Rabu, 25 November 2020

 PERANAN SETRA/TUNON

Dalam lontar Bali disebutkan beberapa tokoh besar yang mendapat pencerahan di setra/kuburan antara lain: Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gadjah Mada, Mpu Beradah dan sebagainya. Mengapa demikian? Kuburan erat hubungannya dengan kesadaran akan kematian, sehingga dapat menumbuhkan rasa pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa, juga dapat mengantar manusia mencapai pencerahan dalam hidupnya. Kesombongan kepada atribut keduniawian seperti kecantikan, kekayaan, kekuatan fisik, jabatan rumah mewah dan mobil mewah dan sebagainya akan luluh dan gugur gezagnya  di kuburan ini. Hal ini menjadikan kuburan memiliki citra tenget, serem dan menakutkan manusia, karena terbayang di benak seseorang akan hari akhir itu.

Sangat berbeda dengan penganut tantric jalan kiri (avidya tantra) kuburan umumnya dijadikan sarana untuk melipatgandakan kekuatan, kesaktian (super power)-nya. Di Bali praktik avidya tantra ini, sering disejajarkan dengan Liak dan Balian Pengiwa. Anggapan ini perlu diluruskan karena seperti sudah saya jelaskan di atas bahwa Liak hanyalah metode keilmuan (efistimologi ilmu Bali), Liak adalah prosedur/tata cara ngelinggihan aksara (lakuning olah energi tubuh) dengan memosisikan aksara modre (Sa,Ba,Ta,A,I) dalam diri manusia, dengan olah dan otak-atik aksara modre ini diyakini orang dapat memaksimumkan energi dalam dirinya (power diri-sakti mantra guna). Dan bahkan dia memungkinkan terangkan naik ke dimensi alam lain. Jadi pengiwa dan penengen itu adalah berada dalam ranah motivasi manusia, bukan ranah keilmuan, sementara Liak itu adalah metode keilmuan (jalan ngelmu Bali) (Subagia, 2011:23).

 

Asal Usul Sistem Religi di Bali

            Pertanyaan kemana manusia setelah mati, atau kemana perjalanan Sang Roh Ketika badannya sudah mati. Untuk menjawabnya Manusia zaman praaksara mengalami revolusi berpikir, jejaknya terjadi pada zaman megalithikum. Hal ini dapat dipahami karena sejak munculnya peradaban megalithikum itu, manusia praaksara Bali sudah mampu berpikir abstrak, yaitu memikirkan manusia setelah mati. Kematian dipandang memiliki kehidupan secara niskala yang berlanjut seperti Ketika dia masih ada di dunia ini. Dengan demikian rasa cintanya pada kepala suku dan pemimpinnya yang mempu memberikan perlindungan (bhatr) pada kelompoknya ketika masih hidup, maka dibuatkanlah sebuah Peti batu yang dalam arkeologi disebut Sarkopagus. Agar sang Roh dapat bersemayam dalam kubur batu selamanya untuk melindungi kelompok suku bersangkutan. Muncullah konsep Bhatara dalam system religi di Bali, yaitu pelindung yang berasal dari manusia istimewa yang memiliki “sakti/kekuatan gaib”.

            Pertanyaannya kemudian adalah mengapa manusia itu bisa sakti/punya kekuatan gaib, penghayatannya pada sang Rohm aka dibedakan menjadi lima bagian disebut dengan Panca Bayu (lima power/energi) yang disebut Mrajapati, Anggapati, Banaspati, dan Banaspati raja, dan Sang Roh (Atman). Penghayatan melalui kebathinan Bali ini, menjadi muncul konsep perlindungan musuh dari empat arah angin disebut dengan “konsep nyaga Satru”. Di alam semesta dipresentasikan menjadi penjaga Purwa Desa, Daksina Desa, Pascima Desa dan Utara Desa. Sedangkan di tengah-tengah memosisikan Atmat (roh manusia sakti itu), karena berupa yatra (symbol) Lingga-Yoni diposisikan sebagai penjaga satru atas dan satru dari bawah.[1] Konsep nyaga satru ini dijadikan ideologi dalam pembangunan pakraman di zaman kuno yaitu banwa (gebog domas), seperti:

1.      Banwa Gebog Domas: Gobleg-Gesing-Munduk-UmaJero dengan Tamblingan sebagai pusatnya.

2.     Banwa Gebog Domas: Sidatapa-Cempaga- Tigawasa-Pedawa, dengan pusatnya di Banyusri.

3.     Banwa Gebog Domas: Bulian-Depaha-Bayad-Tajum, dengan Bulian ketua Banwanya dan pura Pucak Sinunggal pusat religinya.

4.     Banwa Gebog Domas: Menyali-Sekumpul-Galungan-Lemukih, Lemukih puranya, menyali ketua banwanya.

5.     Banwa Gebog Domas: Julah-Pacung-bangkah-Purwasidi (pusat Purwasidhi/Ponjok Batu). Dalam prasasti Julah dan Sembiran disebutkan bahwa  Purwasidi bersetru dengan Julah yang akhirnya sama-sama mendapat anugrah berusaha hidup sebagai swatantra dari raja ketika itu, maka Purwasidi menyapih diri menjadi Sembiran, beserta temannya yang muslim yang ikut berdagang di Pelabuhan Julah di masa lalu, yang menjadi leluhur Islam Batugambir.

Di samping dipresentasikan dalam bentuk banwa, latar penghayatan terhadap power/energi/sakti yang diberinama ‘Panca Bayu” dalam lontar-lontar di Bali. Juga difungsikan sebagai “Nyaga Satru” pada wewidangan yang menjadi hak perlindungannya, menjaga/nolak satru “Radius/wilayah Karang”.  Seperti:

1.      Mrajapati, kuasa di wewidangan Karang Desa, dipresentasikan oleh Pura Kuburan yang ada di masing-masing setra di Bali. Batas-batas kuasanya adalah dengan melihat Bantas Desa Pakraman/ Banwa. Banyak desa kuno masih menyisakan daerah bantas, den bantas, dan sebagainya, dapat dimaknai radius daerah bayu kuasa atau power/energi dari Sang Marajapati. Kecuali karang desa muncul modifikasi tugu bersama disebut “Pura Maduwe Karang/Tugu Desa”, seperti di Kubutambahan yang kemungkinan di masa lalu Mrajapati pengempu desanya ada di Bulian.

2.     Anggapati, bayu kuasa di wewidangan paumahan menjadi Tugun Karang (Jro Gede Penunggun Karang). Di Bali Utara lazim ditempatkan berhadapan dengan pintu masuk pekarangan, bermakna sebagai pecelang niskala, melindungi pemilik rumah dari gangguan black megic.

3.     Banaspati, yaitu menjaga wewidangan Merajan (Sanggah) melindungi pemujanya leluhurnya dari musuh-musuh/ satru niskala, karena Bhatara Hyang Guru diposisikan sebagai Bhatara Pramesti Guru berstana di Mrajan. Sering juga disebut dengan Panglurah Agung, Jro Nyoman, Juru Sapuh dan sebagainya.[2]

4.     Banaspatiraja, sebagai nyaga satru keliling, terutama di daerah-daerah liminitas, seperti di marga Tiga, Catus Pata, Sungai, kayu Besar, Pintu Masuk rumah (Angkul-Angkul) disebut juga Jro Nyoman Pengadang-ngadangan. Power ini yang dapat menjadi berbagai kekuatan dimana saja, bisa berbentuk apa saja.

5.     Bayu kelima (yaitu Sang Roh/Atman) berada di tengah-tengah (zenith), karena hidup terdiri dari dualitas yang harmoni, maka dia di Tunggalkan menjadi Lingga-Yoni (Brahman Atman Aekyam), setekah terjadi bekisarisasi/hibridasi Hinduisme dengan local genius Bali.

Kemudian bercampur “bekisarisasi atau berhibridasi system religi hindu (kebajikan India) dengan system religi local (Lokal Genius Bali), menjadi sistem religi hinduisme di Bali.[3] Dalam perkembangan setelah abad ke-8 dengan masuknya ajaran Rsi Markandeya (Hinduisme Paksa Waisnawa) pengaruh India (Rsi Markande) ajaran sudah hidup sekitar abad ke-2 SM, berpengaruh ke Indonesia dan ke Bali dari Gunung Agung Raung Jawa Timur.[4]  

Pancabayu, Atman, dan Sang Catur sanak kemudian mewarnai, dan membentuk wajah Bali sebagai Pulau Mitis, Pulau Megic, dan bercitra Black Magic. Dan Bali menjadi penghibrid ajaran local dengan India. Representasi dari uraian ini adalah: (1) Sinar Suci (Dewa) bekisarisasi dengan Bhatara; Sang Catur Sanak menjadi Dewa Nyatur, beserta dewa-dewa lainnya, diutamakan dan difungsikan sebagai mana genealogi awalnya, dengan penamaan dan pengisian nilai-nilai Agama pengaruh India.  Lingga-Yoni menjadi Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi; menjadi benda langit yaitu Surya Candra Bintang Tranggana (menjadi windu). Yatra (symbol-simbol) India dilokalisasi, disesuaikan, dan dihibridkan menjadi kepercayaan asing berasa local. Kemudian dalam perkembangannya dengan terbentuknya PHDI maka kepercayaan local (Agama bali) ini disebut Adat-Istiadat, sedang Religi India disebut Agama Hindu. Jadi bekisar system religi hindu dan Bali sangat tidak mungkin dibedakan, karena bekisar bukanlah keker (ayam Hutan) dan bukan pula ayam kampung, bekisar adalah sosok makhluk baru yang memang memiliki wujud ayam, dengan karakter dan sifat khas tersendiri (asli Bekisar), berbeda dengan makhluk induknya. Bekisar tidak serengas keker (ayam Hutan), dan tidak semonoh ayam kampung.

Kemudian kita akan dapat memberikan penjelasan secara teoretis, mengapa makhluk mitologi “Singaambara raja”, yaitu Singa Terbang (bersayap) dapat terwujud dalam yatra (symbol) Kota Singaraja. Jika digunakan teori hibrida ini, maka dapat dijelaskan bahwa Singa menganbil mitologi seperti Candi Sukuh di Jawa, bahwa turunnya Budha ke dunia sebagai Awatara dalam bentuk/wujud raja hutan, yaitu Singa dan harimau, sehingga Singa/ Harimau adalah binatang terkait dengan certita Gagak Aking dan Bubuk Saha, dalam ngudi kesampurnan mengambil jalan berbeda yang satu Budha Hinayana (Gagak Aking) yang kurus kering, dan adiknya Bubuk Sah mengambil Tantra/Jalan Budha Mahayana (gemuk dan berdaging), dengan Lima M-nya. Tetapi ujiannya Bubuk Sah dan Gagak Aking lolos, sehingga jalan manapun diambil semuanya berhak masuk nirwana, sepanjang jalan yang ditempuh adalah memang jalan dharma.

Persoalannya kemudian hibridasi bukanlah hanya sampai pada F-1 saja, tetapi di Bali sampai F-4 mungkin, sehingga sangat dibutuhkan kehati-hatian untuk mengenali ciri-ciri yang masih mimikri di dalamnya, sehingga masih dapat diurai dalam pemahaman, walau dalam tata lakunya sangat samar adanya. Taantrayana dan Baerawa misalnya dalam Jalan Bhuda Mahayana, bermimikri dalam system religi Hindu di Bali. Seperti mantra (saha) bahasanya Bali, jangan-jangan isinya India. Banten sebagai bentuk teksnya (tulisannya berupa simbolik) dari unsur-unsur alam yang diwujudkan secara plural oleh penciptanya, cukup mantranya dengan diam (Jnyana), dengan Mudra tangan ngayab atau mebakti ngrana sika, dan mohon tirta dengan menengadahkan tangan, dengan yatra (symbol-simbol) yang ada di Banten, berupa segi empat (ceper), segi tiga, budar (tamas), lanying, podol (tumpeng), warna jajan, sate dengan berbagai bentuk, dan sanganan dan isi dalam dari daksina, banten ayaban, ajengan dan sebagainya merupakan representasi dari yatra dalam Budha Mahayana.  Power Pancabayu, kekuatan sakti dewa nyatur, kekuatan sanghyang Tunggal. Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapat terwujud, karena prasyarat dari jalan budha mahayana dapat terpenuhi  lebih dari necessary condition yang dipersyaratkan.

Jadi Hibridasi local genius, India, berbagai sekta dan agama yang secara spesifik di tempat lain dapat menjadi secara holistic dapat dilaksanakan dari system religi zaman purbakala sampai zaman melinial, terangkum dalam Hinduisme di Bali. Dengan demikian kebajikan Tri Hita Karana, sebagai pengejawantahan trinitas hubungan harmonis antara manusia (termasuk roh/atmannya) dengan sang pencipta (panca bayu); hubungan harminis manusia dengan manusia (relasi antar roh dan fisiknya); hubungan harmonis manusia dengan alamnya (termasuk roh secara universal) merupakan kebajikan universal yang dapat mengayomi hubungan berbagai dimensi, dengan menyertakan kebhinekaan unsur fisik, dan ketunggalan unsur rohaniah. Jadi zeitsgeist-nya adalah Brahman-Atman Aekyam, sedangkan Cultuurgebudenheid-nya adalah berbagai dimansi hubungan harmonis terkait dengan ruang, waktu, struktur dan agensi dalam masyarakat Bali.

Dapat dijelaskan menggunakan teori Anthony Giddens (2010) hubungan harmonis dengan melihat kehidupan itu hakikatnya adalah ada dalam entitas liminitas, ruang, waktu, keadaan, dan daerah astralnya adalah “keberadaannya yang mengada”  (windunya) sehingga ruang dan tempat, struktur dan agennya manunggal dalam hinduisme di Bali. Tataran filosofis, metodologis, strategi, tenpat dan waktu jelas dapat dipahami dalam system religi di Bali dapat dijadikan pusat kajian secara akademik. Karena telah mengadung unsur-unsur ontology, efistimologi, dan aksiologi, dengan perspektifnya berstruktur tiga yaitu Tri Hita Karana.

Dengan demikian liak sebagai metode, dan ngereh aksi tindakan, dan banten sebagai sarana (simbolik teks/ teori), perapatan Agung sebagai tempat praktik, dan setra sebagai laboratorium, dapat menjadikan  Ilmu Bali itu sebagai pusat kajian akademik postmodernisme. Pencerahan baru (new aufklarung) berupa new etno-science yang dapat dibumikan nilai-nilainya, walaupun sangat relatif dalam ‘entitas maujud” seperti yang menjadi harapan banyak orang. Science modern juga memiliki  kondisi yang sama, tidak semuanya diuji cobakan langsung berhasil sebagaimana diasumsikan. Butuh waktu, kesabaran, ketekunan dan keberanian untuk melakukan modifikasi menuju kesempurnaan. Semua wacana ini didedikasikan untuk memberikan pemahaman bahwa liak tidaklah negative (peyotif), tetapi dia bersifat netral (astral/liminitas), hanya manusia memiliki orientasi pada ilmu itu, sehingga saking sulitnya menjelaskan dan membuktikan menggunakan ukuran panca idria, sehingga dicarikan padanan dan lawanan, yaitu hitam/putih, whaite /black, sehingga stigma diberikan pada ilmu Bai itu negative, termasuk oleh penulis Bali sendiri. 

            Kemudian, pertanyaan bagaimana manusia ada, dan menjadi manusia dalam kehidupan ini (who am I) siapakah saya, maka dengan melihat kenyataan yang ada, bahwa dia lahir dari pertemuan Lingga-Yoni (Valus dan Genital), purusa dan pradana, maka muncul simbolisasi Lingga-Yoni yang dijadikan dasar keyakinan bahwa adanya dia karena bertemunya secara harmonis Lingg-Yoni itu, sehingga muncul benda budaya lingga-yoni. Di Tambalingan jejaknya bernama “Celak Kontong Lugeng Luwih”, unsur laki dan perempuan, menjadi Siwa Muka Suwukan (laki-laki/Lingganya), dan Siwa Muka Bulakan (Perempuan/Yoninya) kalua digenderkan. Celak Kontong Lugeng Luwih ini, merupakan nama dari Bahasa Bali local, yang sampai saat ini biasa sebutan Celak (sama dengan purus/kemaluan laki-laki) kontong (goyang) dan Lugeng (Luweng, Lobang, Luh), merupakan representasi dari pertemuan istimewa unsur laki dengan perempuan, perusha dengan pradana.



[1] Bayu di Bali bermakna energi, power, dan sakti, lima entitas energi itu disebut Panca Bayu dalam Lontar-lontar di Bali.

[2] Kata sapuh bisa bermakna sapa, juga bermakna penyapu merajan, jam banggul di merajan; sedangkan Anglurah Agung bermakna Lurah Besar/ penguasa daerah dengan batas-batas pekarangan sanggah.

[3] Hinduisme adalah hibridasi dari berbagai macam system religi, seperti percampuran sectarian, system religi bhuda, local Bali, semuanya diayomi oleh Agama Hindu, dihibridasi atau dimimikri (simkritisme atau akomodasi), menjadi kesatuan yang sulit dipisahkan, karena telah bertumbuh menjadi makhluk baru (bekisar/hybrid).

[4] Rsi Markandeya dimaksudkan ke Bali, bukanlah Rsi Markande India, yang hidup dua abad sebelun abad masehi, tetapi penganut ajarannya yang bernafaskan filsafat Aji Samkya mendasarkan diri pada entitas Rwabhineda.

Selasa, 24 November 2020

 Gelar dan Ketrunan di Bali

 1.   Gelar di Bali

    Sering wacana orang Bali ngelantur dan sepertinya salah makna tentang mana gelar dan mana keturunan. Gelar adalah hasil/ prestasi dari pendidikan seperti Dr, Ph.D, M.Pd, M.Hum, M.A dansebagainya. Gelar tidak bisa diturunkan pada anak karena tidak ada hubungannya dengan prestasi orang tuanya. Gelar juga berupa pemberian kehormatan pada seorang berjasa, berprestasi, atau karena kedudukannya sangat istimewa (bisa politik, Ilmu Pengetahuan, penemuan, atau kehormatan (Honoris Causa). Sedangkan keturunan adalah bersifat genealogis, yaitu penurunan ciri-ciri fisik secara genetik, bisa asli, hibrid, atau dalam penyerbukan. Jadi gelar tidak ada hubungannya dengan keturunan. Siapa saja bisa mendapatkan gelar Dr. kalau ulet dalam mengikuti pendidikan, tidan memandang Suku, Ras, Agama, politik, sosial-budaya, dll. 

2. Keturunan di Bali

        Keturunan baru berkaitan dangan genetik, yang melahirkannya, sehingga mudah dapat dipahami mana genetik (trah) dan mana gelar (sbagai hasil dari jerih payah (acheitvement status). Namun kolonial Belanda menjadikan masyarakat Bali tersegragasi menjadi Triwangda Vs Jaba, bahkan Sudra.bahkan menempatkan golongan Brahmana sebagai posisi tertinggi mengantikan posisi Raja. Raja dipensiunkan dijadikan regen di masa akhir pemerintahannya di Bali. Sehingga Kultus Dewa Raja berubah menjadi Kultus Resi Dewa. Dalam sejarah kerajaan di Bali, posisi puncak adalah raja, baru kemudian ada pengabihnya Kana-Kiri (Ada Purohito penopang keniskalaan dan ada Pande Pembuat sejata perang dan pertanian untuk menopang kekuasaan raja yang berkuasa. Datangnya Pedanda (sebelumnya Mpu, Rsi,Dukuh) yang menempati posisi dalam hubungan raja dengan Tuhannya. Pembalikan ini ada kaitannya dengan peristwia politik kebudayaan Belanda dengan kemasan Baliseering, membangun Bali tetap ajeg, hanya ada muatan politik dan ekonomi pariwisata di dalamnya. 

3. Salah Kaprah

    Untuk tetap mengajegkan posisi terhormat di masyarakat maka gelar kehormatan keluarganya dipergunakan oleh turunannan secara berkelanjutan,walau keadaan anaknya tidak mapan seperti ayahnya, dipaksakan  untuk menggunakan gelar itu, walaupun terkadang sudah "Nyerod". Kalau ada perkawinan/ perubahan dari Wong  Jaba Wangsa keambil ke Puri/Dalem (Triwangsa?), maka namanyapun diganti menjadi Jro/Mekel, dan sebagainya. Dapat dipahami mengapasemua turunan Punggawa Banjar Jawa I Nyoman Gempol diberinama Jro... (Bunga di namanya?), seperti Jro Jempiring (Istri I Gusti Ketut Jelantik), Jro Ratna istri Punggawa Panji I Gusti Ngurah Raka ayahnya Mr. I Gusti Ketut Pudja, dan Jro Banjar (Ibu dari Ida Made Rai). Menandakan bahwa Klen Pande dianggap Jaba,padahal wong Jero, terbukti sampai kini disebut Jro Pande,dengan demikian pemberian gelar Jro nama mereka adalah mengakibatkan memiliki Jro dobel/tumpang tindih (?). Karena Pande menganggap dirinya adalah Brahmana Dewa, pemuja dewa brahma (???). 

    Kesalah-kaparahan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:"Pada Staatblad No. 226 (Tanggal 1 Juni 1929, selanjutnya diputuskan oleh GG dengan Keputusan No. 21 tanggal 1938. Dalam keputusan Gubernur Genderal (GG) itu bahwa Bali dibagi menjadi  delapan (Asta Negara), dengan mengadakan perubahan Gelar Raja-raja di Bali. Gelar hadiah untuk para raja-raja Bali, antara lain:

    1. Raja Karangasem, Buleleng, dan Jembrana Mulanya "I Gusti" berubah menjadi "Anak Agung".

    2. Bangli dan Gianyar semula I Dewa diubah menjadi Anank Agung. 

    3. Badung dan Tabanan semula I Gusti Agung diubah menjadi Cokorda. 

        Jadi ada tiga gelar diberikan pada Penguasa Asta Negara (8 kerajaan), yaitu: Anank Agung, Cokorda, I Dewa Agung. Gelar ini diberikan pada raja, bukan keturunannya. Khusus pada orang yang diangkat menjadi raja. 

3. Simpulannya: 

        Gelar hadiah Belanda itu hanya dianugrahkan pada yang menduduki kerajaan ketika itu, raja sudah diubah statusnya menjadi regen, mulanya harimau sudah berubah menjadi macan ompong. Gelar didapatkan (Acheivement status), yaitu status karena hasil jerih payahnya. Sedangkan keturunan didapatkan secara lahir (Ascribed status). Dengan demikian gelar itu hanya boleh digunakan oleh raja dan turunan raja yang diangkat menjadi raja, bukan semua turunannya. Moga ada manfaatnya.