Rabu, 19 Oktober 2022

 

FOLKLOR PURA PEGONJONGAN: JEJAK KULTUS DEWA RAJA DALAM WUJUD BARONG LANDUNG

 

1.    Kajian Penyungsung Pura Pegonjongan

Prasasti Desa Sembiran (922M/844C): menyebut nama istana raja di Singhamandawa. Di samping itu juga menyebutkan, di perbatasan desa Julah terdapat sebuah Bandar Dagang, di bawah seorang pegawai bernama Ser. Dalam prasasti itu disebutkan rakyat dibenarkan untuk memberlakukan “Taban Karang” menjadi Hukun Tawan Karang selanjutnya. Juga kewajiban penduduk untuk setiap tahun memuja Bhatara Punta Hyang.

Hal ini nampaknya dapat dikaitkan dengan cerita penduduk di sekitar Pura Pegonjongan yang menyebutkan bahwa di zaman dulu tersebutlah di Desa Gretek ada sebuah pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang-pedagang dari manca negara dan yang paling banyak adalah dari negari Cina. Pedagang-pedagang Cina banyak yang datang membawa beraneka ragam dagangan seperti kain, pakaian , bahan makanan, dan alat upacara lainnya ke Pulau Bali.

Kedatangan pedagang Cina beberapa kali ke desa/pelabuhan di Pegonjongan membawa pengaruh tersendiri terhadap penduduk lokal. Di samping itu, dalam perdagangan para pedagang - pedagang Cina ini ke arah Barat Daya dari Pegonjongan yaitu Desa Panarajon/Penulisan kekarang yang diikuti oleh salah satu Putri Beliau yang bernama Tan Ching Wie, mengakibatkan adanya cerita sepasang kekasih yang saling mencintai antara dua etnik yang berbeda (Cina juang Bali).  Setelah beberapa lama tinggal di Panarajon, raja penguasa Panorajon yaitu  Dalem Balingkang yang kemungkinan istananya di Pura Dalem Bingkang itu tertarik dengan gadis Cina ini, sehingga (disebutkan) Tan Ching Wie dikawinilah oleh Sang raja.[1]

Setelah lama berada di Panorajon baru mereka ingat dengan anak buah kapal dan barang-barangnya yang ditinggal di Pegonjongan dan kembalilah beliau (kecuali Tan Ching Wei karena sudah kawin dengan Raja di Panarajon), tetapi setelah sampai di Pegonjongan semua yang mereka tinggalkan di sana sudah “menjadi batu”, folklor ini harus ditafsirkan rombongannya yang lain telah berlayar menuju daerah lain sesuai dengan tjuannya masing-masing.

Folklor yang berkembang di masyarakat sekitar Pura Pegonjongan dan di sekitar Dalem Blingkang adalah ditafsirkan kejadian ini akibat dari kemarahan mertua Dalem Blingkang Dewi Danuh karena menerima laporan dari anaknya bahwa Dalem Balingkang memadukan dirinya dengan Tan Ching Wie.  Dewi Danuh menanyakan kebenaran dari laporan anaknya dengan beberapa orang yang ditemui di Panarajon, karena takut menjadi saksi yang serba salah maka   tidak satupun orang yang ditanya berani menyahut, maka dipastulah atau dikutuklah orang yang bersama-sama menyakiti hati anaknya itu.

 Secara giografis dan ciri budaya yang ada di dusun Gretek atau Pegonjongan dan daerah sekitarnya dekat sekali dengan yang ada di Kintamani seperti: Pelaksanaan Upacara, Bahasa dan beberapa jenis Tari-tarian yang dipentaskan dalam upacara yang dilaksanakan di Pegonjongan. Seperti adanya  beberapa jenis Tari Baris, Sang Hyang , Tari Rejang, dan lain-lain. Tari baris ini juga sering menjadi simbol berbagai jenis pasukan yang dimiliki oleh penguasa di suatu tempat.

 

2.    Pengemong Pura Pegonjongan

Pengemong Pura Pegonjongan terdiri dari beberapa Banua (Kanca Satak) dan banua – banua itu adalah :

1.    Banua Tembok

2.    Banua Sambirenteng

3.    Banua Gretek

4.    Banua Siyakin

5.    Banua Pinggan

6.    Banua Les

7.    Banua Penuktukan [2]

Beberapa Banua ada disebut Kanca Satak ada juga yang disebut Kanca Domas (Gebog Domas) yang memiliki Kahyangan Dalem, Puseh, Balai Agung  terpencar di beberapa Banua seperti (1) Pura Puseh berada di Panjingan (Daerah Desa Les); (2) Pura Bale Agung  berada di Desa Sukawana; (3) Pura Dalem berada di Pura Dalem Balingkang; (4) Pura Sagara berada di Dusun Gretek Desa Sambirenteng. Karena demikian letak dari keberadaan pura-pura tersebut maka satu desa dengan desa yang lainnya saling berhubungan sebanyak Domas atau Gebog Satak), sehingga disebut Kanca Satak/ Kanca Domas.

Mengenai pelaksanaan Upacaranya masih sangat terkait sekali satu sama lain dalam kanca tersebut yang selalu melaksanakan upacara nemu gelag secara berurutan. Urutan pelaksanaan Upacaranya adalah sebagai berikut:

1.    Pelaksanaan Odalan di Pura Puseh sehari sebelum Pelaksanaan Odalan di Pura Bale Agung ( Purnama Kapat )

2.    Pelaksanaan Odalan di Pura Dalem Balingkang pada Purnama       Kelima

3.    Pelaksanaan Odalan di Pura Pegonjongan jatuh pada hari Purnama Keenem

Sampai sekarang jika ada Ratu Lunga/Melasti dari Batur, Kintamani, Sukawana, Penulisan, Siyakin, Pinggan dan sekitarnya, pelaksanaannya ke pantai dekat Pura Sagara Pegonjongan. Namun tidak terkait langsung dengan Pura Pegonjongan terbukti saat melasti tidak boleh pratima yang berasal dari daerah atas dan sekitarnya ditempatkan di Jeroan Pura Pegonjongan. Hanya ke Pura Pegonjongan mepiuning pemelastian dari Jaba Tengah. Seperti seorang tamu menggunakan pantai kekuasaan-Nya dimafaatkan untuk kegiatan melasti (pesudamalan Ida Bhatara).

 

3.    Jejak Folklor Pura Pegonjongan

Secara spekulatif dapat diduga bahwa Pura Pegonjongan erat kaitannya dengan aktivitas perdagangan di daerah itu. Hubungan daerah Kintamani sebagai daerah pegunungannya dengan kekuasaan seorang Raja bernama Raja Bingkang. Sedangkan penguasa daerah bawah dipegang oleh seorang wanita Cina bernama Tan Ching Wie, yang sekarang mungkin disamakan dengan Ratu Ayu Subandar. Subandar memberikan petunjuk bahwa nama itu erat kaitannya dengan raja pelabuhan (sama dengan Syah bandar/Raja bandar dagang di Timur Tengah).

Karena tiak ditemukan sumber yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan hal ini, maka sisa-sisa kepercayaan rakyat (mentifacts) dapat dipergunakan sebagai bahan analisis di samping sisa-sisa kepercayaan dan sistem sosial lama (sicio-religius facts) dapat dijadikan bahan interpretasi.

Dilihat dari pelinggih Pura Pegonjongan dapat ditafsir telah ada sekitar abad ke-9. Hal ini dapat ditunjuk dengan adanya padma rong tiga, padma ini  menunjukkan bahwa pura itu telah ada sejak kuturan, bahkan mungkin jauh sebelumnya (lihat Rontal Anda Tattwa, Lap. 1.a-3.a dalam Buku Ngalinggihang Dewa Hyang: Suatu Tinjauan Filosofis oleh Singgin Wikarman, 1999, hal.26-27).

Kalau dikaitkan dengan adanya “batu macepak tempat penyimpanan” salah satu yang masih dimiliki oleh masyarakat adalah sebuah Gongseng (genta kecil) yang ada di selatan pelinggih (brankasnya Subandar). Demikian juga adanya dua puri yaitu Puri Kawanan dan Puri Kanginan, yang dipisahkan oleh Sungai yang mungkin dulu dijadikan lintas perdagangan di daerah itu, adanya sisa-sisa kepercayaan adanya batu diyakini masih bertuah sebagai pengganti nama-nama kapal yang diajak berombongan oleh Ayu Subandar. Di saping itu, juga adanya upakara yang bernama Rempah mengingatkan kita pada rempahrempah komoditas unggulan perdagangan nusan tara pada awalnya. Dapat dipahami sebagai barang dagangan yang dilakukan di daerah itu. Demikian juga ada dedudonan upaca piodalan yang disebut mesesanjan ini dapat dipahami sebagai kontroling kawasan yang menjadi kekuasaan beliau ketika itu.

Wilayah pendukung (kekuasaan) yang demikian luasnya, dengan masing-masing memiliki Tari-tari Baris (pahami Laskar di masa lalu) dapat dijadikan dasar interpretasi bahwa desa-desa pendukung (Maksan Pegonjongan) dari desa pantai sampai desa pegunungan dapat dipahami bahwa daerah tersebut merupakan daerah kekuasaan daerah pengaruh “Ratu Ayu Subandar”, sebagai akibat perkawinan politik dengan raja Bingkang (dalem Bingkang di daerah Penulisan/panerajon). Dari sini juga dapat dipahami bahwa daerah ramai atas dengan daerah ramai di bawah menjadi kendali dari dua kekuasaan itu (nyegara-gunung). Cengkeh (rempah-rempah) bisa jadi merupakan bea-cukai kapal-kapal daerah Nusa Tenggara masuk pelabuhan di Pegonjongan.

Kedatangan para para pelayar di darah ini (dalam pelayaran pantai) kemungkinan berdagang untuk memperdagangkan barang dagangannya dengan orang Bali baik di pegunungan maupun daerah pantai (sekitar Gretek/Pegonjongan) tersebut. Pegonjongan bisa berarti pengojogan berarti pelabuhan utama yang memang menjadi tujuan utama perdangan asing, bisa juga berarti ramai (megonjongan berarti ribut/ramai). Dilihat dari posisi geografis atas-bawah maka dapat ditafsirkan daerah pegunungan (Panarajon) sebagai pensepalai hasil pertanian, tetapi sebagai konsumen hasil daerah pantai, baik diproduk secara lokal maupun didapatkan dari kontak denagan dunia luar.

          Ratu Ayu Subandar istri raja yang mungkin bukan permaisuri, tetapi Dewi Danuh sebagaoi permaisuri tidak setuju dalam perkawinan itu, sehingga beliau tetap tinggal di daerah Pegonjongan, dengan diberikan kekuasaan penuh untuk mengendalikan perdagangan daerah pantai tersebut dengan wilayah yang sangat luas yaitu dari Desa Penuktukan sampai daerah Les dulu.

Folklor tentang Kewibawaan raja luar biasa, mengakibatkan rakyat Bengkala yang ditanya tentang selir Dalem Bingkang tidak ada berana menjawab, karena serba salah. Memberi tahu salah. Bisa dihukum mati oleh Dalem Bingkang, tidak memberi juga salah karena tidak memberikan yang sebenarnya. Sehingga sikap netral yang diambil oleh rakyat adalah dengan jalan gerakan tutup mulut, biarpun ada resiko akan kena kutukan karena gerakan diamnya itu, folklor tentang desa Bengkala banyak orang kolok (bisu-tuli), karena kena kutuk dari Dewi Danuh. Begitu legendarisnya percintaan dua etnik yang berbeda dan bertolak belakang dilihat dari warna kulit, sehingga kejadian ini menjadi latar belakang berkembangnya “Barong Landung: di Bali.

 

4.    Barong Landung: Folklor Dalem Bingkang dengan Putri Cina

          Pengaruh kebudayaan Hindu masuk ke Bali, dapat dikatakan berlangsung secara bertahap, setidaknya ada delapan tahapan secara garis besar jejak yang ditemukan, antara lain: (1) Pengaruh Hindu abad ke-8, berupa Bhuda Mahayana dan Siwa Sidhanta, yang belum jelas sekali dapat diketahui asal usulnya. (2) Pengaruh Hindu pengaruh Bhudisme Mahayana yang ditafsirkan masuk ke Bali dari Sriwijaya sekitar abad ke-10. (3) Pengaruh Hindu berupa Agama Hindu, aliran Çiwa , diperkirakan berasal dari pengaruh Medang di Jawa Timur, sekitar  tahun 989 Masehi, ditandai dengan adanya perkawinan antara Mahendradatta dan Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa. (4) Pengaruh Hindu, yang dibawa oleh Mpu Kuturan dalam beberapa prasasti disebutkan berasal dari daerah Lembah Tulis(?), Jawa Timur, sekitar tahun 1039 Masehi. (5) Pengaruh Hindu, yang di bawa oleh ekspedisi raja Jayasakti dari Kediri Jawa Timur sekitar tahun 1172 Masehi. (6) Pengaruh Hindu, yang dibawa oleh ekspedisi Raja Singsari Kertanegara, sekitar tahun 1282 Masehi. (7) Pengaruh Hindu yang dibawa oleh eksprdisi Gajah Mada dari Majapahit, pada tahun 1343 Masehi. (8) Pengaruh Hindu, yang dibawa oleh Danghyang Nirartha dari Daha Jawa Timur, sekitar 1489 Masehi. 

          Tahap pengaruh Hindu yang penting dalam kaitan kemunculan Rangda adalah pada tahap yang ketiga, yaitu,  tahap pengaruh Hindu diwarnai oleh sekte Çiwa, yang merupakan pengaruh Kerajaan Medang dari Jawa Timur. Hal ini dipandang penting karena pengaruh Hindu itu ditandai oleh perkawinan antara Mahendradatta (Putri Raja Medang) dan raja Bali yang bernama Dharmodayana Warmadewa. Rupanya, perkawinan inilah yang melatarbelakangi kelahiran Rangda dalam Cerita Calonnarang (Rangdeng Dirah/Janda dari Dirah Jatim). Hal ini dapat dibuktikan melalui pemahaman sejarah genealogis Mahendradatta dan cerita Calonarang dalam tradisi masyarakat Bali. Siapa Mahendradatta itu, Mahendradatta adalah putri Raja Makutawangsawardana. Sedangkan Makutawangsawardana adalah putra raja Sindok. Pada masa pemerintahan raja Sindok di Jawa Timur, aliran Tantrayana telah berkembang pesat.

Aliran Tantrayana adalah terutama berasal dari hibridasi bhuda dengan aliran Siwa, yang melakukan pemujaan khusus kepada sakti Siwa, yaitu Durga. Aliran ini menganggap sakti ciwa Bernama Durga  adalah Ibu makrokosmos (Surasmi,1986). Kemungkinan besar Mahendradatta telah menganut atau terpengaruh oleh ajaran Tantrayana yang penuh dengan ilmu-ilmu gaib itu, karena pada zaman pemerintahan Mahendradatta dan Dharma Udayana di Bali, ilmu-ilmu gaib tumbuh dan berkembang dengan pesat. Sebagaimana disebutkan oleh Goris ((1974) bahwa Mahendradatta (Gunapriya Dharmapatmi) yang namanya selalu disebutkan lebih dulu daripada nama suaminya, pada prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, memberi gambaran, bahwa peranan Udayana lebih banyak sebagai pangeran bagi seorang ratu yang berkuasa penuh. Lagi pula, pada saat, pemerintahan Mahendradatta terjadi, penggantian penggunaan bahasa, dalam prasasti-prasasti yang ke luar setelahnya, dari bahasa Bali Kuna ke dalam bahasa Jawa Kuna. Hal ini, menunjukkan bahwa Mahendradatta menjalankan peran yang amat menentukan dan sebagai pemimpin dalam perkawinan dan pemenrintahan, sebagai wakil kekuasaan Jawa Timur terhadap Bali, yang diwakili oleh Mahendradatta.

Mahendradatta tampaknya intens dengan “guna-guna”(ilmu-ilmu gaib) dan memuja Durga. Hal ini, dapat dilihat dari bentuk arca Durgamahisasuramardhini yang ditemukan di pura Bukit, Kutri, Gianyar. Arca tersebut diduga oleh Goris, sebagai perwujudan Mahendradatta (1974:12).

          Dalam pengantar cerita Calonarang tradisi Bali, disebutkan bahwa Mahendradatta mau menjadi permaisuri raja Udayana, apabila, raja Udayana tidak mencarikan dirinya selir, lagi pula tidak mengangkat permaisuri lain, selain dirinya. Syarat ini tampaknya dilanggar oleh Udayana, sehingga Mahendradatta marah dan menjalankan “guna-guna” lewat ilmu gaibnya. Ia menjadi ahli sihir wanita (Rangda) dari Girah yang sering juga disebut Rangdeng dirah (lihat Goris,1974:11). Sejalan dengan pendapat tersebut tampaknya Rangda muncul sekitar abad ke-10. Kemunculannya itu merupakan respons, baik terhadap tradisi sebelumnya (tari Barong Ketket sebagai wujud adaptasi transformasi dari sistem religi lokal (banaspatiraja) setelah kuatnya pengaruh durga di Bali, atau adanya kemungkinan pengaruh kebudayaan Cina di Nusantara, atau mungkina adanya penomena kehidupan sosial masyarakat Bali pada saat itu, yang diwarnai oleh  ilmu gaib.

Masyarakat Bali, kena pengaruh Durga pada saat itu, dengan lokal geniusnya Bali menyerap dan memahami gejala sosial yang ada, serta kemudian mentransformasikannya ke dalam bentuk tari Calonarang. Dalam konteks ini, tari Rangda dapat dipahami sebagai metafora sosiomorfisme (menurut istilah Mudji Sutrisno), yaitu diartikan simbolisasi yang diambil dari kiasan masyarakat atau kehidupan sosial masyarakat, yang wajib direspons di hadapannya.

          Pembicaraan  Barong Landung dalam konteks barong dan tari barong, tidak dapat dilepaskan dari pemahaman kilas balik kebudayaan Bali. Sebagaimana halnya, pertumbuhan kebudayaan lain, pertumbuhan kebudayaan Bali megalami proses interaksi simbolik yang panjang, dalam pandangan Geertz(1992a). Proses panjang kebudayaan Bali itu tumbuh dan berkembang, baik perkembangan karena adanya  faktor dari dalam maupun karena adanya pengaruh dari luar. Dalam perkembangan kebudayaan Bali telah menyatu dalam kultur dan struktur kebudayaan Bali (difusi atau sinkritis). Dalam konteks itu, pengaruh budaya luar yang diterima tidaklah begitu saja diterima secara  utuh, melainkan diseleksi dan diakomudasi sesuai dengan kepribadian masyarakat Bali sendiri, disesuaikan dengan selera, fungsi yang diinginkannya. Barang kali karena inilah sulit kita menemukan budaya luar yang berkembang di Bali secara utuh.

Pengaruh kebudayaan luar yang masuk ke Bali, meliputi: kebudayaan Hindu, kebudayaan Cina, kebudayaan Arab, kebudayaan Barat dan kebudayaan Asia lainnya (Purwita, l993). Di antara kebudayaan yang berpengaruh ke Bali itu, yang erat kaitannya dengan Barong Landung adalah pengaruh campuran kebudayaan Hindu dan Cina, yang banyak memberi warna sistem religi di Bali.

          Tafsir sejarah Barong Landung yang berpengaruh besar adalah budayaan Cina. Dapat diperkirakan telah berpengaruh besar terhadap kebudayaan Bali sekitar sejak abad ke-9. Hal ini, dapat dipahami melalui cerita rakyat, yang mengisahkan Raja Bali Dalem Balingkang mempersunting putri Cina dari Dinasti Chung yang bernama Cang Wie. Ditemukan pula peninggalan purbakala berupa arca dengan profil putri Cina di Pura Panorajon Tegeh Koripan Kintamani, juga adanya penemuan di pura Dalem Balingkang di desa Pinggan Kintamani yang erat kaitannya dengan keberadaan Pura Pegonjongan di Gretek pinggir Pantai utara Bali. Juga adanya penumuan pecahan-pecahan kramik Cina di daerah Pantai Utara Bali. Serta penemuan menarik lain di sekitar Blanjong-Sanur, maupun prasasti-prasasti Bali kuna di desa-desa “Bintang Danau Batur “, seperti Sukawana, Songan dan lain-lain (Ardana, 1983).

          Motif kedatangan orang Cina ke Bali adalah berdagang. Pedagang-pedagang Cina yang singgah di kota pelabuhan Pantai Utara Bali, khususnya pantai Utara Buleleng Timur seperti di desa Manasa, Julah, Pacung, khususnya di Gretek dengan sisa monumental Pura Pegonjongan dan kepercayaan dan sistem sosial masyarakat sekitarnya. Di Pura Pegonjongan desa Gretek inilah ada sebuah pura di bekas pelabuhan kuna tersebut di atas, di sana disembah “Dewi Ayu Subandar, penduduk meyakini, ada hubungan terdapat penyembahan Dewi Subandar dengan istri raja Dalem Balingkang dan mithos Barong Landung.

          Pengaruh Unsur-unsur kebudayaan Cina, yang diwarisi oleh kebudayaan Bali sampai sekarang, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang, yaitu: (1) bidang Ekonomi, berupa uang kepeng yang kemungkinan dijadikan alat transaksi pada jaman itu dan barang dagangan lain, seperti kain sutra dan benda-benda keramik. Uang kepeng, merupakan uang yang hingga kini masih fungsional dalam ritus keagamaan dan adat Bali, bahkan di beberapa tempat di Bali telah muncul produk uang kepeng baru. (2) Bidang bahasa, banyak ditemukan kata-kata bahasa Cina dalam bahasa Bali, seperti cawan, pinggan, dacin, guci dan ada pula yang dipakai sebagai nama desa di sekitar desa “Bintang Danau Batur” seperti, desa Pinggan, desa Siakin, desa Songan dan lain-lain. (3) Kesenian, ditemukan cerita Sampik Ing-Tai, merupakan cerita yang sangat legendaris, hampir sepadan populernya dengan cerita Jayaprana di dalam cerita rakyat Bali, Patra Cina dalam ornamentasi ukiran Bali. Dan, dalam bidang senitari ditemukan tari Baris Cina dan tari Barong Landung yang merupakan simbolisasi perkawinan Cina-Bali yaitu antara Raja Dalem Balingkang dan Ayu Subandar tadi, masih perlu pembuktian lebih lanjut  (lihat lebih lanjut Ardana,1983; Purwita,1993).

          Menurut I Made Bandem (1985:306), generatif dari variasi barong yang ada di Bali, nampaknya dapat diselusuri dari Barong-Sai Cina atau Barong-Singa Cina yang muncul masa dinasti T’ang abad ke-7 sampai abad ke-10. Dijelaskannya lebih jauh bahwa, pada saat itu, Barong Singa merupakan pengganti pertunjukkan sirkus yang sudah populer di Cina, saat itu. Di lain pihak, Purwita menyebutkan bahwa bentuk Barong Ketket berasal dari bentuk Barong-Sai atau Liang-Liong dari Cina. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Barong Landung, termasuk juga Barong Ket telah ada di Bali sejak abad ke-9. Tafsir sejarah ini, masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut, karena tulisan ini tidak dapat dikerjakan sebagaimana layaknya melakukan penelitian (studi arsip yang solid).

 

5.    Struktur dan Fungsi Pura Pegonjongan

  1. Denah Struktur Pura Pegonjongan (lihat Denah)
  2. Fungsi Pura Pegonjongan (tempat melakukan ritual nyegara gunung) terutama bagi pakraman daerah pura panorajon, dan sekitar dalem belingkang daerah Bangli.

Di Pura pegonjongan terdapat dua pura bagian baratnya untuk melakukan pemujaan terhadap sekta yang dianut, sedangkan daerah pura pegonjongan bagian timurnya, seperti tempat tinggal penguasa di masa lalu.

Lokasi ini diyakini oleh penduduk sebagai daerah Pelabuhan, adan batu  mecepak, daianggap sebagai peti uang penguasa (syahbandar), sesuai dengan konsep rambut sedana (perempuan) dalam konteks kesejahtraan. Hulunya adalah Panda Trilingga, menunjukkan pelinggih dengan dasar ideologi Rwabhineda (batu mecepak) ideolodi makardea dan trimurti ideologi Mpu Kuturan (sekitar abad 11 zaman Mahendradata dan Prabu Udayana).

Syahbandarnya adalah (folklore) Bernama Kang CengWie, seorang saudagar piring sutra Bernama Pingg-An, sehingga Pinggan akhirnya di Bali merujuk Piring Sutra, bermakna berbeda dari asal-usul nama piring sutra itu.

Demikian juga nama Piring Sutra kemungkinan merujuk pada piring yang diperjual-belikan ke India dan Timur Tengah melalui Jalan Sutra di Asia Tengah menuju Celah Kayber melalui pegunungan Himalaya di India.  

Syahbandar yang bermakna raja Pelabuhan, setelah menjadi Pura Ratu Ayu Mas Syahbandar, bermakna Budha dan Cina, karena Budha menjadi agama yang berhibridasi di Bali, setelah terjadi pernikahan antara Jaya Pangus dengan Kang Ceng Wie anak dari syahbandar Ping An.

 

6.    Simpulan

Pegonjongan adalah Pelabuhan laut di masa lalu, raja dianggap dewa (Kultus Dewa Raja), sehingga sabda raja adalah sabda dewa. Demikian wibawa raja dan ratu kalau dilihat dari folklor yang berkembang di masyarakat sekitar Pura Pagonjongan.

Barong Landung difolklorkan sebagai dua roh raja yaitu Kang Ceng Wie dan Jaya Pangus, sehingga disebut Jro Gede dan Jro Luh, merupaka folklore perkawinan silang Cina dengan Bali, sehingga tetap harmoni, karena perdagangan diurus oleh ahlinya.

     Kang Ceng Wie akhirnya bersemayam dihibridkan dengan wisnu, berstana di Dalem Balingkang, kemudian zamannya kemungkinan Pura Batur dikembangkan dengan kuat kecinaannya, yang berbeda dengan hulum danu yang ada di Songan. Akhirnya barong Landung berkaitan erat dengan amalgamansi Cina-Bali.

 



[1] Perkawinan antaretnik yang memiliki warna kulit yang sangat kontras ini memunculkan legenda dan asal-usul adanya “Barong Landung”, yaitu perwujudan dua orang manusia laki-perempuan  di Bali. Mulanya Barong Landung ini lebih banyak bernuansa hiburan yang diwarnai oleh “bebangkrekan” berpantun saling sahut antar keduanya, seperti layaknya dia saling menggoda dan saling sindir. Kalau diandaikan zaman modern ini persis seperti orang ngamen, akan menari dan berpantun beberapa babak dihadapan banten lengkap dengan sesarinya di depan rumah penduduk yang dilalui.

[2] Krena kesalah pahaman di pawongan maka sejak tahun 1973 Banua Les dan Banua Panuktukan tidak aktif lagi di Pura Pagonjongan ini.

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda