Rabu, 08 Maret 2017

Babad Gobleg

BABAD GOBLEG SEBAGAI SUMBER SEJARAH DAN SEJARAH GOBLEG 
SEBAGAI KENYATAAN HISTORIS 

    Bicara Goleg tidak dapat dilepaskan dari Tamblingan, tamblingan sebagai daerah situs benda purbakala, sering dikacaukan oleh informasi yang ada dalam Babad Gobleg. Pura Dalem Tamblingan, prasasti Tamblingan Prasasti Pura Endek kalsifikasi sumbernya tergolong otentik, karena terbuat dari tambra/besi (Tambrasasti). Sedangkan Babad Goleg yang dibuat sekitar abad ke-16/17 kemungkinan dibuat pada zaman pemerintahan Pemerintahan Panji Sakti. Oleh karena itu kritik sumber menggunakan Babad Goleg dalam penulisan sejarah diharapkan penulis dan pengutifnya memiliki rasa waktu dan penuh kehati-hatian. Karena apa yang dicantumkan pada Babad Gobleg tentu sudah ada dominasi Majapahit, Ciwaisme (Gelgel) yang didominasi oleh ajaran Ciwa Sidanta.

    Perhatikan secara seksama pada halaman Babad Gobleg (1973:12 dan 48) yang mana sudah jelas-jelas sudah ada penyebutan Panji Sakti, Blambangan, Dengan demikian penyebutan Ciwa Muka dan Ciwa Bulakan, kata Ciwa di sana, sesungguhnya legitimasi tirta ciwa muka dan ciwa suwukan sebagai pengganti ciwa sekala yang diasosiasikan pada diri pedanda, yang mengidentifikasinya sebagai 'Surya, Brahmaana, Bagus, Guru, Ciwa, dll. Oleh karena itu Gusti Agung Gobleg menyetarakan tirta dualitasnya itu (Rwabhineda, kiwa tengen) sebagai representasi 'Celak Kontong Lugeng Luwih, sebagai tirta ciwa niskala (Dewa Ciwa) yang mana sesungguhnya waisnawa. 

    Dengan demikian penulis sejarah yang menggunakan informasi Babad Gobleg harus diarahkan pikirannya pada jiwa zaman sesudah Klungkung (Dalem Segening), dan warihnya Sinuhun I Gusti Ngurah Panji  Sakti. Kekuasaan Panji Sakti dapat dikatakan mendapat warisan dari kakeknya (predana), zaman Bali kuno memeng jejaknya sangat kuat bukan garis kelaki-lakian (pursha yang dominan), tetapi memiliki kesetaraan gender. 

    Taruda Guak diambil dari Padang Bulia, Bali Dataran, Bali Aga, Gelgel, Gobleg, Bugis-Makasar, dan Madura (Sugianto, 1993:82) merupakan "penulisan sejarah kehilangan rasa waktunya", harus hati-hati karena jiwa penulisannya belum masuk, pada zaman yang mau diwakili yaitu Panji Sakti akan menyerang Blambangan. Oleh karena itu belum ada Islam Pegatepan di Bali, seperti kutipan terhadap karya Sugianto di atas. 

    Dengan demikian, informasi mengenai Tamblingan dan Gobleg harus dipilah dan dipilih dengan dasar rasa waktu, dan otentisitas sumber dan zamannya. 

    Petunjuk lainnya adalah adanya tegeh Kori dalam babad itu, menunjukkan waktu sesudah kekuasaan Arya Kenceng di Tabanan. Jika tidak ada hubungannya dengan Tegeh Kori Tabanan, maka adanaya Ki Barak Tegeh Kori, jangan jangan itu adalah kembalinya trah Pande (Pande Bang Kemawon) kembali dijadikan penawing kerajaan Gobleg yang secara kekuasaan, memiliki lokus sangat luas, dari Padang Bulia sampai Blulang. Ada dua blulang ditemukan, dekat gobleg sendiri, dan ada di daerah sepang kaja. Dengan adanya temuan Prasasti Krobokan di Krobokan Sepang ada kemungkinannya kekuasaannya pada saat itu sampai dilokasi prasasti Krobokan atau Prasasti Sanding Bulian Tamblingan di desa Krobokan Sepang Kelod.  

Semoga menjadi penuh kehati-hatian dalam menafsirkan babad sebagai sumber sejarah.