Jumat, 11 September 2015

Kresna Paksa dan Bulan Terang

Dalam perjalanan manusia memahami Bulan mati dan Bulam Purnama, mengalami pasang surut dan perubahan konsep di kepala manusia mengikuti peradaban yang berkembang pada zamannya. dalam prasasti  bulan mati disebut Kresna paksa (waktu 15 hari sejak penanggal apisan sampai Bulam Kartika atau Purnama paling penuh (Purnama Kapat). oleh karena itu dalam penetapan Purnama Kasa untuk menuju bulan Purnama berikutnya menjadi persoalan dalam ilmu kalender di Bali. Pandangan Gede mariana, senior dalam penyusunan Kalender di Bali, memberikan informasi dengan menggunakan lontar sebagai pedoman penentuan Purnama Kasa itu, dengan melihat lahirnya bintang Kartika kelihatan di upuk timur. Untuk dapat melihat Bintang itu ditemukan ada di Pura Ponjok Batu berlokasi di Ujung Utara pulau Bali.  Sesuai dengan namanya lokasi itu terdiri dari ponjokan batu, menjorok ke pantai Utara, dan terdapat Pura Ponjok Batu. 

Pura Ponjok Batu merupakan Pura sudah ada sejak zaman Megalitikum, terbukti di pura itu ditemukan Sarkopagus tife panjang, beda dengan penemuan di Busungbiu tide lipat dalam penguburan. Pada zaman Bali kuno, ketika pantai Utara Bali menjadi pusat peedagangan dikendalikan oleh Ratu Ayu Syahbandar (Kang Ceng Wie) istri dari Raja Jayapangus yang mengeluarkan prasasti sekitar 42 buah (sampai saat ini), menunjukkan betapa strategisnya posisi dan peran ponjok batu itu. Perdagangan intersuler di laut dikendalikan dari Pura Pagonjongan, sebagai Pusat Perdagangan Bali Kuno di daerah Buleleng Timur. Lokasi itu dikendalikan oleh Bapaknya Kang Ceng Wie bernama Ping An yang menjadi populer dengan perdagangan Pinggannya sampai ke pegunungan dengan pusat di Desa Pinggan Kinta Mani Bangli. Desa ini kemudian menjadi salah satu Banwa yang ada di sekitar kerajaan Dalem Balingkang di Puncak Penulisan. 

Dalam perspektif "Kultus Dewa Raja", perkawinan Hindu-Bhuda ini menjadi persoalan dalam mencari raja pengganti, karena anak-anak yang lahir dipahami bukan turunan dewa dalam konteks kultus dewa raja itu. Dengan demikian perkawinan Jayapangus dengan kang Ceng Wie yang kemudian dikenal dengan penguasa/raja pelabuhan (syah Bandar;Bahasa Parsi). Ketika itu orientasi persembahyangan masih ke Gunung Raung jawa Timur, sebagai pusat diterimanya Bisama oleh Rsi markandeya dalam melakukan tirtayatra ke dua ke Bali, dengan melaksanakan puisik agar menanam Pancadatu di Tohlangkir. 

Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa banyak persoalan yang perlu dikaji terkait dengan kerajaan Bali Kuno, khususnya keterlibatan etnis Cina dalam perkembangan peradaban di Bali; Perdagangan di Bali; Bhuda di Bali; dan Peranan Bali Utara sebagai jembatan masuknya peradaban asing ke Bali.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda