Kamis, 17 September 2015

Komodifikasi Banten: Dari Monotheisme ke Moneytheisme (?)

Bali terkanal dengan seribu pura dan ritual yang penuh dengan religius magis yang bercitrakan sangat animis dipublikansikan besar-besaran di luar negeri, sejak tahun 1920-an dilengkapi dengan beredarnya foto-foto eksotik yang mengairahkan, sehingga dijuluki sebagai pulau surga terakhir. Tahun itu adalah situasi Bali yang sedang dipublikasikan unktuk dijadikan objek wisata eksotik oleh belanda yang dikenal dengan program kebijakan baliseering. 

Pergolakan politik ikut berpengaruh, namun dalam perjalanannya bali tetap dijadikan objek wisata budaya setelah kemerdekaan. Bali tetap dijadikan pabrik dollar, industri tanpa asap, dan mendapat pengaruh kuat dari anak kapitalisme yaitu dunia pariwisata. Bali tumbuh menjadi etnik yang hidup dalam pergulatanh wisata budaya baik dilakukan oleh kolonial belanda dengan baliseeringnya, maupun zaman kemerdekaan dengan ajeg balinya. Keduanya  memiliki roh yang sama menjadikan bali sebagai industri pariwisata yang sarat dengan pergulatan modal di dalamnya. modal-modal yang bergulat bukanlah hanya modal ekonomi yaitu uang dan dollar serta saham yang ada di dalamnya, tetapi juga modal-modal lain seperti disebutkan dalam gagasan Bourdieu ada modal politik, sosial, budaya, dan pendidikan. 

Bali menjadi hidup dalam gelimangan dollar, terutama di daerah-daerah pariwisat, di sama berkembang, calo tanah, penjual tanah, villa, bungalow, restouran, jasa pariwisata lainnya, industri souvenir, industri atraksi budaya, dan sebagainya. Kenyataan ini dapat dikatakan merupakan hasil dari Baliseering dalam menyelamatkan bali dari pengaruh luar, dan menjadikan bali tetap sebagai museum hidup, dan mengembangkan objek wisata menarik. Jadi implikasi baliseering dewasa ini adalah munculnya etnosentrisme, feodalisme, kapitalisme, libralisme dalam kehidupan di Bali. 

Bagaimana Banten dapat dikatakan sebagai komodifikasi di era globalisasi ini di bali? Kehidupan dunia pariwisata sudah berpengaruh dalam kehidupan bergama bali. Modernisasi yang mulanya dibendung masuk bali oleh belanda, di samping ideologi lainnya seperti kristenisme, islamisme, dan radikalisme lainnya, tidak dilakukan setelah zaman orde-orde pascakemerdekaan. Dengan demikian modernisme, kapitalisme, dan komodifikasi ritual, banten, tanah, dan ngaben serta pembakaran mayat yang dianggap eksotik menjadi berbaur di bali. Dengan demikian "ukuran ideal" dalam kehidupan sehari-hari menjadi double standart. Dengan demikian komodifikasi dalam bantenpun terjadi. 

Apa persoalan yang terjadi dengan adanya komodifikasi banten? secara hakiki teks-teks ritual yang sesungguhnya berisi ajaran kebalian terkait dengan penghayatan terhadap dunia gaib menjadi ikut terkomodifikasi (tidak terpahami dengan baik), karena banten hanya dinilai dengan harganya dalam bentuk rupiah, bukan nilai-nilai kebalian yang terkandung di dalamnya. 

Di samping itu terjadi perubahan dasar filosopisnya yaitu dari pengabdian tanpa pamrih, tidak mengenal untung dan rugi, berubah menjadi semuanya didasari oleh prinsip untung dan rugi.Jika demikian adanya kita sesungguhnya telah beribah agama yaitu dari agama Hindu menjadi beragama mall (pasar). Dasarnya berubah walaupun aksinya sama, berarti ideologi yang ada di dalamnya pun berubah, karena zaman uang menjadi kita beraga uang (dari monotheisme ke moneytheisme). (Hegap, 17 09 2015). 


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda