MEMBONGKAR IDEOLOGI TENGKULAK: Pola Perdagangan Sayur Mayur di Pasar Baturiti Tabanan Bali
MEMBONGKAR IDEOLOGI TENGKULAK:
Pola Perdagangan Sayur Mayur di Pasar Baturiti
Tabanan Bali
Oleh:
Drs. I Made Pageh
1. Pendahuluan
Kajian gender sangat menarik
dilakukan di Bali dalam sistem sosial masyarakat paternalistik dalam garis
keturunan kuasa laki-laki,
dalam kondisi sosial masyarakat seperti itu wanita dianggap ideal lebih banyak
berperan di sektor domestik. Peranan wanita dalam sektor publik masih dianggap
melanggar adat-istiadat, sehingga wanita karir di Bali masih dalam proses
pembongkaran paradigma paternalistik di atas. Dengan latar belakang seperti itu
menjadi kajian menarik peranan wanita dalam sektor publik khususnya dalam
konteks perdagangan sayur-mayur di
pasar Baturiti asal penulis.
Tugas ini bertujuan untuk melihat kedudukan Pasar Baturiti dalam
pola-pola perdagangan dan kedudukan wanita dalam pola perdagangan tersebut.
Secara teoretis kajian ini sangat bermanfaat dalam memahami teori gender, dalam mata kuliah “manusia dan kebudayaan
kontemporer”, khususnya dalam feminisme (gerakan perempuan), dan gendernya, di
Bali garis keturunan kuasa laki-laki (Atmadja, 2010).
kajian ini ditulis dengan melakukan wawancara terbatas di
lingkungan banjar sendiri, dengan teknik snow ball sampling
mencari beberapa informan inti, kemudian secara berantai data dikumpulkan dengan
observasi di Pasar Baturiti.
II. Pembahasan Hasil
Pasar baturiti memiliki peranan
sentaral dalam perjualan dan penghasil sayur-mayur, bahkan hotel hampir di
seluruh Bali ditemukan pedagang sayur yang mengambilnya di Pasar Baturiti.
Demikian pentingnya peran pasar ini, dan demikian sempitnya pasar Baturiti ini
memerlukan pengelolaan tersendiri, dan relokasi khusus tempat jual-beli sayur
borongan.
Ada beberapa pola kuasa dalam perdagangan sayur dari produsen/petani ke konsumen
akhir yang dapat berpengaruh terhadap harga sayur-mayur karena harus membayar
jaringan yang jatuh ke tangan tengkulak. Pola lima tingkat perjalan sayuran
dari (1) petani menjaul sayurannya ke pasar, (2) dibeli oleh para pedagang
pengumpul (3) kemudian dibeli oleh pedagang besar (distributor), (4) lalu
dibeli oleh pedagang pengecer kembali, (5) konsumen di kota-kota besar.
Dalam perdagangan ini menggunakan
keranjang sebagai satuan ukurannya. Kemampuan pedagang pengumpul biasanya
membeli antara 5 sampai dengan 10 keranjang, selanjutnya dikupas dan
dibersihkan terlebih dahulu kulitnya. Sedangkan pedagang distributor membeli
sampai 40-50 keranjang yang telah dibersihkan. Satuan pembeliannya bisa berupa
kerajangan atau kilograman, bergantung pada kuasa pembeli.
Gambar Pola: Lima Tingkat dari Petani ke Konsumen Akhir
Dalam saluran tingkat lima ini,
sayuran sampai ke tangan konsumen dari produsen menjadi sangat mahal, karena
jaringan atau rantai-rantai perdagangan dalam ritail itu sangat panjang. Harga
broker (tengkulak) dari satu tangan ke tangan lainnya secara berantai.
Perjalanan
sayur dari petani/pemasaran, tengkulak, distributor, pedagang pengecer, dan
konsumen akhir. Para tengkulak menjadi pelaku utama dalam perdagangan ini.
Mereka selalu aktif menghubungi petani sebagai pelaku usaha tani sayuran.
Petani dalam kaitannya dengan tengkulak melakukan pembelian dengan jalan
memajeg/tebasan sayurannya masih di kebun dan atau secara tegenan dari tangan pertama langsung setelah panen. Bahkan belum
siap dipanen terkadang petani dapat menguangkan tanamannya pada tengkulak/
tukang tebas ini. Biasanya harga sangat
dimonopoli oleh kuasa tengkulak yang mendominasi harga barang di pasar.
Terutama dengan para pedagang distributor melakukan kerjasama sehingga mereka
(distributor) dilarang melakukan pembelian langsung, bahkan dikembangkan diskursus bahwa harga sayuran di
kota tidak laku, sehingga petani dengan legowo menerima penetapan harga sesuai
dengan keuntungan yang diinginkannya.
Secara Umum pola perdagangan sayur-mayur di Pasar Baturiti, dapat disederhanakan sebagai berikut.
Catatan: Data diambil dari wawancara terbatas dengan
informan keluarga Pedagang Sayur di Pasar Baturiti Tabanan.
Produsen dalam hal ini petani sayur
yang melaksanakan usaha tani sayur banyak dipermainkan oleh para tengkulak
sayur-mayur yang tahu informasi pasaran atau memiliki hubungan lebih baik
dengan para pedagang pengunpul dan para pedagang grosir atau borongan. Petani
yang hanya tahu sebagai produsen mengalami kesulitan memasarkan hasil taninya
dengan harga yang sesuai dengan pasaran di kota. Sedikit saja kelebihan
produksi sudah diisukan bahwa daerah lain yang terkenal juga sebagai produsen
sayur mengahasilkan sayuran yang melimpah sehingga tidak laku dijual di kota
yang menjadi lokasi mereka berjualan.
Perempuan memegang peranan penting
dalam perdagangan sayur-mayur di Pasar Baturiti, sedangkan laki-lakinya tidak
lebih sebagai pembantu perempuan dalam berjulan. Sangat berbrda dengan
perdagangan ekspor ke luar Bali yang dilakukan oleh laki-laki. Karena perdagangan
lokal masih dianggap kegiatan domestik dan tidak pantas bagi laki-laki,
sedangkan jika sudah berhubungan dengan hotel dan restouran dilakukan oleh
laki-laki, termasuk ekspor ke luar Bali seperti saudagar Bapa Wati dengan
anaknya di Bukit Catu Candikuning.
Membongkar dominasi ideologi kelaki-lakian (purusha) dalam perdagangan sayur-mayur ini, ternyata peran
laki-laki dalam perdagangan ini, terjadi perubahan peran di dalamnya. Karena saudagar
(tengkulak) sayur mayoritas dilakukan
oleh perempuan di Pasar Baturiti. Kalau satu keluarga itu berdagang sayur,
laki-lakinya selalu bertugas sebagai pembantu untuk menaikkan ke Carry P.U dan
mengankat ke tempat penimbunan. Perempuan yang biasa dianggap sebagai tukang
tawar karena ada kesan perempuan boleh cerewet (mata laki-laki) dalam tawar-menawar harga, sedangkan laki-laki
dianggap lucu kalau tawar menawar.
Di samping sebagai pembantu dalam perdagangan, juga berfungsi sebagai sopir
pribadi perempuan pedagang sayur, sebagai pelindung secara fisik (ngelawatin) dalam persaingan yang sangat
ketat dan pekerjaan lain yang dianggap tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Kebencongan laki-laki dalam hal ini,
masih tetap ingin mendominasi perempuan, jadi pembantu dalam pekerjaan publik,
tetap ingin berkuasa seperti boss.
Pedagang sayur perempuan sekaligus
nyopir sendiri ditemukan di Pasar Baturiti, yang diketahui sopir seorang
perempuan masih dianggap langka, apalagi memuat sayur-mayur yang sangat berat.
Perempuan itu bernama Kadek Tit
(suartini) (seorang guru SD) yang menggunakan paruh waktunya sebagai
saudagar sayur-mayur. Sedangkan suaminya juga guru SD dan penyuluh Agama
kecamatan, kalau suaminya tidak dapat ke pasar dia yang ke pasar dari membeli,
menaikkan ke Pik Up dan menyopirnya, dia berasal dari Desa Api Yeh. Demikian
juga Ni Komang Resmi dengan adanya kaus Bom Bali di Legian, pekerjaannya di
sebuah perusahan jasa seminar dan penjualan komputer ditinggalkan, dan beralih
menjadi seorang saudagar sayur. Nampaknya sangat menikmati dalam perdagangan
itu, karena baginya yang penting mendapatkan uang untuk menyambung hidup
ketimbang menunggu nasib yang tidak jelas juntrungannya, karena pemulihan dunia pariwisata membutuhkan waktu lama (Abdilah, 2002).
Hampir 90% saudagar suami-istri yang
diamati dan diwawancarai secara mendalam mengatakan bahwa dirinya sebagai
laki-laki hanya membantu istrinya. Sedangkan dia tidak akan berarti apa-apa
kalau tidak ada istrinya sebagai saudagar. Bahkan juga mengakui dirinya (suami
saudagar) tidak bisa mengatur uang karena sebagai laki-laki selalu lebih boros
dibandingkan dengan perempuan. Dia lebih baik tidak tahu menahu tentang modal
dan keuangan yang digunakan sebagai modal berdagang, dan lebih menikmati minta
pada istri sebagai kebutuhan laki-laki, seperti minta uang untuk bekal hari
raya Galungan/Kuningan atau kalau ada orang meninggal sebagai bekal begadang
pada permainan Ceki atau main Cap Jeki,
bahkan sekali-sekali sebagai hiburan hura-hura ke tajen, ke
tempat Billiard, dan minum-minum Bir dengan teman sekaumnya (megenjekan) (lihat
Atmadja, 2010).
Satatus seorang istri saudagar akan menjadi lebih disegani kalau dapat
bertumbuh menjadi pedagang sukses. Sedangkan peningkatan gensi seorang saudagar
sayur ditunjukkan dengan perlombaan membeli mobil baru (trend di Desa
Baturiti), perlombaan membeli perhiasan emas (gelang dan kalung emas yang
sangat besar-besar) biasanya ditunjukkan atau dipakai saat ada upacara adat
atau odalan di Desa. Di
samping itu ada juga menunjukkan diri mampu dengan membangun rumah atau Bale Bali full asesoris ukiran Bali. Dengan demikian gengsi mereka
menjadi meningkat dan dikagumi
oleh tetangganya, bahwa dia adalah orang sukses dalam berusaha. Karena ini termasuk modal sosial di lingkungannya,
agar dipercaya nganggeh pajegannya oleh lingkungannya.
Penghargaan mereka terhadap
pendidikan tidak begitu positif, bahkan banyak ada yang berpandangan mengapa
bersekolah tinggi-tinggi toh juga tidak dapat menghasilkan uang sebanyak
menjadi saudagar sayur, atau bersekolah tinggi-tinggi (ke Perguruan Tinggi
maksudnya) toh juga pada akhirnya menjadi pedagang sayur, modal pendidikan dianggap tidak menentukan
sukses tidaknya sebagai pedagang sayur (Field, 2010:115; Saifuddin2005).
Sistem ekonomi arisan sangat
membantu para saudagar, karena sistem ariasan harian di antara mereka, setiap hari mengeluarkan uang bisa Rp
100.000,00 sampai Rp 400.000,00 tergantung pada besar kecilnya modal yang
dimiliki. Hal ini ditarik setiap 20 hari sekali, dengan demikian dari uang
inilah mereka mengembangkan modalnya atau melakukan pembelian barang yang lebih
besar seperti membeli mobil, membangun rumah, melaksanakan upacara menghabiskan
uang besar dan sebagainya. Ini
adalah ritual untuk meningkatkan prestise di masyarakatnya.
Seorang perempuan yang sukses dalam
perdagangan sayur-mayur tidak serta merta diikuti oleh peningkatan status
tinggi, karena pekerjaan di sektor publik kalau suaminya tidak langsung ikut
berjualan selalu diderai oleh
isu perselingkuhan antara saudagar perempuan dengan sopirnya dan atau dengan teman sepergaulannya. Wacana ini ini sangat mudah
memakan suami saudagar, sehingga terkadang sukses dalam bidang ekonomi tidak
sukses di keluarga. Kalau ada yang sukses tetapi tidak diderai oleh kasus
perselingkuhan diisukan memakai pengeger, panglantih
(guna-guna) (aji wegig/pesugihan), sehingga menjadi perguningan di
masyarakat. Kondisi ke pasar
malam hari, juga menjadi wacana kondusif bagi provokator yang memang berusaha untuk melakukannya demi
kemajuan pribadi, mematikan
pedagang yang diajak bersaing.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perempuan Bali khususnya dalam
kasus perdagangan sayur-mayur memegang peranan sangat penting, bahkan perempuan
dipandang yang paling cocok sebagai saudagar karena memiliki kemampuan untuk
tawar-menawar lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan laki-laki
lebih berfungsi sebagai pembantu kelancaran para saudagar perempuan.
II. Simpulan
Membongkar keadilan (kesetaraan gender), tidak serta merta datang begitu
saja walaupun perempuan sukses dalam perdagangan, karena doinasi kuasa
laki-laki, tetap dipentaskan (kontestasi) dalam potret perdagangan sayur di
pasar Baturiti Tabanan Bali (Agger, 2003; Field,2010). Dalam perdagangan
sayur-mayur, tengkulak
perempuan Bali sangat dominan laki-laki justru berperan sebahai pembantunya.
Hanya perdagangan antar pulau lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Kelebihan
wanita sebagai tengkulak karena memiliki daya tawar yang tinggi. Kemampuan ini, masih tetap tidak diakui sepenuhnya
di masyarakat patrilinial, karena masih ada istilah perempuan memerlukan
laki-laki untuk “ngelawatin” agar
sukses, alasan dibangun oleh budaya dominan, dalam perdagangan itu penuh
persaingan yang sangat rawan bagi perempuan dalam perdagangan terutama ke masar
di saat malam hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Busero,Ester.
1970. Peranan Wanita dalam Perkembangan
Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
|
Dewey A.G. Peasant Marketing in Java. (New York: The Pree Press, 1962).
|
Dick,
Howard W. “Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya
Suatu Perekonomian Nasional”, dalam, Sejarah
Ekonomi Indonesia. Anne Booth. (et
al.) (penyunting). Jakarta: LP3ES,
1988, hal. 399-434.
|
Geertz,
Clifford. Peddler and Princes: Sosial
Change and Economic Modernization in Two Indonetion Towns. Chicago:
University of Chicago Press,1963.
|
Geertz, Clliford. Involusi
Pertanian Proses Perubahan Ekologis di Indonesia. S. Soepomo
(penerjemah). (Jakarta: Bhratara, 1983).
|
Kano,
Hiroshi. “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran
Kembali”, dalam Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial Ekonomi Abad
XIX dan XX dan Beberapa Aspek Nasionalisme Indonesia. Akira Nagazumi
(penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1986.
|
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat
Agraris Madura 1850-1940. (PAU Studi Sosial, (draft naskah siap
terbit),1988).
|
Purwanto, Bambang. From Dusun to the Market: Native
Rubber Cultivation in Southern Sumatra 1890-1940. London: Universty of
London,1992.
|
Sajogjo, Pudjiwati. 1983. Peranan Wanita dalam
Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: YIIS.
|
Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial. Jakarta: Raja Wali Press.
|
Sendratari, Luh Putu. 2000. “Identifikasi Kegiatan
Sosial Ekonomi Wanita di Desa Tertinggal (Kasus di Desa Bulian, Kecamatan
Kubutambahan, Buleleng Bali)”. IKIP Negeri Singaraja (Hasil Penelitian).
|
Suparlan, Parsudi, 1991. “Antropologi Untuk
Indonesia”, dalam Membangun Martabat Manusia Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam
Pembangunan. Sofian Effendi dkk. (ed.). Yogyakarta: UGM Press
|
Vlaming, J.R. Kongsi dan Spekulasi Jaringan Bisnis
Cina. Bob Widyahartono, penyadur). Jakarta: Grafiti, 1988.
|
|
Weber, Max. “Sekte-sekte Protestan dan semangat
Kapitalisme”, dalam Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Taufik
Abdullah (ed.).( Jakarta: LP3ES,cet.5, 1993), hal.79.
|
YIIS- EUR. 1990. Beberapa Aspek Industri Kecil di
Indonesia. Bogor: YIIS.
|
Atmadja, Bawa Nengah.
2010.Ajeg Bali, Gerakan Identitas
Kultural, dan Globalisasi. Lkis:Yogyakarta.
|
Abdilah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnik, Pergulatan Tanda
Tanpa Identitas. Indonesiatera: Magelang.
|
Saifuddin, Achmad
Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer:
Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradgima. Kencana: Jakarta.
|
Field, John. 2010. Modal Sosial, Nurhadi (penerjemah).
Kreasi Wacana: Jakarta.
|
Egger, Men. 2003. Mazhab Frankfurt, Karl Marx, Culture
Studies, Teori Feminis, Derrida Posmodernitas: Teori Sosial Kritis, Kritik
Penerapan dan Implikasinya. Nurhadi (Penerjemah). Kreasi Wacana: Jakarta.
|
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda