Selasa, 13 Februari 2018

PENDIDIKAN MULTIKULUTURAL MELALUI RADIO REPUBLIK INDONESIA SINGARAJA


PENDIDIKAN MULTIKULUTURAL
MELALUI RADIO REPUBLIK INDONESIA SINGARAJA
Oleh
Drs. I Made Pageh, M.Hum.[1]
1.      Pendahuluan

Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai ”pendidikan untuk/tentang keragaman kultural dalam merespons perubahan demografis dan kultural pada lingkungan masyarakat  tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan” (Azra, 2007:24). Pendidikan di arahkan untuk menghadapi tantangan masa depan (abad XXI) yang diwarnai oleh kontinuitas dan diskontinuitas yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: faktor ekonomi, migrasi penduduk, perubahan politik, peperangan, bencana alam, dan revolusi IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, teknologi telekomonikasi dan informatika, dan seni) (Tilaar, 2007:259). Bali  (Buleleng) juga mengalami perubahan yang sangat dasyat, sehingga pembahasan perbedaan atau  multikultural (Bhineka Tunggal Ikha) sebagai akibatnya melalui pendidikan media massa khususnya RRI Singaraja sangat menarik untuk didiskusikan.
Beberapa pertanyaan pokok yang dapat diajukan dari latar di atas adalah (1) apa pendidikan multikultural itu? (2) Bagaimana posisi strategis RRI Singaraja dalam memasyarakatkan nilai-nilai kebangsaan/ nasionalisme ini (terkait dengan 4 pilar kebangsaan) di era telekomonikasi dan informasi?
Tulisan ini dikerjakan dalam bentuk karya ilmiah populer, sehingga narasi diwarnai oleh citra dengan bukti yang perlu perenungan lebih jauh, dan terkadang berdimensi ganda, bersayap dan bahkan mungkin ambigu. Namun diharapkan dapat merangsang pengembangan pendidikan multikulturalisme seperti yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 (cf. Gadamer, 2010:2009; Ratna, 2010:180).

2.      Pendidikan Multikultural
Manusia di muka bumi ini tidak dapat lari dari era globalisasi, terjadi perubahan yang sangat cepat dan dasyat akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan manusia, perubahan cepat itu dikenal dengan dromologi, dunia telah terlipat dalam saku manusia akibat teknologi i-pad, i-phone, HP dan internet. Perkembangan IPTEKS itu diikuti oleh gelombang perpindahan penduduk, dan kebudayaan dari dan ke mancanegara. Dengan demikian masyarakat akan terpecah dan juga tersatukan sehingga muncul masyarakat baru, seperti kata Daniel Bell dalam bukunya “the coming of post-industrial society”, yang membagi masyarakat ke dalam tiga bidang: (1) bidang ekonomi teknik atau struktur ekonomi, (2) bidang pemerintahan, (3) bidang kebudayaan, ketiga bidang kehidupan itu melahirkan masyarakat industrial (Tilaar,2007:261).
Perkembangan selanjutnya, menjadi masyarakat post-industrial yang mengalami perubahan besar dalam berbagai bidang. Pertama, telah terjadi perubahan dalam bidang ekonomi, produk diganti dengan keunggulan pelayanan (services). Bidang pelayanan seperti dalam bisnis, perbankan, tourisme, kesehatan, pendidikan, penelitian, dan pelayanan dalam  bidang pemerintahan. Dalam pemerintahan muncul konsep good govermant dan good gavernance. Kedua, muculnya pekerja yang memiliki profesionalisme dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan tingkat tinggi. Ketiga, munculnya ilmu komputer dan komunikasi yang menjadikan perubahan sangat menonjol yaitu dengan lahirnya e-business, e-education,e-governance, e-kesehatan,i e-infomation, dll. Keempat, dampak negatif dari IPTEKS itu yang disadari sepenuhnya oleh manusia sehingga muncul penangannya menggunakan ilmu pengetahuan super canggih. Misalnya penanganan Tsunami, dengan adanya ilmu pengindraan jarak jauh maka foto Titan tsunami dapat diketahui secara dini, sehingga bahaya kematian ribuan manusia dapat diatasi. Kesadaran masyarakat dibangun berbasis teknologi, dengan demikian sifat kesukuan, kedaerahan auto matis tidak akan mendapat tempat sepenuhnya di era post-industrial itu.
Pandangan Daniel Bell itu memunculkan kontradiksi, masyarakat bidang pertama menonjolkan efisiensi, bidang dua menonjolkan persamaan (equity), dan dalam bidang kebudayaan menonjolkan kesadaran diri (identity). Identitas misalnya terkadang menjadikan masyarakat terkotak dan memunculkan konflik identitas, karena dengan identitas, manusia menjadi tersegregasi, terdegradasi. Menguatnya identitas menjadi menguatnya pertentangan dan menaruh orang lain sebagai the other. Jika yang lain itu musuh, sementara kelompok identitas adalah kawan dan pikiran ini ada pada kelompok dominan, maka kekerasan akan terjadi, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan simbolik, atau ideologis. Disinilah peran RRI sebagai penyiaran publik memiliki peran strategis, diharapkan dapat mengembangkan humisme, berbasis HAM atau nilai-nilai kemanusiaan universal (Widja, 2012; Abdilah, 2002:192).
Identitas seperti agama, suku, ras, kelompok dan keturunan kadang kala menjadi identitas yang sulit didialogkan, dinegosiasikan, bahkan telah menjadi gengsi pribadi. Hakikat semuanya ini adalah pemahaman, empati, dan emansipatoris perbedaan dan kemanusiaan, sangat sulit dilakukan bahkan nyaris mandeg. Membutuhkan media yang menyiarkan dan menyalurkan aspirasi “agen multikultural” yang tumbuh di masyarakat, sehingga ide gagasan dan cita-cita penghargaan perbedaan itu sampai pada sasaran yang tepat. Peran media massa terkadang telah terinfeksi oleh ekonomi pasar, sehingga perannya sebagai penyiaran publik berubah, menjadi penyiaran kapitalis. Jika itu terjadi maka perannya untuk meningkatkan kesadaran multikultural, pluralisme yang menghargai perbedaan, seperti genialogis motto (Lambang Negara) ”bhineka tunggal ikha tan hana dharma mangrwa”, menjadi simbol tanpa isi.
Saya kira membutuhkan trobosan berupa ide dan gagasan bagaimana kita dapat “menerapkan politik baru”, dengan strategi menghilangkan “identitas-identitas etnik nusantara yang retak” itu, menjadikan satu etnik melayu austronesia seperti esensialnya dalam sejarah. Yang dapat berakibat pada masyarakat era “pasca-identitas” itu, muncul “habitus” atau kebiasaan bahwa semua manusia adalah saudara demi humanismenya, sehingga identitas lain yang semulanya dipandang sebagai ancaman, musuh, kafir, the other (yang liyan), bukan urusan kita, kemudian (meminjam istilah Bourdieu) menjadi dexa (ideologi) baru bahwa the other itu adalah masalah kita juga. Dengan demikian di masyarakat ikut mengalami pergeseran bahwa menghargai seseorang manusia bukan karena identitasnya, tetapi karena manusia itu berhak dihargai sebagaimana kemanusiaannya (Said, 2010:xiii; Suryawan, 2012:160). Dari uraian di atas dapat didalilkan bahwa semakin identitas itu diperjelas, maka semakin kecil peluang kita untuk mencapai perdamaian dan keharmonisan. Aplikasinya di Bali persaudaraan nyama-Bali dengan nyama Islam, sesungguhnya usaha pengkaburan identitas, demikian juga penyebutan galungan selam dan galungan cina di Bali ada dalam konteks itu.
Jika kita dalilkan secara esensial bahwa semua agama besar di Indonesia adalah barang import, maka yang mana sesungguhnya agama melayu austronesia, jawabannya secara historis “habitus objektifnya” adalah “Animisme dan Dinamisme itu, yang kita musuhi demi keberpihakan kita pada barang import itu (agama kita). Karena pendidikan yang dikonstruksi manusia modern untuk menguatkan identitas sudah terhegemoni oleh ideologi bahwa selain agama saya kafir atau tidak relegi. Hal ini menjadi kesadaran diri sehingga menjadi “habitus individu” dan menumbuhkan kesadaran palsu, bahkan memotong sejarah umat manusia demi menghindari debat historis yang tidak bisa dikoptasi atau ditelanjangi secara politik (Widja, 2012:ix).
Dalam konteks di atas muncullah gagasan, cita-cita, idealisme pendidikan (melalui RRI Singaraja) multikultural itu. Dalam wacana semua media seperti TV (Bali TV), RRI (Singaraja), Koran (Bali Post) dan product mass media (orang media) ikut angkat bicara pendidikan multikultural. Terutama dalam mengejawantahkan idealisme founding fathers mengenai penghayatan, pengamalan “Pancasila, UUD 1945, Keutuhan NKRI dan  mengharmati kebinekaan” disebut empat pilar kebangsaan. Dalam hal ini, dengan menggunakan mass media RRI Singaraja sebagai salah satu sarananya, dalam pendidikan multikultural masyarakat baik faedagogik maupun antrogogik menjadi sangat strategis dalam pendidikan antrogogik itu.
Menurut Tilaar (2007) bahwa pendidikan multikultural berawal dari kesadaran yang lyan (the other) inter-kulturalisme setelah PD II. Kesadaran ini terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, diskriminasi rasial, dan dehumanisasi lainnya. Dan meningkatnya pluralisme warga negara terutama Eropa dan Amerika pasca-Perang Dunia II, sehingga muncul pendidikan “interkultural, inter kelompok (inter-cultural and inter group education”) (cf. Azra, 2007:24).  Tujuannya adalah mengubah prilaku individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan minoritas, ras, kelompok, agama, etnis lainnya, sehingga dengan demikian tumbuh individu yang memiliki sikap dan kepribadian toleran menghargai perbedaan dalam kompleksitasnya.
Memang konflik sering terjadi pada tingkat masyarakat, bukan pada tingkat individu, dengan demikian dibutuhkan pemerdayaan (empowerment) kelompok minoritas, dan penyadaran kelompok mayoritas. Pendidikan multikultural akhirnya butuh dikembangkan mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan minoritas (kelompok terpinggirkan) dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Pelaksanaannya dilakukan secara integratif, terpadu sehingga sikap peduli ditumbuhkembangkan, satu di antaranya melalui pendidikan massa melalui media RRI Singaraja satu di antaranya dan TV lokal  Bali TV sangat memegang peranan strategis.
Keterpaduan dan terintegrasi dimaksdukan di sini, penyiarannya dalam “pendidikan publik” tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam aplikasinya (RRI Singaraja) diharapkan tetap memiliki visi dan missi 4 pilar kebangsaan itu. Apapun isi siarannya, agar dapat meumbuhkan kesadaran dan pemahamannya. Apakah siaran/program kita ada dalam konteks 4 pilar kebangsaan itu, atau dalam konteks penyiaran kapitalis. Jika ada penyiaran yang di dalamnya ada unsur kapital, diharapkan tetap memiliki nuansa kebangsaan itu, dan harus tetap terjaga dan terukur dalam konteks 4 pilar itu. Jika ada materi siaran memang sangat bertentangan dengan 4 pilar itu agen dalam hal ini RRI (kuli medianya) dapat mengingatkan, menyadarkan, dan mengarahkan agar kembali ke nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa. Contoh melalui RRI penyiar dapat melakukan kritik, himbauan, bahkan menegosiasikan terhadap masyarakatnya yang “ketika 17 Agustus-an” sedang berlangsung, “masyarakat kapitalis itu” memasang umbul-umbul, bendera warna biru, hijau, dengan promosinya  memenuhi jalanan, sehingga mematikan nuansa Merah-Putih di jalanan. Melupakan memasang bendera, memenuhi jalan milik publik dengan dominasi warna perusahannya.
Sekali lagi saya tekankan bahwa pendidikan multikultural membutuhkan kondisi rial, yaitu agen harus memiliki sensitivitas budaya dan kemanusiaan (humaniora), dengan kemampuan secara kritis dapat menelanjangi identitas diri dan identitas manusia lain, diharap ada yang tampil menjadi “pahlawan” multikultur. Dengan demikian peran menumbuh-kembangkan kepedulian, sensitivitas, empati, emansipatoris terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam 4 pilar kebangsaan itu, menjadikan masa depan bangsa kita (khususnya Bali) akan lebih terjamin. 

3.      RRI, Nasionalisme dan Masyarakat Multikultural
Pertanyaan kedua setelah membahas pendidikan multikulturalisme adalah “bagaimana posisi strategis RRI Singaraja dalam memasyarakatkan nilai-nilai kebangsaan/ nasionalisme di era telekomonikasi dan informasi ini, khususnya terkait dengan 4 pilar kebangsaan?”.
Empat pilar kebangsaan itu adalah konsep politik, bukan konsep akademik, secara konsep politik, pilar pertama adalah dasar yang menjadi “nilai-nilai hidup berbangsa dan bernegara Pancasila sebagai fundamental dan sokogurunya; ke dua dasar itu tertancap pada wilayah geografis NKRI; ketiga, UUD 1945 sebagai aturan main utamanya yang diejawantahkan dalam praktek hidup baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya bangsa, dan wawasan nusantara; dan kebhinekaan adalah wujud agennya yang bergerak di berbagai event dalam ruang dan waktu, sejak 17 Agustus 1945 sampai akhir hayat bangsa ini. Umur 68 tahun bagi suatu negara merdeka dapat diandaikan sebagai manusia baru berumur menjelang tujuh bulan (satu oton delapan hari). Empat pilar kebangsaan ini, diharapkan menjadi pegangan dalam menumbuhkembangkan setiap anak bangsa yang lahir di NKRI ini, yang penuh tantangan ke depan di era telekomunikasi dan informasi ini, meminjam istilahnya Castel menyebut abad masyarakat jaringan (the age of net working society).
Infromasi dalam jejaring sosial itu adalah bagaikan kuda liar disengat tawon, terjadi perubahan cepat, penuh dengan kepalsuan, penipuan, dan simulasi. Dengan demikian dibutuhkan kecerdasan khusus dalam mengalisisnya, karena seperti kata Baudrillard dikutip Piliang bahwa informasi itu adalah menampilkan hiper realitas, dunia telah dilipat-lipat, sehingga terjadi pelipatan ruang, waktu, dan kesadaran kita sehingga memunculkan kesadaran palsu (Piliang, 2011:45). Radio sebagai salah satu media informasi yang memiliki peluang untuk “selingkuh” terkait dengan pelipatan itu, membutuhkan pemahaman terhadap eranya terutama kalau dikaitkan dengan empat pilar kebangsaan di atas.
Pertama, pancasila sebagai sebuah ideologi dalam media. Bicara ideologi (narasi besar) butuh menumbuhkan kesadaran terhadap the other, dalam konteks oposisi biner ada kelompok terpinggirkan dari mainstrim dominan itu. Dalam masyarakat patriarkhi memberikan tempat pada perempuan sebagaimana layaknya, demikian juga pada pemahaman individu/kelompok menyisakan ruang pada “yang lain”-nya. Seperti diuraikan oleh Gramsci bahwa ideologi itu bukan hanya berupa kesadaran palsu (alat paksa kelompok lawan, penentang, dll.), tetapi juga sebagai produk kehidupan sosial, ekonomi sebuah masyarakat (Sianipar, 2007:23).
Ideologi dimiliki oleh setiap kelas sosial, ideologi penguasa (kelas dominan) untuk mempertahankan kekuasaan, sementara bagi kelas tertindas memiliki ideologi sebagai ekspresi perlawanan, atau sebagai kesadaran perjuangan dalam kelas sosial masyarakat. Media RRI Singaraja sebagai penyiaran publik sangat dituntut agar memiliki kesadaran “ideologis bersayap itu” sehingga dapat menjembatani berbagai ideologi yang ada di masyarakat yang diwacanakannya (Althusser, 2010:xviii). Misalnya kita harus dapat menanamkan kesadaran pada diri kita bahwa “tidak ada kebenaran tunggal” dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Berbeda pendapat, berbeda sudut pandang itu adalah suatu yang manusiawi, bahkan kewajiban bagi RRI untuk menggalinya. Menanggapi kritik menggunakan otoritas, dan alasan pusat jakarta, pimpinan, demikian juknisnya, dan pagu dari atas, dan sebagainya, sebenarnya tidak ada tempatnya secara ideologis kalau anak media RRI itu memang menjadi pasilitator dalam mengembangkan masyarakat multikultural itu, kalau dilihat dari Ideologi Pancasila sebagai “jargon normatif dan filosofisnya”. RRI justru harus mampu menayangkan kritik terhadap “threefolding yaitu masyarakat (LSM, NGO), pemerintah, dan industriawan/ usahawan”, sehingga pembangunan masyarakat berjalan dalam kedewasaan menerima kritik membangun (Perlas, 2000:1).
UUD 1945, memang telah diamandemen beberapa kali, tetapi karena kaidah fundamentalnya tetap tidak diubah, kita tidak kawatir akan amandemen itu, karena merupakan “ilmu turunan”, sebagai sebuah turunan akan dapat dimurnikan dari yang menurunkannya (MK telah terbentu). Pengaruh globalisasi dan otonomi daerah terhadap nasionalisme merupakan kekuatan perongrong yang sama kuatnya, hanya dari arah berlawanan, atau sama-sama dalam koorporasi multinasional. Globalisasi bentuknya aliran kapital, sementara di pihak lain otonomi daerah aliran kekuasaan dan akhirnya bermuara ke finansial, dan demikian juga sebaliknya.
Semangat dan kebathinan dari UUD 1945 dapat dilihat dalam pasal-pasal serta penjelasannya, ada jiwa jaman yang tersirat di dalamnya, hanya saja demi kepentingan ekonomi dan kedudukan pejabat yang kurang berlatar sejarah jadi masa bodo dengan ide dasar yang gagas dan dimaksud oleh founding fathers itu.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), otonomi daerah yang direduksi dalam amandemen perundangan di Indonesia adalah menantisipasi pemerintahan pusat yang otoritarian, seperti yang terlihat dalam pemerintahan Orde Baru dan Orde Lama, tetapi bukan lantas diartikan dapat membentuk negara baru, karena tidak puas dengan pemerintahan pusat. Kesatuan dan persatuan (wilayah dan orangnya) adalah satu kesatuan dibingkai dalam Bhineka Tunggal Ikha, unity in diversity, menghargai perbedaan, bahkan diwacanakan agar dianggap sebagai anugrah, bukan dominasi mayoritas terhadap minoritas. Suara terbanyak belum tentu menyuarakan kebenaran, bisa jadi “melagukan kekuasaan”, justru kebenaran itu ada pada suara minoritas. Negara ini terlalu banyak harus diselsaikan pascakemerdekaan, sepertinya masa kolonial masih bertumbuh dengan baju baru mengatas namakan keindonesiaan, padahal penguasa terkadang lebih VOC dari VOC, atau lebih kolonial dari kolonial Belanda. Asal ada niat dan terselip kepentingan finansial dan kekuasaan dalam aktivitas kehidupan kita, dengan mengobjektivikasi manusia NKRI di dalamnya, hati-hatilah terhadap bahaya laten post kolonialisme di Indonesia. Terkadang dengan berbanyak “korupsi, melakukan kekerasan, pemerasan, pungli, contoh kecil pemunggutan karcis di PP dan tempat keramaian publik lainnya, bisa jadi itu tindakan kolonialisme kita di wilayah NKRI yang kita cintai bersama. Hancurnya VOC kalau mau belajar dari sejarah karena tindakan pegawainya yang sangat korup, walaupun dia sudah mengelola nusantara ini sudah hampir dua abad lamanya (1602-1799).
Kebhinekaan kita sesungguhnya adalah ikha, paling dualitas esensialnya seandainya bangsa ini mau belajar dari sejarah.
Bangsa ini berasal dari satu rumpun “melayu austronesia: proto melayu dan detro melayu, dengan peradaban melayunya, yaitu batu besar (meghalithicum), mengolah perunggu, gerabah, wayang, menenun, pemujaan roh nenek moyang, agama aslinya animisme dan dinamisme, bercocok tanam, ilmu perbintangan, dan sebagainya (lokal genius). Gelombang pasang pengaruh luar, menjadikan kita berbhineka karena pengaruh luar tidak merata, geografis, pusat kerajaan dan pemerintahan memusat di Jawa dan penyebab pembeda lainnya. Khusus setelah masuknya “barang impor berupa agama-agama besar”, kita jadi berusaha melupakan agama asli kita. Saling klaim mengaku pemilik asli barang impor itu menjadikan kita melupakan jati diri bangsa sendiri, dan itu dibuat dan diabadikan dengan berbagai cara baik oleh elit penguasa lokal maupun kolonial, sehingga kita tercerai berai dalam kepercayaan, keyakinan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Bergerak sendiri-sendiri dan membuat identitas lokal masing-masing dengan simbol-simbol kekerasan massanya dan senjatanya, seperti keris Bali-Jawa, Carok-clurit Madura, Rencong-Aceh, Klewang, pedang, tombak, dan kontruksi budaya kekerasan dengan simbolnya di nusantara.
Jangan-jangan simbol-simbol kekerasan itu, menjadikan bangsa ini memang gemar kekerasan, seperti “baris tombak” di Bali, bisa jadi juga merupakan simbolisisi kekerasan dalam mempertahankan identitas kedaerahan kita di masa lalu, yang butuh dekonstruksi di masa datang.
Kebinekaan adalah anugerah, “taman tanpa bunga warna-warni sepertinya bukan taman” seperti simbolisasi dalam “dewa nawa sanga”, nampaknya tidak indah dan tidak ada tenaga gaibnya, kalau monowarna sekalipun warna putih bersih. Hal ini (Ajaran ini) adalah bergantung pada siapa yang mengkontruksinya, dalam kepentingan apa dikontruksi. Relasi kuasa dan kapital dewasa ini, merupakan faktor dominan yang harus diperhitungkan dalam analisis, di samping seksualitas (wanita) dalam aras figur yang mau dianalisis. Kita telah disodori banyak derama panggung kehidupan di media massa dan jejaring sosial dengan korupsi, kemudian memamerkan istrinya, serta kekayaannya yang melebihi kekayaan rial negara (devisa negara), seperti kasus Gayus Tambunan, Rudi Rubiandini, Sanimin Akbar Abas kasus teranyar, serta koruptor lainnya.
RRI Singaraja memiliki andil dan peran strategis, walaupun tidak seperti media audio visual, karena sifat medianya memang berbeda. Namun daya tarik RRI berbeda dengan televisi dan internet, sifat beritanya pun berbeda, popularitasnya memiliki tempat, pendengar, dan pencinta berbeda. Namun yang pasti publik mengantungkan harapan pada RRI Singaraja yang satu-satunya penyiaran publik yang dapat membentuk opini yang benar, agar tidak memunculkan kesadaran palsu karena beritanya palsu. Ketika melakukan analisis biarkan masyarakat ikut menganalisisnya, namun sodorkan fakta dan data yang benar seperti apa adanya, sehingga kesadaran masyarakat yang terbangun darinya berbeda tetapi dengan dasar data dan fakta yang sama. Hal ini akan memberikan wajah dan bentuk “habitus” (kebiasaan) yang benar di masyarakat.

4.    Refleksi diri (Memaknai Peringatan Kemerdekaan, 17 Agustus 2013)
Refleksi 68 tahun kemerdekaan, saya akan lakukan dalam konteks pascakolonial media di Bali. Secara teori, dasar untuk menilai dari atas meja berdasar pengalaman pribadi penulis sebagai orang yang terbentuk oleh media (Radio, TV, Koran, Media Jejaring Sosial di dunia maya), merasakan betapa susahnya masyarakat awam membedakan mana opini dan mana fakta, dan atau kebohongan dalam kehidupan sehari-hari, karena kebohongan karena setiap saat disuguhkan melalui media, bisa mengubah persepsi menjadi (seolah-olah) kebenaran. Betapa menyesatkan media seperti itu, karena adanya perselingkuhan politisi dengan awak media. Terutama karena memang di arahkan untuk itu, demi finasial, kekuasaan atau kepentingan lainnya. Bayangkan media yang ada di Bali yang dipersepsi seperti itu oleh publik.
Dengan demikian kolonialisme dan imprialisme sebenarnya belum berakhir, karena kolonialisme dan imprialisme bukan hanya diartikan pendudukan negara secara langsung, bukan pula karena operasi kerjasama dengan orang luar, tetapi karena sistem-sistem lama yang digunakan zaman kolonial atau kerajaan ditiru dari dalam dan digunakan sebagai versi baru (HP Casing baru mesin lama). Misalnya pemerintahan yang baru tetap mempergunakan sistem pemerintahan pola-pola lama yang tidak membawa perubahan positif bagi rakyatnya secara umum. Jadi perjuangan kemerdekaan pascakolonial harus dilanjutkan dengan melawan dominasi warisan-warisan pemerintahan kolonial dan feodal yang diterapkan dewasa ini oleh penguasa, seperti disebutkan oleh Ania Loomba berikut.
Negara bangsa yang baru merdeka hanya membagikan buah secara selektif dan timpang kepada rakyat. Digulingkannya pemerintahan kolonial tidak secara otomatis membawa perubahan ke arah perbaikan setatus perempuan, kelas pekerja, atau petani di kebanyakan negara jajahan (cf. Sianipar, 2007:11).

            Kalau kolonial disebut sebagai praktik dehumanisasi, apa yang dapat kita sebut jika dilakukan oleh bangsa sendiri, dan emansipasi apa yang dapat dilakukan, apakah mengangkat senjata, bambu runcing atau membuat boom melotot. Karena saya yakin kekerasan tidak dapat menyelesaikan persoalan, justru mau memecahkan persoalan dengan ikut mengonstruksi kekerasan baru. Seperti pecalang terkadang mau mengamankan tetapi justru tidak membuat keamanan publik, sehingga menjadi kontraproduktif (cf. Suryawan, 2010).
            Untuk menganalisis lebih jauh dampak kolonialisme terhadap budaya kita, perlu menganalisis hubungan proses budaya dengan proses ekonomi. Hal ini menuntut dilakukannya (a) pandangan ulang atas kategori kapitalis, (b) telaah lebih jauh hubungan antara bidang budaya, ekonomi dan ideologi kita yang hidup di masyarakat. Ideologi diartikan keseluruhan “kerangka kerja mental” manusia dalam world vew-nya. Ideologi itu juga kemudian bisa dijadikan cara untuk mempertahankan kekuasaannya, sebaliknya dijadikan perlawanan bagi yang tertindas. Althusser (2010) menyebutkan ranah operasional dari hegemoni negara dalam melaksanakan praktik kolonialismenya pascakolonial ini adalah: (1) Aparat negara represif, seperti: militer, polisi, pamong praja, pecalang,dll. (2) Aparat negara ideologis, seperti: sekolah, media massa, agama, dan sistem politik. Aparat ideologis inilah yang berperan menciptakan subjek yang dikondisikan secara ideologis untuk menerima sistem dan nilai-nilai yang ada, terutama yang telah disusupi oleh ideologi feodal dan kolonial. Hal ini dapat diperluas ke bidang material, karena ideologi memiliki esensial/eksistensial material, artinya ideologi ada pada aparat negara dan tindakan yang mereka lakukan, karena ideologi menjadi pengarah normatifnya dalam berpikir, berkata, dan berbuat.
            Menyitir pandangan Althusser (2010) di atas maka kita sebagai abdi negara dimanapun bertugas terutama secara eksplisit disampaikan bahwa Media (RRI Singaraja, Guru/Dosen (Penulis), berpotensi memiliki peran untuk melanjutkan ideologis melanggengkan kolonialisme, feodalisme, kapitalisme, dan lawan dari empat pilar kebangsaan di atas, jika kita kurang reflektif dalam bertindak (ngrasanin, teposelero, nyiksik bulu sesai). Sehingga terkadang kita bercuah-cuah nengatakan diri bersih dari korupsi (KKNC/cecungukisme) ternyata kita berprilaku sangat korup, feodalis, kapitalis, rasialis, gender dan lawan dari 4 pilar kebangsaan kita (cf. Sutrisno, 2007; Widja, 2012). Kita sering menemukan kemunafikan di lingkungan kita, tetapi karena kita ikut enak di dalamnya, walaupun di atas penderitaan orang lain, terkadang sungkan,menjadi masa bodo, dan apatis. Korupsi dan kekerasan dimaknai hanya jika dilakukan sendirian, tetapi kalau dilakukan ramai-ramai dianggap tidak korupsi dan tidak kekerasan, tetapi dikatakan demi kebersamaan, sekali-kali harus berani berkata demi minoritas, demi tang liyan, the other. Sikap komunal seperti di atas menjadikan kita terkadang memerintah “lebih belanda dari belanda”, mencibir belanda kejam ternyata kita lebih kejam darinya, semua kelemahan dikatakan sebagai akibta kolonial, padahal lebih parah akibat feodalisme kita yang bukan warisan kolonial.
Kata C. Geertz, seorang antropolog Amerika meneliti di Jawa dan Bali mengatakan  kita akan mengalami involusi dalam berbagai kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, karena kita sering berbangga berdiri di atas penderitaan oranga lain, menyelesaikan masalah dengan mematikan lawan. Mengapa kita sering merasionalisasi irasional, dan mengabaikan kebenaran, jawabannya karena sistem dibuat memang warisan kolonial, tapi demi sistem yang sudah tahu salah tetap dipertahankan, inti jawabannya mungkin juga karena kita ada di dalamnya. Mari merdekakan diri, merdekakan bangsa dari belenggu kolonialisme pascakolonial ini, dengan membangun kesadaran dan refleksi diri setiap saat dan momentum terbaik disaat ada perayaan hari-hari besar nasional seperti sekarang ini.

5.      Simpulan
Pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai ”pendidikan untuk/tentang keragaman kultural dalam merespons perubahan demografis dan kultural pada lingkungan masyarakat  tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Pendidikan interkultural ini sangat relevan dialkukan melalui RRI (Singaraja sebagai penyiaran publik), sehingga dapat terwujud masyarakat “surga dalam perbedaan”, ketika kita bersama mengambil langkah “politik strategis baru” dengan mengaburkan batas-batas identitas, karena makin tajam batas-batas identitas penciptaan kedamaian akan makin mustahil (dasarnya apakah agama, suku, ras, bahasa, ekonomi, asal migran, pulau, dan sebagainya) (Said, 2010:xxiv).
Identitas yang dapat mengantar identitas lain adalah ancaman, lawan, musuh, apalagi harus dibunuh maka kehidupan sebuah identitas mayoritas atai minoritas akan tidak pernah merasa damai. Setelah PD II diharapkan antara penajah dengan bekas jajahan secara bersama-sama mengatasi kesulitan bersama, dengan dasar kemanusiaan, dan keadilan, bukan berdasarkan dominasi dan hegemoni dengan menggunakan modal-nodal yang dimiliki oleh kelompok identitas tertentu misalnya “global putih”. Kolonialisme dan imprialisme bisa datang dari mana saja, bahkan pascakolonial, penajajahan dari bangsa sendiri akan jauh lebih sulit untuk diatasi, karena hanya kesadaran dari dalam nampaknya paling dapat diandalkan, karena kekerasan fisik dan dominasi alasan apapun di era globalisasi dan informatika tidak dibenarkan, karena era globalisasi (borderless state) tidak ada sesuatu yang dapat disembunyikan, kita telah menjadi kampung global (Pageh, 2010b; Widja, 2010).
Pendidikan multikultur melalui RRI Singaraja dengan visi dan missi empat pilar kebangsaan itu saya optimis dapat diwujudkan. Dengan RRI Singaraja sebagai lembaga  penyiaran publik yang tetap mempertahankan netralitas dari perselingkuhan dengan politisi, LSM, dan industriawan (cf.Tripoldingnya:Perlas, 2000). Dengan demikian RRI Singaraja tidak ditinggalkan oleh penggemarnya. Jika menjadi “terjajah” seperti media massa lainnya di Bali, maka tunggu saatnya RRI menjadi media yang ditinggalkan oleh pencintanya beralih ke radio swasta lainnya, dan bahkan siap-siap di-PTUN-kan oleh publik pencintanya (?).
Posisi RRI dan sekolah/kampus sebagai lembaga yang bersifat ideologis, karena akan menjadi lembaga “pembentuk dan pengkonstruksi budaya dan politik masyarakat. Oleh karena itu maka kerangka kerja kita wajib memahami dimensi ideologis itu, terutama terkait dengan 4 pilar kebangsaan kita.
Kemerdekaan adalah wacana yang sangat mudah diucapkan, disumpahkan, tetapi sangat sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernagara seperti dibahas dengan teori poskolonial di atas. Periksa selogan ini sudah dipergunakan di sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, masih klasik dalam ungkapan seperti berikut:
Merdeka.. merdeka.. merdeka.. Garuda di dadaku;
Sekali merdeka tetap merdeka.......... Indonesiaku
Sekali di udara tetap di udara ...... RRI Singarajaku

Sekali merah-putih tetap merah putih di dadaku
Tetap mewarnai empat pilar kebangsaan Indonesiaku
Ayo brantas sisa-sisa kolonial era poackolonial
Memulai dari diri dan keluarga kita (Pageh, 2013).

Kita bersama sama melalui perayaan HUT Kemerdekaan NKRI ke-68 ini, bahwa kita setiap saat dan terutama ketika ada hari-hari besar nasional, diharapkan penguasa mampu mereplekasikan diri apakah saya masih “lebih kolonial dari kolonial, atau lebih belanda dari belanda”, dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, atau tidak kontraproduktif bahkan antipancasila”.
Merdeka, sekali merdeka tetap merdeka, sekali di udara tetap di udara, Jaya RRI Singaraja yang saya kenal sebagai pengemban siaran kebangsaan, melalui siaran Merah-Putih, Dialog Interaktif, gelar wicara dan sebagainya. Juga terimaksih setulusnya bangsa ini harus katakan, karena melalui RRI Mr. I Gusti Ketut Pudja dapat ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional yang dapat menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, orang Bali, khususnya Orang Buleleng di era kebhinekaan harus menjadi perhatian khusus (Pageh, 2010; 2010b). Jadi Buleleng bukanlah BBD, Buldog, kasar, kaku seperti diselorohkan orang, jika mau mengejek “kebulelengan orang” yang terkenal meboya, namun memiliki rasa jengah dan memiliki bumi panas, bahasa kasar namun halus bhudi dan berhati mulia. Buleleng adalah kota metropolitan, tidak dapat direduksi bedasarkan dialek apalagi idealek tertentu di Bali Utara. Bravo RRI, terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Abdilah, S. Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesiatera.

Althusser, Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra.

Azra, Azyumardi.2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta: Ampulse dan Pustaka Pelajar.

Foucault, M. 2002. Pengetahuan dan Metode Karya-karya Penting Foucault. Arif (penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.

Gadamer, Hans-Georg. 2010. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony, 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern Suatu Analisis TerhadapKarya Tulis Marx, Durkheim Dan Max Weber. UI Press: Jakarta.

Gramsci, Antonio 1971. Sejarah dan Budaya. Ira Puspitorini, et al. (Penerjemah). Pustaka Promethea: Surabaya.

Pageh, I Made dan Nengah Bawa Atmadja. 2010b. Sejarah dan Kearifan Berbangsa: Bungan Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah. Denpasar:Larasan dan FIS Undiksha.

Pageh, I Made. 2010. Kepahlawanan dan Perjuangan Sejarah Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia: Konteks Lampah Mr. I Gusti Ketut Pudja,1908-2010.Denpasar: Larasan, MSI Cabang Buleleng, Undiksha dan Pemda Buleleng.

Pageh, I Made. 2013. “Jasmerah “Puputan” Margarana: Menyoal Aktualisasi Nilai-nilai Sejarah di Era Globalisasi”, dalam iAnak Agung Gede Putra Agung: Sejarawan dan Budayawan Bali. I Ketut Ardhana dan Slamat Trisila (Editor). Denpasar: Penerbit Larasan bekerja sama dengan Kajian Bali Jurusan Sastra Fakultas Udayana Singaraja.

Perlas, Nicanor. 2000. Shaping Globalization: Civil Society, Cultural Power and Threefolding. Philippines: Cadi and GlobeNet.

Piliang,Y.A.2010. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Hmaniora Pada Umumnya. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Said, Edward W. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Menundukkan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sianipar, Gading. 2007. “Mendefinisikan Pascakolonialisme?  dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed). Yogyakarta: Kanisius.

Suryawan, I Ngurah,2012. Sisi di Balik Bali: Politik Identitas, Kekerasan, dan Interkoneksi Global. Denpasar: Udayana Press.

Suryawan, I Ngurah. 2010. Genialogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara. Jakarta: Prenada.

Sutrisno, Mudji. 2007. “Diri dan the other” dan “Rumitnya Pencarian Diri Kultural”, dalam Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed). Yogyakarta: Kanisius.

Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Penerbit Reka Cipta.

Widja, I Gde. 2012. Pendidikan Sebagai Ideologi Budaya: Mengamati Masalah Pendidikan Melalui Pendekatan Kajian Budaya. Denpasar: Krisna Abadi.



[1] Penulis Dosen Fakultas Ilmu Sosial Undiksha, staf edukatif di Jurusan Pendidikan Sejarah, sejak 1988 hingga kini, sejak 2012 berstaus melanjutka studi S-3 di Kajian Budaya Unud Denpasar (lihat biodata terlampir).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda