Rabu, 18 Januari 2017

Besakih di Gunung Agung

1. Pengantar

Pertanyaan yang butuh jawaban mengapa  di setiap gunung dan disetiap danau di Bali ditemukan pelinggih besar dan tua, serta terkait dengan banyak mitos yang ada di dalamnya. Terkait dengan Agama Hindu di Bali yang diwarnai oleh sekta-sekta yang pernah berkembang di Bali, menjadi sangat menarik untuk dipersoalkan. Tiga gunung yaitu Batukaru, Beratan, dan Batur "dasar atau sekta utamanya adalah waisnawa (sejak abad ke-8) datangnya Rsi Markandeya, dan tampak mengunggulkan dewa mahadewa dengan orientasi persembahyangan ke Barat yaitu ke Gunung Raung Jawa Timur. Kedatangan Kuturan tahun 1001 menjadikan dasar bergama di dominasi oleh sekta Brahma-Wisnu dan Ciwa (Agama Trimurti).  Dengan pagu penataran terbelah empat (Catur Lawangan) dengan daerah astralnya ada di tengah-tengah, yang kemudian disubstitusi atau dihegemoni dengan ajaran trimurti. Pada abad ke-16 muncul kuat pengaruh Ciwa Sidanta, dengan konsep Ciwa-Sada Ciwa-Parama Ciwa, dengan melakukan substitusi pancadewata nyatur dengan dewata nawa sanganya.Gunung Agung paling istimewa, karena dikembangkan dan berkembang terakhir menjadi seperti hari ini. 

Dengan saling dominasi dan hegemoni antara rwabhineda-trimurti- dan triciwa dengan dewa nawa sanganya, dimana sesungguhnya posisi pemujaan Tuhan di Besakih???

2. Segara-Gunung  

Gunung dan Segara merupakan ideologi untuk mempertemukan dua posisi yang bertentangan dan bagian tengahnya dianggap sebagai pusat keseimbangan dan titik hidup dalam pandangan rwabhineda  di Bali. Ada empat gunung yang memiliki posisi strategis terkait dengan nyegara-gunung di Bali, yaitu Gunung Batukaru, Gunung Beratan, Gunung Batur, dan Gunung Agung. Terkait dengan sistem religi di Bali gunung dijadikan titik puncak dunia sebagai daerah yang dapat dijelajah manusia dengan fisiknya, tetapi pikiran manusia memiliki daya jelajah yang lebih luas dengan daya jangkau filosofisnya. Gunung Beratan merupakan gunung Purba dengan tiga kepundannya yang sekarang telah menjadi danau Beratan, Bulian, dan Tamblingan. Di daerahn itu menjadi lokasi pemukiman manusia sejak zaman megalitikum, terbukti dengan di Pura Beratan ditemukan Palungan Batu (Sarkopagus) yang dimitoskan di daerah itu dulu dijadikan lokasi "nampah manusia' atau ngelawar jelema. Hal nampaknya tidak masuk akal, dan mustahil. Secara historis terkait dengan sistem religi bangsa melayu austronesia dengan hakiki pemuja leluhur dengan catur sanak-nya maka kemungkinan yang terbesar adalah untuk menempatkan jazad leluhur (kepala suku) dipuja di daerah itu, yang kemudain berlanjut sampai masuknya Hindu ke Bali. Sama dengan fakta historis yang sama ditemukan di Pura Ponjok Batu, dan Pura Tua lainnya di Bali.  











   

Konsep Pariwisata Berkelanjutan

1. Pendahuluan

Pariwisata sesungguhnya anak dari kapitalisme dan merupakan industri tanpa asap, industri itu walaupun tidak memunculkan "kabut hitam bergantung di awan", tetapi memiliki kemampuan merusak tatanan sosial budaya terbesar, karena pengaruh budaya asing dalam "gemerlapnya dunia pariwisata" cepat atau lambat akan membongkar pertahanan budaya lokal yang menjadi objek wisata, terutama Bali yang menjadi destinasi budaya dunia unik yang paling diidealkan di muka bumi ini.

Bali dengan kategori ideologi budaya yang mengental dalam tataran  ideologi masyarakat, yang masih menonjol dipahami adalah budaya Wong Bali Aga dan Budaya Wong Mojopahit, dalam teori disebut "tradisi kecil dan tradisi besar". Sesungguhnya untuk dapat dibedakan secara akademik, bukan secara kategoris berdasarkan streotif budaya penguasa dan yang dikuasai, maka akan lebih mudah dipahami berdasarkan kateorisasi "Agama Melayu Austronesia" dan "Agama Hindu dari India". Kolaborasi inilah menjadikan Hinduisme di Bali sangat unik dan menarik berbeda dengan kraakter Agama Hindu di daerah lain. Hal ini sangat menarik untuk dikaji; (1) Bagaimana sejarah masuknya gelombang cultural heroes ke Bali yang berkolaborasi dengan Agama Malayu Austronesia yang sudah ada sejak zaman megalitik? (2) Bagaimana warisan budaya unik yang ada di desa Bali Aga sebagai warisan budaya Agama zaman Rsi Markandeya dapat dikemas menjadi objek wisata budaya yang unik dan berkelanjutan?

2. Sejarah Masuk dan Berhibridasinya Budaya Agama di Desa Bali Aga di Bali 

Sejarah Ideologi Cultural Heroes Hinduism ke Bali, yang digunakan sebagai dasar dalam menata Bali dapat diketahui jejaknya: (a) Kedatangan Hindu dari Jatim ke Bali, dari Gunung Raung ke Bali, mengalami gelombang kedatangan dua kali pada abad ke-8 dengan pengiring ke Bali. Kedatangannya yang kedua kalinya itu "dalam lontar Rsi Markandeya disebutkan dalam rangka untuk melaksanakan wahyu untuk menamcamkan Pancadatu di Gunung Agung (Tohlangkir) untuk menjaga keselamatan, kesejahtraan penduduk di Bali khususnya bagi pengiringnya yang ikut ke Bali pada saat itu. 

Penduduk Bali yang masih beragama lokal (Melayu Austronsia) yang datang ke nusantara dalam dua gelombang yaitu Detro Melayu dan Proto Melayu yang disebut rumpun bangsa Melayu Austronesia. Bangsa Bali Aga itu adalah menganut sistem religi hibridasi antara Agama Lokal dan Agama Hindu, dengan konsep dharsana yang diajarkan oleh Aji Samkya (dualitas), terutama terkait dengan pemujaan roh leluhur masih menggunakan simbolik yang sangat fulgar yaitu "Lingga-Yoni" dengan pengambaran sangat natural. Secara filosofis kepercayaan lokal ini ditransformasikan ke dalam sistem berpikir yang lebih tinggi mengubah Bapa-Ibu sekala menjadi Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi. Konsep dasar ini dijadikan dasar untuk menjawab hakikat hidup manusia menjadi sistem berpikir Purusha dan Pradana, atau kemudian lebih dikenal dengan konsep rwabhineda. Pemujaan kesuburan pada zaman megalitik, dan simbolisasi kesuburan dengan air dan wisnu menjadikan sekta waisnawa paling dapat diterima dalam sistem masyarakat yang masih hidup dalam pertanian, kepala suku dan raja kemudian dianggap sebagai titisan wisnu ke dunia. Sekta lainnya sebagaimana dewa adalah sinar suci dari Brahman, maka muncul lusinan pemujaan dewa sesuai dengan ciri-ciri dan kedudukan orang tuanya dalam sistem sosial yang berkembang pada zamannya. Peranan Rsi Markandeya dalam melakukan hibridasi itu sangat besar, beliau menetap dan membuat pesraman (sekolah) atau pedukuhan terbesar di Bali di Pura Agung Gunung Agubg Raung di Desa Sarwada (Sarwa ada) yang sekarang bernama Desa Taro di Gianyar, daerah hulu dari pusat kerajaan Bali Aga Bedulu, dengan pusat permandiannya di Pura Tirta Empul di desa Tampang Siring. Pagu Utama pelinggih terbuat dari kayu sakti dengan wujud filosofi yang mendasari yaitu (1) Rong dwa (Ibu-Bapak), Rong Siki (Taksu/penunggalan Ibu-Bapak), Kemulan Sakti (dua tiang dengan atap ijuk sebagai wujud sekta yang dianut leluhurnya, dan satu lagi  Jro Nyoman/Panglurah Agung, tambahan piyasan untuk dewa dan bhatara sami. 

Kemudian sampai abad ke-11 datang cultural heroes ke dua yaitu Empu Kuturan, datang dari Jatim, pada zaman pemerintahan Prabu Udayana dengan Istrinya Mahendradatta. Kedatangan Kuturan sebagai seorang petinggi agama Bhuda melakukan pembenahan kehidupan beragama di Bali dengan melakukan "penyatuan dan kodifikasi seluruh sekta yang ada di Bali", menggunakan hukum alam Lahir-Hidup-Mati, kemudian seluruh sekta dijadikan tiga sekta besar yaitu Brahma-Wisnu-dan Ciwa yang disebut dengan sekta Trimurti. Kerajaan selanjutnya diwajibkan melindungi penggabungan itu, dan menjadikannya sebagai Agama Kerajaan. Keputusan ini ditetapkan di Campuan Ubud Gianyar. Sejak itu pula ditetapkan beberapa keputusan penting lagi yaitu agar masing-masing pekarangan membuat prahyangan, dengan pagu utama turus lumbung (dari kayu sakti)  pada saat itu:  mulai diwajibkan membuat rong tiga, sebagai perwujudan trimurthi, karena batur menjadi pura pusat kerajaan setelah pindahnya ulun danu ke Batur dari Songan, maka setiap pelinggih di perumahan ditambahkan dengan "Bebaturan", sebagai representasi tunduk pada Batur, kemudian pada akhir kekuasaan Bali Aga diwajibkan membuat "Pura Dasar/Bataran saja" sebagai representasi perpindahan pusat kekuasaan dari Batur ke Gelgel, di bawah kekuasaan Agung Gelgel akhir kekuasaan Bali Aga sebelum datangnya Rsi Kresna Kepakisan kemudian menjadi "Dalem" bergelar Sri Kresna Kepakisan di Bali.         

Transformasi sistem religi terus terjadi, mimikri, hibridasi, dan hegemoni sistem religi terjadi dalam perjalanan waktu. Pada abad ke-16 mulai datang Dang Hyang Nirarta ke Bali, menjadi Purohito kerajaan bermukim di Taman Pule Gianyar, berlanjut sampai pusat pemerintahan berpindah-pindah terakhir di Semara Pura (Kelungkung). Kalau semara+kung, dan kata kung berarti buang, maka kata kelu genealoginya kalu...ng..kung (menjadi bermakna buang kalu). Karena raja di masa lalu terkenal sebagai raja bebek, bukan kehendak raja menjadi bebek, karena sistem sosialnya menjadikan raja sebagai juru kawin (selir), karena sistem manjing ke puri, menjadikan anak gadis cantik sebagai aturan, sebagai gantinya akan diberikan cecatu atau tanah tadtadan, sebagai emas kawin dari raja, ketika itu. Karena ada pandangan masyarakat, kalau rajanya sudah tidak dapat menikah lagi, dianggap kekuatannya sudah menurun. Jadi ada pemaksaan budaya enak pada raja oleh rakyatnya. Termasuk pendetanya yang dihormati, dapat dipahami berapa istri yang dimiliki oleh pemegang ajaran Canting Mas dan Siwer mas, bernama Danhyang Nirartha itu. Pada zaman kekuasaan Klungkung sekta Ciawa Sidanta menjadi mendominasi, sehingga kata OM yang merupakan penunggalan AUM dijadikan Ciwa-Sada Ciwa dan Parama Ciwa, semuanya itu dilakukan dalam rangka untuk menjawab tantangan Hindu di Jawa yang dicap sebagai agama politheisme (Lihat Atmadja, 2010).
Jika itu dijadikan alasan, kecuali alasan politik keagamaan, berarti pada saat itu (Dang Hyang Nirartha) tidak dapat membedakan Brahman, Dewa, Bhatara, Kala dan sebagainya. Di Penataran Agung Besakih ditemukan Padma Tiga apakah itu stana Brahman?, jika ia apakah tiga da Brahman? 

Politki keberagamaan untuk mengoperasionalisasikan berbagai kepentingan di dalam keberagamaan di Bali, menjadikan umat Hindu di Bali, tidak memberlakukan Wedha sebagai mana mestinya, karena ada permainan politik kepentingan kekuasaan, dan keagungan kelompok tertentu menggunakan pengetahuan keagamaan, sebagai dasar menanamkan kekuasaan secara permanen. Sejak itu terjadi perubahan dari kultus roh leluhur, ke kultus Dewa Raja, menjadi Kultus Rsi Dewa. Penjelasan dan pemitosan dilakukan dengan berbagai Lontar, Usana Jawa, dan Usana Bali dan karya sastra dalam lontar lainnya. Dikuatkan dengan membuatkan pelinggih, meru, dan pemitosan lainnya.  

Resistensi budaya yang dihegemoni dan didominasi sejak zaman Kelungkung, terutama di desa Bali Aga sebagai pewaris budaya yang diideologikan zaman Rsi Markandeya, masih menyisakan beberapa tradisi, bangunan, cerita, mitos, adat budaya dan sebagainya yang masih ditemukan di desa-desa Bali Aga yang tinggal di Pegunungan (SCTP) maupun di tepi pantai (Julah, Sambirenteng, Pacung, dan sebagainya). 

Budaya sisa ini, masih dapat dibongkar ideologinya, untuk dijadikan dasar pemahaman budaya desa Bali Aga, termasuk eksistensi budaya kekerasan di Desa Bali Aga. banyak orang menjadi menghindar datang ke desa Bali Aga karena memiliki citra kolot, gunung, terbelakang, tidak beradab, dan suka bunuh-bunuh. Sesungguhnya jika dipahami dengan baik, di desa Bali Aga itulah dapat ditemukan karakteristik kejujuran, setia kawan, solideritas sosial tinggi dengan teman bahkan rasa Bela Pati terhadap sesama teman dan sesama warganya secara kolektif. 

3. Mengkemas Budaya Desa Bali Aga (Lovina-SCTP) sebagai objek Wisata Budaya Unik Berkelanjutan

Nyegara-Gunung adalah konsep budaya desa Bali Aga yang masuk pula ke dalam Bali Mojopahit, sebagai representasi unsur atas (Gunung) dan Bawah (laut), dengan Pura Desa, Puseh, Pancering Jagat, dan nama lainnya sebagai pusar dan tengah-tengah keseimbangannya. Pura pusat ini, umumnya ngemanca, yaitu sebagai representasi dari Saudara Catur leluhurnya, dengan tengah-tengah dari Tapak Dara itu sebagai pusat ritual, dengan menjadikan Catus Pata/Perapatan Agung sebagai daerah astral. Di situlah lokasi nedunan Dewa, Leluhur, Ngutang Gering, Nebusin Nyama tradisi orang Bali jatuh di margi agung, dan termasuk ngenasakang satra bagi yang belajar kedigjayaan (Liyak atau Dukun). Ketemunya Bapa Akasa dengan Ibu Pertiwi terjadi di situ, sehingga tercipta "hidup" itu. 

Lovina sebagai daerah kaki, segara dari SCTP tidak boleh lupa dengan hulunya, baik secara sekala dan niskala, walaupun secara dewasa ini, dilihat secara administratif tidak berhubungan dengan desa SCTP yang ada di daerah hulunya. Ketika terjadi kehendak untuk melakukan aktivitas pariwisata, dan melakukan perbuatab 'Cuntaka di daerah Pantai", jangan kaget jika datang orang hulu (SCTP) ngelurug ke pantai Lovina, karena berkembangnya Lovina, memang sepertinya tidak ada hubungan dengan derah hulu, tetapi dilihat dari Trihita Karana, daerah pantai itu merupakan kaki/segar a dari daerah hulu (SCTP). 

Dalam kontek segara-gunung itulah seharusnya objek wisata budaya dikemas, sehingga memeng betul-betul mengembangkan pariwisata yang didasari oleh ideologi dengan kearifan lokal yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar wacana. kalau kemiskinan terjadi di daerah hulu, maka sebagai manusia biasa yang memiliki pikiran, perasaan, keinginan, dan aksi politik mapun budaya akan melakukan tindakan resistensi, dan menuntut keadilan pada pelaku wisata daerah lovina, karena secara tradisional, daerah pantai itu adalah kakinya mereka. Bagaimana Pura Labuhan Aji, sebagai kaki sakral dari raja diraja desa Bali Aga Gobleg yang menjadi Gusti Agungnya Catur Desa Gobleg, asal pecahan SCTP dan Desa Pakraman di Baratnya sampai ke daerah Sepang, membentang dari Padang Buraha (Padang Bulia) sampai daerah Belulang Sepang Kaja dalam prasasti Bulian Sanding Tamblingan. 

Beberapa yang sudah dirintis oleh Tokoh Sailen Drs. Wayan Ariawan dari Sidatapa melakukan trobosan dalam mengembangkan pariwisata di desa Bali Aga (SCTP) dengan menjual alamnya melalui trecking Lovina-Sidatapa dan sekitarnya, Melakukan Penghijauan di Gunung dan di Pantai, dengan mengajak tamu asing dalam penanaman pohon, pelepasan burung lokal, melestarikan rumah penduduk "Tumpang Salu Gajah Mungkur", mempelopori pembuatan souvenir dari Anyaman Bambu, kursus memasak Anjani (memasak tradisional Bali/Balinese food, dan melakukan pendidikan karakter masyarakat dengan Go Greennya, dan pengolahan sampah keluarga untuk menghasilkan pupuk, dan melakukan pendidikan masyarakat mengajak petani utuk membuat pupuk organik. Semuanya itu dilakukan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanpa pamrih dengan melihat sejarah masa lalu desanya untuk memetakan masa depan masyarakatnya, agar menjadi lebih sejahtra, makmur, dan budaya kekerasan, memaak, dan mengantarkan masyarakatnya tidak  mudah diperdaya oleh kepentingan politik, terutama menjelang hajatan politik lima tahunan dalam pilkada, atau pilgub di Bali. 

Model-model yang dicoba dikemas, seharusnya pemerintah dapat mendukung dengan memberikan suntikan dana, dan penguatan pada aktor intelektual seperti itu, dalam mengenbangkan wisata budaya secara berkelanjutan. Dengan demikian pemerintah tidak lagi menjadikan dirinya sebagai tuan dengan melihat rakyatnya sebagai sahaja. Seharusnya pemerintah terkait sadar bahwa pascakolonial, terutama dalam demokratisasi terutama karena pemilihan langsung, pemerintah secara langsung merupakan abdi rakyatnya, bukan sebaliknya. Sebagai penguasa dari lokal-sampai ke atas, semuanya berpikir, berkata, dan bertindak (trikaya parisudha)  



Genealogi Buleleng

Buleleng dan Pura Ulun Cari di Pura Bale Agung Buleleng

1. Pengantar

Ginantra membuat sejarah Buleleng mengkontruksi nama buleleng dari Jagung Gembal yang dicengkaram oleh Patung Singaraja, masih memberikan peluang untuk ditafsirkan nama buleleng itu, karena didekonstruksi dengan asosiasi jauh dari kenyataan budaya masyarakat yang ada di Bali Utara. Butuh alternatif lain dalam mencari asal-usul nama Buleleng.

2. Kronologis Pendirian Pusat Kerajaan

Secara hstoris kronologis berdirinya Buleleng sebagai pusat kerajaan yang dibangun oleh Sinuhun Panji Sakti, dapat dirunut dari perjalanannya ke Bali Utara pertama-tama mengalahkan Pungakang dandang Gendis berpusat di Desa Panji, yang tempat tinggalnya masih dijadikan Pura Pejenengan di bagian Pura Desa Panji sampai saatini. Selanjutnya setelah mendapatkan kekayaan dari hasil "tawan karang" kapal dagang Dompu Awang di Pura Penimbangan Pusat Kerajaan dipindahkan ke daerah Sukasada (di Utara Puri Sukasada) yang ada sekarang.

Dari Sukasadalah Panji Sakti membangun "pasukan taruna goak" yang direkrut dari para tokoh sakti desa Bali Ada yang ada di Bali Utara.Terutama tokoh-tokoh sisa kekuatan pasukan inti dari Cili Ularan yang tersebar di Bali Utara, karena tidak melanjutkan penyerangan keduanya ke Blambangan, justru jumenek di Bali Utara.

Beberapa Jejak Cili Ularan yang dapat diketahui (1) di Ularan, (2) di Busungbiu (Busung Megelung) dengan pasukan 'Buaya Mangapnya", didominasi oleh Pasek Toh Jiwa sebagai pasukan inti dari Cili Ularan, (3) di Sidatapa, dengan adanya Pura Cili Ularan, (4) di Kala Paksa, (5) di Patemon, mengkoptasi (Bingin Kaput Kendal Gusti Arya Tegeh Kori),  (6) di Pengastulan awal pembuatan persembahyangan nyawang ke daerah asalnya di klungkung, (7) di Tamblang, terkenal dengan tokohnya bernama Tamblang Sampun ( Ki Tamblang bernama Sampun). Ada klen Banjar Tegehe di Asah Badung (kemungkinan tegeh berarti kelompok pejabat pada eranya), karena ngelong keksatriyaan, tidak jadi berperang ke Jawa-Blambangan, namanya akhirnya tidak ada gelarnya. Penandanya masih dapat dikenali, pertama orientasi persembahyangannya masih kebujangga (waisnawa), masih menjalankan tradisi Rsi Markandeya (banten kuno, berbasis Pedapa/kanda empat dewa), kerisnya masih berasosiasi dengan gegelaran pengikut Cili Ularan yaitu Wisnu Bhuda, memuja perang dan keteguhan, karena pasukan.

Sisa-sisa kekuatan Cili Ularan inilah yang diketahui dari tokoh Tubuh Salah (Tebu Sala) dalam sejarah lokal Buleleng terutama berbasis babad. secara konteks, teks-teks yang digunakan masih berbau historis, walaupun ceritanya sudah disesuaikan dengan kepentingan tokoh dan kepengikutan selanjutnya. Kalau dilihat dari nama Sepang (Siepang menurut folklor di Sepang), sangat cocok dengan pasukan kesatria yang tidak jadi berpeang (pantang/arakiri di Jepang).

Kenyataan sejarah ini telah dikonstruksi menjadi cerita folklor baru sesuai dengan pengaruh pemojopahitan (pengelgelan) zaman Dalem Ketut Ngelesir yang memaksa seluruh Desa Bali Aga agar mebalik sumpah dengan ritual potong kerbau untuk proses penyiwaan yang menjadi agama kerajaan pada zamannya.

3. Kehebatan Panji Sakti

Sebagai seoarng raja keturunan Dalem Sagening, dan dihadiahkan pada Jlantik Dogol, kemudian dikembalikan lagi ke kerajaan, kemudian diutus ke Bali Utara (kata lain diusir ke Bali Utara) mencari kakiangnya (Raja Gobleng I Gusti Agung Gobleg) yang kemungkinan terbesar bernama Panji Landung yang menerima dalam perjalanannya di Asah Gobleg, yang dibabadkan bahwa di Asah Gobleg itu dia ditunjukkan daerah kekuasaannya ketika jadi raja kelak. Walaupun secara kontekstual pembuatan babadnya terjadi kemungkinan setelah beliau berstana di Sukasada, bebrati cerita Panji Landung (Panji Sangat Tinggi/penguasa utama) dikonstruksi kemudian.

Kejayaannya ketika memerintah di Sukasada, pembentukan pasukan dari desa-desa tua, seperti dari Desa Menyali (tempatnya belajar Ngelmu Manik Sakecap), Bulian (tempat mendapatkan anugrah Juuk Linglang ( dimitoskan dapat menghidupkan orang sudah meninggal), dan daerah sisa-sisa pasukan yang telah mentradisi di Bali Utara di bawah Cili Ularan.

4. Penyerangan Blambangan

Panji Sakti sudah dapat menguasai Blambangan pada zaman keemasannya, dalam perang Blambangan ke-2 dia sudah tua, sedangkan dalam perang itu anaknya bernama Danuresta gugur di medan perang di Blambangan. Kematian anaknya inilah mengakibatkan beliau kehilangan hasrat untuk memperluas kerajaannya.

Kegalauan Hati Panji Sakti, diisi dengan melakukan perenungan, semedi, dalam sebuah gubuk kecil lokasinya di Pasar Buleleng sekarang itu.  Kerajaannya sering ditinggalkan dan kesehariannya banyak waktu diluangkan untuk semedi di ujung timur Pura Bale Agung Buleleng sekarang, dulu hanya ada sebuah 'Pura Ibu yang leleng karena digerus aliran air pematang (Ulun Carik). Peleban Carik itu, merupakan carik kerta massa pada siklus ritual Purnama Kapat, sedangkan subak atas ada pada siklus Purnama Kedasa.

Ketika ada rakyatnya mencari rajanya dalam urusan kekuasaan yang begitu luas pada zamannya, maka "Pura Ulun Carik yang berupa Ibu Leleng itu dijadikan penanda/petunjuk bagi rakyat elit kerajaan mencarinya.

Simak dialog berikut:

A. diceritakan ada seorang Punggawa mencari raja Panji Sakti ke Sukasada, koordinasi masalah pajak kearajaan, maka dia akan bertanya pada penjaga Puri di Sukasada sbb.
"Naweg Paman Patih, dimana Sinuhun Gusti Panji Sakti sekarang?

B. Dijawab oleh orang Puri sbb.
"Ih Cai Paekang sayang (Punggawa) kema alih Sinuhn Panji Sakti Gusti Caine, beneg kelod uli dini, nyanan nepukin "Pura Ibu Leleng", ngelod kanginan adanya pondok cenik ditu, tepukin cai ba gustin caine suksut ring kayun melantaran antuk pianak ipun abatun bulian seda ring rana Blambangan Jawi".  

Lama kelamaan daerah itu terkenal dengan sebutan 'Buleleng" berasal dari kata Ibu Leleng. Pura inilah kemudian dikembangkan menjadi Pura Kerajaan, setelah dibangun Buleleng itu menjadi Pusat Pemerintahan. Bangunan Tugu (Ibun Carik) selanjutnya menjadi tradisi tersendiri di Bali Utara, yang berkampid (bersayap) secara mistik saudara empatnya Sinuhun PanjiSakti, diasosiasikan untuk dapat terbang ke Jawa untuk melayat roh anaknya di Blambangan Jatim.

Sebagai Jan Banggul dari Pura Bale Agung itu, adalah Pasek Bale Agung, Pasek sama dengan Paku, Hamengku, Pakubhuwono di Jawa, tentu seorang Patih Handalan, sehingga tidak salah Rai Srimben diberikan Gelar Gusti Ayu oleh Soekarno. Hal dapat dibuktikan Pekarngan rumah pengempon utama/ jro mangku (puro hito kerajaan ketika itu) memiliki saluran langsung masuk pura dari pekarangan rumahnya.

5. Simpulan

Nama Buleleng secara genealogis dalam konteks historis dan relegis sangat sesuai dengan kenyataan psikologis Sinuhun Panji Sakti ketika itu.  Pura Bale Agung, Tugu Mekampid, dan Pasek Bale Agung sangat erat kaitannya dengan Panji Sakti, keberadaannya mulai jumenek di daerah Buleleng itu setelah penyerangan Blambangan 1679 (aba ke-17).