Sabtu, 30 Januari 2016

reklamasi atau revitalisasi?

REKLAMASI ATAU REVITALISASI

1. Tataran Konsep
Konsep reklamasi dimaknai mengurug pantai untuk memperluas daratan, sedangkan revitlaisasi adalah menjadikan suatu daerah vital kembali. Dua masalah ini sama saja mengalihkan penggunaan sebuah lahan pantai yang selama ini menjadi daerah serapan. Pengembangan teknologi yang melawan kekuatan alam harus dibayar mahal. (1) mengalihkan aliran sungai, daerah resapan dan endapan yang selalam ini ada di suatu daerah harus dialihkan ke daerah lain, daerah lain yang menjadi fungsional dalam kaitan dengan menyangga proses alam yang terjadinya tidak dapat ditiadakan, hanya dapat dialihkan ke daerah lain, atau dengan kekuatan alam buatan. (2) Mahal karena akan terjadi perubahan fungsi alam oleh manusia, sehingga keterlibatan manusia modern yang selalu berpotensi melakukan eksploitasi alam untuk kepentingan ekonomi dengan kekyatan teknologi.(3)  Keseimbangan alam akan terganggu, mengakibatkan kemurkaan alam itu sendiri.  

2. Tararan Implikasi
1) Reklamasi atau revitalisasi dapat berimplikasi pada berpindahnya arus air dari darat ke laut, karena dibendung dan atau direklamasi akan mencari daerah atau lembah lain di sekitarnya. Bersiaplah dan persiapkanlah kemungkinan yang akan terjadi di daerah sekitarnya. Kaus teluk Benoa akan mengganggu keseimbangan di sekitarnya, terutama di daerah pemukiman lembah yang ada di daerah sekitar reklamasi. Demikian juga arus ombak yang terganggu oleh reklamai, akan berpindah melakukan nabrasi ke daerah sekitarnya yang berhadapan dengan teluk Benoa, baik di sekitar yang langsung bersatu dengan daearatan itu, maupun daerah hadapnya yang ada di sebrang pantai, kekuatan alam ini terus bergerak dan terjadi secara alami dengan energi alam yang tidak membutuhkan campur tangan manusia. 

2) Perubahan fungsi alam dari fungsi alami menjadi fungsi buatan manusia, sesuai dengan keinginan manusiam modern, menjadikannya sebagai ladang uang. Ladang uang ini terkit dengan kekuasaan, politik, kapital dan imprilaisme dalam bentuk modern. masyarakat tradisional akan terabaikan karena suaranya terpinggirkan dan penguasa matanya dibutakan oleh uang, karena dengan uang kekuasaan selanjutnya akan dapat dibeli. Kekuasaan yang bersifat lima tahunan akan sangat berbahaya bagi masa depan masyarakat tradisional itu. Dimana masyarakat tradisional diasosiasikan dengan kegigihannya dalam mempertahankan pura dan tempat sucinya. Akankah kekuatan pura penanda tradisonalisme itu dapat bertahan dengan gempuran kapitalisme modern dan kekuasaan yang berkolaborasi di dalamnya. Pertanyaan ini menjadi masalah besar di Bali dalam mengembangkan pariwisata yang mengabaikan suara rakyat Bali yang diasosiasikan tradisional itu. 

3) Kesimbangan terganggu, terutama keramaian daerah Bali Selatan akan menjadi kondisi yang mematikan dirinya sendiri. Kemacetan, keamanan, arus manusia, modal, kejahatan, dan sebagainya akan terjadi mengumpul di Bali Selatan., yang sakit setiap hari baik lahir maupun bathin adalah manusia yang tinggal di Bali Sekatan, mask ke Bali Selatan "menjadi mati berdiri dan sesak nafas". Keseimbangan Bali Utara dan Baliselatan terganggu, dan Bali Selatan yang sudah sesak dan tidak dapat bergerak karena arus lalulintas yang sangat padat akan menjadi bertambah padat. Komoditas tanah Bali menjadi sangat mahal dan menjanjikan bagi pemilik modal yang melakukan reklamasi karena menjadi pemilik lahan luas untuk dikomoditaskan. Masyarakat Bali yang sudah mulai terjepit lari keluar kota dan minggir terus terpinggirkan, desakan rakyat dimulai dari Pantai dan Gunung sehingga di tengah-tengah terjepit dan akhirnya mati suri. Kematian Bali terjadi dan penduduk Bali menaglami pengusiran secara perlahan, sehingga imprialisme modern mendapatkan kemenangan secara tidak disadari. 

3. Simpulan 
Reklamasi atau revitalisasi terhadap daerah teluk Benoa akan memunculkan masalaah besar bagi Bali di masa depan, masih banyak daerah yang butuh pengembangan agar mencapai keseimbangan baik ekonomi maupun pembangunan sarana dan prasarana. Sebaiknya suara rakyat kecil (tradisonal Bali) didengarkan, jangan hanya demi keuntungan politik dan ekonomi  suara rakyat diabaikan. Perlakukan alam dengan laku dewa jangan diperlaukan dengan laku butakala (raksasa), demi kehidupan Bali di masa depan. 

Kamis, 14 Januari 2016

Baliseering


GENEALOGI BALISEERING:
MEMBONGKAR IDEOLOGI PENDIDIKAN KOLONIAL BELANDA
DI BALI UTARA DAN IMPLIKASINYA DI ERA GLOBALISASI

Oleh
I Made Pageh,
A.A.Ngurah Anom Kumbara,
A.A. Bagus Wirawan, dan
Putu Sukardja.

ABSTRAK

Baliseering dalam pendidikan secara genealogis menyembunyikan ideologi dan kepentingan kolonial yang dimainkan dalam berbagai wacana kolonisasi, hegemoni dalam struktur dan kultur masyarakat yang berimplikasi secara luas di Bali Utara.  Hal ini sangat menarik untuk dibongkar, kajian difokuskan pada: (1) Latar belakang mengapa muncul kebijakan Baliseering? (2) Bagaimana proses Baliseering di Bali Utara?  (3) Bagaimana implikasinya di era globalisasi?
Untuk menjawab masalah penelitian itu digunakan metode kualitatif, dengan mengikuti prosedur penelitian ilmu sosial, yaitu: pengumpulan data (wawancara, observasi, dan studi pustaka), data yang terkumpul diverifikasi dan dianalisis, disimpulkan dalam perspektif cultural studies. Dengan konsep genealogi pengetahuan, dominasi dan hegemoni (Foucault, Gramsci, dan Giddens). Analisis pendidikan kritis menggunakan konsep Bourdieu, Paulo Preire, Ivan Ilich, secara eklektik.
            Hasil penelitian pertama, ditemukan latar belakang kebijakan Baliseering berhubungan dengan kepentingan kolonial dalam modernisasi birokrasi dan menjadikan Bali sebagai tujuan wisata budaya eksotik. Ideologi kolonisasi itu disembunyikan di balik kebijakan Baliseering. Kedua, proses Baliseering  berlangsung secara dominatif dan hegemonik dilegitimasi dengan membangun “Monumen Bali di Surabaya”. Dengan basis pengetahuan lokal genius, kolonisasi dan hegemoni kolonial dioperasikan dalam pembuatan relief: (1) transportasi modern (Pesawat dan Kendaraan), (2) Orang Belanda bermain Biola, (3) Orang Belanda bersepeda di Pura Maduwe Karang, (4) Lonceng Catus Pata, (5) hegemoni sistem religi di Desa Pakraman, dan (6) kolonisasi dan hegemoni pendidikan formal dan nonformal, dilakukan dengan lokalisasi dan Balinisasi seluruh komponen pendukung sistem pendidikan formal, baik kurikulum resmi maupun hidden curriculum. Sedang pendidikan nonformal dilakukan dengan kursus Guru Adat, komodifikasi pelukis di Yayasan Pita Maha.  Ketiga,  Baliseering  memiliki implikasi yang sangat luas dalam struktur dan kultur masyarakat Bali. Kolonisasi dan hegemoni terbukti pada masa revolusi fisik terlihat dalam Negara Indonesia Timur dan Dewan Raja-raja. Di era glokal etnosentrisme, primordialisme, dan kapitalisme muncul di  Desa Pakraman  dalam bentuk pemertahanan budaya dalam Ajeg Bali dan Pacalang. Respons politik berbentuk primordialisme terlihat dalam peristiwa Buleleng Kelabu, Bakso Haram, isu terorisme di Bali. Potret politik primordial dalam bentuk Gerakan Buleleng Kelabu, emosi massa sutindih terhadap Megawati Soekarno Putri sebagai trah Soekarno yang dipersepsi berdarah Buleleng. Kolonisasi dalam pendidikan bertransformasi dalam bentuk sistem pendidikan mengarah ke libralisme, internasionalisme, dan memarginalisme pendidikan rakyat miskin, yang membuktikan gagalnya pendidikan Nasional di era globalisasi. Dunia pariwisata budaya bertransformasi mengikuti kebutuhan pasar, menguatnya komodifikasi seni sejalan dengan arus wisatawan, finansial, teknologi telekomunikasi, dalam konteks ideologi glokal, yang berpengaruh terhadap rapuhnya world view orang Bali. Terutama mengarah ke desakralisasi dan komodifikasi tanah, tradisi, adat, agama dalam “pariwisata budaya” di Bali.

Kata Kunci: Baliseering, Ideologi, Kolonialisme, Pendidikan Kritis. 

Rabu, 06 Januari 2016

KARAKTER BANGSA INDONESIA

KARAKTER BANGSA INDONESIA WAJIB KEMBALI KE AKAR SEJARAHNYA

1. Pendahuluan 

Adegium "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya", bagi bangsa Indonesia hendaknya jangan hanya dijadikan wacana politik, tetapi diharapkan menjadi wacana tindakan, dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia. Good will penguasa baru selalu ingin beranjak memperbaiki anak bangsanya dengan mewacanakan perbaikan karakter bangsa Indonesia, sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Seperti Jokowi mwngistilahkan dengan Revolusi Mental, untuk mengatasi kemandegan bangsa dalam perubahan yang diinginkan, terutama membangun bangsa berkarakter kerja, disiplin, mandiri (berdikari dalam politik, kebudayaan, ekonomi) dan sebagainya. Dari latar belakang itu apa aksi yang diambil agar mengakar pada kepribadian bangsanya? Pertanyaan ini sangat penting diajukan agar kita dapat memperbaiki bangsa secara menyeluruh, dimulai dari mengisi memori bangsa secara kolektif, kemudian bertindak secara kolektif, sehingga menghasilkan karakter secara kolektif. Memori kolektif bangsa itu hanya ada dalam sejarah, tidak dapat ditemukan secara utuh dalam ilmu humaniora lain. Bagaimana logika dan argumentasi yang melatari pernyataan saya ini.

2. Sejarah Tidak Pernah Bohong

Sejarah tidak pernah bohong, dimaksudkan peristiwa secara "res geste" berupa kejadian yang sekali terjadi setelah itu tidak terulang kembali adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak pernah bohong, dan tidak dapat direkayasa oleh manusia, karena terjadinya dilatari oleh berbagai kejadian sebelumnya sehingga peristiwa itu terjadi. sedangkan yang banyak dipandang bohong, adalah cerita sejarah yang khusu dibuat untuk kepentingan penguatan kekuasaan, kepahlawanan, peran, dan kedudukan dalam peristiwa sejarah, sehingga dapat dibuat cerita sejarah yang memosisikan kepentingannya dalam cerita sejarah itu. Cerita sejarah sebagai sebuah cerita akan ada beribu-ribu cerita terkait dengan peristiwa yang terjadi sekali itu, bahkan makin jauh dari zaman kita jejak aslinya makin mengurang dan makin menghilang sesuai dengan usaha manusia dan penguasa kemudian menguatkan dan meyakinkan pembacanya. Dengan kepentingan memori yang membacanya teideologikan sesuai dengan kehendak sang penguasa dengan menggunakan sejarawan organis penguasa. Dari situ dapat dipahami mengapa kurikulum sejarah, sejak zaman Orde Baru sampai zaman reformasi ini tidak pernah bereformasi. 

Jawabannya karena penguasa Orde baru dengan sisanya yang masih kuat di era sekarang memang menggunakan sejarah sebagai dasar penguatan kekuasaan secara hegemonik. Belajar dari sejarah Orde Baru, seharusnya orde belakangan harus menulis sejarahnya kembali sehingga perubahan zaman dapat terjembatani melalui pemerintahan yang baru. Dalam sejarah tidak ada jiwa zaman yang stagnan, jiwa zaman terus berubah sesuai dengan perkembangan ikatan budaya zaman yang terjadi. Seperti kata Cruss setiap zaman akan menuliskan cerita sejarah bangsanya kembali, sesuai dengan karakter bangsa yang diinginkan, sejarah bangsa itu adalah satu-satunya yang dapat dijadikan bahan untuk membentuk karakter bangsa bersangkutan. Tentu pembentukan karakter tidak seperti membalikkan telapak tangan, karena membutuhkan minimal satu generasi untuk membentuknya. Misalnya melalui pendidikan sejarah dari TK sampai PT, bahkan sampai CPNS/Swasta Nasional yang memang dipandang  mengatas namakan bangsa dan negara Republik Indonesia. Bagaimana Korea dan Jepang serta Amerika demikian majunya negara tersebut, bukan mensyaratkan Bahasa Inggris (TOEPL) sebagai kewajiban dikuasai dalam peemrintahan dan perusahan nasional negara tersebut, tetapi tes pemguasaan sejarah nasionalnya. Harapannya adalah ketika mereka memiliki segalanya setelah menjabat maka karakter bangsanya tidak ditinggalkan, manusia negara tersebut tetap menjadikan sejarah bangsanya sebagai soko guru dalam mengambil kebijakan politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Sejarah adalah dijadikan dasar berpikir untuk mengambil keputusan dalam segala hal. sejarah pribadi kita, umumnya menggunakan pengalaman pribadi kita sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang tidak konflik dengan kepentingan pribadi, demikian sebaliknya keputusan yang bersifat kolektif, harus diambil dari pengalaman kolektif bangsa itu. Itulah karakter bangsa yang diharapkan oleh NKRI yang memiliki latar bekalang berbhineka dalam segala hal. 

Keberagamannya dalam agama misalnya baru akan dapat dipahami kalau belajar sejarah, bahwa semua agama-agama besar di Indonesia itu adalah barang import (maaf istilah ekonomi digunakan dalam zaman kapitalisme barat sudah menjadi ideologi negara kita). Demikian juga bangsa ini akan tahu dan memiliki kesadaran bahwa "Agama Asli Indonesia/bangsa Melayu Austronesia" yang sudah berkembang sejak zaman Megalithicum (zaman batu besar) kita animismekan dan dinamismekan, bahkan disirikkan, sebagaimana dikehendaki oleh ideologi agama besar kita bahwa tidak boleh ada agama dan kepercayaan lain tersisa, sehingga dapat berkembang dan tidak terganggu oleh kepercayaan lokal. Dengan demikian barang luar itu akan menjadi nomor satu dan tidak ada bandingannya. Seperti barang kalau ada satu, maka pasti barang itu yang nomor satu, mengapa di Jepang jumlah penduduk beragama bisa tercatat tiga kali lipat dari jumlah penduduk keseluruhan? tentu mudah dijawab, karena di Jepang bebas beragama dan boleh beragama lebih dari satu sesuai dengan kepentingan manausia dalam berhubungan dengan Sang kaliknya. 

Dalam kaitannya dengan etnik, mengapa sebuah etnik merasa dirinya beridentias Islam, Hindu, Kristen dan sebagainya, mengapa etnik nusantara dikaitkan dengan agama yang dianutnya? padahal semuanya itu adalah datang dari luar bumi nusantara. Semuanya itu karena ada ambisi dari bangsa Indonesia untuk melakukan hegemoni dan dominasi dengan penduduk lokal agar menjadi pendukung agama dan ideologi yang terkandung di dalamnya serta budaya agama yang muncul di dalamnya. masalah kritis dalam keberagamaan dan keberbangsaan kita terletak pada kebhinekaan itu, dan yang paling riskan konflik adalah terideologikan oleh agama besar yang datang dari luar, dan memusuhi ideologi lokal yang sudah diajarkan oleh leluhur bangsa ini secara turun-temurun. Terutama budaya dan ideologi penghormatan pada roh leluhur, beserta saktinya yang sudah menyejarah, dilunturkan oleh sistem religi baru dengan tidak memberikan bersekutu dalam pemujaan dengan memberikan wacana baru yang sangat negatuf, seperti musrik, berhala, agama bumi, samawi dan sebagainya. Dalam sejarah diketahui, bahwa tidak ada agama yang ada di dunia ini kitab sucinya ditulis langsung oleh nabinya, semuanya ditulis kemudian. Budaya tulis dan budaya membukukan itu adalah budaya yang ada pada tingkat peradaban manusia dimana pilsafat politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya sudah berkembang, sehingga pikiran penulisnya mau tidak mau pasti ikut di dalamnya. Di sinilah penting adanya dogma, pemitosan, baik secara hegemonik maupun dominatif untuk memaksakan pada generasi mudanya agar mengikuti ideologi generasi pendahulunya. 

3. efilog

Sejarah adalah senjata ampuh untuk membongkar ketidak adilan struktural, dan ketidak benaran ideologis yang dipaksakan oleh generasi pendahulunya untuk mengikutinya agar struktur dan kultur yang telah ditanamkan dengan kehendak (idealis) menjadikan generasi anak bangsa ini semakin baik. Di sinilah pertanyaan kritis yang harus disampaikan, yang lebih baik itu, dan nyamann itu yang tua atau yang muda; yang mewariskan atau yang diwarisi? Pantas saja yang populer adalah kenakalan remaja, dan tidak pernah ditemukan kenakalan orang tua, kecuali bagi segelintir orang yang mau berpikir historis, sebagai alat ukur kemana bangsa ini di bawa di masa depan??????
Jadi mendesak pendidikan sejarah nasional dijadikan mata pelajaran utama dan diuji nasionalkan, dan dijadikan alat ukur keindonesiaanya, disamping kecerdasan yang selama ini sangat dibangga-banggakan. jangan heran pula kalau seoarng sebaik apapun setelah besar dan berkuasa menjadi koruptor, karena mereka lupa akan sejarah bangsanya, dan dia telah berpikir seperti orang asing dan bahkan mencari kekayaan bercita-cita hidup di luar negeri. Semoga pikiran ini tidak ditanggap aneh-aneh, kecuali dalam koneks perbaikan masa depan bangsa Indonesia yang tetap dalam NKRI dan Ideologi Pancasila.