Sabtu, 12 September 2015

Catus Pata dengan Lonceng Belandanya

1. Pengantar
Lonceng di Perempatan Agung zaman kolonial tidak disadari memiliki tujuan hegemonik pada rakyat Bali yang memiliki rasa pengabdian dan rasa bhakti pada Tuhan Yang Maha Esa tanpa memandang berapa waktu, materi, tenaga, dan bahkan nyawa yang dikorbankan demi-Nya. Kalau menyimak gagasan Edward Said (orientalisme) tidak ada sesuatu yang dilaksanakan tidak memiliki makna struktural, dengan barat diposisikan pada posisi pribumi, minder, bawah, budak dan terbelakang. Termasuk dalam sistem religi yang mereka yakini berstatus lebih tinggi dari dunia timur umumnya, padahal secara genealogis Agama Kristen itu berasal dari dunia timur (Jarusalem Timur Tengah). Apa sesungguhnya yang ingin didominasikan oleh kolonial Belanda dengan menempatkan Lonceng pada Catus Pata-Catus Pata yang ada di Bali? Menggunakan gagasan poststruktural Edward Said (2012), dan Foucault (1969) sangat menarik untuk didiskusikan, dalam membahas catus pata dengan loncengnya. 

2. Catus Pata dalam Hinduisme di Bali.
Pandangan Agama Lokal (Melayu Austronesia) yang disebut Animisme dan Dinamisme dalam pandangan Agama import belakangan (istilah ekonomi dalam zaman kapitalis) tentang Catus Pata adalah lokasi ritual yang sangat sentral, karena lokasi itu adalah tempat untuk "Nedunang Ida Bhatara" dan mengembalikan-Nya setelah riatual dilakukan. Demikian juga sebagai tempat untuk menetralkan kekuatan Catur Sanak dalam menyeimbangkan dunia ini. Kemudian pada perkembangan kemudian, Catur Sanak itu didewakan, karena Roh Leluhur yang terdiri dari Ibu dan Bapak dengan simbolisasi Lingga-Yoni menjadi Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi (Ciwa dalam perkembangan terakhir, sektarian sebelumnya). Karena rohnya di Tuhankan dengan ajaran Brahman Atman Aekyam, maka catur Sanaknya ditranspormasikan menjadi Dewa Nyatur (Iswara, brahma, Maha Dewa, dan Wisnu, di tengah-tengah adalah Tuhan dalam konteks Sektarian. Pengetahuan ini dipahami dengan baik oleh sarjana orientalis zaman Belanda, sehingga pengetahuan itu dijadikan alat, senjata untuk melakukan penguasaan mental/ hegemoni oleh penjajah Belanda. 

3. Lonceng di Catus Pata

Demikian pentimg dan centralnya peranan C.T dalam hinduisme di Bali (hibridasi Hindu dengan Kebalian) maka Belanda melakukan "pengrecokan, mengacaukan, mentranspormasikan, menggeser posisi sentral dalam ritual ke dalam posisi sentral sebagai posisi persimpangan transportasi kendaraan untuk jasa dan perjalanan manusia untuk memenuhi hasrat dan perutnya. 

Penempatan Lonceng di Perapatan Agung, secara tidak sadar masyarakat Hindu di Bali dihegemoni dengan word view barat yaitu mentranspormasi pandangan masyarakat Bali (di desa pakraman) dari menengadah ke atas menjadi menengok ke bawah, secara hakiki berubah dari pengabdian tanpa tanda jasa, menjadi kerja dengan kesadaran jasa dengan bayarannya.  Secara perlahan masyarakat menerima dan berkesadaran duniawi, sehingga hanya memandang Catus pata itu sebagai penghalang tabrakan "mepalu jangkrik" dalam berlalu lintas. masyarakat yang sudah beraga pasar, sesungguhnya masyarakat kita telah berubah "dari monotheisme ke moneytheisme". Lonceng juga sebagai simbol Gereja kehendak yang tersembunyi di baliknya adalah menyampaikan "pesan secara tersembunyi/bisu" itu kristen yang punya kok, bukan hinduisme. 

Hegemoni sudah merasuk ke dalam struktur budaya masyarakat, dan pascakemerdekaan, walaupun Catus Pata sudah dikembalikan pada fungsinya di beberapa tempat, namun Lonceng itu masih dipelihara dengan baik dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan, bahkan kadung sudah biasa tidak baik rasanya tidak ada lonceng itu karena sudah sejak lama keberadaannya. 

Catus Pata dalan fungsi ritual, kecuali sebagai fungsi ritual pemerintah, masyarakat rela pindah dari CT pusat ke CT kecil lainnya, dirasionalisasikan karena merasa mengganggu lalulintas yang dipandang sudah sangat penting dan sebagai kepentingan umum yang tidak dapat diganggu, sementara ritual kebaliannya harus rela pindah kemana saja yang dapat dipakai pengganti (sebagai substitusi). Apalagi CT digunakan untuk "kenasakang sastra , dalam menduniakan catur Sanak, bagi yang melakoni kebahtinan di Bali". 

3. Simpulan
Catus Pata diisi Lonceng merupakan dominasi penuh muslihat, karena dapat dibuktikan pandangan Edward Said dan Foucault itu dapat dipergunakan untuk mengkaji hegemoni kolonial terhadap hinduisme di Bali zaman kolonial, dam implikasinya di era globalisasi ini. Belanda menempatkan Lonceng didasari oleh pengetahuan kebalian secara mendalam, terbuktikan science is a power yang diterapkan dalam Catus Pata di Bali bukan (Hegap, 12/9/2015).
























0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda