Senin, 20 Februari 2017

Kewangsaan di Bali

Kewangsaan di Bali 


1. Pengantar

Kewangsaan di Bali dalam beberapa sumber sejarah dapat diduga dimuai zaman Dang Hyang Nirartha, yaitu sejak abad 15/16. Benarkah?

Zaman Bali kuno berakhir dimulai sejak tunduknya Maya Danauwa/Danuawa) dengan nama lengkap dalam prasasti bernama Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, wafat dalam penundukan Majapahit ke Bali tahun 1343 M. dalam perang di Bedahulu melawan pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Damar dan Gajah Mada.

Encehnya Bali karena perang-perang besar itu, ketika Bali sudah ditundukkan diadakanlah upaca ngaben massal, di Setra GandaMayu, sebagai simbolisasi Setra Ganda Mayu dalam Perang Bhrata Yudha di Kuruksetra, dengan dalem ganda mayunya, masih ada tiga klen besar yang mewakili sekta Tri Murti di Dalem Ganda Mayu. Prinsip manusa pada masih kokoh di dalam struktur masyarakat Bali, kemudian datangnya Satria Dalem Kresna Kepakisan, yang mewakili Majapahit di Bali, mulai ada struktur wangsa yang dikenal wangsa-wangsa secara genealogis (asal-usul leluhur) sesuai dengan liquidasu sekta yang ada menjadi sekta tri murthi, terwakilkan dalam tida dewa utama, yaitu Brahma, Wisnu, Ciwa. Klen genealogis tidak ada hubungannya dengan sekta yang dianut, justru berhubungan dengan sekta yang dianut oleh Banwa (sistem pakraman zaman prakuturan), zaman Kuturan diubah menjadi sistem pakraman tunggal, dengan kelengkapannya Pura Dalem, Puseh, dan Balai Agung. Beda dengan Banwa yang harus dikemas dalam Desa Nyatur, sebagai representasi dari Catur Sanak, dengan Atman-Brahmannya berstana di Pura Desa,pancering Jagat_Penataran Sasih, Pemulungan Agung dan sebagainya. 

2. Sistem Wangsa

Datangnya Majapahit dengan para Aryanya dan Dalem Kresna Kepakisan rajanya, maka masyarakat terdiversifikasi dari sistem wangsa menjadi sistem Triwangsa dan Jaba, mulai ada Dalem, Arya, Pekerja Ekonomi (menjadi Triwangsa), dan Jaba dengan variasi wangsanya sangat besar.

Kolonial Belanda berperan, diawal abad ke-20 (1925-1927) terjadi konflik kasta, belanda memihak Triwangsa untuk mudah menguasai Bali dengan sistem indirect rule. Bali mulai dimuseumkan, dan struktur tradisional terutama pemikiran Dang Hyang Niartha dikuatkan dan sampai sekarang terus dikonsepdan ditanankam memalui kekuasaan secara hegemonik. 

3. Efilog

Sistem wangsa dengan triwangsa dan Jabanya dimulai sekitar abadke-15 dikuatkan oleh Danghyang Nirartha, dan raja Dalem Ketut Ngelesir, yang mulai membangun Puri di Gelgel, sehingga pusat pemerintahan berpindah dari Baturenggong ke Gelgel, atas jasa I Gusti Batan Nyuh(Arya Kebon Tubuh, Arya Kloping) menyumbangkan tanahnya untuk pembangunan Puri Gelgel. 

Kedatangan Danhyang Nirartha menjadikan kuatnya sistem Dewa Nawa Sanga, yang Ciwaistik dari Trimurti menjadi Ciwa-Sada Ciwa-Parama Ciwa. Dengan sistem Babad, terjadi pembentukan klan di masyarakat terus menguat, terutama kemasan wangsa berdasarkan  kedudukan dalam kerajaan yang mewakili Majapahit di Bali.  

Kajian Sejarah Sistem Religi

Relasi Kuasa dalam Hegemonisasi Hindu Terhadap Lokal Genius di Bali

1. Pendahuluan

Kedatangan Hindu awal tarikh masehi ke Indonesia menjadikan bangsa ini mengalami perubahan besar dari tradisi orality (kenirlekaan) menjadi bangsa memiliki budaya keneraksaraan ( budaya literacy). Prasasti yang dijadikan bukti mulainya zaman sejarah Indonesia abad IV baik yang ditemukan di Kalimantan Selatan (Sungai Mahakam), maupun di Jawa Barat semuanya berciri literasi India (Bahasa Sanskerta). Jadi lembaran sejarah bangsa Indonesia dibuka dengan adanya pengaruh literasi India. Sedangkan isi prasasti dikaitkan dengan Agama Hindu dan atau Bhuda. Hinduisme menyangkut Agama Hindu dan Agama Bhuda, karena Agama Bhuda merupakan "protestatismenya Hindu di India", kemudian penyebarannya ke Asia melalui jalan Sutra, yang disebarkan ke luar pertama-tama adalah Agama Bhuda, masuk Tibet dan Cina, selanjutnya ke Asia Tenggara (Kamboja, Jepang, Indonesia, dll), sedangkan ke Bali sekitar abad ke-7/8 Masehi. 

Menarik bukti sejarah terkait dengan hinduisme di Indonesia, khususnya Bali. Sebelum datangnya pengaruh hinduisme (peradaban Punyab-daerah lima aliran sungai di India, yaitu peradaban yang dikembangkan oleh bangsa Dravida dan Bangsa Arya (Indo German) di daerah subur lima aliran sungai itu. Jadi kalau dilihat dari dua budaya yang berkolaborasi di daerah sindu itu, maka terjadi mimikri/hibridasi dua peradaban besar di daerah itu (meminjam pikirannya Honni Bhaba), dalam bicara pascakolonial. Mimikri dan hibridasi adalah meminjam istilah dan konsep biologis (adaptasi binatang terhadap lingkungan (mimikri), dan istilah mutasi gen (hukum Pastur Mendel) utuk hibridasi. Dalam pohon kita tahu kelapa hibrida, ayam "bekisar", pohon direkayasa secara genetik dengan kultur jaringan, dan sebagainya. 

Dalam analisis budaya untuk dapat menjelaskan mimikri dan hibridasi membutuhkan pemikiran M. Foucault untuk melihat relasi kuasa dalam sebuah wacana (genealogi pengetahuan), kalau melihat ada kepentingan dalam pembentukan sebuah wacana membutuhkan teori orientalis (Edward Said), Bourdieu (modal-modal), dan pikirannnya Paulo Preire dalam pendidikan pembebasan. Sedangkan dalam menkritisi sebuah wacana agar makna yang ada di dalamnya "terdemokratisasi" membutuhkan pembongkaran makna yang dianggap sudah mapan tetapi di baliknya memiliki ketidaksetaraan makna bentukan masyarakat mengabaikan ketidakadilan (Derida).

Pemikiran tokoh-tokoh poststrukturalis ini, pascalevistaraus, sangat potensial untuk membuat cerita sejarah baru, berbeda dari cerita sejarah, pemaknaan, pengertian, dan sebagainya yang telah distrukturkan dan dikulturkan (menurut Giddens).   

2. Bagaimana Hinduisme ke Indonesia Dipahami?

Menggunakan dasar pikiran teoretik di atas maka dapat dijelaskan beberapa masalah penting terhadap kehidupan sistem religi yang ada di Nusantara. Agama secara antropologis didefinisikan sebagai "kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang datang dari luar diri manusia (Natural Power), syaratnya sebuah "Aliran Kepercayaan" menjadi sebuah agama syarat-syaratnya dibuat oleh negara, bukan dari Tuhan Yang Maha Esa/ datang dari langit. Manusia sebagai makhluk berbudaya sangat berperan penting dalam melakukan pembentukan (konstruksi) sebuah sistem berpikir menjadi sebuah sistem religi. 

Aliran Kepercayaan (diatur oleh Departemen Kehakiman di Indonesia) dalam tulisan ini disebut agama asli Indonesia, dipertentangkan secara struktur pada Agama-agama yang datang dari luar Indonesia (agama inpor istilah modernitas). Dengan demikian dapat dibangun wacana bahwa Indonesia sebelum datangnya Agama Hindu dan Bhuda sudah memiliki Agama Asli Indonesa, yaitu "Kepercayaan Terhadap Roh Leluhur memiliki kekuatan gaib untuk melindunginya, sehingga keselamatannya dapat dijamin. Sistem religi asli ini sesungguhnya yang disebut adat di Indonesia, khususnya Bali,merupakan sistem religi percaya pada sakti dari leluhur (roh dan saudara empatnya, sedulur bathin, ong phat kelimo pancar), yang tersebar dimiliki oleh bangsa Melayu Austronesia dari Asia Tenggara sampai Madagaskar bahkan sampai Piji. Inilah sistem religi yang tampak artefact budayanya sejak zaman Megalithicum (Sarchopagus, Funden Berundak, Menhir, Tahta Batu, Pondusha, dan benda alam lainnya yang memiliki kekuatan gaib (pohon besar, batu mulia, besi mulia/kuning, pohon jaga satru, atau yang lainnya) yang secara alami memiliki kekuatan gaib tak terjelaskan oleh rasio manusia, karena keberadaannya jauh melampaui manusia. 

3. Hibridasi dan Mimikri Budaya Lokal dalam Agama Impor di Indonesia

Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa "belog ajum, ngandap ruang junjung satru", ketika ada barang baru maka barang lama (karena promosi) termakan citra "seolah-olah lebih" segera mencampakkan miliknya baik datang dari hasil berterima atau warisan diganti dengan yang baru. Demikian juga dalam keberagamaannya, kesenangan berlebih pada materi (Money sebagai alat tukar) melupakan miliknya, termasuk prinsip bergamanya mengikuti kegemarannya, sehingga tidak sadar dirinya sudah berubah secara prinsip atau secara ideologis dari "monotheisme ke moneytheisme", dari "good name every time/thing, to the time is money", dengan demikian berubah dari jalan berpikir ke aksi dan budaya yang ditampilkan. Contohnya membeli ritual baru dihargai bergensi karena dana besar yang digunakan, bahkan makin besar harganya makin bergensi dalam pandangan masyarakat (kapitalis), apakah demikian di mata Tuhan/Leluhur (?) merupakan tanda tanya besar. Siapa sesungguhnya melakukan konstruksi itu, tentu tidak dapat ditunjuk pada person, kelompok, wangsa, kasta dan sebaganya, jawabannya ada pada "alikan gumi" atau jiwa zaman. 

Asal-usul hidup dipahami dalam agama asli Indonesia berasal dari Purusha (+) dan Predana (-) bertemunya dua unsur positif dengan negatif itu secara harmoni kehidupan (ciptaan) itu tejadi. Lingga Bapak dan Yoni Ibuk, secara pulgar dibuat dalam artepak palus dan vagina, inilah asli porna yang disucikan, karena ingin menyampaikan hakiki dari asal hidup manusia yang tidak direlasikan dengan yang lain yang ada di luar manusia secara fisik/roh. Ketika Hinduisme datang ke Bali pada abad ke-8 diperkenalkannya ajaran Rsi Markandeya (berdasar pada Darsana Aji Samkya) yang dualistik itu, maka terjadi mimikri budaya di Bali, yaitu perpaduan secara tersamar antara Agama Hindu dengan Agama Lokal. 

Leluhurnya (kepala suku) memberikan perlindungan dan keselamatan, diteruskan dalam ajaran Hindu yang dikemas dalam Epos Ramayana (Sri Rama dan Shinta/ Waisnawa) mendapat istimewa dan memiliki kesesuaian dengan sistem religi asli Indonesia yaitu pemujaan roh leluhur. Terjadi lompatan pilosofis pada masyarakat Indonesia Hindu ketika itu, Bapa (Lingga) menjadi Bapa Akasa (Bapak di Langit), dan Ibu (Yoni) menjadi Ibu Pertiwi. Kemudian ada relasi kuasa masuk di dalamnya, dengan menjadikan raja-raja keberlanjutan dari kepala suku sebagai "Titisan Wisnu Turun ke Dunia", terbukti dengan prasasti Ciaruten di Jawa Barat yang berbunyi "Inilah Telapak Kaki Yang Mulia Sang Purnawarman menguasai dunia sebagai Wisnu". Pahami munculnya ajaran "Asta Bhrata Kepemimpinan Hindu",  dengan demikian hakikat kehidupan dipahami terjadi karena adanya dualitas itu, menjadi konsep dan sistem religi disebut dengan Konsep Rwabhineda, dengan budaya pengiringnya hasil penerjemahan ideologi itu. Seperti munculnya sistem ritual Nyegara-Gunung, teben-luwan, kaja-kelod, kangin kauh, ritulnya. Saktinya para leluhur dipahami karena memiliki Catur Sanak tadi, dilompatkan juga pilosofisnya menjadi Dewa Nyatur (dari Mraja Pati (di Setra), Angga Pati (Tugun Natah), Angga Pati (Anglurah Agung/ Mraja), dan Banas Pati Raja (di Lebuh) dan ada dimana-mana. Dengan demikian terjadi perubahan status dari Bhatara (pelindung) menjadi Dewa (Sinar Beliau). Hibridasi inilah yang memunculkan adanya berbagai ritual, berbagai Bhatara, dan berbagai megik di Bali, dan di daerah Indonesia lainnya/ daerah persebaran bangsa Melayu Austronesia itu. jadi sesungguhnya dengan pemahaman ini, dengan mudah dapat dibedakan antara Adat (Agama Indonesia Asli) dengan Agama (agama impor dari luar), baik dari India, Timur Tengah, Arab, Cina, Barat dan sebagainya. Setia agama (sistem religi) memiliki ikatan budaya agama yang melingkupinya, dengan demikian dapat dipahami menggunakan konsep hibridasi dan  mimikri ini.

Persoalannya kalau digunakan pemikiran poststruktural, perubahan sulit dilakukan karena sudah ada kekuasaan yang bermain di dalamnya, melalui hegemoni, dan atau strukturisasi budaya menguntungkan kelompok berkuasa di dalamnya. Khusu di Bali strukturasi dilakukan melalui sistem religi pemujaan Leluhur (Brahman-Atman Aekyam) dan distanakan di Hyang Ibu (Rong Dua (zaman Rsi Markandeya), Rong Telu (Kiwa dan Tengen zaman Kuturan), Rambut Sedana/Meres Mujung (zaman Kelungkung/Dang Hyang Nirartha). Hegemoni terus dilakukan oleh triwangsa, dan dikuatkan oleh kolonial Belanda sejak zaman Baliseering, dan dilanjutkan oleh PHDI setelah zaman kemerdekaan. Itulah hegemoni dan hibridasi terus berlanjut, dengan memosisikan sekta masing-masing sebagai sekta paling baik, kemudian abad ke-11 Bali menjadi bergama Sekta Trmurti, yang dilanjutkan menjadi beragama sekta Ciwaistik yang mendominasinya. 

4. Simpulan   

Hibridasi, mimikri, hegemoni, dan strukturisasi terus terjadi dan berlanjut sampai saat ini. Agama Asli Indonesia menjelma menjadi Adat, Kejawen, dan klenik dimata agama-agama besar impor di Indonesia. Hakiki dari sebuah sistem religi dapat dipahami menggunakan pemikiran kritis, tetapi ketika sampai pada tahap penghayatan maka dia menjadi mistik, ketika terjadipada pemurnia agama impor menjadi adat, dan ketika mengabaikan adat istiadat berarti agama itu adalah bukan agama Indonesia, tetapi agama luar di Indonesia. 

Disatukannya roh leluhur dan saktinya menjadi Tuhan dan Dewa, maka menjadikan pemahaman masyarakat Bali tekacaukan oleh apa yang ada di Weda dan apa yang ada di masyarakat dalam aksi budayanya. Sistem religi kita sejak awal lahir dari budaya agraris, sehingga kosmologinya juga berasosiasi dengan simbol-simbol yang ada di alam. Seperti misalnya mengapa "Burung Garuda" disimbolkan kendaraan Wisnu (air), dapat dijelaskan secara kosmologi, bahwa Burung Besar (Paksi Jetayu), tentu butuh ruang hidup Pohon Besar, seperti Pohon Beringin, Kresek, Kepuh, Bambu, Hutan dan sebagainya, karena jika lebensraum-nya masih ada maka paksi hidup, karena pohon besar penyerapan dan penguapan aair terjaga, maka Sungai dan Danau tetap berair, dengan demikian pertanian tetap berlangsung. Sungai (naga Hijau/Hitam asosiasikan dengan embun), Penjor simbol Sungai, nyegara-gunung  di loloannya adalah daerah liminalitas (diupacarai), hegemoni terjadi maka berubah menjadi naga baksuki, diarahkan berpikirnya ke Gunung Agung naka berubah keciwaistik.