PENDIDIKAN MULTIKULUTURAL MELALUI RADIO REPUBLIK INDONESIA SINGARAJA
PENDIDIKAN
MULTIKULUTURAL
MELALUI
RADIO REPUBLIK INDONESIA SINGARAJA
Oleh
Drs.
I Made Pageh, M.Hum.[1]
1.
Pendahuluan
Secara sederhana
pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai ”pendidikan untuk/tentang
keragaman kultural dalam merespons perubahan demografis dan kultural pada lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia
secara keseluruhan” (Azra, 2007:24). Pendidikan di arahkan untuk menghadapi
tantangan masa depan (abad XXI) yang diwarnai oleh kontinuitas dan
diskontinuitas yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: faktor
ekonomi, migrasi penduduk, perubahan politik, peperangan, bencana alam, dan revolusi
IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, teknologi telekomonikasi dan informatika, dan seni)
(Tilaar, 2007:259). Bali (Buleleng) juga
mengalami perubahan yang sangat dasyat, sehingga pembahasan perbedaan atau multikultural (Bhineka Tunggal Ikha) sebagai akibatnya melalui pendidikan media
massa khususnya RRI Singaraja sangat menarik untuk didiskusikan.
Beberapa
pertanyaan pokok yang dapat diajukan dari latar di atas adalah (1) apa
pendidikan multikultural itu? (2) Bagaimana posisi strategis RRI Singaraja
dalam memasyarakatkan nilai-nilai kebangsaan/ nasionalisme ini (terkait dengan 4
pilar kebangsaan) di era telekomonikasi dan informasi?
Tulisan ini
dikerjakan dalam bentuk karya ilmiah populer, sehingga narasi diwarnai oleh
citra dengan bukti yang perlu perenungan lebih jauh, dan terkadang berdimensi
ganda, bersayap dan bahkan mungkin ambigu. Namun diharapkan dapat merangsang
pengembangan pendidikan multikulturalisme seperti yang diamanatkan oleh
Pembukaan UUD 1945 (cf. Gadamer, 2010:2009; Ratna, 2010:180).
2.
Pendidikan
Multikultural
Manusia di muka
bumi ini tidak dapat lari dari era globalisasi, terjadi perubahan yang sangat
cepat dan dasyat akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan manusia, perubahan
cepat itu dikenal dengan dromologi, dunia telah terlipat dalam saku manusia
akibat teknologi i-pad, i-phone, HP dan internet. Perkembangan IPTEKS itu
diikuti oleh gelombang perpindahan penduduk, dan kebudayaan dari dan ke
mancanegara. Dengan demikian masyarakat akan terpecah dan juga tersatukan
sehingga muncul masyarakat baru, seperti kata Daniel Bell dalam bukunya “the coming of post-industrial society”, yang
membagi masyarakat ke dalam tiga bidang: (1) bidang ekonomi teknik atau
struktur ekonomi, (2) bidang pemerintahan, (3) bidang kebudayaan, ketiga bidang
kehidupan itu melahirkan masyarakat industrial (Tilaar,2007:261).
Perkembangan
selanjutnya, menjadi masyarakat post-industrial yang mengalami perubahan besar
dalam berbagai bidang. Pertama, telah
terjadi perubahan dalam bidang ekonomi, produk diganti dengan keunggulan
pelayanan (services). Bidang
pelayanan seperti dalam bisnis, perbankan, tourisme, kesehatan, pendidikan,
penelitian, dan pelayanan dalam bidang
pemerintahan. Dalam pemerintahan muncul konsep good govermant dan good gavernance. Kedua, muculnya pekerja yang memiliki profesionalisme dengan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan tingkat tinggi. Ketiga,
munculnya ilmu komputer dan komunikasi yang menjadikan perubahan sangat menonjol
yaitu dengan lahirnya e-business,
e-education,e-governance, e-kesehatan,i e-infomation, dll. Keempat, dampak negatif dari IPTEKS itu yang
disadari sepenuhnya oleh manusia sehingga muncul penangannya menggunakan ilmu
pengetahuan super canggih. Misalnya penanganan Tsunami, dengan adanya ilmu
pengindraan jarak jauh maka foto Titan tsunami dapat diketahui secara dini,
sehingga bahaya kematian ribuan manusia dapat diatasi. Kesadaran masyarakat
dibangun berbasis teknologi, dengan demikian sifat kesukuan, kedaerahan auto
matis tidak akan mendapat tempat sepenuhnya di era post-industrial itu.
Pandangan Daniel
Bell itu memunculkan kontradiksi, masyarakat bidang pertama menonjolkan
efisiensi, bidang dua menonjolkan persamaan (equity), dan dalam bidang kebudayaan menonjolkan kesadaran diri (identity). Identitas misalnya terkadang menjadikan
masyarakat terkotak dan memunculkan konflik identitas, karena dengan identitas,
manusia menjadi tersegregasi, terdegradasi. Menguatnya identitas menjadi
menguatnya pertentangan dan menaruh orang lain sebagai the other. Jika yang lain itu musuh, sementara kelompok identitas
adalah kawan dan pikiran ini ada pada kelompok dominan, maka kekerasan akan
terjadi, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan simbolik, atau ideologis.
Disinilah peran RRI sebagai penyiaran publik memiliki peran strategis, diharapkan
dapat mengembangkan humisme, berbasis HAM atau nilai-nilai kemanusiaan
universal (Widja, 2012; Abdilah, 2002:192).
Identitas
seperti agama, suku, ras, kelompok dan keturunan kadang kala menjadi identitas
yang sulit didialogkan, dinegosiasikan, bahkan telah menjadi gengsi pribadi.
Hakikat semuanya ini adalah pemahaman, empati, dan emansipatoris perbedaan dan kemanusiaan,
sangat sulit dilakukan bahkan nyaris mandeg. Membutuhkan media yang menyiarkan
dan menyalurkan aspirasi “agen multikultural” yang tumbuh di masyarakat,
sehingga ide gagasan dan cita-cita penghargaan perbedaan itu sampai pada
sasaran yang tepat. Peran media massa terkadang telah terinfeksi oleh ekonomi
pasar, sehingga perannya sebagai penyiaran publik berubah, menjadi penyiaran kapitalis.
Jika itu terjadi maka perannya untuk meningkatkan kesadaran multikultural,
pluralisme yang menghargai perbedaan, seperti genialogis motto (Lambang Negara)
”bhineka tunggal ikha tan hana dharma
mangrwa”, menjadi simbol tanpa isi.
Saya kira
membutuhkan trobosan berupa ide dan gagasan bagaimana kita dapat “menerapkan
politik baru”, dengan strategi menghilangkan “identitas-identitas etnik
nusantara yang retak” itu, menjadikan satu etnik melayu austronesia seperti esensialnya
dalam sejarah. Yang dapat berakibat pada masyarakat era “pasca-identitas” itu,
muncul “habitus” atau kebiasaan bahwa semua manusia adalah saudara demi
humanismenya, sehingga identitas lain yang semulanya dipandang sebagai ancaman,
musuh, kafir, the other (yang liyan),
bukan urusan kita, kemudian (meminjam istilah Bourdieu) menjadi dexa (ideologi)
baru bahwa the other itu adalah masalah kita juga. Dengan demikian di masyarakat
ikut mengalami pergeseran bahwa menghargai seseorang manusia bukan karena
identitasnya, tetapi karena manusia itu berhak dihargai sebagaimana
kemanusiaannya (Said, 2010:xiii; Suryawan, 2012:160). Dari uraian di atas dapat
didalilkan bahwa semakin identitas itu diperjelas, maka semakin kecil peluang
kita untuk mencapai perdamaian dan keharmonisan. Aplikasinya di Bali
persaudaraan nyama-Bali dengan nyama
Islam, sesungguhnya usaha pengkaburan identitas, demikian juga penyebutan galungan selam dan galungan cina di Bali ada dalam konteks itu.
Jika kita
dalilkan secara esensial bahwa semua agama besar di Indonesia adalah barang
import, maka yang mana sesungguhnya agama melayu austronesia, jawabannya secara
historis “habitus objektifnya” adalah “Animisme dan Dinamisme itu, yang kita
musuhi demi keberpihakan kita pada barang import itu (agama kita). Karena
pendidikan yang dikonstruksi manusia modern untuk menguatkan identitas sudah terhegemoni
oleh ideologi bahwa selain agama saya kafir atau tidak relegi. Hal ini menjadi
kesadaran diri sehingga menjadi “habitus individu” dan menumbuhkan kesadaran palsu,
bahkan memotong sejarah umat manusia demi menghindari debat historis yang tidak
bisa dikoptasi atau ditelanjangi secara politik (Widja, 2012:ix).
Dalam konteks di
atas muncullah gagasan, cita-cita, idealisme pendidikan (melalui RRI Singaraja)
multikultural itu. Dalam wacana semua media seperti TV (Bali TV), RRI
(Singaraja), Koran (Bali Post) dan product
mass media (orang media) ikut angkat bicara pendidikan multikultural.
Terutama dalam mengejawantahkan idealisme founding
fathers mengenai penghayatan, pengamalan “Pancasila, UUD 1945, Keutuhan
NKRI dan mengharmati kebinekaan” disebut
empat pilar kebangsaan. Dalam hal ini, dengan menggunakan mass media RRI
Singaraja sebagai salah satu sarananya, dalam pendidikan multikultural masyarakat
baik faedagogik maupun antrogogik menjadi sangat strategis dalam pendidikan
antrogogik itu.
Menurut Tilaar
(2007) bahwa pendidikan multikultural berawal dari kesadaran yang lyan (the other) inter-kulturalisme setelah PD II. Kesadaran ini terkait
dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari
kolonialisme, diskriminasi rasial, dan dehumanisasi lainnya. Dan meningkatnya
pluralisme warga negara terutama Eropa dan Amerika pasca-Perang Dunia II,
sehingga muncul pendidikan “interkultural, inter kelompok (inter-cultural and inter group education”) (cf. Azra, 2007:24). Tujuannya adalah mengubah prilaku individu
untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan minoritas, ras, kelompok, agama,
etnis lainnya, sehingga dengan demikian tumbuh individu yang memiliki sikap dan
kepribadian toleran menghargai perbedaan dalam kompleksitasnya.
Memang konflik
sering terjadi pada tingkat masyarakat, bukan pada tingkat individu, dengan
demikian dibutuhkan pemerdayaan (empowerment)
kelompok minoritas, dan penyadaran kelompok mayoritas. Pendidikan multikultural
akhirnya butuh dikembangkan mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan,
kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan minoritas (kelompok terpinggirkan)
dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Pelaksanaannya dilakukan secara integratif, terpadu sehingga sikap peduli
ditumbuhkembangkan, satu di antaranya melalui pendidikan massa melalui media
RRI Singaraja satu di antaranya dan TV lokal
Bali TV sangat memegang peranan strategis.
Keterpaduan dan
terintegrasi dimaksdukan di sini, penyiarannya dalam “pendidikan publik” tidak
dapat dipisah-pisahkan. Dalam aplikasinya (RRI Singaraja) diharapkan tetap
memiliki visi dan missi 4 pilar kebangsaan itu. Apapun isi siarannya, agar
dapat meumbuhkan kesadaran dan pemahamannya. Apakah siaran/program kita ada
dalam konteks 4 pilar kebangsaan itu, atau dalam konteks penyiaran kapitalis.
Jika ada penyiaran yang di dalamnya ada unsur kapital, diharapkan tetap
memiliki nuansa kebangsaan itu, dan harus tetap terjaga dan terukur dalam
konteks 4 pilar itu. Jika ada materi siaran memang sangat bertentangan dengan 4
pilar itu agen dalam hal ini RRI (kuli medianya) dapat mengingatkan,
menyadarkan, dan mengarahkan agar kembali ke nilai-nilai yang terkandung pada
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa. Contoh melalui RRI penyiar dapat
melakukan kritik, himbauan, bahkan menegosiasikan terhadap masyarakatnya yang
“ketika 17 Agustus-an” sedang berlangsung, “masyarakat kapitalis itu” memasang
umbul-umbul, bendera warna biru, hijau, dengan promosinya memenuhi jalanan, sehingga mematikan nuansa
Merah-Putih di jalanan. Melupakan memasang bendera, memenuhi jalan milik publik
dengan dominasi warna perusahannya.
Sekali lagi saya
tekankan bahwa pendidikan multikultural membutuhkan kondisi rial, yaitu agen harus
memiliki sensitivitas budaya dan kemanusiaan (humaniora), dengan kemampuan secara
kritis dapat menelanjangi identitas diri dan identitas manusia lain, diharap
ada yang tampil menjadi “pahlawan” multikultur. Dengan demikian peran
menumbuh-kembangkan kepedulian, sensitivitas, empati, emansipatoris terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam 4 pilar kebangsaan itu, menjadikan masa depan
bangsa kita (khususnya Bali) akan lebih terjamin.
3.
RRI,
Nasionalisme dan Masyarakat Multikultural
Pertanyaan
kedua setelah membahas pendidikan multikulturalisme adalah “bagaimana posisi
strategis RRI Singaraja dalam memasyarakatkan nilai-nilai kebangsaan/
nasionalisme di era telekomonikasi dan informasi ini, khususnya terkait dengan
4 pilar kebangsaan?”.
Empat
pilar kebangsaan itu adalah konsep politik, bukan konsep akademik, secara konsep
politik, pilar pertama adalah dasar
yang menjadi “nilai-nilai hidup berbangsa dan bernegara Pancasila sebagai
fundamental dan sokogurunya; ke dua dasar itu tertancap pada wilayah geografis
NKRI; ketiga, UUD 1945 sebagai aturan
main utamanya yang diejawantahkan dalam praktek hidup baik dalam kehidupan
politik, ekonomi, sosial, budaya bangsa, dan wawasan nusantara; dan kebhinekaan
adalah wujud agennya yang bergerak di berbagai event dalam ruang dan waktu,
sejak 17 Agustus 1945 sampai akhir hayat bangsa ini. Umur 68 tahun bagi suatu
negara merdeka dapat diandaikan sebagai manusia baru berumur menjelang tujuh
bulan (satu oton delapan hari). Empat pilar kebangsaan ini, diharapkan menjadi
pegangan dalam menumbuhkembangkan setiap anak bangsa yang lahir di NKRI ini,
yang penuh tantangan ke depan di era telekomunikasi dan informasi ini, meminjam
istilahnya Castel menyebut abad masyarakat jaringan (the age of net working society).
Infromasi
dalam jejaring sosial itu adalah bagaikan kuda liar disengat tawon, terjadi
perubahan cepat, penuh dengan kepalsuan, penipuan, dan simulasi. Dengan
demikian dibutuhkan kecerdasan khusus dalam mengalisisnya, karena seperti kata
Baudrillard dikutip Piliang bahwa informasi itu adalah menampilkan hiper
realitas, dunia telah dilipat-lipat, sehingga terjadi pelipatan ruang, waktu,
dan kesadaran kita sehingga memunculkan kesadaran palsu (Piliang, 2011:45). Radio
sebagai salah satu media informasi yang memiliki peluang untuk “selingkuh”
terkait dengan pelipatan itu, membutuhkan pemahaman terhadap eranya terutama
kalau dikaitkan dengan empat pilar kebangsaan di atas.
Pertama, pancasila
sebagai sebuah ideologi dalam media. Bicara ideologi (narasi besar) butuh
menumbuhkan kesadaran terhadap the other,
dalam konteks oposisi biner ada kelompok terpinggirkan dari mainstrim dominan itu. Dalam masyarakat
patriarkhi memberikan tempat pada perempuan sebagaimana layaknya, demikian juga
pada pemahaman individu/kelompok menyisakan ruang pada “yang lain”-nya. Seperti
diuraikan oleh Gramsci bahwa ideologi itu bukan hanya berupa kesadaran palsu
(alat paksa kelompok lawan, penentang, dll.), tetapi juga sebagai produk
kehidupan sosial, ekonomi sebuah masyarakat (Sianipar, 2007:23).
Ideologi
dimiliki oleh setiap kelas sosial, ideologi penguasa (kelas dominan) untuk
mempertahankan kekuasaan, sementara bagi kelas tertindas memiliki ideologi
sebagai ekspresi perlawanan, atau sebagai kesadaran perjuangan dalam kelas
sosial masyarakat. Media RRI Singaraja sebagai penyiaran publik sangat dituntut
agar memiliki kesadaran “ideologis bersayap itu” sehingga dapat menjembatani
berbagai ideologi yang ada di masyarakat yang diwacanakannya (Althusser, 2010:xviii).
Misalnya kita harus dapat menanamkan kesadaran pada diri kita bahwa “tidak ada
kebenaran tunggal” dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Berbeda pendapat, berbeda
sudut pandang itu adalah suatu yang manusiawi, bahkan kewajiban bagi RRI untuk
menggalinya. Menanggapi kritik menggunakan otoritas, dan alasan pusat jakarta,
pimpinan, demikian juknisnya, dan pagu dari atas, dan sebagainya, sebenarnya tidak
ada tempatnya secara ideologis kalau anak media RRI itu memang menjadi
pasilitator dalam mengembangkan masyarakat multikultural itu, kalau dilihat
dari Ideologi Pancasila sebagai “jargon normatif dan filosofisnya”. RRI justru
harus mampu menayangkan kritik terhadap “threefolding
yaitu masyarakat (LSM, NGO), pemerintah, dan industriawan/ usahawan”, sehingga
pembangunan masyarakat berjalan dalam kedewasaan menerima kritik membangun
(Perlas, 2000:1).
UUD
1945, memang telah diamandemen beberapa kali, tetapi karena kaidah
fundamentalnya tetap tidak diubah, kita tidak kawatir akan amandemen itu,
karena merupakan “ilmu turunan”, sebagai sebuah turunan akan dapat dimurnikan
dari yang menurunkannya (MK telah terbentu). Pengaruh globalisasi dan otonomi
daerah terhadap nasionalisme merupakan kekuatan perongrong yang sama kuatnya,
hanya dari arah berlawanan, atau sama-sama dalam koorporasi multinasional.
Globalisasi bentuknya aliran kapital, sementara di pihak lain otonomi daerah
aliran kekuasaan dan akhirnya bermuara ke finansial, dan demikian juga
sebaliknya.
Semangat
dan kebathinan dari UUD 1945 dapat dilihat dalam pasal-pasal serta
penjelasannya, ada jiwa jaman yang tersirat di dalamnya, hanya saja demi
kepentingan ekonomi dan kedudukan pejabat yang kurang berlatar sejarah jadi
masa bodo dengan ide dasar yang gagas dan dimaksud oleh founding fathers itu.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), otonomi daerah yang direduksi dalam
amandemen perundangan di Indonesia adalah menantisipasi pemerintahan pusat yang
otoritarian, seperti yang terlihat dalam pemerintahan Orde Baru dan Orde Lama,
tetapi bukan lantas diartikan dapat membentuk negara baru, karena tidak puas
dengan pemerintahan pusat. Kesatuan dan persatuan (wilayah dan orangnya) adalah
satu kesatuan dibingkai dalam Bhineka
Tunggal Ikha, unity in diversity,
menghargai perbedaan, bahkan diwacanakan agar dianggap sebagai anugrah, bukan
dominasi mayoritas terhadap minoritas. Suara terbanyak belum tentu menyuarakan
kebenaran, bisa jadi “melagukan kekuasaan”, justru kebenaran itu ada pada suara
minoritas. Negara ini terlalu banyak harus diselsaikan pascakemerdekaan,
sepertinya masa kolonial masih bertumbuh dengan baju baru mengatas namakan
keindonesiaan, padahal penguasa terkadang lebih VOC dari VOC, atau lebih
kolonial dari kolonial Belanda. Asal ada niat dan terselip kepentingan
finansial dan kekuasaan dalam aktivitas kehidupan kita, dengan
mengobjektivikasi manusia NKRI di dalamnya, hati-hatilah terhadap bahaya laten
post kolonialisme di Indonesia. Terkadang dengan berbanyak “korupsi, melakukan
kekerasan, pemerasan, pungli, contoh kecil pemunggutan karcis di PP dan tempat
keramaian publik lainnya, bisa jadi itu tindakan kolonialisme kita di wilayah
NKRI yang kita cintai bersama. Hancurnya VOC kalau mau belajar dari sejarah
karena tindakan pegawainya yang sangat korup, walaupun dia sudah mengelola nusantara
ini sudah hampir dua abad lamanya (1602-1799).
Kebhinekaan
kita sesungguhnya adalah ikha, paling dualitas esensialnya seandainya bangsa
ini mau belajar dari sejarah.
Bangsa
ini berasal dari satu rumpun “melayu austronesia: proto melayu dan detro
melayu, dengan peradaban melayunya, yaitu batu besar (meghalithicum), mengolah perunggu, gerabah, wayang, menenun,
pemujaan roh nenek moyang, agama aslinya animisme
dan dinamisme, bercocok tanam, ilmu perbintangan, dan sebagainya (lokal
genius). Gelombang pasang pengaruh luar, menjadikan kita berbhineka karena
pengaruh luar tidak merata, geografis, pusat kerajaan dan pemerintahan memusat
di Jawa dan penyebab pembeda lainnya. Khusus setelah masuknya “barang impor
berupa agama-agama besar”, kita jadi berusaha melupakan agama asli kita. Saling
klaim mengaku pemilik asli barang impor itu menjadikan kita melupakan jati diri
bangsa sendiri, dan itu dibuat dan diabadikan dengan berbagai cara baik oleh
elit penguasa lokal maupun kolonial, sehingga kita tercerai berai dalam
kepercayaan, keyakinan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Bergerak
sendiri-sendiri dan membuat identitas lokal masing-masing dengan simbol-simbol
kekerasan massanya dan senjatanya, seperti keris Bali-Jawa, Carok-clurit
Madura, Rencong-Aceh, Klewang, pedang, tombak, dan kontruksi budaya kekerasan
dengan simbolnya di nusantara.
Jangan-jangan
simbol-simbol kekerasan itu, menjadikan bangsa ini memang gemar kekerasan,
seperti “baris tombak” di Bali, bisa jadi juga merupakan simbolisisi kekerasan
dalam mempertahankan identitas kedaerahan kita di masa lalu, yang butuh
dekonstruksi di masa datang.
Kebinekaan
adalah anugerah, “taman tanpa bunga warna-warni sepertinya bukan taman” seperti
simbolisasi dalam “dewa nawa sanga”, nampaknya tidak indah dan tidak ada tenaga
gaibnya, kalau monowarna sekalipun warna putih bersih. Hal ini (Ajaran ini)
adalah bergantung pada siapa yang mengkontruksinya, dalam kepentingan apa
dikontruksi. Relasi kuasa dan kapital dewasa ini, merupakan faktor dominan yang
harus diperhitungkan dalam analisis, di samping seksualitas (wanita) dalam aras
figur yang mau dianalisis. Kita telah disodori banyak derama panggung kehidupan
di media massa dan jejaring sosial dengan korupsi, kemudian memamerkan
istrinya, serta kekayaannya yang melebihi kekayaan rial negara (devisa negara),
seperti kasus Gayus Tambunan, Rudi Rubiandini, Sanimin Akbar Abas kasus
teranyar, serta koruptor lainnya.
RRI
Singaraja memiliki andil dan peran strategis, walaupun tidak seperti media audio
visual, karena sifat medianya memang berbeda. Namun daya tarik RRI berbeda
dengan televisi dan internet, sifat beritanya pun berbeda, popularitasnya memiliki
tempat, pendengar, dan pencinta berbeda. Namun yang pasti publik mengantungkan
harapan pada RRI Singaraja yang satu-satunya penyiaran publik yang dapat membentuk
opini yang benar, agar tidak memunculkan kesadaran palsu karena beritanya
palsu. Ketika melakukan analisis biarkan masyarakat ikut menganalisisnya, namun
sodorkan fakta dan data yang benar seperti apa adanya, sehingga kesadaran
masyarakat yang terbangun darinya berbeda tetapi dengan dasar data dan fakta
yang sama. Hal ini akan memberikan wajah dan bentuk “habitus” (kebiasaan) yang
benar di masyarakat.
4.
Refleksi
diri (Memaknai Peringatan Kemerdekaan, 17 Agustus 2013)
Refleksi 68
tahun kemerdekaan, saya akan lakukan dalam konteks pascakolonial media di Bali.
Secara teori, dasar untuk menilai dari atas meja berdasar pengalaman pribadi
penulis sebagai orang yang terbentuk oleh media (Radio, TV, Koran, Media
Jejaring Sosial di dunia maya), merasakan betapa susahnya masyarakat awam
membedakan mana opini dan mana fakta, dan atau kebohongan dalam kehidupan
sehari-hari, karena kebohongan karena setiap saat disuguhkan melalui media, bisa
mengubah persepsi menjadi (seolah-olah) kebenaran. Betapa menyesatkan media
seperti itu, karena adanya perselingkuhan politisi dengan awak media. Terutama
karena memang di arahkan untuk itu, demi finasial, kekuasaan atau kepentingan
lainnya. Bayangkan media yang ada di Bali yang dipersepsi seperti itu oleh
publik.
Dengan demikian
kolonialisme dan imprialisme sebenarnya belum berakhir, karena kolonialisme dan
imprialisme bukan hanya diartikan pendudukan negara secara langsung, bukan pula
karena operasi kerjasama dengan orang luar, tetapi karena sistem-sistem lama
yang digunakan zaman kolonial atau kerajaan ditiru dari dalam dan digunakan
sebagai versi baru (HP Casing baru mesin lama). Misalnya pemerintahan yang baru
tetap mempergunakan sistem pemerintahan pola-pola lama yang tidak membawa
perubahan positif bagi rakyatnya secara umum. Jadi perjuangan kemerdekaan
pascakolonial harus dilanjutkan dengan melawan dominasi warisan-warisan
pemerintahan kolonial dan feodal yang diterapkan dewasa ini oleh penguasa,
seperti disebutkan oleh Ania Loomba berikut.
Negara bangsa yang baru
merdeka hanya membagikan buah secara selektif dan timpang kepada rakyat.
Digulingkannya pemerintahan kolonial tidak secara otomatis membawa perubahan ke
arah perbaikan setatus perempuan, kelas pekerja, atau petani di kebanyakan
negara jajahan (cf. Sianipar, 2007:11).
Kalau
kolonial disebut sebagai praktik dehumanisasi, apa yang dapat kita sebut jika
dilakukan oleh bangsa sendiri, dan emansipasi apa yang dapat dilakukan, apakah
mengangkat senjata, bambu runcing atau membuat boom melotot. Karena saya yakin
kekerasan tidak dapat menyelesaikan persoalan, justru mau memecahkan persoalan dengan
ikut mengonstruksi kekerasan baru. Seperti pecalang terkadang mau mengamankan
tetapi justru tidak membuat keamanan publik, sehingga menjadi kontraproduktif
(cf. Suryawan, 2010).
Untuk
menganalisis lebih jauh dampak kolonialisme terhadap budaya kita, perlu
menganalisis hubungan proses budaya dengan proses ekonomi. Hal ini menuntut
dilakukannya (a) pandangan ulang atas kategori kapitalis, (b) telaah lebih jauh
hubungan antara bidang budaya, ekonomi dan ideologi kita yang hidup di
masyarakat. Ideologi diartikan keseluruhan “kerangka kerja mental” manusia
dalam world vew-nya. Ideologi itu
juga kemudian bisa dijadikan cara untuk mempertahankan kekuasaannya, sebaliknya
dijadikan perlawanan bagi yang tertindas. Althusser (2010) menyebutkan ranah
operasional dari hegemoni negara dalam melaksanakan praktik kolonialismenya
pascakolonial ini adalah: (1) Aparat negara represif, seperti: militer, polisi,
pamong praja, pecalang,dll. (2) Aparat negara ideologis, seperti: sekolah,
media massa, agama, dan sistem politik. Aparat ideologis inilah yang berperan
menciptakan subjek yang dikondisikan secara ideologis untuk menerima sistem dan
nilai-nilai yang ada, terutama yang telah disusupi oleh ideologi feodal dan
kolonial. Hal ini dapat diperluas ke bidang material, karena ideologi memiliki
esensial/eksistensial material, artinya ideologi ada pada aparat negara dan
tindakan yang mereka lakukan, karena ideologi menjadi pengarah normatifnya
dalam berpikir, berkata, dan berbuat.
Menyitir
pandangan Althusser (2010) di atas maka kita sebagai abdi negara dimanapun bertugas
terutama secara eksplisit disampaikan bahwa Media (RRI Singaraja, Guru/Dosen
(Penulis), berpotensi memiliki peran untuk melanjutkan ideologis melanggengkan
kolonialisme, feodalisme, kapitalisme, dan lawan dari empat pilar kebangsaan di
atas, jika kita kurang reflektif dalam bertindak (ngrasanin, teposelero, nyiksik bulu sesai). Sehingga terkadang
kita bercuah-cuah nengatakan diri bersih dari korupsi (KKNC/cecungukisme)
ternyata kita berprilaku sangat korup, feodalis, kapitalis, rasialis, gender
dan lawan dari 4 pilar kebangsaan kita (cf. Sutrisno, 2007; Widja, 2012). Kita
sering menemukan kemunafikan di lingkungan kita, tetapi karena kita ikut enak
di dalamnya, walaupun di atas penderitaan orang lain, terkadang sungkan,menjadi
masa bodo, dan apatis. Korupsi dan kekerasan dimaknai hanya jika dilakukan
sendirian, tetapi kalau dilakukan ramai-ramai dianggap tidak korupsi dan tidak kekerasan,
tetapi dikatakan demi kebersamaan, sekali-kali harus berani berkata demi
minoritas, demi tang liyan, the other.
Sikap komunal seperti di atas menjadikan kita terkadang memerintah “lebih
belanda dari belanda”, mencibir belanda kejam ternyata kita lebih kejam
darinya, semua kelemahan dikatakan sebagai akibta kolonial, padahal lebih parah
akibat feodalisme kita yang bukan warisan kolonial.
Kata C. Geertz,
seorang antropolog Amerika meneliti di Jawa dan Bali mengatakan kita akan mengalami involusi dalam berbagai
kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, karena kita sering berbangga berdiri
di atas penderitaan oranga lain, menyelesaikan masalah dengan mematikan lawan.
Mengapa kita sering merasionalisasi irasional, dan mengabaikan kebenaran, jawabannya
karena sistem dibuat memang warisan kolonial, tapi demi sistem yang sudah tahu
salah tetap dipertahankan, inti jawabannya mungkin juga karena kita ada di
dalamnya. Mari merdekakan diri, merdekakan bangsa dari belenggu kolonialisme
pascakolonial ini, dengan membangun kesadaran dan refleksi diri setiap saat dan
momentum terbaik disaat ada perayaan hari-hari besar nasional seperti sekarang
ini.
5.
Simpulan
Pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai ”pendidikan untuk/tentang keragaman
kultural dalam merespons perubahan demografis dan kultural pada lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia
secara keseluruhan”. Pendidikan interkultural ini sangat relevan dialkukan
melalui RRI (Singaraja sebagai penyiaran publik), sehingga dapat terwujud masyarakat
“surga dalam perbedaan”, ketika kita bersama mengambil langkah “politik
strategis baru” dengan mengaburkan batas-batas identitas, karena makin tajam
batas-batas identitas penciptaan kedamaian akan makin mustahil (dasarnya apakah
agama, suku, ras, bahasa, ekonomi, asal migran, pulau, dan sebagainya) (Said,
2010:xxiv).
Identitas yang
dapat mengantar identitas lain adalah ancaman, lawan, musuh, apalagi harus
dibunuh maka kehidupan sebuah identitas mayoritas atai minoritas akan tidak
pernah merasa damai. Setelah PD II diharapkan antara penajah dengan bekas
jajahan secara bersama-sama mengatasi kesulitan bersama, dengan dasar
kemanusiaan, dan keadilan, bukan berdasarkan dominasi dan hegemoni dengan
menggunakan modal-nodal yang dimiliki oleh kelompok identitas tertentu misalnya
“global putih”. Kolonialisme dan imprialisme bisa datang dari mana saja, bahkan
pascakolonial, penajajahan dari bangsa sendiri akan jauh lebih sulit untuk
diatasi, karena hanya kesadaran dari dalam nampaknya paling dapat diandalkan, karena
kekerasan fisik dan dominasi alasan apapun di era globalisasi dan informatika tidak
dibenarkan, karena era globalisasi (borderless
state) tidak ada sesuatu yang dapat disembunyikan, kita telah menjadi
kampung global (Pageh, 2010b; Widja, 2010).
Pendidikan
multikultur melalui RRI Singaraja dengan visi dan missi empat pilar kebangsaan
itu saya optimis dapat diwujudkan. Dengan RRI Singaraja sebagai lembaga penyiaran publik yang tetap mempertahankan
netralitas dari perselingkuhan dengan politisi, LSM, dan industriawan (cf.Tripoldingnya:Perlas,
2000). Dengan demikian RRI Singaraja tidak ditinggalkan oleh penggemarnya. Jika
menjadi “terjajah” seperti media massa lainnya di Bali, maka tunggu saatnya RRI
menjadi media yang ditinggalkan oleh pencintanya beralih ke radio swasta
lainnya, dan bahkan siap-siap di-PTUN-kan oleh publik pencintanya (?).
Posisi RRI dan
sekolah/kampus sebagai lembaga yang bersifat ideologis, karena akan menjadi
lembaga “pembentuk dan pengkonstruksi budaya dan politik masyarakat. Oleh
karena itu maka kerangka kerja kita wajib memahami dimensi ideologis itu,
terutama terkait dengan 4 pilar kebangsaan kita.
Kemerdekaan
adalah wacana yang sangat mudah diucapkan, disumpahkan, tetapi sangat sulit
untuk diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernagara seperti dibahas dengan
teori poskolonial di atas. Periksa selogan ini sudah dipergunakan di sekitar Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, masih klasik dalam ungkapan seperti berikut:
Merdeka.. merdeka..
merdeka.. Garuda di dadaku;
Sekali merdeka tetap
merdeka.......... Indonesiaku
Sekali di udara tetap di
udara ...... RRI Singarajaku
Sekali merah-putih tetap merah putih di dadaku
Tetap mewarnai empat pilar kebangsaan Indonesiaku
Ayo brantas sisa-sisa kolonial era poackolonial
Memulai dari diri dan keluarga kita (Pageh, 2013).
Kita
bersama sama melalui perayaan HUT Kemerdekaan NKRI ke-68 ini, bahwa kita setiap
saat dan terutama ketika ada hari-hari besar nasional, diharapkan penguasa mampu
mereplekasikan diri apakah saya masih “lebih kolonial dari kolonial, atau lebih
belanda dari belanda”, dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, atau tidak
kontraproduktif bahkan antipancasila”.
Merdeka,
sekali merdeka tetap merdeka, sekali di udara tetap di udara, Jaya RRI
Singaraja yang saya kenal sebagai pengemban siaran kebangsaan, melalui siaran
Merah-Putih, Dialog Interaktif, gelar wicara dan sebagainya. Juga terimaksih
setulusnya bangsa ini harus katakan, karena melalui RRI Mr. I Gusti Ketut Pudja
dapat ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional yang dapat menjadi kebanggaan bangsa
Indonesia, orang Bali, khususnya Orang Buleleng di era kebhinekaan harus
menjadi perhatian khusus (Pageh, 2010; 2010b). Jadi Buleleng bukanlah BBD,
Buldog, kasar, kaku seperti diselorohkan orang, jika mau mengejek “kebulelengan
orang” yang terkenal meboya, namun memiliki
rasa jengah dan memiliki bumi panas,
bahasa kasar namun halus bhudi dan berhati mulia. Buleleng adalah kota
metropolitan, tidak dapat direduksi bedasarkan dialek apalagi idealek tertentu
di Bali Utara. Bravo RRI, terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Althusser,
Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme
Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
|
Azra,
Azyumardi.2007. Merawat Kemajemukan
Merawat Indonesia. Yogyakarta: Ampulse dan Pustaka Pelajar.
|
Foucault,
M. 2002. Pengetahuan dan Metode
Karya-karya Penting Foucault. Arif (penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.
|
Giddens,
Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori
Sosial Modern Suatu Analisis TerhadapKarya Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber.
UI Press: Jakarta.
|
Gramsci,
Antonio 1971. Sejarah dan Budaya. Ira
Puspitorini, et al. (Penerjemah). Pustaka Promethea: Surabaya.
|
Pageh,
I Made dan Nengah Bawa Atmadja. 2010b. Sejarah
dan Kearifan Berbangsa: Bungan Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah.
Denpasar:Larasan dan FIS Undiksha.
|
Pageh,
I Made. 2010. Kepahlawanan dan
Perjuangan Sejarah Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia: Konteks Lampah Mr. I Gusti Ketut Pudja,1908-2010.Denpasar:
Larasan, MSI Cabang Buleleng, Undiksha dan Pemda Buleleng.
|
Pageh,
I Made. 2013. “Jasmerah “Puputan” Margarana: Menyoal Aktualisasi Nilai-nilai
Sejarah di Era Globalisasi”, dalam iAnak Agung Gede Putra Agung: Sejarawan
dan Budayawan Bali. I Ketut Ardhana dan Slamat Trisila (Editor). Denpasar:
Penerbit Larasan bekerja sama dengan Kajian Bali Jurusan Sastra Fakultas
Udayana Singaraja.
|
Perlas,
Nicanor. 2000. Shaping Globalization:
Civil Society, Cultural Power and Threefolding. Philippines: Cadi and
GlobeNet.
|
|
Said,
Edward W. 2010. Orientalisme: Menggugat
Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
|
Sianipar,
Gading. 2007. “Mendefinisikan Pascakolonialisme? dalam Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed).
Yogyakarta: Kanisius.
|
Suryawan, I
Ngurah,2012. Sisi di Balik Bali:
Politik Identitas, Kekerasan, dan Interkoneksi Global. Denpasar: Udayana
Press.
|
Suryawan, I Ngurah. 2010. Genialogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern:
Bara di Bali Utara. Jakarta: Prenada.
|
Sutrisno,
Mudji. 2007. “Diri dan the other” dan “Rumitnya Pencarian Diri Kultural”,
dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal
Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed). Yogyakarta: Kanisius.
|
Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari
Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Penerbit Reka Cipta.
|
Widja,
I Gde. 2012. Pendidikan Sebagai
Ideologi Budaya: Mengamati Masalah Pendidikan Melalui Pendekatan Kajian
Budaya. Denpasar: Krisna Abadi.
|
[1] Penulis Dosen Fakultas
Ilmu Sosial Undiksha, staf edukatif di Jurusan Pendidikan Sejarah, sejak 1988
hingga kini, sejak 2012 berstaus melanjutka studi S-3 di Kajian Budaya Unud
Denpasar (lihat biodata terlampir).