal. 67
       [20] ”Koperasi (dipetik dari Volksalmanak tahun 1923)” dalam Surya Kanta, III, no.6. tahun 1927, hal.73-74.
       [21] Purnadi Purbatjaraka, “Shahbandar in the Archipelago”, JSEAH, 2, (2 July 1961), hal. 2
       [22] Purnadi Purbatjaraka, “Shahbandar in the Archipelago”, JSEAH, 2, (2 July 1961),hal. 3-4, menjelaskan bahwa asal kata shahbandar itu pertama dari Parsi
       [23] Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia,1837-1942, (Jakarta-Djabatan, 1994), hal.33.
       [24] Lekkerkerker, “Bali 1800-1814”, dalam BKI, 82, (1926), hal. 315-338
       [25] Anthony Reid, “The Origins of Revenue Farming in Southeast Asia”, dalam J. Butcher and Howard Dick, The Rise and Fall Revenue Farming, (London: St. Martin’s Press, 1993), hal. 69-71
       [26] Bloemen Waanders, F.L.van Bloemen Waanders, “Aanteekeningen omtrent de Zeden en Gebruiken der Balinezen, inzonder-heit die van Boeleleng”, TBG, DI. VIII, (1859), hal.78
       [27] ”Lombok: Rice Port”, Nautical Magazine and Naval Chronicle, (London: 1843), hal. 826; Lihat pula Jurrien van Goor, Kooplieden, Predikanten en Bestuurder Overzee: beelvorming en plaatsbepaling in een andere wereld, (H&G Hes Uitgevers/utrecht, 1982), hal. 58
       [28] I Gde Parimartha, “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, Disertasi S-3 de Vrije Universiteit, Amsterdam, ( 1995), hal.120-121
       [29] F.L.van Bloemen Waanders, “Aanteekeningen omtrent de Zeden en Gebruiken der Balinezen, inzonderheit die van Boeleleng”, TBG, DI. VIII, (1859), hal. 79.
       [30] Bali Adnjana, III, No.30, (1926), hal.4
       [31] Bali Adnjana, III, No.29, (1927), hal.6
       [32] Bali Adnjana, III, No.30, (1926), hal.4