FOLKLOR PURA
PEGONJONGAN: JEJAK KULTUS DEWA RAJA DALAM WUJUD BARONG LANDUNG
1.
Kajian Penyungsung Pura
Pegonjongan
Prasasti Desa Sembiran
(922M/844C): menyebut nama istana raja di Singhamandawa. Di samping itu juga menyebutkan,
di perbatasan desa Julah terdapat sebuah Bandar Dagang, di bawah seorang
pegawai bernama Ser. Dalam prasasti
itu disebutkan rakyat dibenarkan untuk memberlakukan “Taban Karang” menjadi Hukun Tawan Karang selanjutnya. Juga
kewajiban penduduk untuk setiap tahun memuja Bhatara Punta Hyang.
Hal
ini nampaknya dapat dikaitkan dengan cerita penduduk di sekitar Pura
Pegonjongan yang menyebutkan bahwa di zaman dulu tersebutlah di Desa Gretek ada
sebuah pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang-pedagang dari manca
negara dan yang paling banyak adalah dari negari Cina. Pedagang-pedagang Cina
banyak yang datang membawa beraneka ragam dagangan seperti kain, pakaian ,
bahan makanan, dan alat upacara lainnya ke Pulau Bali.
Kedatangan
pedagang Cina beberapa kali ke desa/pelabuhan di Pegonjongan membawa pengaruh
tersendiri terhadap penduduk lokal. Di samping itu, dalam perdagangan para pedagang
- pedagang Cina ini ke arah Barat Daya dari Pegonjongan yaitu Desa Panarajon/Penulisan
kekarang yang diikuti oleh salah satu Putri Beliau yang bernama Tan Ching Wie,
mengakibatkan adanya cerita sepasang kekasih yang saling mencintai antara dua
etnik yang berbeda (Cina juang Bali). Setelah beberapa lama tinggal di Panarajon, raja penguasa Panorajon yaitu Dalem Balingkang yang kemungkinan istananya
di Pura Dalem Bingkang itu tertarik dengan gadis Cina ini, sehingga
(disebutkan) Tan Ching Wie dikawinilah oleh Sang raja.[1]
Setelah
lama berada di Panorajon baru mereka ingat dengan anak buah kapal dan
barang-barangnya yang ditinggal di Pegonjongan dan kembalilah beliau (kecuali
Tan Ching Wei karena sudah kawin dengan Raja di Panarajon), tetapi setelah
sampai di Pegonjongan semua yang mereka tinggalkan di sana sudah “menjadi batu”,
folklor ini harus ditafsirkan rombongannya yang lain telah berlayar menuju daerah
lain sesuai dengan tjuannya masing-masing.
Folklor
yang berkembang di masyarakat sekitar Pura Pegonjongan dan di sekitar Dalem
Blingkang adalah ditafsirkan kejadian ini akibat dari kemarahan mertua Dalem
Blingkang Dewi Danuh karena menerima laporan dari anaknya bahwa Dalem
Balingkang memadukan dirinya dengan Tan Ching Wie. Dewi Danuh menanyakan kebenaran dari laporan
anaknya dengan beberapa orang yang ditemui di Panarajon, karena takut menjadi
saksi yang serba salah maka tidak
satupun orang yang ditanya berani menyahut, maka dipastulah atau dikutuklah
orang yang bersama-sama menyakiti hati anaknya itu.
Secara giografis dan ciri budaya yang ada di
dusun Gretek atau Pegonjongan dan daerah sekitarnya dekat sekali dengan yang
ada di Kintamani seperti: Pelaksanaan Upacara, Bahasa dan beberapa jenis
Tari-tarian yang dipentaskan dalam upacara yang dilaksanakan di Pegonjongan.
Seperti adanya beberapa jenis Tari
Baris, Sang Hyang , Tari Rejang, dan lain-lain. Tari baris ini juga sering
menjadi simbol berbagai jenis pasukan yang dimiliki oleh penguasa di suatu
tempat.
2. Pengemong Pura Pegonjongan
Pengemong
Pura Pegonjongan terdiri dari beberapa Banua (Kanca Satak) dan banua – banua
itu adalah :
1.
Banua Tembok
2.
Banua Sambirenteng
3.
Banua Gretek
4.
Banua Siyakin
5.
Banua Pinggan
6.
Banua Les
7.
Banua Penuktukan [2]
Beberapa
Banua ada disebut Kanca Satak ada
juga yang disebut Kanca Domas (Gebog Domas) yang memiliki Kahyangan Dalem,
Puseh, Balai Agung terpencar di beberapa
Banua seperti (1) Pura Puseh berada di Panjingan (Daerah Desa Les); (2) Pura Bale
Agung berada di Desa Sukawana; (3) Pura
Dalem berada di Pura Dalem Balingkang; (4) Pura Sagara berada di Dusun Gretek
Desa Sambirenteng. Karena demikian letak dari keberadaan pura-pura tersebut
maka satu desa dengan desa yang lainnya saling berhubungan sebanyak Domas atau Gebog Satak), sehingga disebut Kanca
Satak/ Kanca Domas.
Mengenai
pelaksanaan Upacaranya masih sangat terkait sekali satu sama lain dalam kanca
tersebut yang selalu melaksanakan upacara nemu gelag secara berurutan. Urutan
pelaksanaan Upacaranya adalah sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan Odalan di Pura Puseh
sehari sebelum Pelaksanaan Odalan di Pura Bale Agung ( Purnama Kapat )
2.
Pelaksanaan Odalan di Pura Dalem
Balingkang pada Purnama Kelima
3.
Pelaksanaan Odalan di Pura Pegonjongan
jatuh pada hari Purnama Keenem
Sampai
sekarang jika ada Ratu Lunga/Melasti dari Batur, Kintamani, Sukawana,
Penulisan, Siyakin, Pinggan dan sekitarnya, pelaksanaannya ke pantai dekat Pura
Sagara Pegonjongan. Namun tidak terkait langsung dengan Pura Pegonjongan terbukti
saat melasti tidak boleh pratima yang berasal dari daerah atas dan sekitarnya
ditempatkan di Jeroan Pura Pegonjongan. Hanya ke Pura Pegonjongan mepiuning pemelastian dari Jaba Tengah.
Seperti seorang tamu menggunakan pantai kekuasaan-Nya dimafaatkan untuk
kegiatan melasti (pesudamalan Ida Bhatara).
3.
Jejak Folklor Pura
Pegonjongan
Secara spekulatif dapat
diduga bahwa Pura Pegonjongan erat kaitannya dengan aktivitas perdagangan di
daerah itu. Hubungan daerah Kintamani sebagai daerah pegunungannya dengan
kekuasaan seorang Raja bernama Raja Bingkang. Sedangkan penguasa daerah bawah
dipegang oleh seorang wanita Cina bernama Tan Ching Wie, yang sekarang mungkin
disamakan dengan Ratu Ayu Subandar. Subandar memberikan petunjuk bahwa nama itu
erat kaitannya dengan raja pelabuhan (sama dengan Syah bandar/Raja bandar
dagang di Timur Tengah).
Karena tiak ditemukan sumber
yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan hal ini, maka sisa-sisa kepercayaan
rakyat (mentifacts) dapat dipergunakan sebagai bahan analisis di samping
sisa-sisa kepercayaan dan sistem sosial lama (sicio-religius facts) dapat
dijadikan bahan interpretasi.
Dilihat dari pelinggih Pura
Pegonjongan dapat ditafsir telah ada sekitar abad ke-9. Hal ini dapat ditunjuk
dengan adanya padma rong tiga, padma
ini menunjukkan bahwa pura itu telah ada
sejak kuturan, bahkan mungkin jauh sebelumnya (lihat Rontal Anda Tattwa, Lap. 1.a-3.a dalam Buku
Ngalinggihang Dewa Hyang: Suatu Tinjauan Filosofis oleh Singgin Wikarman, 1999,
hal.26-27).
Kalau dikaitkan dengan adanya
“batu macepak tempat penyimpanan” salah satu yang masih dimiliki oleh
masyarakat adalah sebuah Gongseng (genta kecil) yang ada di selatan pelinggih
(brankasnya Subandar). Demikian juga adanya dua puri yaitu Puri Kawanan dan
Puri Kanginan, yang dipisahkan oleh Sungai yang mungkin dulu dijadikan lintas
perdagangan di daerah itu, adanya sisa-sisa kepercayaan adanya batu diyakini
masih bertuah sebagai pengganti nama-nama kapal yang diajak berombongan oleh
Ayu Subandar. Di saping itu, juga adanya upakara yang bernama Rempah mengingatkan kita pada
rempahrempah komoditas unggulan perdagangan nusan
Wilayah pendukung (kekuasaan)
yang demikian luasnya, dengan masing-masing memiliki Tari-tari Baris (pahami
Laskar di masa lalu) dapat dijadikan dasar interpretasi bahwa desa-desa pendukung
(Maksan Pegonjongan) dari desa pantai sampai desa pegunungan dapat dipahami
bahwa daerah tersebut merupakan daerah kekuasaan daerah pengaruh “Ratu Ayu
Subandar”, sebagai akibat perkawinan politik dengan raja Bingkang (dalem Bingkang
di daerah Penulisan/panerajon). Dari sini juga dapat dipahami bahwa daerah
ramai atas dengan daerah ramai di bawah menjadi kendali dari dua kekuasaan itu
(nyegara-gunung). Cengkeh (rempah-rempah)
bisa jadi merupakan bea-cukai kapal-kapal daerah Nusa Tenggara masuk pelabuhan
di Pegonjongan.
Kedatangan para para pelayar
di darah ini (dalam pelayaran pantai) kemungkinan berdagang untuk
memperdagangkan barang dagangannya dengan orang
Ratu Ayu Subandar istri raja yang
mungkin bukan permaisuri, tetapi Dewi Danuh sebagaoi permaisuri tidak setuju
dalam perkawinan itu, sehingga beliau tetap tinggal di daerah Pegonjongan,
dengan diberikan kekuasaan penuh untuk mengendalikan perdagangan daerah pantai
tersebut dengan wilayah yang sangat luas yaitu dari Desa Penuktukan sampai daerah
Les dulu.
Folklor tentang Kewibawaan
raja luar biasa, mengakibatkan rakyat Bengkala yang ditanya tentang selir Dalem
Bingkang tidak ada berana menjawab, karena serba salah. Memberi tahu salah.
Bisa dihukum mati oleh Dalem Bingkang, tidak memberi juga salah karena tidak
memberikan yang sebenarnya. Sehingga sikap netral yang diambil oleh rakyat
adalah dengan jalan gerakan tutup mulut, biarpun ada resiko akan kena kutukan
karena gerakan diamnya itu, folklor tentang desa Bengkala banyak orang kolok
(bisu-tuli), karena kena kutuk dari Dewi Danuh. Begitu legendarisnya percintaan
dua etnik yang berbeda dan bertolak belakang dilihat dari warna kulit, sehingga
kejadian ini menjadi latar belakang berkembangnya “Barong Landung: di Bali.
4.
Barong Landung: Folklor Dalem
Bingkang dengan Putri Cina
Pengaruh kebudayaan Hindu masuk ke
Tahap
pengaruh Hindu yang penting dalam kaitan kemunculan Rangda adalah pada tahap
yang ketiga, yaitu, tahap pengaruh Hindu
diwarnai oleh sekte Çiwa, yang merupakan pengaruh Kerajaan Medang dari Jawa
Timur. Hal ini dipandang penting karena pengaruh Hindu itu ditandai oleh perkawinan
antara Mahendradatta (Putri Raja
Medang) dan raja
Aliran Tantrayana adalah
terutama berasal dari hibridasi bhuda dengan aliran Siwa, yang melakukan
pemujaan khusus kepada sakti Siwa, yaitu Durga. Aliran ini menganggap sakti ciwa
Bernama Durga adalah Ibu makrokosmos
(Surasmi,1986). Kemungkinan besar Mahendradatta telah menganut atau terpengaruh
oleh ajaran Tantrayana yang penuh dengan ilmu-ilmu gaib itu, karena pada zaman
pemerintahan Mahendradatta dan Dharma Udayana di Bali, ilmu-ilmu gaib tumbuh
dan berkembang dengan pesat. Sebagaimana disebutkan oleh Goris ((1974) bahwa
Mahendradatta (Gunapriya Dharmapatmi) yang namanya selalu disebutkan lebih dulu
daripada nama suaminya, pada prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, memberi
gambaran, bahwa peranan Udayana lebih banyak sebagai pangeran bagi seorang ratu yang berkuasa penuh. Lagi pula, pada
saat, pemerintahan Mahendradatta terjadi, penggantian penggunaan bahasa, dalam
prasasti-prasasti yang ke luar setelahnya, dari bahasa Bali Kuna ke dalam
bahasa Jawa Kuna. Hal ini, menunjukkan bahwa Mahendradatta menjalankan peran
yang amat menentukan dan sebagai pemimpin dalam perkawinan dan pemenrintahan,
sebagai wakil kekuasaan Jawa Timur terhadap Bali, yang diwakili oleh Mahendradatta.
Mahendradatta tampaknya
intens dengan “guna-guna”(ilmu-ilmu gaib) dan memuja Durga. Hal ini, dapat
dilihat dari bentuk arca Durgamahisasuramardhini
yang ditemukan di pura Bukit, Kutri, Gianyar. Arca tersebut diduga oleh
Goris, sebagai perwujudan Mahendradatta (1974:12).
Dalam pengantar cerita Calonarang
tradisi Bali, disebutkan bahwa Mahendradatta mau menjadi permaisuri raja
Udayana, apabila, raja Udayana tidak mencarikan dirinya selir, lagi pula tidak
mengangkat permaisuri lain, selain dirinya. Syarat ini tampaknya dilanggar oleh
Udayana, sehingga Mahendradatta marah dan menjalankan “guna-guna” lewat ilmu
gaibnya. Ia menjadi ahli sihir wanita (Rangda) dari Girah yang sering juga
disebut Rangdeng dirah (lihat Goris,1974:11). Sejalan dengan pendapat
tersebut tampaknya Rangda muncul sekitar abad ke-10. Kemunculannya itu
merupakan respons, baik terhadap tradisi sebelumnya (tari Barong Ketket sebagai
wujud adaptasi transformasi dari sistem religi lokal (banaspatiraja) setelah
kuatnya pengaruh durga di Bali, atau adanya kemungkinan pengaruh kebudayaan Cina
di Nusantara, atau mungkina adanya penomena kehidupan sosial masyarakat Bali
pada saat itu, yang diwarnai oleh ilmu
gaib.
Masyarakat Bali, kena
pengaruh Durga pada saat itu, dengan lokal geniusnya Bali menyerap dan memahami
gejala sosial yang ada, serta kemudian mentransformasikannya ke dalam bentuk
tari Calonarang. Dalam konteks ini, tari Rangda dapat dipahami sebagai metafora
sosiomorfisme (menurut istilah Mudji Sutrisno), yaitu diartikan
simbolisasi yang diambil dari kiasan masyarakat atau kehidupan sosial masyarakat,
yang wajib direspons di hadapannya.
Pembicaraan Barong Landung dalam konteks barong dan tari
barong, tidak dapat dilepaskan dari pemahaman kilas balik kebudayaan
Pengaruh kebudayaan luar yang
masuk ke Bali, meliputi: kebudayaan Hindu, kebudayaan Cina, kebudayaan Arab,
kebudayaan Barat dan kebudayaan Asia lainnya (Purwita, l993). Di antara
kebudayaan yang berpengaruh ke Bali itu, yang erat kaitannya dengan Barong
Landung adalah pengaruh campuran kebudayaan Hindu dan Cina, yang banyak memberi
warna sistem religi di Bali.
Tafsir sejarah Barong Landung yang
berpengaruh besar adalah budayaan Cina. Dapat diperkirakan telah berpengaruh
besar terhadap kebudayaan
Motif kedatangan orang Cina ke
Pengaruh Unsur-unsur kebudayaan Cina, yang
diwarisi oleh kebudayaan
Menurut I Made Bandem (1985:306),
generatif dari variasi barong yang ada di Bali, nampaknya dapat diselusuri dari
Barong-Sai Cina atau Barong-Singa Cina yang muncul masa dinasti T’ang abad ke-7
sampai abad ke-10. Dijelaskannya lebih jauh bahwa, pada saat itu, Barong Singa
merupakan pengganti pertunjukkan sirkus
yang sudah populer di Cina, saat itu. Di lain pihak, Purwita menyebutkan bahwa
bentuk Barong Ketket berasal dari bentuk Barong-Sai
atau Liang-Liong dari Cina. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa Barong Landung, termasuk juga Barong Ket telah
ada di
5.
Struktur dan Fungsi Pura
Pegonjongan
- Denah
Struktur Pura Pegonjongan (lihat Denah)
- Fungsi
Pura Pegonjongan (tempat melakukan ritual nyegara gunung) terutama bagi
pakraman daerah pura panorajon, dan sekitar dalem belingkang daerah
Bangli.
Di Pura pegonjongan terdapat
dua pura bagian baratnya untuk melakukan pemujaan terhadap sekta yang dianut,
sedangkan daerah pura pegonjongan bagian timurnya, seperti tempat tinggal penguasa
di masa lalu.
Lokasi ini diyakini oleh
penduduk sebagai daerah Pelabuhan, adan batu
mecepak, daianggap sebagai peti uang penguasa (syahbandar), sesuai
dengan konsep rambut sedana (perempuan) dalam konteks kesejahtraan. Hulunya
adalah Panda Trilingga, menunjukkan pelinggih dengan dasar ideologi Rwabhineda
(batu mecepak) ideolodi makardea dan trimurti ideologi Mpu Kuturan (sekitar
abad 11 zaman Mahendradata dan Prabu Udayana).
Syahbandarnya
adalah (folklore) Bernama Kang CengWie, seorang saudagar piring sutra Bernama Pingg-An,
sehingga Pinggan akhirnya di Bali merujuk Piring Sutra, bermakna berbeda dari
asal-usul nama piring sutra itu.
Demikian juga nama
Piring Sutra kemungkinan merujuk pada piring yang diperjual-belikan ke India
dan Timur Tengah melalui Jalan Sutra di Asia Tengah menuju Celah Kayber melalui
pegunungan Himalaya di India.
Syahbandar yang
bermakna raja Pelabuhan, setelah menjadi Pura Ratu Ayu Mas Syahbandar, bermakna
Budha dan Cina, karena Budha menjadi agama yang berhibridasi di Bali, setelah
terjadi pernikahan antara Jaya Pangus dengan Kang Ceng Wie anak dari syahbandar
Ping An.
6. Simpulan
Pegonjongan adalah Pelabuhan laut
di masa lalu, raja dianggap dewa (Kultus Dewa Raja), sehingga sabda raja adalah
sabda dewa. Demikian wibawa raja dan ratu kalau dilihat dari folklor yang
berkembang di masyarakat sekitar Pura Pagonjongan.
Barong Landung
difolklorkan sebagai dua roh raja yaitu Kang Ceng Wie dan Jaya Pangus, sehingga
disebut Jro Gede dan Jro Luh, merupaka folklore perkawinan silang Cina dengan
Bali, sehingga tetap harmoni, karena perdagangan diurus oleh ahlinya.
Kang
Ceng Wie akhirnya bersemayam dihibridkan dengan wisnu, berstana di Dalem
Balingkang, kemudian zamannya kemungkinan Pura Batur dikembangkan dengan kuat
kecinaannya, yang berbeda dengan hulum danu yang ada di Songan. Akhirnya barong
Landung berkaitan erat dengan amalgamansi Cina-Bali.
[1] Perkawinan
antaretnik yang memiliki warna kulit yang sangat kontras ini memunculkan
legenda dan asal-usul adanya “Barong Landung”, yaitu perwujudan dua orang
manusia laki-perempuan di
[2] Krena kesalah pahaman di pawongan maka sejak tahun
1973 Banua Les dan Banua Panuktukan tidak aktif lagi di Pura Pagonjongan ini.