Senin, 14 Agustus 2023

Kuasa dan Wibawa Demokrasi

 1. Pengantar

        Kuasa, kapital dan budaya menjadi kata kunci dalam demokrasi Pancasila. Secara kritis hubungan kuasa dengan kapital dan prestige sangat erat, dan bersaudara satu dengan yang lainnya. Demokrasi diharapkan mampu mengendalikan manusia ketika ada pada puncak kuasa, puncak kemakmuran, dan puncak penghormatan status manusia yang sedang di puncak. Dalam pandangan ahli bahwa "power tens to corupt", sehingga perlu diwaspadai kalau menumpuk kekuasaan sebuah negara pada seorang Individu dan atau satu lembaga negara. Bagaimana kondisi bangsa Indonesia terkait dengan masalah ini? sangat menarik untuk dikaji secara kritis. 

2. Pembahasan 

        Kekuasaan terkait dengan politik, politik dikaitkan dengan legalitasnya melalui produk hukum, sebagai norma yang mengatur masyarakat terkait dengan kehidupan bersama agar semuanya tertib mengikuti aturan hukum. Hukum dibuat oleh lembaga pembuat hukum dalam hal ini pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. masalahnya sekarang bagaimana produk hukum itu agar tidak ada relasi kuasa, kapital dan budaya dominatif di dalamnya. 

          Makna yang dapat dipahami bahwa hubungan kuasa dengan kapital, dengan kekuasaan dilakukan politik birokrasi, melalui juknis pelaksanaan UU atau Aturan yang ada. Tidak dapat diselenggarakan oleh birokrasi yang ada di bawah presiden. tentu lembaga kepresidenan memegang peranan penting terlaksana atau tidaknya perundangan yang diadakan oleh lembaga negara (DPR dan Presiden). Di situlah terkadang ada relasi kapitalis kalau menguntungkan kelompok tertentu yang ada kaitannya dengan kuasa akan dilaksanakan dengan segera, sebenarnya untuk mendapatkan bagian untuk mengisi pundi-pundi pribadi, perusahaan, atau partai politik. Demikian sebaliknya dengan memiliki kapital yang menggudang, bertumpuk karena aliran sebagai pengusaha, politisi (fee politik), jual kepentingan publik untuk hidup seperti rekrutmen ASN, AKABRI, Dan sekolah pavorit dalam sekolah, pekerjaan pavorit, jabatan Pavorit karena basah dan mudah mengumpulkan berbagai modal (terutama modal kapital). Dengan demikian Corupt tidak hanya terjadi dimana kuasa sedang bermain untuk itu, tetapi juga sudah memulai saat proses menentuan orang untuk menjabat sebagai pembuat keputusan. Kolusi terjadi karena di dalamnya ada relasi kuasa yang dominan, karena demokrasi dikebiri dengan keputusan birokrasi yang ada di atasnya, ujung-ujungnya berbelit atau dikatakan sesuai dengan printah presiden, mentri, dirjen, Gubernur, Bupati, Rektor, Dekan, dan sebagainya. Posisi-posisi strategis itu hanya dapat dikendalikan oleh masyarakat sebagai sumber kuasa yang didelegasikan atau diwakilkan pada lembaga  demokrasi. Persoalannya kuasa sangat sensitif terhadap kritik, dalam wacana menyampaikan terbuka terhadap kritik, tetapi ketika penguasa dikritik maka penggikutnya brontak, sewot dan lebih marah dari penguasa. Di situlah masalahnya dalam demokrasi kita, sehingga menjadi demokrasi yang mobokrasi. Demokrasi yang seolah-olah demokrasi padahal sistem zaman kerajaan atau feodal. 

    Secara teoretis di masyarakat terjadi pembelahan pendukung pemerintah, dengan dasar mendapat bagian kuasa, kapital, atau prestise dengan berkuasanya seseorang tokoh. Di sisi lain kelompok yang tidak mendapat keuntungan Kuasa-kapital dan Prestise dalam era kekuasaan tokoh atau atas nama Partai tertentu. Jadi dengan demikian masyarakat Indonesia harus mau dan mampu beradaptasi dengan konflik dan pertentangan karena hidup itu memang rwabhineda, hidup itu masalah menangani pertentangan dualitas yang harus didamaikan.   

    Demokrasi akan berwibawa jika kuasa memang terbuka, menerika kritik, dan mengubah dunia dari manusia hanya materialistis juga menjadi manusiaa spiritual, yang kualitasnya bukan hanya di kulit tetapi sampai pada bagian terdalam kehidupan manusia itu. Pejabat tinggi kuasa yang telah memiliki banyak harta, demikian juga pengusaha yang sudah banyak punya arta, terkadang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. kuasa butuh arta dan arta butuh kuasa, apa sesungguhnya yang manusia cari? sebenarnya ingin mendapatkan menyamanan hidup, penghormatan yang tulus, bukan kaena jabatan, dan menjabat juga yang tulus bukan karena ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya sampai mencedrai kemanusiaan. Manunggaling kaula gusti adalah jargon kejawen, dan manunggaling pribadi dengan yang kuasa sebagai manusia sempurna dan manunggaling bhuwana agung lan bhuwana alit adalah sisi kualitas manusia yang sesungguhnya sudah 'selesai menjadi manusia' yang didasari oleh kepentingan tertentu. 

3. Simpulan

    Dimana kuasa menunpuk, karena kuasa memang menyebar, di sana butuh kontrol dan pengawasan. kalau pengawas juga sudah dikorup dan dikontrol, maka akan terjadi dualisme korup hanya saja keterbukaan pada publik akan menentukan kualitas kontrol yang dilakukan. Kembali pada kualitas SDM kita, dan kembali pada kemampuan menyadari bahwa materi itu untuk menyempurnakan kebutuhan fisik, ada kebutuhan lain yang harus disediakan ruangnya dalam hidup sehingga kualitas kemanusiaan menjadi seimbang secara lahir dan bathin. Materi penting dan sangat penting di dunia ini, tetapi kehidupan spiritual menyempurnakan kualitas kemanusiaan Indonesia, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, ngudi kesampurnan hidup, dengan kewicaksanaan hidup di didunia ini.  








Minggu, 25 Juni 2023

SEJARAH KRITIS DAN SEJARAH KONPENSIONAL

 


1.     Penndahuluan

Sejarah terkadang dipandang ilmu yang digunakan untuk mengawetkan hegemoni dan dominasi, dengan pembentukan mitos-mitos yang melanggengkan  kuasa. Oleh katena itu sejarah kritis di arahkan untuk menampilkan bagian sejarah yang dipinggirkan, tidak diformalkan, dan dianggap menyimpang terkadang. Karena wacana yang dibuat melawan kuasa dalam melangengkan kekuasaan, dominasi, dan hegemoni di masyarakat. Namun tanpa sejarah manusia selamanya akan menjadi bayi, tidak memiliki pengalaman di luar yang mereka lalu.

Sejarah kritis, juga dikenal sebagai historiografi kritis, adalah pendekatan dalam studi sejarah yang mencoba untuk menganalisis, mempertanyakan, dan memahami sumber-sumber sejarah secara kritis. Pendekatan ini menekankan pada kajian kritis terhadap narasi sejarah yang sudah ada, serta upaya untuk mengungkap bias-bias yang mungkin ada dalam catatan sejarah.

Sejarah kritis menantang pandangan sejarah yang diterima secara umum dan mencoba untuk memperluas pemahaman kita tentang masa lalu. Ia mencoba untuk melihat melampaui narasi yang dominan atau resmi dan mengungkap perspektif yang mungkin terabaikan, seperti pandangan dari kelompok minoritas, perempuan, atau golongan sosial tertentu. Sejarah kritis juga berupaya mengidentifikasi kekuatan politik, ideologis, atau sosial yang mempengaruhi konstruksi narasi sejarah.

Bagaimana pendekatan sejarah kritis, dan kalau dibedakan dengan sejarah konvensional, termasuk bagaimana tokoh ilmuan kritis dalam sejarah dan pengetahuan dalam melakukan kritik kekuasaan dan gender?

2.     Perbedaan sejarah Kritis dengan Konvensional

Beberapa pendekatan dalam sejarah kritis meliputi:

1.     Analisis sumber: Sejarawan kritis melakukan analisis mendalam terhadap sumber-sumber sejarah yang ada, termasuk dokumen resmi, memoar, catatan pribadi, dan sumber-sumber non-tulisan seperti seni visual atau arkeologi. Mereka mengevaluasi keandalan, kebenaran, dan konteks dari sumber-sumber tersebut.

2.     Kritik ideologi: Sejarah kritis berusaha mengidentifikasi ideologi yang mendasari pembuatan narasi sejarah dan memahami bagaimana ideologi tersebut dapat mempengaruhi penyajian fakta dan interpretasi sejarah.

3.     Sejarah bawah ke atas: Pendekatan ini menekankan pada peran dan pengalaman kelompok yang kurang terwakili dalam sejarah resmi. Sejarah kritis berusaha untuk mendokumentasikan pengalaman kelompok minoritas, pekerja, perempuan, dan kelompok marginal lainnya.

4.     Konstruksi narasi: Sejarah kritis menyadari bahwa narasi sejarah bukanlah representasi objektif dari fakta-fakta, tetapi hasil dari interpretasi dan konstruksi manusia. Sejarawan kritis mempertanyakan bagaimana narasi sejarah tersebut dibangun, oleh siapa, dan untuk kepentingan apa.

Sejarah kritis memainkan peran penting dalam mengungkapkan kompleksitas masa lalu dan memberikan wawasan baru tentang peristiwa sejarah. Pendekatan ini membantu kita menghindari kesalahan interpretasi, pemahaman yang sempit, dan mempertanyakan versi sejarah yang dominan, sehingga kita dapat mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan terinformasi tentang masa lalu. Persoalan mana sejarah kritis dan mana yang konvensional sulit dibedakan, karena secara metodologis sejarah memang melalui Langkah kritik sumber, namun teori kritis bukan satu satunya teori yang dapat digunakan dalam menulis sejarah.

     Berikut adalah tabel perbedaan antara sejarah kritis (historiografi kritis) dengan sejarah konvensional:

Tabel 01: Pperbedaan Sejarah (Historiografi Kritis) dengan Konvensional

Sejarah Kritis (Historiografi Kritis)

Sejarah Konvensional Historiografi Konvensional)

Menganalisis, mempertanyakan, dan memahami sumber-sumber sejarah secara kritis.

Menerima dan mengandalkan narasi sejarah yang sudah ada tanpa banyak kajian kritis.

Mengungkap bias-bias yang mungkin ada dalam catatan sejarah.

Menerima catatan sejarah tanpa mempertimbangkan potensi bias atau kekurangan dalam narasi tersebut.

Mencoba untuk melihat melampaui narasi yang dominan atau resmi.

Mengandalkan narasi yang dominan atau resmi tanpa mencoba untuk mencari perspektif alternatif.

Menekankan peran kelompok minoritas, perempuan, atau golongan sosial tertentu dalam pemahaman sejarah.

Cenderung mengabaikan pengalaman kelompok minoritas, perempuan, atau golongan sosial tertentu dalam narasi sejarah.

Mengidentifikasi kekuatan politik, ideologis, atau sosial yang mempengaruhi konstruksi narasi sejarah.

Kurang mempertimbangkan kekuatan politik, ideologis, atau sosial yang dapat memengaruhi narasi sejarah.

Menganalisis keandalan, kebenaran, dan konteks dari sumber-sumber sejarah.

Menerima sumber-sumber sejarah tanpa banyak analisis keandalan, kebenaran, atau konteks.

Memahami bahwa narasi sejarah adalah konstruksi manusia yang terpengaruh oleh interpretasi dan kepentingan.

Melihat narasi sejarah sebagai representasi objektif dari fakta-fakta.

Bertujuan untuk memperluas pemahaman kita tentang masa lalu dan menghindari kesalahan interpretasi.

Bertujuan untuk memberikan narasi sejarah yang lebih konsisten dengan versi yang sudah ada tanpa mempertimbangkan perluasan pemahaman atau interpretasi alternatif.

Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa sejarah kritis berusaha melampaui batasan sejarah konvensional dengan mengajukan pertanyaan kritis, mengungkap bias, mempertimbangkan perspektif alternatif, dan memahami konteks sosial-politik dalam konstruksi narasi sejarah.

3.     Pandangan Foucault Tentang Sejarah dan Gender

Tokoh kritis Prancis Bernama Michel Foucault, seorang filsuf dan sejarawan terkemuka pada  abad ke-20, memiliki pendekatan unik terhadap sejarah. Pandangan Foucault tentang sejarah dipengaruhi oleh pemikirannya tentang kekuasaan, pengetahuan, dan arkeologi pengetahuan. Berikut adalah beberapa poin utama mengenai pandangan Foucault tentang sejarahTop of Form

  1. Arkeologi Pengetahuan: Foucault menggunakan pendekatan arkeologi pengetahuan untuk memahami sejarah. Baginya, sejarah bukanlah sekadar rangkaian peristiwa linear, tetapi sebuah jaringan kompleks dari praktik-praktik pengetahuan yang membentuk cara kita memahami dan membangun realitas. Foucault tertarik pada cara-cara di mana pengetahuan dihasilkan, diklasifikasikan, dan disebarkan dalam masyarakat.
  2. Kuasa dan Pengetahuan: Foucault melihat kuasa dan pengetahuan sebagai terkait erat dalam sejarah. Ia berpendapat bahwa pengetahuan dan pengetahuan sejarah sering kali digunakan sebagai alat oleh kelompok-kelompok yang berkuasa untuk mengontrol dan mempengaruhi masyarakat. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang objektif atau netral, tetapi terbentuk oleh hubungan kekuasaan yang ada dalam masyarakat.
  3. Episteme: Foucault memperkenalkan konsep "episteme" yang mengacu pada kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan aturan-aturan yang mempengaruhi cara kita memahami dan memproduksi pengetahuan dalam suatu periode sejarah tertentu. Setiap episteme memiliki batas-batas tertentu yang mengatur apa yang dapat diketahui dan bagaimana pengetahuan itu disusun.
  4. Arkeologi Pengetahuan Sebagai Analisis Kuasa: Dalam karyanya yang berjudul "Surveiller et punir" (Mengawasi dan Menghukum), Foucault menganalisis bagaimana praktik pengawasan dan kekuasaan dalam sistem penjara berperan dalam membentuk pengetahuan dan disiplin. Ia menunjukkan bagaimana kuasa-ketahuan dan kuasa-fisik terkait erat dalam membentuk tatanan sosial.
  5. Diskursus: Foucault memandang sejarah sebagai perjuangan antara berbagai diskursus atau cara berbicara dan berpikir yang mendefinisikan apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang sah dalam suatu masyarakat pada waktu tertentu. Dia berargumen bahwa diskursus ini menciptakan batasan-batasan dan mengatur pemikiran kita tentang dunia.
  6. Penjara (Prisons): Dalam karya Foucault yang berjudul "Surveiller et punir" (Mengawasi dan Menghukum), ia menganalisis sistem penjara dan bagaimana praktik pengawasan dan kekuasaan di dalamnya berperan dalam membentuk pengetahuan dan disiplin.
  7. Biopolitik (Biopolitics): Konsep yang digunakan Foucault untuk menggambarkan hubungan antara kekuasaan negara dan pengaturan kehidupan manusia, termasuk pengawasan terhadap tubuh, kesehatan, dan populasi.
  8. Rejim Kekuasaan (Regime of Power): Pandangan Foucault tentang cara kekuasaan beroperasi dalam masyarakat dan bagaimana kekuasaan tersebut membentuk pengetahuan dan praktik-praktik sosial.

 

 

Dalam sejarah Foucault, mengajukan  beberapa konsep penting lainnya yang berhubungan dengan sejarah, pengetahuan, dan kekuasaan. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai konsep-konsep dalam sejarah kritis:

  1. Diskontinuitas (Discontinuity): Foucault menekankan adanya diskontinuitas dalam sejarah, yaitu perubahan tajam atau pemutusan yang terjadi dalam praktik, pengetahuan, atau kekuasaan dari satu periode sejarah ke periode berikutnya. Foucault menolak pandangan sejarah sebagai rangkaian yang kontinu dan menekankan pada pemahaman bahwa perubahan dan pergeseran terjadi dalam praktik-praktik sosial.
  2. Ceruk (Epistemic Break): Konsep ceruk mengacu pada perubahan signifikan dalam cara kita memahami dan memproduksi pengetahuan. Ceruk mewakili pemutusan atau pergeseran dalam praktik pengetahuan yang terjadi pada suatu periode tertentu. Foucault berpendapat bahwa ceruk muncul ketika ada perubahan dalam episteme, yaitu dalam aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang mempengaruhi cara kita memahami dunia.
  3. Seri (Series): Seri adalah konsep yang digunakan oleh Foucault untuk menggambarkan hubungan antara praktik-praktik sosial yang berkaitan satu sama lain dalam suatu periode sejarah. Seri mengacu pada kelompok praktik atau pernyataan yang memiliki kesamaan dan membentuk pola tertentu. Foucault melihat adanya serangkaian praktik atau pernyataan yang saling berhubungan dalam membentuk pengetahuan dan kekuasaan.
  4. Ambang (Threshold): Ambang merujuk pada titik perubahan atau batas yang harus dilewati agar sesuatu dapat diterima atau diakui dalam pengetahuan atau praktik sosial. Ambang menggambarkan bagaimana pengetahuan dan praktik sosial terbentuk oleh aturan-aturan dan batasan-batasan tertentu, dan perubahan tersebut terjadi ketika ambang tersebut terlewati.
  5. Liminitas (Limitation): Liminitas merujuk pada batasan atau keterbatasan dalam pengetahuan dan praktik sosial. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan selalu memiliki batasan-batasan tertentu yang memengaruhi cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia. Liminitas mencerminkan adanya pembatasan dalam pengetahuan dan kekuasaan yang mempengaruhi praktik dan pandangan kita.

Konsep-konsep tersebut merupakan bagian dari kerangka pemikiran Foucault dalam menganalisis sejarah, pengetahuan, dan kekuasaan. Foucault menekankan pada pemahaman bahwa sejarah dan praktik-praktik sosial tidaklah kontinu, melainkan terdapat diskontinuitas dan perubahan yang memengaruhi cara kita memahami dan mengorganisir dunia. Top of Form

         

Pendekatan Foucault terhadap sejarah menantang pandangan tradisional tentang sejarah sebagai narasi yang netral dan obyektif. Ia menekankan pentingnya memahami hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan praktik-praktik sosial dalam membentuk pengetahuan sejarah. Pandangan Foucault tentang sejarah telah memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman kita tentang bagaimana pengetahuan dan kuasa beroperasi dalam masyarakat.

Michel Foucault memiliki pemikiran yang relevan tentang gender dalam karyanya. Meskipun Foucault tidak secara khusus memfokuskan penelitiannya pada gender, ia menyentuh isu-isu yang terkait dengan konstruksi sosial dan kekuasaan yang ada di balik gender. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai pandangan Foucault tentang gender:

  1. Konstruksi Sosial Gender: Foucault menolak pandangan bahwa gender adalah sebuah entitas yang melekat pada individu secara alami. Baginya, gender adalah hasil dari proses sosial yang kompleks, di mana norma-norma dan tuntutan sosial memainkan peran penting dalam membentuk identitas gender.
  2. Peran Kekuasaan dalam Gender: Foucault menyoroti peran kekuasaan dalam konstruksi gender. Ia mengemukakan bahwa kekuasaan bukan hanya mengontrol individu secara langsung, tetapi juga berperan dalam mengatur dan memengaruhi peran gender yang diterima dalam masyarakat. Kekuasaan memainkan peran dalam menetapkan norma-norma dan aturan-aturan yang membentuk identitas gender.
  3. Penindasan dan Pemberontakan: Foucault melihat gender sebagai arena di mana kekuasaan menindas individu dan masyarakat. Ia menyoroti bagaimana norma-norma gender yang didasarkan pada perbedaan biner antara laki-laki dan perempuan dapat membatasi kebebasan individu. Namun, Foucault juga menekankan bahwa di dalam penindasan tersebut terdapat potensi pemberontakan dan resistensi terhadap norma-norma gender yang diterima.
  4. Seksualitas: Foucault juga memperhatikan isu-isu seksualitas dalam pemikirannya. Ia mengajukan argumen bahwa seksualitas bukanlah sesuatu yang hanya berkaitan dengan aktivitas seksual, tetapi juga merupakan konstruksi sosial dan kekuasaan yang mempengaruhi identitas dan interaksi gender.

Penting untuk dicatat bahwa pandangan Foucault tentang gender tidaklah sepenuhnya terpusat pada analisis gender, melainkan lebih terfokus pada konstruksi sosial, kekuasaan, dan disiplin secara umum. Meskipun Foucault telah memberikan wawasan yang berharga terkait isu-isu gender, pemikirannya perlu digabungkan dengan kontribusi-kontribusi dari bidang studi gender lainnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang gender dan identitas seksual.

Top of Form

Gender dan feminisme adalah dua konsep yang berbeda, meskipun keduanya sering kali terkait erat dalam konteks diskusi tentang kesetaraan gender dan perubahan sosial.

  1. Gender: Gender merujuk pada peran sosial, perilaku, dan identitas yang dikaitkan dengan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Konsep gender mengakui bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidaklah cukup untuk menjelaskan peran-peran sosial yang dibentuk oleh masyarakat. Gender dipahami sebagai konstruksi sosial yang melibatkan tuntutan, norma-norma, dan harapan yang diberikan kepada individu berdasarkan jenis kelamin mereka. Gender mencakup berbagai aspek, seperti peran gender tradisional, ekspresi gender, identitas gender, dan seksualitas.
  2. Feminisme: Feminisme adalah gerakan sosial dan politik yang berjuang untuk mencapai kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Feminisme bertujuan untuk mengatasi ketidakadilan sosial, diskriminasi, dan ketimpangan yang berkaitan dengan gender. Gerakan feminis menyoroti ketidaksetaraan sistemik yang dialami oleh perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam hal hak politik, kesempatan kerja, pendidikan, perwakilan dalam kekuasaan, dan akses terhadap sumber daya. Feminisme mencoba untuk mengubah struktur sosial yang mempertahankan dan memperkuat kesenjangan gender.

Perlu dicatat bahwa feminisme tidak hanya berfokus pada isu-isu perempuan, tetapi juga mengakui bahwa patriarki dan kesenjangan gender juga merugikan laki-laki dalam beberapa aspek kehidupan. Ada berbagai aliran feminisme yang memiliki perspektif dan pendekatan yang berbeda dalam memperjuangkan kesetaraan gender, seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme sosialis, feminisme intersectional, dan banyak lagi.

Secara singkat, gender merujuk pada konstruksi sosial yang melibatkan peran sosial dan identitas berdasarkan jenis kelamin, sementara feminisme adalah gerakan sosial dan politik yang berusaha mencapai kesetaraan gender dan mengatasi ketidakadilan sosial yang berkaitan dengan gender.

3.     Simpulan dan Saran

Sejarah kritis dan sejarah konvensional sama pentingnya dalam kehidupan masyarakat, kuasa memang terkadang menjadikan masyarakat terdominasi, terpinggirkan, bahkan terpenjara dan dianggap gila. Karena pengetahuan dikonstruksi dari pusat kekuasaan, yang di dalamnya terkonstruksi kebenaran berdasarkan kepentingan kekuasaan, ekonomi, gender,  dan libido manusia lainnya.  Sejarah konvensional tidak semuanya salah, demikian juga sejarah kritis tidak selalamnya keberpihakannya pada orang terpinggirkan, oleh karena itu indiologi dan caouter ideologi dalam cultuurgebudenheid dan zeitgeist penting untuk diungkapkan dalam mengkritisi wacana sejarah. Dalam kontek ini waktu dan tempat, agen dan struktur masyarakat sangat penting dipahami dengan hati-hati.  

MELACAK DINAMIKA TEORI KRITIS DI BEBERAPA NEGARA TERMASUK INDONESIA

 

BAGIAN  I.

MELACAK DINAMIKA TEORI KRITIS DI BEBERAPA NEGARA

TERMASUK INDONESIA

1.1 PENGANTAR PELACAKAN

 

Berikut dilacak perkembangan teori kritis dimulai dari Jerman, Inggris, Prancis, Amerika, dan Indonesia, secara garis besar. Ini penting diketahui untuk memosisikan kajian kita ada pada mazab mana kalau dilihat dalam sejarahnya, untuk dapat memfokuskan kajian Pustaka dan kajian teoretis dalam penelitian kajian budaya secara umum baik budaya kontemporer maupun budaya tradisional.

1.1.2      Teori Kritis di Jerman (Frankfurt School, 1923)

Teori kritis pertama muncul di Jerman, memiliki sejarah panjang dan kompleks, dengan beberapa tahapan penting dalam kronologis perkembangan sbb.:

  1. Frankfurt School (1920-an - 1940-an): Teori Kritis modern dimulai dengan pendirian Institut untuk Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, pada tahun 1923. Kelompok ini terdiri dari beberapa intelektual, seperti: Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, dan Erich Fromm. Mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat kapitalis dan pemikiran ilmiah tradisional. Mereka menekankan pentingnya memahami hubungan antara budaya, ideologi, dan kapitalisme dalam analisis sosial.

 

  1. Mengkritik Ilmu Pengetahuan Positivis (1940-1950-an): Dalam periode ini, Frankfurt School menekankan kritik terhadap pendekatan ilmu pengetahuan yang terlalu positivistik. Mereka mengkritik pandangan bahwa pengetahuan ilmiah netral dan objektif, dan menggarisbawahi bahwa pengetahuan juga dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi. Buku seperti "Dialectic of Enlightenment" karya Adorno dan Horkheimer menyoroti alienasi, manipulasi budaya, dan kehilangan kebebasan individua di dalam masyarakat kapitalis modern di Eropa.

 

  1. Mengkritik Masyarakat Konsumen (1960- 1970-an): Pada periode ini, beberapa anggota Frankfurt School, seperti Herbert Marcuse, memperluas analisis mereka ke dalam kritik terhadap masyarakat konsumen. Mereka menganggap konsumerisme sebagai bentuk kontrol sosial yang menghambat daya kritis dan perubahan sosial. Marcuse menekankan betapa pentingnya pembebasan individu dari dominasi budaya massa dan kebutuhan primer (hanya sekadar kebutuhan perut) dalam mencapai masyarakat ideal yang lebih adil.

 

  1. Kajian Budaya Kritis (1980-an - sekarang): Perkembangan terakhir dalam teori kritis di Jerman melibatkan kajian budaya kritis. Sarjana seperti Jürgen Habermas dan Axel Honneth memainkan peran penting dalam mengembangkan konsep-konsep, seperti "Tindakan Komunikatif" dan "pengakuan terhadap sebuah keberadaan" dalam konteks interaksi sosial. Mereka menggabungkan pemikiran kritis dengan teori sosial untuk menganalisis ketidaksetaraan, kekuasaan, dan konflik-konflik yang ada di masyarakat.

Perkembangan teori kritis di Jerman ini hanya merupakan gambaran singkat dari tahap-tahap penting dalam sejarahnya. Penting untuk dicatat bahwa teori kritis terus berkembang dan bercabang menjadi berbagai aliran dan perspektif yang beragam.

 

1.1.2 Dinamika Teori Kritis di Inggris (Bermingham School)

Perkembangan teori kritis di Inggris telah menjadi salah satu bagian penting dalam tradisi pemikiran sosial dan politik di negara tersebut. Teori kritis di Inggris dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran penting, seperti: Marxisme, strukturalisme, dan posmodernisme.

Di Inggris, teori kritis juga berkembang melalui kontribusi-kontribusi penting dari tokoh-tokoh seperti Stuart Hall dan Raymond Williams. Stuart Hall, yang dikenal sebagai pendiri Cultural Studies di Inggris, memperluas konsep-konsep Marxisme ke dalam analisis budaya, media massa, dan identitas. Pemikirannya menyoroti pentingnya studi budaya dalam memahami politik, rasisme, dan konflik sosial yang terjadi di Inggris. Karena Inggris raya juga setiap saat kena teror dari negara bagian di Irlandia Utara. Munculnya konsep teror (membuat ketakutan public) adalah bentuk perlawanan kelompok minoritas tertindas, untuk menunjukkan keberadaannya dia melakukan “Tindakan-tindakan nekat di luar kemanusiaan” sehingga menakutkan bagi publik.  

Raymond Williams tokoh pemikir yang memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan teori kritis di Inggris melalui pemikiran tentang budaya dan kesadaran kelas. Williams menekankan pentingnya memahami budaya sebagai suatu proses yang melibatkan interaksi antara struktur sosial dan agen individu (penonjolan agen dan struktur) yang saling mempengaruhi. Pemikirannya menyoroti kompleksitas hubungan antara budaya, kekuasaan, dan perubahan sosial.

Selain itu, terdapat pula pengaruh besar dari feminisme dalam perkembangan teori kritis di Inggris. Banyak feminis Inggris seperti Judith Butler, bell hooks, dan Angela McRobbie telah memperluas dan memperkaya pemahaman teori kritis, dengan  menampilkan dan menganalisis isu-isu gender, seksualitas, dan patriarki dalam konteks sosial dan politik. Bagi yang mengkaji gender dan fiminisme dapat melacaknya dari sini, kemudian ke Amerika.

Perkembangan terbaru dalam teori kritis di Inggris juga mencerminkan pergeseran ke arah kajian postkolonial dan dekolonisasi. Akademisi seperti Homi K. Bhabha dan Gayatri Chakravorty Spivak, telah berkontribusi dalam menganalisis dominasi kolonial, perbedaan budaya, diskriminasi, dan identitas dalam kerangka teori kritis.

Secara keseluruhan, perkembangan teori kritis di Inggris telah melibatkan perluasan dan pembaruan konsep-konsep Marxisme, analisis budaya, pemikiran feminis, serta pengaruh postkolonial dan dekolonisasi. Kontribusi-kontribusi ini terus membentuk pemahaman kritis terhadap masyarakat, budaya, dan politik di Inggris dan juga di negara lain di seluruh dunia.

1.1.3      Dinamika Teori Kritis di Prancis

Perkembangan teori kritis di Prancis juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam tradisi pemikiran sosial dan politik. Berikut adalah beberapa perkembangan penting dalam teori kritis di Prancis:

  1. Strukturalisme: Salah satu kontribusi terbesar Prancis dalam teori kritis adalah munculnya aliran strukturalisme, yang dipelopori oleh tokoh seperti Claude Lévi-Strauss dan Roland Barthes. Strukturalisme menekankan pentingnya struktur dalam memahami realitas sosial dan budaya. Pendekatan ini membantu membentuk pemahaman kritis terhadap bahasa, mitos, simbol, dan sistem-sistem sosial.

 

  1. Michel Foucault: Foucault adalah seorang filosof dan sejarawan Prancis yang telah memberikan kontribusi besar dalam teori kritis. Pemikirannya berfokus pada analisis kekuasaan dan pengetahuan, serta bagaimana kekuasaan beroperasi dalam institusi-institusi sosial seperti penjara, klinik psikiatri, dan lembaga pendidikan. Konsep-konsep seperti: arkheologi dan genealogi pengetahuan, "biopower", dan "pantauan" (surveillance) telah menjadi karya-karya klasik dalam teori kritis.

 

  1. Poststrukturalisme: Prancis juga merupakan tempat lahirnya aliran poststrukturalisme yang penting dalam teori kritis. Tokoh-tokoh seperti Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan Gilles Deleuze telah memberikan kontribusi dalam memperluas pemahaman tentang bahasa, kuasa, identitas, dan realitas sosial. Mereka menantang pemikiran strukturalis tradisional dengan mengkritik konsep-konsep seperti kebenaran tunggal, oposisi biner, dan stabilitas.

 

  1. Teori Kritis di Prancis: merupakan pengaruh teori kritis Frankfurt juga dapat dirasakan di Prancis. Banyak karya Frankfurt School yang diterjemahkan dan dibahas secara luas di Prancis, seperti karya-karya Theodor Adorno dan Herbert Marcuse. Kontribusi Frankfurt School dalam memahami alienasi, industri budaya, dan kritik terhadap kapitalisme telah mempengaruhi pemikiran kritis di Prancis.

 

  1. Feminisme Prancis: Seperti di Inggris, feminisme juga telah memberikan kontribusi penting dalam perkembangan teori kritis di Prancis. Feminis Prancis seperti Simone de Beauvoir dan Luce Irigaray telah mengembangkan analisis yang mendalam tentang gender, tubuh, dan kekuasaan dalam konteks sosial dan budaya. Selain itu, teori queer juga telah berkembang di Prancis dengan pemikir seperti Judith Butler dan Eve Kosofsky Sedgwick yang menyoroti kompleksitas identitas seksual dan penolakan terhadap norma-norma biner yang mengidealkan kesetaraan.

Perkembangan teori kritis di Prancis ditandai oleh kontribusi-kontribusi penting dalam strukturalisme, pemikiran Foucault, poststrukturalisme, pengaruh teori kritis Frankfurt, serta pemikiran feminis dan queer. Kontribusi-kontribusi ini telah membentuk pemahaman kritis tentang masyarakat, budaya, kekuasaan, dan identas di Prancis dan seluruh dunia.Top of Form

1.1.4       Dinamika Teori Kritis di Amerika

Perkembangan teori kritis di Amerika telah memainkan peran penting dalam pemikiran sosial dan politik di negara ini. Berikut adalah beberapa perkembangan penting dalam teori kritis di Amerika:

1.     Postmodernisme dan Poststrukturalisme: Amerika Serikat telah menyumbangkan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan pascamodernisme dan poststrukturalisme dalam teori kritis. Tokoh-tokoh seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Jean-François Lyotard banyak dipelajari dan diterapkan dalam konteks akademik Amerika. Konsep-konsep seperti dekonstruksi, relasi kuasa, dan narasi dominan dan sebagainya telah memberikan wawasan baru dalam analisis teori kritis di Amerika.

 

2.     Kajian Budaya (Cultural Studies): Kajian Budaya telah menjadi bagian penting dalam perkembangan teori kritis di Amerika. Pemikir seperti Stuart Hall dan Lawrence Grossberg telah memainkan peran sentral dalam mengembangkan pendekatan kritis terhadap budaya populer, media massa, dan identitas budaya. Kajian Budaya di Amerika juga sering berfokus pada isu-isu ras, kelas, gender, dan seksualitas dalam konteks Budaya Pop Kontemporer.

 

3.     Kritis Rasial: Di Amerika Serikat, teori kritis telah berkembang dengan sangat erat dengan kritik rasial. Pemikir seperti W.E.B. Du Bois, Bell Hooks, dan Cornel West telah mengembangkan pemahaman kritis tentang rasisme, supremasi kulit putih, dan sistem ketidaksetaraan rasial di Amerika Serikat. Kontribusi-kontribusi mereka membantu membangun teori dan analisis yang menggali lebih dalam tentang pengaruh ras dalam masyarakat dan kehidupan sehari-hari.

 

4.     Feminisme dan Studi Gender: Amerika juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam pengembangan teori kritis feminis dan studi gender. Feminis seperti Judith Butler, Bell Hooks, dan Kimberlé Crenshaw telah memberikan pemahaman yang mendalam tentang konstruksi sosial gender, seksualitas, dan interseksionalitas. Konsep-konsep seperti performativitas gender, reproduksi budaya, dan teori interseksionalitas        telah menjadi landasan teori kritis feminis di Amerika.

 

5.     Teori Kritis dalam Ilmu Sosial: Amerika juga melihat pengembangan teori kritis dalam disiplin ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik, dan ekonomi. Beberapa tokoh terkemuka seperti Herbert Marcuse, Jürgen Habermas, dan Nancy Fraser telah memberikan kontribusi dalam memperluas dan menerapkan pemikiran kritis dalam analisis sosial, politik, dan ekonomi.

Perkembangan teori kritis di Amerika mencerminkan pengaruh yang luas dari aliran-aliran pemikiran seperti pascamodernisme, poststrukturalisme, kajian budaya, kritis rasial, feminisme, dan studi gender. Teori kritis di Amerika telah memberikan wawasan kritis yang mendalam tentang struktur sosial, kekuasaan, identitas, dan ketidaksetaraan dalam konteks Amerika Serikat dan juga dalam skala global.

1.1.5      Teori Postkolonial

Teori Poskol/pascakolonial adalah kerangka pemikiran yang muncul setelah periode kolonisasi dan bertujuan untuk memahami dampak kolonialisme serta melibatkan refleksi kritis terhadap warisan kolonial dalam konteks artefact, politik, sosial, budaya, dan intelektual. Teori pascakolonial mengkritik dominasi dan penindasan yang dilakukan oleh kekuatan kolonial, serta menyoroti peran penting identitas, budaya, dan perbedaan dalam analisis kekuasaan dan ketimpangan di dunia bekas jajahan pascakolonial. Banyak budaya setelah masa kolonial dihidupkan Kembali setelah merdeka, terkadang menampilkan wujud budaya “lebih kolonialis dari kolonial, lebih belnda dari belanda, lebih feudal dari zaman kerajaan”. Butuh kesadaran kritis dalam budaya, politik, ekonomi, dan praktik budaya lainnya.

Awal perkembangan teori pascakolonial sering dikaitkan dengan karya-karya pemikir seperti Frantz Fanon, dan Edward Said. Pemikiran Fanon, seperti yang terdokumentasikan dalam karya monumentalnya "The Wretched of the Earth" (1961), memperlihatkan pengaruh yang kuat dalam teori pascakolonial. Fanon menyoroti pengaruh psikologis dan identitas dalam konteks kolonialisme, dan mengajukan gagasan tentang pembebasan dan pembentukan identitas dalam perjuangan melawan kolonialisme.

Edward Said, dalam karyanya yang terkenal "Orientalism" (1978), mengeksplorasi konstruksi budaya Barat terhadap Timur atau 'Orient'. Said mengkritik pandangan Orientalisme yang dikembangkan oleh penulis Barat sebagai bentuk dominasi dan representasi yang merendahkan. Karya tersebut mendorong analisis yang lebih kritis terhadap narasi (seluruh  warisan kolonial) dan stereotipe yang telah terbentuk dalam hubungan antara Barat dan Timur.

Perkembangan teori pascakolonial tidak terbatas pada karya-karya Fanon dan Said, tetapi juga melibatkan sumbangan pemikir lainnya seperti Homi K. Bhabha, Gayatri Chakravorty Spivak, dan banyak lainnya. Mereka berkontribusi dalam mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang identitas, budaya, rasisme, seksisme, kapitalisme pascakolonial, dan interseksionalitas.

Perkembangan teori pascakolonial terjadi di berbagai disiplin ilmu, termasuk studi budaya, sastra, sejarah, antropologi, dan ilmu politik. Teori pascakolonial juga menjadi landasan bagi gerakan pembebasan, kajian subaltern, dan kajian poskolonial yang berfokus pada memahami dinamika kekuasaan dan ketimpangan yang masih ada dalam konteks pasca-kolonial di seluruh dunia.

Awal perkembangan teori pascakolonial dapat ditelusuri kembali ke karya-karya pemikir seperti Frantz Fanon, Edward Said, dan Homi K. Bhabha.

1.     Frantz Fanon: Fanon adalah salah satu pemikir pascakolonial terkemuka yang lahir di Martinik dan berfokus pada analisis psikologis dan politik dari kolonialisme dan proses dekolonisasi. Karyanya yang terkenal, seperti "The Wretched of the Earth" (1961) dan "Black Skin, White Masks" (1952), membahas dampak kolonialisme terhadap identitas, kesadaran, dan perjuangan pembebasan.

2.     Edward Said: Said adalah seorang intelektual Palestina yang terkenal karena karyanya "Orientalism" (1978). Dalam bukunya, ia mengkritik cara Barat merendahkan, mengkategorikan, dan mengklaim superioritas terhadap "Orient" (Timur) dalam pengetahuan, sastra, dan representasi. Karya Said berkontribusi pada pemahaman kritis tentang kolonialisme budaya dan pembentukan identitas pasca-kolonial.

3.     Homi K. Bhabha: Bhabha adalah seorang teoretikus pascakolonial asal India yang mengembangkan konsep-konsep seperti "tempat ketiga" (third space) dan "pergeseran identitas" (hybridity). Karya Bhabha, seperti "The Location of Culture" (1994), membahas tentang perbedaan budaya, negosiasi identitas, dan produksi kekuasaan dalam konteks pasca-kolonial.

Perkembangan teori pascakolonial terus berlanjut dan melibatkan kontribusi dari berbagai pemikir dan disiplin ilmu. Pendekatan ini telah mempengaruhi berbagai bidang, termasuk studi budaya, sastra, sejarah, sosiologi, antropologi, dan politik di seluruh dunia.

 

 

1.1.6      Teori Kritis di Indonesia.

Perkembangan teori kritis di Indonesia juga telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam pemikiran sosial dan politik di negara ini. Berikut adalah beberapa perkembangan penting dalam teori kritis di Indonesia:

1.     Kritis terhadap Kolonialisme dan Imperialisme: di Indonesia, teori kritis telah menjadi alat penting dalam menganalisis dan mengkritik kolonialisme dan imperialisme. Pemikir seperti Soekarno, Tan Malaka, dan Pramoedya Ananta Toer telah berkontribusi dalam memahami dampak kolonialisme dan imperialisme terhadap masyarakat Indonesia, serta mempromosikan kemerdekaan, nasionalisme, dan pembebasan.

2.     Kajian Budaya Kritis: Kajian budaya kritis juga telah berkembang di Indonesia, dengan fokus pada analisis kritis terhadap budaya, media massa, dan identitas. Pemikir seperti Goenawan Mohamad, Ariel Heryanto, dan Abidin Kusno telah berkontribusi dalam memahami perubahan budaya, politik identitas, dan hubungan antara kekuasaan dan representasi dalam konteks Indonesia.

3.     Feminisme dan Studi Gender: Perkembangan teori kritis feminis dan studi gender juga terjadi di Indonesia. Pemikir seperti Julia Suryakusuma, Melani Budianta, dan Nursyahbani Katjasungkana telah memperkaya pemahaman tentang gender, seksualitas, dan kritik terhadap ketidaksetaraan gender dalam konteks sosial dan politik Indonesia.

4.     Kritis terhadap Kapitalisme dan Ketimpangan Sosial: Teori kritis juga digunakan dalam memahami kapitalisme dan ketimpangan sosial di Indonesia. Pemikir seperti Prabu Darmayasa, Mohammad Hatta, dan Emil Salim telah menyumbangkan pemikiran kritis tentang ekonomi politik, pembangunan, dan ketimpangan sosial dalam konteks Indonesia.

5.     Kritis terhadap Keistimewaan dan Identitas Lokal: Beberapa pemikir Indonesia juga mengembangkan kajian kritis terhadap keistimewaan dan identitas lokal. Pemikir seperti Benedict Anderson, Ariel Heryanto, dan Arif Dirlik telah memberikan kontribusi dalam memahami konstruksi identitas nasional, kebangsaan, dan proses globalisasi dalam konteks Indonesia.

 

Teori ini memiliki karakteristik khas yang tercermin dalam pendekatan dan fokusnya terhadap konteks sosial, politik, dan budaya Indonesia. Berikut ini adalah beberapa karakteristik umum dari Teori Kritis Indonesia. Ciri-ciri lainnya dapat disebutkan.

1.     Kontekstual: Teori Kritis Indonesia menempatkan konteks Indonesia sebagai fokus utama analisisnya. Teori ini berusaha untuk memahami realitas sosial, politik, dan budaya Indonesia secara kritis, dengan memperhatikan konteks sejarah, politik, ekonomi, dan budaya yang unik bagi Indonesia.

2.     Kritis terhadap Ketimpangan dan Ketidakadilan: Teori Kritis Indonesia memiliki orientasi kritis terhadap ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Teori ini mengidentifikasi dan menganalisis struktur-struktur sosial, politik, dan ekonomi yang menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan tersebut, serta mencari alternatif untuk perubahan sosial yang lebih adil.

3.     Keterlibatan dengan Masalah Sosial: Teori Kritis Indonesia tidak hanya berfokus pada analisis akademis, tetapi juga berusaha terlibat dalam pemecahan masalah sosial di Indonesia. Teori ini mendorong tindakan dan advokasi untuk perubahan sosial yang lebih baik melalui partisipasi dalam gerakan sosial, aktivisme, dan pembangunan alternatif yang lebih inklusif.

4.     Interdisipliner: Teori Kritis Indonesia menggabungkan pendekatan interdisipliner dalam analisisnya. Ia mengintegrasikan pemikiran dari berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi, sejarah, politik, dan budaya, untuk memahami kompleksitas masalah sosial di Indonesia.

5.     Penekanan pada Keadilan Sosial dan Pemberdayaan (Empowering): Teori Kritis Indonesia menekankan pentingnya keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Teori ini berupaya untuk mengungkap dan mengkritisi struktur kekuasaan yang menghasilkan ketidakadilan, serta mendorong transformasi sosial yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembangunan alternatif yang lebih inklusif.

6.     Kritis terhadap Neoliberalisme: Teori Kritis Indonesia memiliki sikap kritis terhadap neoliberalisme dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia. Ia menganalisis dan mengkritisi dominasi pasar, privatisasi, komodifikasi, dan ketimpangan yang disebabkan oleh neoliberalisme, serta mencari alternatif yang lebih berorientasi pada kesejahteraan sosial dan keadilan.

Dalam keseluruhan, Teori Kritis Indonesia adalah sebuah kerangka pemikiran yang menggabungkan analisis kritis dengan keterlibatan dalam masalah sosial dan pembangunan alternatif. Teori ini bertujuan untuk memahami dan mengatasi ketimpangan, ketidakadilan, dan masalah sosial di Indonesia melalui pemikiran kritis dan tindakan yang berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, dengan melihat norma Pancasila sebagai bagian dari keberadaannya sebagai bangsa.

 

 

 

 

 

BAGIAN II.

MELACAK DINAMIKA KAJIAN BUDAYA POPULER

2.1 PENGANTAR BUDAYA POPULER

Kajian Budaya Populer telah menjadi bidang penelitian yang semakin relevan dalam memahami dinamika budaya massa kontemporer. Tulisan ini mencoba menghadirkan serangkaian analisis mendalam dan pemikiran kritis terhadap fenomena budaya populer yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Dengan menggunakan pendekatan multidisiplin, buku ini bertujuan untuk menggali kompleksitas dan makna dalam budaya populer, serta dampaknya terhadap masyarakat. Berikut berturut-turut dibahas secara ringkas mengenai: “a. Pengertian dan Ruang Lingkup Budaya Populer; dan b. Teori dan Pendekatan dalam Kajian Budaya Populer           

(a)  Pengertian dan Ruang Lingkup Budaya Populer

Budaya populer merujuk kepada berbagai aspek budaya yang diadopsi, diakses, dan dinikmati oleh masyarakat secara luas. Budaya populer mencakup berbagai bentuk ekspresi seperti: “musik, film, televisi, literatur, komik, permainan video, mode, makanan, dan banyak lagi”. Ini adalah budaya yang tersebar luas dan sering dihasilkan oleh industri kreatif komersial. Budaya populer adalah refleksi dari selera, preferensi, dan minat yang umumnya diterima dan diikuti oleh masyarakat baik lokal maupun internasional.

Ruang lingkup budaya populer sangat luas, dan dapat melibatkan segala aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam musik, budaya populer mencakup genre-genre yang populer seperti pop, rock, hip-hop, dan elektronik. Dalam dunia film dan televisi, budaya populer mencakup: “film serial TV populer, Sinetron, film korea, drakor, dan program hiburan yang menarik minat luas”. Bahkan dalam literatur, genre seperti fiksi remaja, fantasi, atau novel romantis yang populer juga dapat masuk ke dalam domain budaya populer. Dengan kata lain, budaya populer mencakup apa pun yang banyak dikonsumsi, diterima, dan dibicarakan oleh masyarakat pada suatu periode tertentu. Dengan demikian di era modernitas budaya pop dikaji dan pada akhirnya juga dikomodifikasi, dan dimanfaatkan untuk menguasai masyarakat luas, terutama anak-anak melenial.

(b)  Teori dan Pendekatan dalam Kajian Budaya Populer

Kajian budaya populer melibatkan berbagai teori dan pendekatan untuk memahami fenomena budaya tersebut. Beberapa teori dan pendekatan yang umum digunakan dalam kajian budaya populer antara lain:

1.     Teori Kritis: Pendekatan ini mempertanyakan aspek sosial, politik, dan ekonomi dari budaya populer. Teori kritis menyoroti bagaimana budaya populer dapat menjadi alat dominasi dan pengendalian oleh kelompok kepentingan yang kuat, serta bagaimana budaya populer dapat mempengaruhi persepsi dan tindakan individu.

2.     Pendekatan Etnografi: Pendekatan ini melibatkan pengamatan langsung dan penelitian mendalam terhadap komunitas atau kelompok yang terlibat dalam produksi, konsumsi interpretasi budaya populer, serta artikulasi atau pemaknaannya sehari-hari. Etnografi memungkinkan para peneliti untuk memahami makna, nilai, dan praktik yang terkait dengan budaya populer secara kontekstual. Kerentanan budaya lokal dari kepunahan perlu diperhatikan, sehingga dominasi melalui hegemoni dapat terhindarkan sebagai roh dalam kajian budaya.

3.     Pendekatan Studi Budaya: Pendekatan ini melibatkan analisis terhadap budaya populer sebagai tanda-tanda dan simbol-simbol yang mewakili dan membentuk pemahaman dan identitas sosial. Pendekatan ini memperhatikan bagaimana budaya populer terhubung dengan proses produksi, distribusi, konsumsi, dan interpretasi, dimana di dalamnya ada relasi kuasa, ekonomi, dan dominasi, dan dapat menjadi pendekatan tersendiri, di era postcolonial.

4.     Pendekatan Feminis (Gender): Pendekatan ini memperhatikan bagaimana gender dan kekuasaan beroperasi dalam budaya populer. Pendekatan feminis menyoroti representasi gender dalam media dan mempertanyakan stereotipe, dominasi, dan ketimpangan yang mungkin ada di dalamnya.

5.     Pendekatan Postkolonial: Pendekatan ini mempertanyakan dampak imperialisme dan kolonialisme dalam produksi dan konsumsi budaya populer. Pendekatan postkolonial menyoroti bagaimana budaya populer dapat mereproduksi relasi kekuasaan yang ada atau membangkitkan resistensi dan perlawanan terhadapnya.

6.     Pendekatan Kerentanan Budaya Lokal: dapat dilakukan dalam melihat dominasi global terhadap budaya lokal, tujuannya adalah melakukan hibridasi, sehingga bertumbuh postmodernitas sering disebut Glokal (global-lokal dan sebaliknya), kesetaraan budaya. Bersanding dengan pendekatan Multikulturalisme, dalam budaya, politik, ekonomi, ideologi dan pendidikan. Juga sebagai representasi dari keberpihakan peneliti pada minoritas, budaya yang terpinggirkan (ingat 7 kebudayaan universal, serta wujud budaya dalam teori budaya), dan emansipatoris.

 

     Pendekatan dan teori ini hanya beberapa contoh dari berbagai kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian budaya, baik budaya konvensional maupun budaya populer. Setiap pendekatan memiliki fokus dan perspektif yang berbeda dalam memahami dan menganalisis fenomena budaya di lapangan, dan seringkali digunakan secara bersamaan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih kaya dan komprehensif. Dalam tulisan ini khusus dijadikan fokus pembahasan mengenai budaya populer.

  Kajian dengan pendekatan kritis bagaimanapun harus diawali dengan pendekatan structural fungsional dan atau konflik, dalam melihat kondisi fakta sosial di  kancah. Tidak akan dapat ememosisikan teori yang kita gunakan kalau tidak diawali dengan kajian terdahulu untuk memperlihatkan praksis budaya di masyarakat. Demikian juga untuk menemukan novelty penelitian kita dalam konteks sumbangan terhadap pemahaman baru, teori atau pembaharuan teori yang sudah ada.

 

2.2  BUDAYA POPULER DAN IDENTITAS.

            Pembahasan dilanjutkan dengan mengurai secara singkat hal-hal berikut: a. Representasi Identitas dalam Media Massa; b. Konstruksi Gender dalam Budaya Populer; c. Budaya Populer dan Multikulturalisme. Sedangkan yang lainnya dapat didiskusikan lebih lanjut  kalau ada di antara saudara yang memiliki fokus kajian lainnya.

a.     Representasi Identitas dalam Media Massa.

Budaya populer, termasuk media massa seperti film, televisi, dan musik, memainkan peran penting dalam merepresentasikan identitas individu dan kelompok dalam masyarakat kontemporer. Representasi identitas dalam media massa dapat mempengaruhi cara kita/mereka memahami diri kita sendiri, diri mereka, dan orang lain. Namun, penting untuk diingat bahwa representasi ini sering kali bersifat selektif dan dapat mencerminkan stereotipe dan klise yang sempit. Oleh karena itu sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik, dan untuk mencari pengikut dalam ajatan politik. Ingat kasus AHOK dalam pemilihan Gubernur DKI yang dimenangkan oleh Anis. Islam sebagai identitas dipermainkan untuk digunakan mengalihkan perhatian massa agar tumbuh massa anti AHOK. Sama dengan Ajeg Bali digunakan untuk proteksi diri (Bali) ketika meletus Bom Bali I dan II. Dengan demikian sampai ke desa-desa muncul tulisan “Pemulung dilarang masuk”, apa makna budayya yang terkandung di baliknya, adalam representasi/ simol anti teroris yang dalam hal ini dialamatkan pada pemulung, yang sering seetnik dengan pembom, dll.

Media massa yang dapat merekonstruksi budaya populer, dan melakukan simulakra, juga sangat besar perannya dalam mempengaruhi “cara kita/sudut pandang kita/perspektif kita/ vista kita” dalam melihat “identitas ras, etnis, agama, dan budaya tertentu. Representasi yang kurang akurat atau terdistorsi oleh subyektivitas individua tau kelompok dapat menyebabkan stereotipe negatif atau generalisasi yang tidak adil terhadap anggota dan kelompok tertentu. Dalam beberapa kasus, representasi yang repetitif dan bias dalam media massa dapat menyebabkan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu. Ini  penting dipahami dalam konteks kondisi rial bangsa berkebhineka, sebagai bangsa yang memang wajib mengembangkan multicultural, yang memiliki latar belakang penyatuannya adalah adalah berbasis kolonialisme. Dengan demikian dalam membangun kebersamaan Indonesia jangan melupakan sejarah bangsa ini (Jasmerah: Soekarno). Tetapi bukan sejarah yang mengembangkan nostalgia masa lalu, karena masa lalu yang ada zaman kolonial dan kerajaan sudah mengalami “diskontinuitas” dengan adanya “Proklamasi 17 Agustus 1945”, terutama dominasi dalam berbagai bentuk (menjadi demokrasi), feodalisme (kerajaan) sudah menjadi republik, secara ideologis telah dikonstruksi dalam demokratisasi dan kesetaraan dalam berbagai bidang (gender, ekonomi, hukum, politik, agama, dll).  Pahamin makna sejarah yang disampaikan oleh Michael Foucaultan.

Namun, media massa juga memiliki potensi untuk merepresentasikan identitas yang lebih inklusif, kompleks, dan mewakili keragaman masyarakat Indonesia. Dengan adanya perwakilan yang lebih beragam dan pengakuan terhadap berbagai identitas, media massa dapat memainkan peran positif dalam memperkuat pemahaman dan penghargaan terhadap keragaman Bangsa Indonesia dan manusia lain di dunia, dengan menumbuhkan kesadaran dari dalam diri warga bangsa yang anti pobia identitas dan menghapus streotif, dan datang dari hati terdalam manusia Indonesia. Dengan demikian persatuan dan kesatuan dapat terwujud secara permanen.

b.     Konstruksi Gender dalam Budaya Populer.

Budaya populer juga berperan dalam konstruksi dan pemahaman gender. Stereotipe gender sering kali terwujud dalam budaya populer melalui representasi karakter, perilaku, dan peran yang ditampilkan dalam praksis budaya, film, acara televisi, musik, dan iklan. Budaya populer dapat memperkuat stereotipe gender yang ada, seperti peran tradisional yang dikaitkan dengan laki-laki dan perempuan, mengabaikan mana gender dan mana kograt. Ketidakmampuan membedakan mana gender dan mana kodrat, makna tradisional patrilinial Bali terkadang membatu adanya budaya sarat gender. Jadi ideologi keperusaan perlu dikontruksi agar tidak amsolut dan mengabaikan hakikat martabat kaum putri Bali, sebagai manusia beradab.

Namun, sudah ada upaya untuk melawan stereotipe gender dalam budaya populer di nusantara. Beberapa karya budaya populer menghadirkan karakter yang tidak konvensional dan menggoyang batasan gender yang ada. Ini dapat mencakup representasi perempuan yang kuat, laki-laki yang lebih emosional, atau karakter yang mengidentifikasi diri di luar oposisi biner gender tradisional, banyak peneliti kita sudah mengambil tema gender ini. Secara teori dan ideal mudah dipahami, tetapi bagaimana menjadi Tindakan nyata di masyarakat masih membutuhkan waktu. Seperti misalnya adanya persyaratan 20% dalam calon wakil rakyat dalam perundangan kita sebenarnya secara normative sudah diatur, sekarang bagaimana remaja putri dan perempuan Bali dapat memanfaatkannya, itu masalah pendidikan dan masih berbau politis.

Harapannya adalah sangat penting untuk terus mengkritisi dan menginterogasi representasi gender dalam budaya populer, serta untuk mendukung narasi yang lebih inklusif dan mewakili keberagaman gender yang ada dalam masyarakat, melalui penelitian-penelitian yang bertema gender. Ini salah satu bagian dari produksi pengetahuan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Bandingkan sistem matrilineal di Padang dengan sistem patrilinial di Bali.  

c.     Budaya Populer dan Multikulturalisme

Meneliti dan mewacanakan budaya populer memiliki potensi untuk menjadi medium multikultural yang kuat, di mana berbagai identitas dan budaya dapat saling berinteraksi dan berbagi. Budaya populer yang beragam dapat mencerminkan dan merayakan pluralitas masyarakat. Melalui musik, film, dan seni lainnya, budaya populer dapat memperkenalkan masyarakat pada berbagai tradisi, bahasa, dan pengalaman yang berbeda. Dengan demikian berkembang rasa memiliki bersama dan saling mendekat satu dengan yang lain, yang pada gilirannya terjadi saling menghargai setara satu dengan yang lain dalam hal ini misalnya mayorita-minoritas, perbedaan agama, dll. Seperti penelitian yang pernah saya lakukan tentang “Nyama-Bali Nyama Selam di Bali”, sehingga pembaca dapat memahami dan bertumbuh persaudaraan dan penyamabrayaan di masyarakat luas, terutama yang membaca buku saya, dan artikel yang dipublis di berbagai media journal, dan seminar nasional dan internasional. Juga penelitian penulis mengenai ‘Revitaalisasi Ideologi Bali Aga dalam rekontruksi ideologi masyarakat Bali”, ditemukan adanya konsep ‘Manusa Pada zaman Bali Kuno” dan sistem Wangsa “konsep manusa Beda” pascakolonial. Peran kolonial sangat besar dalam mengkonstruksi perbedaan dan panatisme klan di Bali. Apappun konsepnya apakah wangsa, warna, wangsa di Bali dalam praktik budayanya secara praksis masih menganut manusa beda, karena sistem ulu-apad, sebagai wujud demokratisasi berbasis senioritas hilang dengan adanya sistem wangsa/kasta yang diwariskan secara turun menurun.

Namun, ada juga tantangan dalam mencapai multikulturalisme yang sejati dalam budaya populer. Kadang-kadang, elemen budaya dari kelompok minoritas dapat dieksploitasi atau dipandang sebagai tren sementara, sementara representasi yang mendalam dan akurat seringkali terabaikan. Penting untuk memastikan bahwa representasi budaya dalam budaya populer memperhatikan konteks dan memperkuat pemahaman yang lebih mendalam tentang keragaman masyarakat. Terutama dikaitkan dengan agen, dan struktur masyarakat di mana penelitian dilakukan, dan waktu yang dibicarakan, sehingga dapat masa lalu dijadikan sarana belajar untuk mengalami perubahan menuju masyarakat multicultural sejatinya (bukan sementara).

Selain itu, penting untuk menghargai sumber budaya yang diadopsi dalam budaya populer dan menghindari konstruksi budaya atau apropiasi budaya yang tidak pantas. Apropiasi budaya terjadi ketika elemen-elemen budaya yang penting bagi kelompok tertentu, diambil tanpa pemahaman atau penghargaan yang memadai terhadap makna dan konteks aslinya, dari budaya yang lain yang diambil. Hal ini juga sering menjadi masalah, karena dapat menumbuhkan ketidakadilan dalam tatadunia yang disepakai secara nasional dan internasional. Sebagai contoh kasus tempo, tari pendet, nyanyian lokal dan sebagainya, terutama terkait dengan komersialisasi budaya lokal bangsa Indonesia. Jika untuk kepentingan akademik, dan moral tanpa ada unsur kapitalisme budaya di dalamnya tidak menjadi masalah, dan justru diharapkan.

Terkait dengan multikulturalisme dapat dikatakan, bahwa budaya populer dapat berperan sebagai ruang di mana dialog dan pertukaran antarbudaya dapat terjadi. Dengan pendekatan yang sensitif dan inklusif, budaya populer dapat memperkuat kesadaran dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dalam masyarakat, Indonesia yang memiliki eksistensi budaya yang sangat majemuk. Perlu dilola dengan baik kekayaan ini, agar tidak pecah dan berantakan sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kebersamaan di era globalisasi.

Seperti pandangan kajian budaya secara umum dalam melihat ketidakadilan berdasarkan ketimpangan ekonomi, kekuasaan, pengetahuan, simbol budaya dan gender, diharapkan diperjuangkan secara terus menerus. Karena selama manusia makan, selama manusia mendapat keuntungan ekonomi, prestise, Wanita, dan kuasa dalam kehidupan nyata, maka konsep “homo honini lupus” tetap berlaku, karena pengetahuan (produksi dan proses produksinya) berelasi dengan kuasa, maka kekuasaan memberikan munculnya berbagai penyimpangan dilihat dari misi utama kajian budaya. Oleh karena itulah maka kekuasaan harus dibatasi secara ketat, baik dengan regulasi, norma, dan tenanan fisik. Kenyataan di kancah sering ilmuan kajian budaya, harus berlawanan dengan kuasa, terutama kuasa yang otoriter. Otoritarian penguasa akan dapat tumbuh, kalau kebenaran fiksi dikonstruksi menjadi kebenaran, sehingga cendrung akan menuju pada pemitosan. Bagaimana dengan seorang tokoh pahlawan (agen perlawanan di masa lalu?), jawabannya pahami dengan menjawab pertanyaan “mengapa monument/patung untuk massa di masa lalu, akhirnya dibongkar rama-rama oleh massa yang membangunnya. Ada perubahan apa dikepala dan pengetahuan masyarakat itu?

 

2.3 BUDAYA POPULER DAN KONSUMSI

Pembahasan selanjutnya difokuskan dalam kajian: a. Budaya Konsumsi dalam Era Globalisasi; b. Budaya Merek dan Branding; c. Pembentukan Gaya Hidup Melalui Budaya Populer. Diuraikan bagian pentingnya saja karena begitu luas dan beragamnya tema ini. Sebagai gambaran untuk penelitan dan pengayan pemahaman, dalam kajian budaya melengkapi tema-tema pilihan saudara berlata belakang yang beragam, sebagai mahasiswa S-2 dan S-3 Kajaian Budaya di Lembaga kita ini.

a.     Budaya Konsumsi dalam Era Globalisasi

Era globalisasi, budaya populer, dan konsumsi saling terkait erat. Globalisasi telah memungkinkan produk budaya populer, seperti film Hollywood, musik pop internasional, dan merek global, drakor, dapat menyebar ke pelosok Indonesia dan ke seluruh dunia. Budaya konsumsi dalam era globalisasi mencakup: “gaya hidup, tren mode, makanan, teknologi, dan barang konsumsi lainnya, yang dipengaruhi oleh budaya populer global”.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah mempercepat dan memudahkan akses terhadap budaya populer di dunia dan nusantara melalui internet dan media sosial. Orang dapat dengan mudah mengakses dan mengonsumsi konten budaya populer dari berbagai daerah, negara, dan budaya yang menyebar di muka bumi ini. Masyarakat dunia telah berubah menjadi kampung global (selebar daun kelor), seperti lihat  podcas, yoetube, dan konten-konten yang ditampilkan dan video viral yang ada di jagat maya. Kondisi itu akan dapat saling mempengaruhi antar warga net yang keanggotaannya menyebar di seluruh pelosok dunia dan seluruh masyarakat jaringan media massa.

Namun, dalam era globalisasi juga terjadi perdebatan mengenai dominasi budaya populer global yang dapat mengancam keberagaman budaya lokal. Budaya konsumsi global dapat menghasilkan homogenisasi budaya dan mengesampingkan ekspresi dan tradisi lokal yang lebih khas. Seperti food KFC, Coca cola, McDonal, dan makanan instan lainnya dari pusat perdaban dunia Amerika. Dapat diambil maknanya bahwa waktu akan menjadi sangat berharga, sehingga makanan siap saji dalam waktu singat (efisien waktu) akan diburu oleh masyarakat melinial. Jadi sangat rasional jargon “ the time is money”, waktu adalah uang, karena makin sefisien menggunakan waktu maka makin banyak pelanggan dapat dilayani, dan makin banyak pula keuntungan yang dikumpulkan dalam hitungan waktu yang sama digunakan oleh dagangan yang dilatari oleh pelanggan santai dan boros waktu, sambal menunggu sesuatu untuk menghabiskan waktu, dan mengobati rasa jenuh.

b.     Budaya Merek dan Branding

Budaya merek dan branding mengacu pada cara merek dan produk menciptakan identitas, citra, dan koneksi emosional dengan konsumen. Budaya populer berperan penting dalam membentuk dan mempengaruhi persepsi konsumen terhadap merek dan produk. Produk boleh belakangan, setelah masyarakat memang telah terbius melalui iklan terhadap produk tertentu, sehingga orang rela inden beberapa bulan dengan membayar dana di muka (dp) untuk dapat barang yang diiklankan.

Merek yang berhasil dalam budaya populer sering kali dapat membangun loyalitas konsumen yang kuat dan menghasilkan pengaruh yang signifikan dalam keputusan konsumsi. Budaya merek melibatkan penggunaan elemen-elemen budaya populer, seperti selebriti, musik, film, dan tren, untuk mengaitkan merek dengan nilai-nilai yang diinginkan oleh konsumen.

Melalui branding yang efektif, merek dapat membentuk identitas konsumen, mempengaruhi persepsi sosial, dan membangun komunitas penggemar yang berbagi minat dan nilai-nilai yang sama.

c.     Pembentukan Gaya Hidup Melalui Budaya Populer

Budaya populer memainkan peran penting dalam membentuk gaya hidup dan preferensi konsumen. Gaya hidup adalah cara hidup yang tercermin dalam pilihan konsumsi, minat, dan aktivitas sehari-hari seseorang.

Budaya populer mempengaruhi bagaimana orang memilih produk, merk, dan aktivitas yang sesuai dengan identitas dan minat mereka. Misalnya, tren fashion, musik, dan gaya hidup yang dipopulerkan oleh selebriti atau ikon budaya populer dapat mempengaruhi cara orang berpakaian, mendengarkan musik, atau menghabiskan waktu luang mereka.

Melalui konsumsi budaya populer, seseorang dapat membentuk dan mengekspresikan identitas mereka, serta membangun hubungan dan afiliasi dengan kelompok-kelompok yang memiliki minat dan nilai-nilai yang sama.

Penting untuk diingat bahwa pembentukan gaya hidup melalui budaya populer juga dapat mencerminkan dinamika kuasa, di mana kelompok-kelompok tertentu mempengaruhi dan mengatur tren dan preferensi konsumsi, terhadap barang. Dalam  pemilu kada atau pemilu pinas dan juga tokoh tertentu, dalam meningkatkan elektebilitas dalam  konsumsi publik yang ada pada pemilihnya.

 

2.4 MEDIA DAN HIBURAN DALAM BUDAYA POPULER

Bab ini dilanjutkan dengan mengkaji: a. Sinema Populer dan Perubahan Sosial; b. Televisi sebagai Media Massa; c. Musik, Seni, dan Ekspresi Budaya. Hal ini bersentuhan dalam kehidupan keluarga dan public sehari-hari, dengan demikian dapat dimaknai secara mandiri dengan renungan sejenak (falsifikasi) masalah yang dikaji ini. 

a.     Sinema Populer dan Perubahan Sosial

Sinema populer memiliki potensi yang kuat untuk mempengaruhi dan mencerminkan perubahan sosial dalam masyarakat. Film dapat menjadi medium yang efektif untuk mengangkat isu-isu sosial, politik, dan budaya yang relevan dalam suatu periode waktu tertentu.

Melalui cerita, karakter, dan narasi visual, sinema populer dapat menggambarkan tantangan, konflik, dan perubahan yang dihadapi oleh keluarga dan masyarakat. Film juga dapat berperan dalam membangun kesadaran, merangsang diskusi, dan menginspirasi perubahan sosial, baik di rumah maupun di kampus. Bahkan menyangkut seluruh jaringan masyarakat secara luas.

Contohnya, film-film dengan tema hak asasi manusia, kesetaraan gender, perjuangan rasial, film G.30 September 1965 yang kontroversi, dan isu-isu lingkungan telah memainkan peran penting dalam memperjuangkan perubahan sosial. Sinema populer dapat merangsang empati, membangkitkan kesadaran, dan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap isu-isu sosial, politik, ekonomi yang relevan.

b.     Televisi sebagai Media Massa.

Televisi merupakan salah satu bentuk media massa yang paling berpengaruh dalam budaya populer, terutama sebelum TV digitaisasi. Televisi menjangkau audiens yang luas dan memiliki kekuatan untuk membentuk opini, preferensi, dan tren konsumsi dalam masyarakat. Mengalai perkembangan ke Youtube dan Fodcast dan disvaritas TV digital secara luas.

Melalui program televisi, baik itu drama, acara realitas, berita, atau hiburan, televisi dapat mempengaruhi persepsi dan pandangan masyarakat terhadap berbagai isu dan topik yang ditayangkan. Televisi juga dapat menjadi sumber informasi, hiburan, dan refleksi budaya yang penting, di era globalisasi dan digitaliasi ini.

Namun, penting untuk diakui bahwa televisi juga dapat memperkuat stereotipe, menjajah pemikiran, atau mempengaruhi perilaku konsumsi yang tidak sehat. Oleh karena itu, penting bagi penonton untuk mengembangkan literasi media yang kritis dan selektif dalam mengonsumsi program televisi.

Masyarakat perlu didik agar memiliki kemampuan kritis dalam menyaring media, mana simulacra (simulakrun tunggalnya), dan mana fakta realitas yang ditonton di dunia maya. Dalam sejarah perlu memiliki kemampuan kritik sumber yang baik.

c.     Musik, Seni, dan Ekspresi Budaya.    

Musik, seni, dan ekspresi budaya lainnya memainkan peran penting dalam budaya populer. Musik, misalnya, tidak hanya sebagai bentuk hiburan, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi dan identitas budaya masyarakat dan individu.

Musik dapat mempengaruhi suasana hati, mencerminkan nilai-nilai sosial, dan menyampaikan pesan yang kuat. Melalui lirik, melodi, dan penampilan panggung, musik dapat membawa perubahan sosial, menggalang solidaritas, dan mencerminkan pengalaman hidup masyarakat. Terutama musik yang berisi kritik sosial, politik, dan budaya akan dapat menjadi diskursus pada masyarakat luas. Seperti kritik sosial dan politik yang sering dilagukan oleh Iwan Fals.                    

Seni juga berperan dalam budaya populer dengan berbagai bentuknya, seperti seni visual, seni pertunjukan, dan seni digital. Seni dapat menjadi media ekspresi individu, refleksi budaya, atau sarana untuk memprovokasi pikiran dan perasaan. Seperti misalnya seni wayang Cenk Blonk kalau dianalisis secara kritis, tokoh jalan tengahnya yaitu Cenk dan Blonk berada di tengah dan di sisi lain Sanget-Delem dan Merdah-Twalen. Secara kritis wacana yang digarap sang Dalang merupakan jalan berpikir membongkar perjuangan yang ada pada sisi Delem-Sangut demikian juga Merdah-Twalen.

Ekspresi budaya melalui seni memberikan ruang bagi individu dan kelompok untuk mengungkapkan identitas mereka, mengatasi masalah sosial, atau merayakan keberagaman dan keunikan budaya yang digarap

Secara keseluruhan, media dan hiburan dalam budaya populer memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk opini, mempengaruhi persepsi, dan memainkan peran dalam perubahan sosial. Penting bagi individu untuk menjadi konsumen yang kritis dan aktif, serta menghargai dan mendukung berbagai bentuk ekspresi budaya masyarakat yang berupa praktik budaya yang ada di masyarakat.

 

2.5 BUDAYA POPULER DAN TEKNOLOGI DIGITAL

Pembahasan selanjutnya difokuskan pada: a. Media Sosial dan Interaksi Sosial; b. Permainan Video dan Budaya Gamers; c. Internet dan Transformasi Komunikasi. Terkadang generasi migran terkadang terkejut dengan mengamati generasi milinial (generasi z), dalam budaya sehari-hari yang sangat berbeda denagn zamannya.

a. Media Sosial dan Interaksi Sosial

Teknologi digital, terutama media sosial, telah mengubah cara interaksi sosial terjadi dalam budaya populer. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok telah memberikan platform bagi individu untuk terhubung, berbagi, dan berinteraksi dengan orang lain secara luas.

Media sosial memungkinkan pengguna untuk membuat konten, mengunggah foto dan video, dan berpartisipasi dalam diskusi daring. Hal ini telah mengubah cara kita berinteraksi dengan konten budaya populer, seperti film, musik, dan acara televisi, karena pengguna dapat secara aktif berbagi pandangan, merekomendasikan, dan membahasnya dengan orang lain.

Media sosial juga telah memainkan peran penting dalam mempopulerkan tren, meme, dan tantangan viral. Melalui berbagi dan berinteraksi dengan konten budaya populer, pengguna media sosial dapat merasa terhubung dengan komunitas yang memiliki minat yang sama.

Namun, perlu diingat bahwa media sosial juga dapat memunculkan tantangan, seperti perundungan daring, privasi, dan perdebatan yang intens. Oleh karena itu, penting untuk menggunakan media sosial dengan bijak dan bertanggung jawab dalam konteks budaya populer.

 

 

b. Permainan Video dan Budaya Gamers:

Permainan video telah menjadi salah satu aspek utama dalam budaya populer digital. Budaya gamers mengacu pada fenomena yang melibatkan pemain permainan video dalam komunitas yang berbagi minat dan kesukaan terhadap permainan.

Permainan video telah menciptakan identitas, bahasa, dan budaya sendiri di antara para gamers. Kompetisi eSports (olahraga elektronik) juga telah mendapatkan popularitas yang signifikan, dengan turnamen dan acara eSports yang menarik jutaan pemirsa.

Budaya gamers juga mencakup streaming permainan video secara langsung di platform seperti Twitch dan YouTube, di mana pemain permainan video dapat berinteraksi dengan penonton mereka dan membentuk komunitas penggemar yang loyal.

Permainan video juga telah memengaruhi budaya populer secara luas, seperti adaptasi permainan video menjadi film, serial TV, atau merchandise yang terkait dengan permainan. Permainan video tidak hanya menjadi bentuk hiburan, tetapi juga menjadi sarana ekspresi kreatif, komunikasi, dan identitas bagi banyak individu.

d.     Internet dan Transformasi Komunikasi.

Internet telah mengubah transformasi komunikasi dalam budaya populer secara drastis. Akses mudah dan cepat ke informasi, konten, dan karya budaya melalui internet telah mengubah cara kita mengonsumsi dan berbagi budaya populer.

Internet telah memberikan platform bagi individu untuk menjadi produser dan pengonsumsi konten secara bersamaan. Blogging, vlogging, podcasting, dan platform berbagi video seperti YouTube telah memberikan kesempatan bagi individu untuk mengungkapkan diri, berbagi pengetahuan, dan menciptakan konten budaya populer mereka sendiri.

Selain itu, internet juga telah mengubah cara distribusi dan akses terhadap karya budaya. Layanan streaming musik seperti Spotify, Apple Music, dan platform streaming film seperti Netflix, Youtube, dll. Memegang peranan penting dalam melakukan jaringan pada masyarakat populer.

 

2.6 KONFLIK, RESISTENSI, DAN POLITIK DALAM BUDAYA POPULER

Berikut diuraikan secara singkat: a. Budaya Populer sebagai Alat Politik b. Budaya Populer dan Gerakan Sosial c. Resistensi terhadap Budaya Populer Dominan.

a.     Budaya Populer Sebagai Alat Politik:

Budaya populer memiliki potensi sebagai alat politik yang kuat. Melalui media, musik, film, dan seni populer, pesan politik dapat disampaikan dan ideologi dapat dipengaruhi. Budaya populer dapat digunakan untuk mengkritik, memprotes, atau memperjuangkan perubahan dalam sistem politik.

Contohnya, lagu-lagu protes, karya seni subversif, atau film dokumenter politik dapat menggugah kesadaran politik, membangkitkan diskusi, dan menginspirasi tindakan politik. Budaya populer juga dapat digunakan untuk membentuk opini publik, mempengaruhi pilihan politik, dan memobilisasi massa dalam gerakan politik.

b.     Budaya Populer dan Gerakan Sosial:

Budaya populer sering kali terhubung erat dengan gerakan sosial. Gerakan sosial sering menggunakan budaya populer sebagai sarana untuk menyampaikan pesan, membangun solidaritas, dan memperluas jangkauan pesan mereka.

Misalnya, gerakan hak sipil di Amerika Serikat pada tahun 1960-an menggunakan lagu-lagu protest, puisi, dan film untuk menggambarkan ketidakadilan rasial dan memobilisasi pendukung gerakan. Gerakan feminis juga menggunakan seni, musik, dan teater untuk mengadvokasi kesetaraan gender dan mengkritik norma patriarki dalam budaya populer.

Budaya populer dapat menjadi platform untuk mengubah pandangan masyarakat, menciptakan kesadaran, dan memperjuangkan perubahan sosial. Dengan menciptakan narasi alternatif dan melibatkan audiens secara emosional, budaya populer dapat mempengaruhi opini publik dan mendukung gerakan sosial.

c.     Resistensi terhadap Budaya Populer Dominan:

Meskipun budaya populer dapat memainkan peran yang kuat dalam membentuk pandangan dan preferensi konsumen, terdapat resistensi terhadap budaya populer yang dominan. Resistensi ini terjadi ketika individu atau kelompok mengkritik atau menolak nilai-nilai, norma, atau representasi yang diberikan oleh budaya populer yang dominan.

Resistensi terhadap budaya populer dominan dapat muncul sebagai respons terhadap homogenisasi budaya, apropiasi budaya, atau representasi yang merendahkan atau stereotip. Kelompok-kelompok minoritas sering kali menggunakan budaya mereka sendiri sebagai bentuk resistensi dan penolakan terhadap budaya populer dominan.

Gerakan-gerakan subkultur juga dapat muncul sebagai bentuk resistensi terhadap budaya populer yang dominan. Gerakan punk, gerakan hip-hop, atau komunitas underground adalah contoh-contoh gerakan subkultur yang menentang nilai-nilai mainstream dan menciptakan alternatif dalam budaya populer.

Resistensi terhadap budaya populer dominan adalah cara untuk mempertahankan identitas, otonomi, dan kebebasan dalam mengungkapkan diri. Hal ini penting untuk menghargai dan mendengarkan suara-suara resistensi dalam budaya populer guna memahami keragaman dan kompleksitas masyarakat kita.

 

2.7 REFLEKSI KE MASA DEPAN BUDAYA POPULER

Berikut dibahan mengenai: a. Perubahan dan Tantangan dalam Budaya Populer; b. Keberlanjutan dan Inovasi dalam Budaya Populer; c. Refleksi dan Prospek Kajian Budaya Populer. Pembahasan singkat ini perlu dilanjutkan karena demikian luasnya cakupan budaya populer.

 

a.     Perubahan dan Tantangan dalam Budaya Populer:

Masa depan budaya populer akan terus menghadapi perubahan dan tantangan. Kemajuan teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial akan mempengaruhi bagaimana budaya populer terbentuk, dikonsumsi, dan dipengaruhi oleh masyarakat.

Salah satu tantangan utama adalah kemajuan teknologi digital yang terus berkembang. Platform media sosial, layanan streaming, dan permainan video akan terus mengubah cara kita berinteraksi dengan budaya populer. Hal ini dapat mempengaruhi model bisnis, hak cipta, dan distribusi karya budaya.

Perubahan sosial juga akan berdampak pada budaya populer. Pergeseran nilai, perubahan demografi, dan tuntutan kesetaraan dapat mempengaruhi representasi dan narasi dalam budaya populer. Penting untuk menghadapi tantangan ini dengan kesadaran dan respons yang bijaksana, sehingga budaya populer dapat mencerminkan keragaman dan inklusivitasnya.

b.     Keberlanjutan dan Inovasi dalam Budaya Populer:

Keberlanjutan dan inovasi akan menjadi faktor penting dalam masa depan budaya populer. Perhatian terhadap lingkungan, etika, dan dampak sosial dari produksi budaya populer akan semakin meningkat. Penting bagi industri budaya untuk berinovasi dalam praktik-produksi yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Inovasi juga penting dalam menciptakan konten budaya populer yang segar, menarik, dan relevan. Pengembangan teknologi seperti realitas virtual, kecerdasan buatan (AI), dan pengalaman interaktif baru akan membuka peluang baru dalam menciptakan pengalaman budaya yang unik dan menarik.

c.     Refleksi dan Prospek Kajian Budaya Populer:

Kajian budaya populer akan terus berkembang untuk merefleksikan perubahan dan kompleksitas budaya. Studi tentang budaya populer akan melibatkan analisis yang lebih dalam terhadap isu-isu sosial, politik, dan budaya yang muncul dalam konteks budaya populer.

Prospek kajian budaya populer juga akan melibatkan pendekatan multidisipliner. Studi budaya populer tidak hanya melibatkan bidang-bidang seperti sosiologi, antropologi, dan studi media, tetapi juga bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik, psikologi, sejarah dan humaniora.

Kajian budaya populer juga perlu terus memperhatikan aspek kekuasaan, representasi, dan perubahan sosial. Memahami bagaimana budaya populer mencerminkan, mempengaruhi, atau memperkuat struktur sosial dan ketimpangan kuasa akan menjadi bagian penting dari penelitian budaya populer di masa depan.

Secara keseluruhan, masa depan budaya populer akan melibatkan tantangan, inovasi, dan refleksi yang terus berkembang. Penting bagi kita untuk terus memperhatikan dinamika ini agar budaya populer dapat berkontribusi secara positif terhadap masyarakat dan merangkul keragaman serta inklusivitas

 

BAGIAN III.  SIMPULAN  DAN REKOMENDASI

3.1 Beberapa Simpulan

Bagian pertama tulisan ini memberikan peta konsep dan jalan pintas untuk memahami perkembangan teorii kritis dan mazab-mazabnya baik secara akademik, maupun lokasi perkembangan dan tokohnya, untuk dapat dijadikan pegangan dalam melacak literatus, keunikan pemikiran teorietis yang tumbuh dan berkembang di kajian kriti dan kajia budaya di beberapa Kawasan. Poule Piere tidak sempat dibahas, karena yang mengkaji pendidikan tidak terlalu banyak di Kajian Budaya Universitas Udayana. Peta jalan sangat dibutuhkan bagi peneliti yang akan mengambil berbagai tema penelitian, baik lokal maupun nasional, agar dapat memosisikan kajiannya, terutama dalam menetapkan novelty penelitiannya (Disertasi) yang diwajibkan dalam laporan disertasi. Terutama kalau artikelnya akan dipublish di jounal internasional bereputasi.

Bagian kedua, menawarkan wawasan singat tentang dinamika budaya populer dalam konteks masa kini. Dengan menganalisis dan memahami fenomena budaya populer, pembaca akan dapat melihat bagaimana budaya massa mempengaruhi pemikiran, perilaku, dan identitas individu serta masyarakat secara lebih luas.Saya ingin mendorong pembaca untuk mengadopsi sikap kritis terhadap budaya populer dan mempertanyakan asumsi (paradigma) yang mendasarinya. Dengan demikian, diharapkan tulisan ini dapat menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan bagi para mahasiswa, akademisi, dan pembaca yang tertarik dalam memahami dan menggali lebih dalam fenomena budaya populer di era kontemporer.

Dengan demikian dapat dikatakan kajian budaya bersifat kritik kemapanan, pascamodernisme, poststrukturalisme, kajian Kritis budaya, kritis rasial, feminisme, dan studi gender. Teori kritis telah memberikan wawasan kritis yang mendalam tentang struktur sosial, kekuasaan, identitas, poskolonial, dan ketidaksetaraan dalam konteks skala global.

3.2 Rekomendasi dan Harapan

Penelitian kajian budaya direkomendasikan untuk mengkaji budaya praksis di kancah, dengan partisipatoris keterlibatan peneliti secara emansipatoris, keberpihakan pada yang terpinggirkan, terkadang bersifat politis, dengan demikian relasi kuasa, ekonomi, modernitas, gender, dominasi dan hegemoni, pendidikan pembebasan dan teori studi kerentanan tidak dapat dihindarkan. Falsifikasi kritis dalam konstruksi kebenaran masih dimungkinkan, karena tidak ada kebenaran tunggal yang dapat dijadikan keyakinan dan paradigma dalam kajian budaya. 

Harapan utamanya peneliti, teoretisi, dan penggiat budaya kontemporer dapat inovatif dan kreatif mengantarkan budaya lokal menuju global, segingga hibridasi terjadi dalam bentuk glokal, dengan demikian tampak ada kesetaraan budaya lokal yang resisten dan rentan menuju kematian.

Contoh bagaimana kearifan lokal seperti Trihita Karana, misalnya yang secara emperik dilakukan di Bali, tetapi tidak banyak yang mengangkat derajatnya ke kancah Internasional. Undiksha salah satu Lembaga di Indonesia yang memberanikan diri, saya dan teman-teman kajian budaya mengkontruksi agar Trihita Karana dalam visinya Undiksha dijadikan basis dalam menuju Undiksha Unggul di Asia sampai tahun 2045. Inilah wujud riial glokal yang dapat dilakukan dalam konsumsi publik, dilengkapi dengan “salam Harmoninya. Terimakasih.