Kamis, 28 Desember 2017

MEMBONGKAR IDEOLOGI AJI PANGLIAKAN DI BALI (DALAM PERSPEKTIF CULTURE STUDIES

)
Oleh  I Made Pageh[1]
1.      PENDAHULUAN 
1.1  Latar belakang penulisan
Ontologis, Liak (barak ngakak), teluh, trangjana banyak ditulis orang belakangan. Penekunnya disebut ngiwa, lawan dari tengen di Bali. Dikategorikan black magic lawan dari whait magic, bercitra gender atau ilmu yang dilekatkan dengan pradana lawan dari purusa. Liak disebut ilmu yang buruk, jelek, hitam, gelap, neraka. Dilawankan dengan whate magic yang ilmu baik, putih, kanan, dan “lokalitas kesadaran palsunya adalah swarga (Bahasa Sanskerta)/surga (Bahasa Arab) (Pageh, 2010). Penekun laki-lakinya disebut ngiwa,[2] perempuannya disebut ngeliak, efistimologinya lontar butaning laku/aji pangliakan. Prosesinya berlokasi di kuburan/tunon/setra, pempatan, waktunya sandikala, jegjeg surya, tengah lemeng, dewanya Dewi Durga, puranya Pura Dalem, Pura Dekat Kuburan. Pekerjaannya “membuat orang sakit”, bahkan “mati ngadeg”, se-olah-olah Liak dapat membunuh orang sesuai kehendaknya. Dan segudang pengideologian, pencitraan, pen-diskursus-an, keperempuan buruk, jahil, ugig tidak pantas ditekuni.
Umum “meyakini”, termasuk orang Bali sendiri, bahwa Liak yang “ngelarang aji wegig” itu adalah ajaran Agama Hindu. Agama Hindu sebagai agama impor (dari India), menerima begitu saja konstruksi diskursus yang berkembang di Bali, yang menjadikan dirinya bercitra buruk bukan saja di Bali, tetapi juga sampai ke luar Bali. Terutama di era globalisasi ini, penyebara-luasannya dipercepat oleh teknologi telekomunikasi informatika.
Usaha untuk menepis citra negatif ini menjadi gamang, karena ketidakmampuannya untuk membedakan ajaran agama dengan trasdisi (adat) atau lokal genius. Hal ini disebabkan oleh eksistensi pelaksaan adat dan agama telah menyatu, bersikritis, berakulturasi antara Agama Hindu dan kepercayaan asli (lokal genius) bangsa Melayu Austronesia.[3]
Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahannya, sebagai berikut. (1) Bagaimana mewacanakan liak yang tiada (niskala) menjadi “ada” (sekala) atau (upper reality) di Bali? (2) Apa ideologi kuasa yang mendominasi sehingga eksistensi Liak bercitra buruk, kiwa?
 Tulisan ini bertujuan untuk membongkar ideologi kuasa yang menjadikan Liak bercitra negatif, menakutkan bahkan dimusuhi, padahal di era kelaskaran ini diburu oleh anggota laskar, body guard, freman, bahkan anggota Dewan yang kesehariannya berhadapan dengan tantangan dan ancaman dalam hidup dan profesinya.
Kemudian aksiologinya, untuk dapat memberikan “pembelaan, keberpihakan” pada eksistensi penekun liak (tentatif) dalam bentuk ide, gagasan, cita-cita, sehingga pembaca dapat memahami secara kritis, berkonsep dalam menilai baik dan buruk, swarga/neraka akhir hidup seorang di kelak kematian tiba. Dengan tujuan utama mencoba membongkar ideologi (jaringan kuasa) yang ada di balik pencitraan buruk Liak di Bali, namun tetap diburu oleh pejabat-pejabat tinggi dengan kata lain, liak dicemoh, dibenci, tetapi ditakuti, dan dicari di era kesejagatan ini.

II Efistimologis dan Kajian Teoretis
2.1 Metodologi Penulisan (Efistimologis)
Penulisan ini menggunakan metode studi pustaka, dengan sudut pandang/ perspektif rwabhineda (benary oposition). Penulis langsung menjadi intrumen penulisa, dengan analisis data berlanjut dari awal sampai akhir penulisan. Triangulasi data dilakukan dengan menanyakan realitasnya pada beberapa orang yang dianggap sakti mantra guna, manik sekecap. Dengan memanfaatkan teori-teori sosial kritis di dalam proses penulisan ini. Dengan kata lain, di sini akan menggunakan efistimologi kiri. Data dikumpulkan dari sumber sekunder (buku-buku, majalah, koran), hasil penelitian, dan lontar butaning laku/aji pengliakan. Data dikategorisasi untuk dapat merekontruksi budaya dan ideologi secara kontektual, untuk mendapatkan Iikatan budaya dan jiwa zaman yang melatarinya. Dengan kata lain, sedikit membutuhkan kajian sejarah kritis.[4] Hal ini dilakukan agar tidak membangun wacana dengan dasar yang salah atau “jaka sembung bawa golok, tidak nyambung goblok”, hal ini berpotensi mendapatkan eksistensi simpulan akhir yang slenkco (nyaplir).
Tulisan ini mencoba mengikuti metodologis yang digunakan oleh Pierre Bourdieu seperti diuraikan oleh Cheleen Mahar,dkk. (1990:4)
”strukturalisme generatif mendeskripsikan cara berpikir dan cara mengajukan pertanyaan, sehingga dengan demikian dia berargumen, ia tengah  mencoba mendeskripsikan, menganalisis, dan memperhitungkan asal-usul seseorang dan  asal-usul struktur serta kelompok sosial (sejarah: dari Penulis)[5] (Bourdieu, 1985).

            Dapat dipahami bahwa analisis praktis dalam kehidupan nyata, dilakukan dengan  metode/jalan berpikir dialektik, dalam menganalisis objek ontologis, dengan melihat  relasi-dialektis antara struktur dan agensi (kuasa aktor) dalam menentukan objek yang dipikirkan/ dianalisis (bentuk), relasi-relasi/ jaringan kuasa (fungsi) dan pemaknaanya. Jadi kenyataan yang dikaji berupa kenyataan berupa praksis sosial, relasi dialektis jaringan sosial, relasi kuasa dari aktor (agensi), serta makna yang ditampilkan dalam masyarakat. Untuk lebih jelas hubungan bentuk, fungsi dan makna, liak itu sendiri. Perhatikan tabel 01 berikut.
 Tabel 01: Bentuk, Fungsi, dan Makna
No.
Bentuk
Fungsi
Makna
1
Struktur (Benary Opposition)
Koneksitas antar unsur
Mencari tersembunyi di balik realitas
2
Agensi
Relasi-relasi kuasa
Dominasi Ideologi
3
Praksis sosial
Kontestasi
Hegemoni 
4
Subjek
The other/ yang lyan
Pertarungan kuasa
5
Teks (artefact kultural)
Produksi-konsumsi- regulasi- representasi; sistem.
Politik Identitas, pengideologian; koptasi, posisi

6
Liak,transendental
Representasi kebalian, eksistensi identitas Bali Aga
Magik, sakti, modal sosial/kontrol, hormat leluhur.
Lihat Santoso,dkk. (2012; Kuntowijoyo (1999:5-15); Mudji Sutrisno (ed.) (2004); Ubed Abdilah S. (2002); Hendar Putranto (tt: 2-26); Field (2012), Simon (2004:45); Kurzweil, 2005:49).

Kajian budaya memandang, realitas itu adalah sebuah realitas distorsif, simulakra, kesadaran palsu, imaging comunity/ komunitas terbayang, narasi agung, budaya dominatif, rasionalisasi, koptasi makna, kontestasi, anomali, permainan dan sebagainya.  Mengikuti pandangan Bourdieu dalam Cheelen (19904-5) inilah yang perlu dideskripsikan, dicari asal-usul orang, kelompok sosial, ideologi dan sebagainya, dianalisis, sehingga didapat makna yang sesunguhnya (makna otentik).  Jadi kebenaran dalam kajian budaya adalah kebenaran yang ada di balik kebenaran narasi besar, koptasi ideologi kekuasaan, budaya dominan, dan mencari hakiki kebenaran itu dengan model berpikir benary oposition.

2.1 Kajian Teoretis
            Untuk memahami liak dibutuhkan strukturalis transenden, untuk itu lihat karya Kuntowijoyo, mengenai strukturalis transenden, diuraikan kerja sebuah strukturalisme (F. De Saussure, dan antropolog C. Levi-Straus), dapat dipahami melalui empat (4) hal, yaitu (1) struktur baru dapat dimengerti jika dikaitkan dengan unsur-unsur yang lain (inter-conectedness); (2) strukturalisme bukan mencari apa yang tampak di permukaan (teramati), tetapi yang ada di balik realitas (innate structuring capacity); (3) dalam tataran emperis keterkaitan antar unsur berupa binary opposition; (4) strukturalisme memperhatikan unsur-unsur yang sinkronis (Kuntowijoyo,1999;7). Pembahasan historis mengikuti langkah-langkah atau prosedur kerja seorang filolog dan sejarawan, terutama sejarah struktural (Sejarah sosial), yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan fakta yang ditemukan atau spakes by data (lihat Pageh, 2010).
Dengan demikian struktur dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu deskripsi kekuatan pembentuk struktur (ideologinya, aji wegig/butaning laku), struktur dalam (efistimologi, ngeliak), dan struktur permukaan (teramati, realitas distorsif, kontestasi). Di sinilah digambarkan, dianalisis, dan perwujudan makna, deologi kuasa, dan relasi-relasi unsur pembentuknya. Agennya tidak menunjukkan diri secara terang-terangan karena ada dominasi kuasa. Transenden berarti yang ke atas, bersifat niskala, dan berhubungan dengan sistem keyakinan dan orientasi masa depan setelah mati (Kuntowijoyo, 1999:4).  
            Eksistensi Liak dicoba untuk dianalisis menggunakan kerangka pemikiran strukturalisme, sebagai lokasi lahirnya geneologis aliran struktural kiri ini. Hermeneutik/kritik sumber (kerja sejarawan dalam menulis sejarah sosial-kultural), mencari pola-pola struktur, untuk mengambarkan suprastruktur). Tentu semiotika tidak dapat dilupakan dalam karya ini, karena selalu berurusan dengan language, parole yang nampaknya hiteroklit  seperti memiliki makna yang tidak saling keterkaitan, namun berusaha dihubungkan secara sinkronis (lihat Dapur Makna, dalam Roland Bathers, 2007:264-265). Terutama sejarawan berutang budi pada ilmuan William Dilthey, merupakan tokoh yang berusaha menafsir titik singgung antara hermeniutika dan sejarah. Dia memberikan uraian masuk akal terhadap dua kubu (hermiolog dengan sejarawan), yang satu menghargai sinkronis, sedangkan yang dua menghargai diakronis. Dijelaskan pelecehan terhadap historisisme oleh beberapa pihak disebabkan oleh perubahan fakta kebudayaan di masyarakat, dan terjadi kecendrungan menghargai sistem berlebihan, dibandingkan dengan keberanian untuk berubah (Kontinuitas dan diskontinuitas dalam sejarah). Terutama dalam usahanya mendudukkan kesetaraan ilmu natural (explanation) dengan verstehen (memahami). Dia menggugat ke-masukakal-an (intelligibility) dua ilmu yang disandingkan itu, yang digugat bukan pada aspek ontologisnya, tetapi pada aspek efistimologisnya (lihat lebih lanjut (3). W. Dilthey, dalam Paul Ricofur, ”Hermeneutika Ilmu Sosial. Kreasi Wacana”: Yogyakarta, 2009:64-71; Bandingkan dengan Peter Burke,”Sejarah dan Teori Sosial, YOI: Jakarta, 2011).
Filsafat etika, manusia memiliki nalar (sikap kritis di otak), memiliki nurani (di hati), dan memiliki nafsu (3 N) dijadikan dasar penilaian pembongkaran ideologi kuasa (niat baik cara salah gugur, niat baik cara baik bangkit, pilihan kata-kata (diskursus), sangat menentukan, kedewasaan pemamaparan ilmu yang dipinggirkan untuk menarik simpati pemikir berparadigma lain, dengan demikian dekonstruksi akan mudah dalam rekonstruksi kembali hasil kerjanya yang baru dibangun. Pembongkaran dilengkapi dengan menggunakan teori–teori ilmu sosial kritis seperti karya Althusser,2010; Agger, 2003;Cxavallaro,2004; Simon, 2004; Kurzweil,2004; baca lebih lanjut Listyono Santoso, “Seri Pemikiran Tokoh: Efistimologi Kiri”. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta.
Secara ideal bangunan teori baru yang dapat dijadikan disaign pemikiran, berdasarkan kajian teori secara fungsional dalam kesempatan ini, belum dapat dilakukan, karena keterbatasan waktu, dan banyaknya bahan bacaan penunjang yang seharusnya dibaca dan dikompilasikan menjadi dasar pembentukan teori baru. Namun dapat dilihat secara perspektif bahwa bangunan dasarnya sudah dapat dibayangkan untuk dapat dijadikan bangunan yang disenangi dan diburu pembaca aliran kiri maupun kanan.

Diagram: 01 Disaign Penulisan
                                                 DISKURS BLACK MAGIC           Untitled.jpg
            Diagram di atas digunakan untuk menganalisis (1) interconectedness of  black magic vs white magic), (2) innate structuring capacity (mencari apa yang ada di balik realitas yang diamati), (3) melihat struktur binary oposition; (4) struktur dalam keadaan sinkronik (Kuntowijoyo, 1999; Piaget, 1995). Sebagai sebuah ideologi maka dapat mempengaruhi berbagai aktivitas kehidupan di masyarakat Namun dia berbentuk struktur totalitas, yang baian-bagiannya ada usnur dari struktur luar. Seperti pandangan Piaget (1995) sebuah struktur memiliki 3 bentuk yaitu Totalitas, transformasi, dan pengaturan diri. Struktur tidak dapat dipahami sendiri-sendiri, kadang kala terkait dengan sistem, seperti melihat mata uang dari dua sisi yang berbeda. Contoh lain, melihat rumah Bali bertiang beton, Bali disempurnakan dengan ditambah unsur eropa. Sejalan dengan pandangan F. De Soussure, menjelaskan hubungan (relasi) sintagmatis dan asosiatis digambarkan dalam karyanya “Cours de Linguistique Generale”, menyebut hubungan sintagmatis adalah hubungan kombinasi (gabungan) antar unsur dari struktur yang membentuk keutuhan (contoh arsitektur tadi) (Hoed, 1995:viii-ix). Asosiatif berafiliasi secara saling tukar, dalam membantuk kesatuan yang diinginkan.
            Kajian Liak (Black Magic), secara teoretis telah diberikan makna sesuai dengan ideologi kuasa, karena ideologi kuasa telah merambah ke seluruh diskursus yang terjadi di masyarakat, seperti disebutkan Althusser bahwa kehendak dalam mengideologikan masyarakat sebagaimana dikehendaki oleh ideologi-kuasa telah merambah seluruh aktivitas masyarakat (Althusser, 2010). Semuanya ini terkait dengan menumbuhkembangkan kesadaran palsu. Inilah yang hendak dibongkar ideologinya untuk dapat melakukan pembelaan terhadap dominasi ideologi kuasa (Bourdieu, dalam Richard Harker,et al., 2009; Simon, 2004).

III. Pembahasan
3.1   Kedatangan Culture Hero di Bali
Terjadi perubahan ideologi sejak Rsi Markandeya, ke Mpu Kuturan dan akhirnya dominasi ideologi Ciwaisme yang diajarkan oleh Dang Hynag Nirartha, melalui dominasi kekuasaan Mojopahit (Mojopahitisasi) Bali.
Kedatangan Hindu ke Bali telah memperkaya Agama asli Indonesia di Bali yang lumrah disebut kepercayaan asli (local genius) bangsa Melayu Austronesia. Akulturisasi  dan sinkritisme terjadi sejak abad ke-8, dengan datang Rsi Markandeya ke Bali membawa ajaran Hindu dari Gunung Raung. Sejarah mencatat datang dua kali ke Bali, (1) datang dengan 400 orang, diserang grubug dan (2) datang kedua kalinya, setelah mendapat inspirasi di Gunung Raung Jatim, dengan menbawa pengiring dari Wong Aga (penduduk sekitar Gunung Raung Jatim), sekitar 200 orang lagi, demikian disebutkan dalam Babad Rsi Markandeya, seperti dikutif oleh Pageh (2011).
Kedatangan culture hero hinduisme tahap I, Rsi Markandeya ke Bali diawali dengan “menanam Pancadatu di Basukih/ mulai dari Gunung Toh Langkir”[6] menjadi Pura Batu Madeg, mengahadap ke barat (Gunung Raung), melakukan pembaharuan kepercayaan dengan memadukan ajaran Hindu dengan lokal genius, dengan menerapkan ideologi struktur dua (rwa bhineda). Kepercayaan kepada roh leluhur, dipadukan dengan ajaran India, terutama Brahman-Atman Aekyam (penunggalan Brahman denga Atman). Ideologi rwa bhineda ini dijadikan dasar penyusunan masyarakat selanjutnya, seperti ajaran Aji Sangkya (dualisme tunggal), yaitu purusha dan pradana saling melengkapi secara harmonis, seperti disimbolkan dengan Phalus (lingga/purusha), dengan Yoni (Vagina) perempuan. Bertemunya secara harmonis mengakibatkan keseimbangan terjadi, itulah hidup yang betul-betul hidup.[7]
Penghayatannya agama di Bali didasari oleh kepercayaan ajaran Kanda phat, dengan jenis-jenis dan tingakatan berbeda-beda. Penjelasan sakti yang dimiliki oleh tetuanya, dijelaskan sebagai berikut: Roh memiliki yang diyakini memiliki sanak catur (Mrajapati Anggapati, Banaspati dan Banaspati Raja, berbeda fungsi dan kedudukan dari sejak rare, bhuta  sampai menjadi Dewa (dari Kanda Phat Rare, Bhuta, Bunga, sampai kanda Phat Dewa).
Munculnya sektarian di Bali, dilatari dengan kebebasan pemujaan Dewa-dewa yang diajarkan dalam ajarah Hindu, maka Sinar suci (Dewa) itu dipersonifikasikan memiliki sifat-sifat menonjol seperti yang ditemukan dalam alam. Ini memunculkan adanya sekta-sekta (paksa) di Bali, pada awal kedatangan Hindu dari Jawa Timur yaitu dari Gunung Raung. Orientasi pura dan sanggah pun mengarah kaja (gunung), Gunung Raung, Mata hari, sehingga menjadi intinya meulu ka tengah.[8]  
Sistem relegi berkembang dari percaya pada roh leluhur sakti (yang telah manunggal dengan Dewa yang dipuja), sampai membawa Catur Sanak itu, sebagai jaga satru difungsikan untuk menjaga: (1) desa pakraman berstana di Mrajapati (ulun Setra), (2) Anggapati (Pekarangan Rumah), (3) Banaspati (di Sanggah/ Merajan) umum disebut Angrurah Agung), (4) Banaspati Raja, berstana ngider bhuwana. Fungsi dari keseluruhannya itu, menghasilkan sistem relegi yang tampak pada Desa-Desa Bali Aga.
Maraknya Desa Bali Aga dengan adanya sistem relegi baru ini, maka banyak muncul penghayat kebatinan (sekta-sekta) diberi nama sesuai dengan dewa yang dipuja. Munculah banyak sekta (sekitar 8 sekta), di antaranya: sekta Wisnawa (raja dianggap Titisan Dewa Wisnu). Ini berkembang dari Jawa Barat sampai ke Bali (banten =Wali/Bali). Prasasti Ciaruteum menyebutkan: “inilah telapak kaki raja Purawarman menguasai dunia sebagai telapak Wisnu...”, Tradisi ini dilanjutkan di Bali dengan menepatkan Gambar Kaki dua buah (enjekan Kebo, pahatan dua kaki melambangkan Wisnu Turun ke dunia) yang umum ditemukan di pura-pura tua, yang menjadi warisan relegi sampai saat ini.  
Geneologi palinggih awal di keluarga adalah (1) istana Dewa sekta yang dianut (punyan Dapdap dua buah, di atasnya ada bentuk segi empat meulu dari ijuk, (2) Palinggih rong dua didedikasikan untuk Ni Meme ngajak I Bapa (kiwa-tengen), (3) penunggalan gezah (wibawa) orang tua (pelinggih Taksu), (4.a) Pangrurah (salah satu dari empat sekawan), (4.b) Tugun Karang, (4.c) Lebuh rumah/ pintu masuk; (4.d) di Setra. Inilah yang disebut Catur sanak di jawa disebut Ong Phat Kelimo Pancer. Kehidupan pada abad ke-8 itu diwarnai oleh usaha untuk memohon kesaktian, kebathinan inilah melahirkan tradisi bebantenan di Bali yang kalau di India fungsi ini dilakukan oleh Dewa Kumara (bayi) dan Ganesha tolak Bala orang dewasa. Jadi tradisi inilah yang membayangi hingga kini, dan menjadi se-olah-olah agama Hindu.[9]
            Kondisi ini berlanjut sampai pemerintahan raja Darmodayana yang memiliki suami dari Jawa Timur bersekta Ciwa yaitu Mahendradatta. Usaha untuk menyatukan sekta yang ada. Literatur Barat/Penelitian sarjana Belanda menyebutkan adanya 8 sekta di Bali). Hal ini diasumsikan mengakibatkan sering terjadi perang sekta. Muncul usaha untuk menyatukan menjadi sekta Tri Murti, muncul Palinggih “Padma Tiga, hingga kini masih banyak ditemukan buktinya.
Ini dilakukan setelah datangnya culture hero tahap II, Mpu Kuturan ke Bali sekitar tahun 1001. Kemudian, pelinggih diubah, ditambah rong tiga, dan dibangun Bebaturan/menjadi Padma Capah, kemudian Surya, dan kemudian Padma Sana. Dang Hyang Nirartha (abad ke-16) bebaturan diganti dengan Padmasana (lihat Pageh, 2010). Rong Dua menjadi Meres-Mujung (Rambut Sedana). Diikuti dengan penghormatan pahlawan klan dengan membangun pagoda-pagoda (Meru di Bali), sebagai keberlanjutan dari Funden Berundak, pelinggih pahlawan lokal. Kuatnya ideologi Bali Aga, terus akhirnya diideologikan dengan tradisi, dan ritus pengideologian itu. Sate gede, sate asem, berbagai jenis jajan (manca warna), segehan manca warna, dan sebagainya.
Kedatangan culture hero hinduisme tahap III,  Dang Hyang Nirartha (Dang Hynag= Guru Besar) tahun 1550-an, penekun kemanunggalan Brahman dengan Atman ini, disebut Ngeliak (efistologisnya) dan secara ontologis disebut Liak,  zaman kuasa ideologi Mojopahit. Dibuatlah mitos-mitos dominatif, dan meminggirkan ke-Bali-Agaan-dalam memberikan tafsir ideologi, terjadi terus-menerus dilakukan hingga era globalisasi diwakili oleh PHDI dalam pembinaan Umat Hindu ke Desa Pakraman Bali Aga, yang isinya ideologi kuasa kuasa Majapahit.[10]

3.2 Ontologi Efistimologi Liak dan Dominasi Ideologi Kuasa Mojopahit
Di koran Bali Post (2011) diwacanakan master Liak di Bali yang diakui kesaktiannya adalah Jero Mangku Teja (berasal dari desa Bangbang, Kabupaten Bangli). Dia adalah seorang seniman tari Calonarang yang biasa memamerkan kemampuannya Negliak, disebut tokoh beraliran hitam berwujud Rangda. Calonarang ini diadopsi dari cerita sejarah, kerajaan Hindu zaman Erlangga, Jawa Timur, yang sesungguhnya teks men-teatre-kan konsep rwa bhineda pada manusia Bali, setelah berakulturasi budaya aslinya dengan hinduisme di Bali.[11]

Dalam sejarah Hindu di Bali, ajaran Rsi Markandeya, diyakini hakikat hidup itu adalah harmonis antara dua yang bertentangan, yang dikonsepkan menjadi ideologi rwa bhineda, dua sisi kehidupan manusia yang tak terpisahkan.  Teori oposisi biner (binary oposition) itu, sesungguhnya telah dipentaskan, telah menjadi teks-teks kehidupan di Bali sejak abad ke-8 di Bali, sementara di Eropah (Prancis) baru awal abad XIX. Seandainya ada ilmuan Indonesia dapat mengungkap ini, saat itu maka gugur penemuan ahli barat itu olehnya, karena telah menjadi ideologi di Bali, bukan hanya sebuah wacana saja (bandingkan dengan Takwin, dalam Pengantar, 2009: xv-xxv; Chellen, et al., 2009:4-5; Piaget, 1995:).[12]
Pentasnya dapat dilihat dalam mengideologikan, bahwa dharma vs  adharma (Bali Aga vs Mojopahit), dharma Mjopahit dan adharma Bali Aga. Kemudian juga berimplikasi perbuatan baik dan buruk, laki-perempuan (gender), siang-malam, kangin-kauh, kaja-kelod,Nyegara-Gunung di tengah Pura Pusat Desa, nyatur di tengah-tengah daerah astral (Bali Aga). Oleh tarian Calonarang misalnya sebagai contoh (Rangda Vs Barong) Raja Perempuan dengan manusia dengan saktinya Barong Ket (Banaspati Raja) dipentaskan sama kuat (Bali Aga), menjadi perbuatan baik dipersonifikasikan dalam wujud barong, melawan perbuatan Rangda (Manusia Sakti), sesungguhnya sama kuat (harmoni), sehingga sama-sama dijadikan Bhatara (pelindung) di Bali.[13]
Kembali ke soal Mangku Teja, seorang dukun sakti di Bali, menjadi guru pentransfer ilmu pengliakan kepada orang-orang yang belajar ilmu Liak. Namun, Mangku Teja bukanlah, atau tidak menggunakan ilmu Liaknya untuk menyakiti orang, dia justru malah sebaliknya seringkali menggunakan ilmu Liaknya untuk mengobati orang yang menderita berbagai macam jenis penyakit, mulai dari penyakit ringan sampai yang berat seperti kanker. Dari sana sebenarnya dapet dipahami. Whate magic dan atau black magic sesungguhnya batasnya sangat tipis, bagaikan pisau dapat digunakan membunuh dan atau membuat sambel bawang matah.  
Terakhir sudah banyak buku-buku cetakan penerbit, mempublikasikan tentang ilmu pengliakan, kanda phat, dan aji kanuragan yang lain (lihat Majalah Kebudayaan Taksu Bali. Yang penulis jadikan bahan kajian, kecuali ngambil di internet adalah:
(A)   Majalah Kebudayaan Bali: Taksu Bali, edisi Januari 2012
1.      Taksu Bali, edisi Januari 2012: membahas, musyawarah para liak dan siat peteng liak, ngundang liak, dan wacana lain dengan mengandalkan informan dianggap penutur primer. Haraus dipahami, itu adalah penyampaian ideologi yang mereka percayai, keberadaan leak tidak dapat diwujudkan seperti pandangan Kantinian.
2.      Pertempuran, luka paran, musyawarah wacana yang dibuat bukanlah dalam makna kantinian, tetapi adanya “ada pada tataran ideologi liak”.
3.      Liak diartikan seperti meujud, padahal ujudnya adalah pemujaan huruf-huruf, sebagaimana diyakini dan dihormati ujud huruf itu seperti dewa saraswai, berwujud dan disakralkan, terutama huruf modere bukan huruf Sanskerta (bukti lokal genius).
4.      Ngeliak dipandang sebagai puncak yoga yang disalahkan oleh ideologi Mojopahitan, yang menurut Derrida dan Foucult disebut logosentrisme. Leak pun dipandang memiliki komunitas, komunitasnya dapat dirunut pada desa-desa pembangkang jaman Mojopahit, lawannya secara ideologis dan kekuasaan.
5.      Ketut Tantra yang dikontruksi menjadi guru spiritual Sruling Dewata, banyak dijadikan refrensi dalam pergulatan Ganda Phat. 33 kanda phat merusak, dan hanya 3 membangun (kanda phat nyama disebutkan). Membeberkan antologi, efistimologi, termasuk organisasi, dan pembayarannya (esensi globalisasi). Orientasinya Gunung Batukaru, Perguruannya menggunakan guru Swadiyaya, dengan mengkontruksi guru spiritual seluruh dunia, jawa, Indonesia, bahkan Cina dan Tibet, dengan pusat di kaki Gunung Batukaru dan Drs. Ketut Nantra, meyakini dirinya medapatkan anugrah sebagai Sesepuh ke IX dalam perguruan itu (2012, 1-34). Lihat pula, Tuntunan Kanda Phat Pemurtian.(Paramita: Surabaya, 2011) ini terbitan berseri. Dengan efistimologi Meditasi Kluwung Geni, Meditasi Kluwung Toya, dan Meditasi Kluwung Angin.

(B)   Majalah Kebudayaan Bali: Taksu Bali, Edisi Maret 2012
1.      Memuat sajian utama ciri-ciri orang bisa ngeliak, dengan tuduhan seperti umumnya bahwa liak kejam sadis dan sebagainya. Dibandingkan dengan Sasak ada ilmu sokik, suanggi (k) untuk Flores. Pertanda Budaya ini milik bangsa Melayu Asutronesia.
2.      Wajahnya ditunjukkan bahwa liak berwajah Cinging, dukun diidentifikasi juga ngelarang ilmu hitam ini, disebut pengliakan, penestian, pepasangan (buat sakit), sesirep (untuk maling), bebahi (sakit). Mengutip lontar Aji Pangliakan, milik Griya Sangket Karangasem. Isinya: (1) “Pasuryan Pangiwa”, (2) “Gni Sambrawana/ pangiwa sari”, (3) “Cambra Brag” (2012:14).  
3.      Jenis Liak Panugrahan, seperti Kanda Phat Tanpa Sanga Tanpa Sastra, Panugrahan Dalem Nusa (cocok daerah itu, daerah pinggiran yang kuat menentang kekuasaan Mojopahit). Prokontra ada mengatakan gosif, ada memperkenalkan dengan penuh semangat, simbolisasi dengan nasi rangda, untuk membedah alam gaib, dan diikuti dengan efistimologi ngarad bhuta, oleh Sesepuh Sruling Dewata (Nantra, 2011).

(C)    Majalah Kebudayaan Bali: Taksu Bali, Edisi April 2012.
1.      Diawali dengan syair dan puisi leak dari penyair Samag Gantang. Puisi mistik, dan memiliki daya magis yang sangat baik.
2.      Juga dilaksanakan pembahasan sastra magis, dan mantra pengeresan (membikin orang takut), ini adalah niat-niat kuasa dominatif yang tidak terwujud, diwujudkan lewat ilmu hitam (jika orang tak terpengaruh niat jahatnya) dikatakan membawa penolak bala hebat (paica, sabuk, mantra, ilmu, aeng, dan sebagainya).
3.      Wujud yang diasosiasikan dengan ngeliak, semua binatang mitologis yang disakralkan dalam aliran Waisnawa dalam efos maupun dalam tantri (Bojog asosiasikan dengan Anoman, Sugriwa, Imawan dll; Bangkung (ingat Weraha Awatara, Tapih (angkeb Rai perempuan/gender), Jaka Tunggul (tumbuhan tersayang, persiapan paceklik, tuak-arak, ijuk, sagu, dll.) ada bentuk liak Jaka Tunggul. Pembunuhan karakter binatang, kera, pohon, dan sebagainya yang dihormati pramojopahitisasi.
4.      Paling ideologis adalah dengan melepas “Kebo Duwe” seperti di Taro, Tenganan, Selulung, Mengani, Tampekan (Pageh, “ Wadak Mengani: Hama yang Dilestarikan”, Fundamental, 2008. Melarang memakai Kuda di Desa Bali Aga Songan, melaksanakan upacara potong Kerbau (12 Pemayuh Gumi) di Sukawana/Penulisan. Manten mebulu Geles di Bulian, dan Kubutambahan, dapat saya identifikasi sebagai hukuman yang kini disakralkan, karena keberhasilan Mojopahit (Ketut Ngelesir) memberikan hukuman dengan legitimasi agama (Ciwaisme).

(D)   Majalah Kebudayaan Bali: Taksu Bali, Edisi Juli 2012.
1.      Editorial berkementar tentang liak, mengkonstruksi ilmu liak itu sering membuat orang sekitar sakit, pengiwa sembunyi tangan, juga Balian menutup rapat-rapat tentang Ilmu Hitam ini. Memang sungguh-sungguh tidak tahu, dan tak mungkin tahu. Itu kaca mata sejarawan.
2.      Sajian utama menjelaskan dan mengkarikaturkan efistimologi menstransfer ilmu liak dengan rerajahan (huruf modre). Lidah meler, seperti lesbian menakutkan.
3.      Ditunjukan fakta (distorsif) ‘Si Ketut” dapat jadi Bojog karena warisan. Sepertinya dengan mudah dapat turunan seperti warisan uang kepeng di keben saja. Ini adalah wacana legitimasi, menakut-nakuti orang, meyakinkan tahun dan tidak tahu sesunguhnya.
4.      Efistimologi ngeliak ada yang dilaksanakan di rumah, dan ada yang dilaksanakan di Kuburan. Di rumah menggunakan simbolisasi, brahma penciptaan (dapur/prapian), tempat tidur, sanggah, tugun karang dengan astralnya ada di tengah-tengah natah, dan sebagainya. Dilengkapi dengan berbagai bentuk jadiannya (diskursus dibayangkan).
5.      Ada menonton dadong mgeliak (gender), dan gambar, patung, foto imajinatif yang sepertinya leak serem. Diakhiri dengan efistimologi Pustaka Jati oleh Sesepuh IX Guru Nantra.(hal 1-32).

(E)  Taksu, edisi Agustus 2012.
1.      Paling menarik telah terjadi globalisasi perdukunan, dengan nama Klinik Gaib Dokter Niskala. Ditanggapi secara kritis oleh Dra. Ida Ayu Gde Yadnyawati, MPd-UNHI. Dengan menganatakan praktek/promosi Balian dan Testimoni Menyesatkan. Kita dapat katakan pembentukan Hiper Rialitas menyesatkan terjadi memang di TV Bali TV, sering dan memuakkan. Dengan tudingan dokter ilmua Kantinian, menambah sakit dan alternatif menyehatkan. Ini dapat menyesatkan masyarakat banyak yang tidak mengerti politik media, Bali TV dengan media mengunduh kapital lewat tayangannya, tentu tidak dapat dituntut. Hanya saja menggunakan semboyan “Matahari dari Bali”, dapat dikatakan Matahari saat gulem/mendung/kelabu, karena ditudungi oleh uang pengguna TV yang siarannya terkadang menyesatkan. Berbagai cara untuk melegitimasi keinginan dipercaya orang memiliki sumber daya “dukun dan niskala”, ada dengan jalan praktek sepertinya menggunakan laboratorium ala modern, ada dengan kerauhan, dan sebagainya. Muncul istilah Ter-Kun (dokter-dukun), dan sebagainya.

Secara efistimologi, yaitu cara untuk mendapatkan ilmu liak (ngelmu) membutuhkan ilmu/guru khusus (ada panugrahan). Prosesi ngeliak, tata laku memiliki prosedur tersendiri,  tidak dapat ditemukan struktur terdalamnya atau isinya jika disampaikan oleh orang sedang studi, Dosen Pesakitan di kajian Budaya Unud, butuh waktu khusus, perlengkapan khusus, tempat khusus (bisa di setra dan atau di sanggah kemulan sendiri (di rumah). Lihat dan baca Teks/simbolisasi berikut ini, dalam tontonan dan relegi di Bali.

Filosofi Leak Ngendih di BaliFilosofi Leak Ngendih di BaliFilosofi Leak Ngendih di Bali
Sumber: diunduh dari internet, 4 Oktober 2012.

Ideologisasi dari kekuasaan Mojopahit, telah meminggirkan, mengucilkan, menjelekkan, menegatifkan bahkan melalarang ilmu itu ditemuni. Jika ada orang laki belajar ngelmu babi mgepet (Jawa), ngeliak di Bali disebut “ngiwa”, ngelarang aji wegig, aji bhutaning laku. Sedang jika ilmu Dukun lawan dari Ilmu Leak itu, disebut Ilmu Putih, baik, dilindungi. Padahal dia juga yang mengeluarkan ilmu negatif (liak?), seperti membuat penangkeb, guna-guna, kekebalan, pengijeng, dan sebagainya.
Pada prinsipnya, ilmu Liak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan ke luar tubuhnya, melalui ngelekas atau ngerogo sukmo. Kata ngelekas artinya kontaksi batin agar badan astral kita bisa ke luar. Ini pula alasannya orang ngeliak. Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut angeregep pengelekasan. Sampai di sini roh diyakini bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum di sebut “ndihan” bola cahaya melesat dengan cepat, bahkan mengambil bentuk binatang atau benda lain ideologi yang melecehkan ilmu itu dari lawannya dari belahan ilmu lain. 
Kode etik pengliakan sangat ketat, dan sangat baik untuk pengendalian diri manusia yang serakah dan keraksasan. Hanya saja karena ada pertarungan ideologi, kuasa dan dominasi maka semuanya diasosiasikan dengan jelek, hitam dan tidak boleh. Bahkan kalau salah bisa digebug massa, sampai-sampai ada yang terbunuh.
Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut Liak sering kecele, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan di sini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran. Selama ini Liak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji wegig bagi sebagian orang Bali. 
Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri). Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri, sesungguhnya gender, dan dominasi mojopahit (Ciwaisme).
IV. Penutup
4.1 Simpulan
                Liak dapat dipahami sebagai Upper reality (adanya dari tidak ada) lawan dari hipper reality (dari ada menjadi terbayang ada), sudah dikenal dalam sejarah sejak abad ke-8, adanya tidak teramati, ada di balik wacana dominasi kekuasaan Mojopahit. Sebagai sebuah wacana, dalam Culture Studies tidak ada ajaran yang hitam atau putih, karena sangat bergantung siapa yang menggunakan dan memperkenalkannya. Dalam hal ini pertarungan ideologi  wong Bali Aga dengan wong Mojopahit (Ridwan, 2002). Dalam membangun ideologis logosentrime, dilakukan berlanjut hingga era ini (Simon, 2004; Albert, 2004:161). Secara efistemologi, ilmu liak memiliki etika/ tata sumpah, tidak ada mengajarkan yang negatif. Citra, diskursus, dan juga melihat efistimologi ngeliak, sangat padat dengan etika moral dalam ngeliak, membutuhkan seorang sesepuh yang memiliki konpetensi untuk mentransfer ilmu liak itu.
                Jadi selama berabad-abad ideologi kuasa Mojopahit (sejak abad ke-16) terus membangun wacana, menurunkan kredibelitas Bali Aga dengan ilmunya, dan melarang, meminggirkan, bahkan menjijikan, dengan bentuk ritual, tarian, wacana, bangunan dan sebagainya, namun tetap saja muncul dari belakang. Masuk dari sumsum tulang belakang (tulang giingnya sendiri). Gender, banatang simbolik, makanan bangkai, black magic (wegig) dan sebagainya, namun justru makin dimusuhi, makin kuat resistensinya, bahkan sekarang dimusuhi dan di buru oleh kelompok subatern di masyarakat.
4.2 Saran dan rekomendasi
                Secara aksiologis, direkomendasikan untuk membongkar ideologi yang memburukan aji kewisesan Budaya Melayu Austronesia itu, yang disebut pengeliakan, karena itu merupakan budaya adi luhung Lokal Genius Melayu Austronesia, menjadi tradisi di Bali yang melekat pada adat Bali. Bahkan menjadikannya seperti dibawa Hindu Impor India itu. Di samping itu, juga disarankan agar liak dipahami secara seimbang dengan ilmu Putih, karena citra negatif ini dapat mengakibatkan orang Bali enggan mempelajari Ngeliak itu, padahal itu adalah miliki ilmu kanuragan/ kawisesan Melayu Austronesia, Bali Aga, dan wong mojopahit.  kuasa Mojopahit telah mengubah citranya menjadi buruk, dan sangat mulia zaman Bali Aga sejak abad ke-8 di Bali. Citra gender mengakibatkan para dadong menjadi selalu dituding naif, tidak seperti Balian yang sesungguhnya secara terbuka dapat membuat keburukan dan pembohongan publik, dengan promosi perdukunan lewat media elektronik dan koran. Gerakan feminisme liak direkomendasikan untuk dibangun dan difasilitasi melalui pendirian organisasi resmi. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Mahendra, I Gede. 2004.” Media Anak Muda Bal (proses ngeLiak)”. http:// www. IloveBlue.com/2008/08/18 diunduh, 4 Oktober 2012.

Yulian. 2007.” Ilmu Hitam di Bali”. http:// www. peperonity.com/, diunduh, Tanggal 5 Oktober 2012.

Suprapto, Adang. 2009.” Filosofi Liak Ngendih di Bali”. http:// www. Paris sweet home.com,  diunduh tanggal 4 Oktober 2012.

Pageh, I Made. 2008. Wadak Mengani: Hama Yang Dilestarikan (Kasus Wadag Mengani, Kintamani Bangli). Hasil Penelitian. Undiksha: Singaraja.

Ridwan, Nur Khalik. 2002. Pluralisme Borjuasi: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur. Galang Press: Yogyakarta.

Majalah Kebudayaan Bali: Taksu Bali, edisi Januari (2012); Edisi Maret ( 2012); Edisi April (2012); Edisi Juli (2012); dan Edisi Agustus (2012).

Nantra, Drs. I Ketut. 2011. Seri XI Kanda Pat, Tuntunan Meditasi kanda Pat Pemurtian: Meditasi Kluwung Geni, Meditasi Kluwung Toya, Meditasi Kluwung Angin. Paramita: Surabaya.

Buda, Jero Mangku Made. 2011. Kanda Sanga Tanpa Sastra, Panugrahan Dalem Nusa. Paramita: Surabaya.

Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Wiasti, Ni Made. 2012.  Penerapan Teori Gender dan Feminisme. Bahan Matrikulasi S-3 Unud Dps.

Kuntowijoyo. “Strukturalisme Transenden”, dalam Journal Akademika: Kajian Masalah Sosial dan Keagamaan: Peradaban Dalam Paradigma Transendental. No. 01/Th.XVII/1999 (hal.05-15).

Takwin, Bagus. 2009. “Pengantar, Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial”, dalam Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Boudieu, Richard Harker, et al. (editor). Jalasutra: Yogyakarta.

Mahar, Cheleen (et al.). Posisi Teoretis Dasar (Cheleen Mahar,dkk. et al.). dalam, Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Boudieu, Richard Harker, et al. (editor). Jalasutra: Yogyakarta.

Burke, Peter. 2011. Sejarah dan Teori Sosial. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Hoed, H. Benny. 1995. “Pengantar”, dalam Jean Piaget: Strukturalisme. Yayasan Obor Indonesia (penerjemah). YOI: Jakarta.

Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme. Yayasan Obor Indonesia (penerjemah). YOI: Jakarta.

Althusser, Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Olsy Vinoli Arnof (penerjemah). Jalasutra: Yogyakarta.

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiotika. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Ricoeur, Paul. 2009. Hermeniutika Ilmu Sosial. Muhamad Zukri (penerjemah). Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Kurzweil, Edith. 2004. Dari Levi-Straus sampai Foucoult: Jaring Kuasa Strukturalisme. Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Pageh, I Made. 2010. Metodologi Sejarah: dalam Perspektif Pendidikan. Larasan: Denpasar.

Field, John. 2010. Modal Sosial. Nurhadi (penerjemah). Kreasi Wacana: Yogyakarta.

Albert, Hans. 2004. Risalah Pemikiran Kritis. Joseph Wagiman dan Moh, Hasan Bisri (penerjemah). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.





[1] Tugas, dalam Mata Kuliah Manusia dan Kebudayaan Kontem Porer, diasuh oleh Dr. Ni Ketut Wiasti, dkk, 2012 di S-3 Kajian Budaya Unud Denpasar.
[2] Belajar ilmu kiri (black magic), terpinggirkan di masyarakat, sehingga penekunnya sembunyi-sembunyi, tidak berani menunjukkan diri sebagai penekun pengeliak.
[3] Saya mengatakan “Animisme dan Dinamisme” wacana orang luar Hindu menyebut, deskripsinya kepercayaan terhadap sakti/kekuatan gaib datang dari luar diri manusia  dan penghormatan/perlindungan ruh leluhur.
[4] Sartono Kartodirdjo menyebut dalam Bahasa Belanda dengan Cuultuurgebudenheid untuk ikatan budaya zaman dan Zeitgeist untuk Jiwa Zaman (1992).
[5] Sejarah dimaksudkan dilaksanakan dengan prosedur kerja sejarawan: (1) heuristik/ mencari sumber, (2( kritik (intern/ekstern), (3) interpretasi, dan (4) Penulisan (fakta terbangun).
[6] Tempat ini menjadi Pura Batu Madeg (Lingga-Yoni) berdasar empat pripih simbolisasi kanda phat dewa, yaitu Dewa Iswara (Timur) pripih slaka, warana Putih; Dewa Brahma selatan, tembaga , warna merah; Dewa Mahadewa di barat, warna kuning, pripih emas; Dewa Wisnu di Utara, pripih besi, warna hitam; dan Dewa sami di tengah-tengah,  manca warna. Manca warna (manunggaling kaula-gusti, Brahman-atman aekyam beserta seluruh saudara caturnya). Di-Ciwa-an zaman kuasa Mojopahit, setelah Dang Hynag Nirartha datang sekitar abad XIV.
[7] Ajaran rwa bhuneda mengajarkan harmoni dari hakikat dalam kehidupan (benay oposition) , seperti pendapat Kuntowijoyo di atas, mengatakan realitas ini merupakan binary oposition (1999). 
[8] Pura epemedal empat, ada balai pegat, ada titi ugal-agil, Balai Dawa kembar (simbolisasi pemerintahan pakraman) contoh Pura Agung Raung Taro, ritual Bhu Kakak (Sangsit Bll), Ngusaba Guling Bugbud, Ngusaba Dodol, Ngusaba Nini, Perang Ketopat. Ngaben Bikul prosesi mengingatkan Ganesha (sekta Ganapati?), dll. Resistensi Ideologi Ganaesha, di bawah bayang-bayang dominasi Ciwa Mojopahit, sehingga disembunyikan dengan acara nagluk merana di Tabanan (Disertasinya Dr Pande..), dan ada juga di Julah Buleleng (Atmadja).
[9] Sakti pun didapat, dengan sektarian ini, karena masyarakat masih menggunakan sisa tradisi sebelumnya (“animisme dinamisme(?)” yaitu “setengah hukum rimba”, siapa yang kuat dia yang berkuasa “primes inter peres”.
[10] Disinilah kuasa ideologi dari penguasa bermain dan menekan idepologi Bali Aga, dalam berbagai aspek kehidupan. Hanya tersisa beresistensi di beberapa desa Bali Aga yang kuat pengidiologiannya.
[11] Belum saya temukan tulisan yang menggunakan sudut pandang ini, sehingga penelitian saya tahun 2011 mendapatkan Hibah Strategis Nasional, dari DIPA Dikti 2010.
[12] Ini butuh ilmuan beken yang melakukan caunter terhadapt teori binary oposition itu, sehingga kekayaan intelektual bangsa ini terpublikasikan.
[13] Simbolnya berhala (kata teman saya), sedangkan yang disimbolkan (hermeneutika modern), bukan. Jika diskusinya dikulitnya maka persoalan diskusi tak pernah selesai, jika diisinya maka tuntas dapat dipahami oleh siapa saja, secara rasional dan relegius.