Selasa, 13 Februari 2018

MEMBONGKAR IDEOLOGI TENGKULAK: Pola Perdagangan Sayur Mayur di Pasar Baturiti Tabanan Bali


MEMBONGKAR IDEOLOGI TENGKULAK:
Pola Perdagangan Sayur Mayur di Pasar Baturiti
Tabanan Bali

Oleh:
Drs. I Made Pageh
1. Pendahuluan
            Kajian gender sangat menarik dilakukan di Bali dalam sistem sosial masyarakat paternalistik dalam garis keturunan kuasa laki-laki, dalam kondisi sosial masyarakat seperti itu wanita dianggap ideal lebih banyak berperan di sektor domestik. Peranan wanita dalam sektor publik masih dianggap melanggar adat-istiadat, sehingga wanita karir di Bali masih dalam proses pembongkaran paradigma paternalistik di atas. Dengan latar belakang seperti itu menjadi kajian menarik peranan wanita dalam sektor publik khususnya dalam konteks perdagangan sayur-mayur di pasar Baturiti asal penulis.
            Tugas ini bertujuan untuk melihat kedudukan Pasar Baturiti dalam pola-pola perdagangan dan kedudukan wanita dalam pola perdagangan tersebut. Secara teoretis kajian ini sangat bermanfaat dalam memahami teori gender, dalam mata kuliah “manusia dan kebudayaan kontemporer”, khususnya dalam feminisme (gerakan perempuan), dan gendernya, di Bali garis keturunan kuasa laki-laki (Atmadja, 2010).
            kajian ini ditulis dengan melakukan wawancara terbatas di lingkungan banjar sendiri, dengan teknik snow ball sampling mencari beberapa informan inti, kemudian secara berantai data dikumpulkan dengan observasi di Pasar Baturiti.

II. Pembahasan Hasil
           
            Pasar baturiti memiliki peranan sentaral dalam perjualan dan penghasil sayur-mayur, bahkan hotel hampir di seluruh Bali ditemukan pedagang sayur yang mengambilnya di Pasar Baturiti. Demikian pentingnya peran pasar ini, dan demikian sempitnya pasar Baturiti ini memerlukan pengelolaan tersendiri, dan relokasi khusus tempat jual-beli sayur borongan.
            Ada beberapa pola kuasa dalam perdagangan sayur dari produsen/petani ke konsumen akhir yang dapat berpengaruh terhadap harga sayur-mayur karena harus membayar jaringan yang jatuh ke tangan tengkulak. Pola lima tingkat perjalan sayuran dari (1) petani menjaul sayurannya ke pasar, (2) dibeli oleh para pedagang pengumpul (3) kemudian dibeli oleh pedagang besar (distributor), (4) lalu dibeli oleh pedagang pengecer kembali, (5) konsumen di kota-kota besar.
            Dalam perdagangan ini menggunakan keranjang sebagai satuan ukurannya. Kemampuan pedagang pengumpul biasanya membeli antara 5 sampai dengan 10 keranjang, selanjutnya dikupas dan dibersihkan terlebih dahulu kulitnya. Sedangkan pedagang distributor membeli sampai 40-50 keranjang yang telah dibersihkan. Satuan pembeliannya bisa berupa kerajangan atau kilograman, bergantung pada kuasa pembeli.    
Gambar Pola: Lima Tingkat dari Petani ke Konsumen Akhir
           
            Dalam saluran tingkat lima ini, sayuran sampai ke tangan konsumen dari produsen menjadi sangat mahal, karena jaringan atau rantai-rantai perdagangan dalam ritail itu sangat panjang. Harga broker (tengkulak) dari satu tangan ke tangan lainnya secara berantai.
            Perjalanan sayur dari petani/pemasaran, tengkulak, distributor, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Para tengkulak menjadi pelaku utama dalam perdagangan ini. Mereka selalu aktif menghubungi petani sebagai pelaku usaha tani sayuran. Petani dalam kaitannya dengan tengkulak melakukan pembelian dengan jalan memajeg/tebasan sayurannya masih di kebun dan atau secara tegenan dari tangan pertama langsung setelah panen. Bahkan belum siap dipanen terkadang petani dapat menguangkan tanamannya pada tengkulak/ tukang tebas ini. Biasanya harga sangat dimonopoli oleh kuasa tengkulak yang mendominasi harga barang di pasar. Terutama dengan para pedagang distributor melakukan kerjasama sehingga mereka (distributor) dilarang melakukan pembelian langsung, bahkan dikembangkan diskursus bahwa harga sayuran di kota tidak laku, sehingga petani dengan legowo menerima penetapan harga sesuai dengan keuntungan yang diinginkannya.
            Secara Umum pola perdagangan sayur-mayur di Pasar Baturiti, dapat disederhanakan sebagai berikut.
    Catatan: Data diambil dari wawancara terbatas dengan informan keluarga Pedagang Sayur di Pasar Baturiti Tabanan.

            Produsen dalam hal ini petani sayur yang melaksanakan usaha tani sayur banyak dipermainkan oleh para tengkulak sayur-mayur yang tahu informasi pasaran atau memiliki hubungan lebih baik dengan para pedagang pengunpul dan para pedagang grosir atau borongan. Petani yang hanya tahu sebagai produsen mengalami kesulitan memasarkan hasil taninya dengan harga yang sesuai dengan pasaran di kota. Sedikit saja kelebihan produksi sudah diisukan bahwa daerah lain yang terkenal juga sebagai produsen sayur mengahasilkan sayuran yang melimpah sehingga tidak laku dijual di kota yang menjadi lokasi mereka berjualan.
            Perempuan memegang peranan penting dalam perdagangan sayur-mayur di Pasar Baturiti, sedangkan laki-lakinya tidak lebih sebagai pembantu perempuan dalam berjulan. Sangat berbrda dengan perdagangan ekspor ke luar Bali yang dilakukan oleh laki-laki. Karena perdagangan lokal masih dianggap kegiatan domestik dan tidak pantas bagi laki-laki, sedangkan jika sudah berhubungan dengan hotel dan restouran dilakukan oleh laki-laki, termasuk ekspor ke luar Bali seperti saudagar Bapa Wati dengan anaknya di Bukit Catu Candikuning.
            Membongkar dominasi ideologi kelaki-lakian (purusha) dalam perdagangan sayur-mayur ini, ternyata peran laki-laki dalam perdagangan ini, terjadi perubahan peran di dalamnya. Karena saudagar (tengkulak) sayur mayoritas dilakukan oleh perempuan di Pasar Baturiti. Kalau satu keluarga itu berdagang sayur, laki-lakinya selalu bertugas sebagai pembantu untuk menaikkan ke Carry P.U dan mengankat ke tempat penimbunan. Perempuan yang biasa dianggap sebagai tukang tawar karena ada kesan perempuan boleh cerewet (mata laki-laki) dalam tawar-menawar harga, sedangkan laki-laki dianggap lucu kalau tawar menawar. Di samping sebagai pembantu dalam perdagangan, juga berfungsi sebagai sopir pribadi perempuan pedagang sayur, sebagai pelindung secara fisik (ngelawatin) dalam persaingan yang sangat ketat dan pekerjaan lain yang dianggap tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Kebencongan laki-laki dalam hal ini, masih tetap ingin mendominasi perempuan, jadi pembantu dalam pekerjaan publik, tetap ingin berkuasa seperti boss.
            Pedagang sayur perempuan sekaligus nyopir sendiri ditemukan di Pasar Baturiti, yang diketahui sopir seorang perempuan masih dianggap langka, apalagi memuat sayur-mayur yang sangat berat. Perempuan itu bernama Kadek Tit (suartini) (seorang guru SD) yang menggunakan paruh waktunya sebagai saudagar sayur-mayur. Sedangkan suaminya juga guru SD dan penyuluh Agama kecamatan, kalau suaminya tidak dapat ke pasar dia yang ke pasar dari membeli, menaikkan ke Pik Up dan menyopirnya, dia berasal dari Desa Api Yeh. Demikian juga Ni Komang Resmi dengan adanya kaus Bom Bali di Legian, pekerjaannya di sebuah perusahan jasa seminar dan penjualan komputer ditinggalkan, dan beralih menjadi seorang saudagar sayur. Nampaknya sangat menikmati dalam perdagangan itu, karena baginya yang penting mendapatkan uang untuk menyambung hidup ketimbang menunggu nasib yang tidak jelas juntrungannya, karena pemulihan dunia pariwisata membutuhkan waktu lama (Abdilah, 2002).
            Hampir 90% saudagar suami-istri yang diamati dan diwawancarai secara mendalam mengatakan bahwa dirinya sebagai laki-laki hanya membantu istrinya. Sedangkan dia tidak akan berarti apa-apa kalau tidak ada istrinya sebagai saudagar. Bahkan juga mengakui dirinya (suami saudagar) tidak bisa mengatur uang karena sebagai laki-laki selalu lebih boros dibandingkan dengan perempuan. Dia lebih baik tidak tahu menahu tentang modal dan keuangan yang digunakan sebagai modal berdagang, dan lebih menikmati minta pada istri sebagai kebutuhan laki-laki, seperti minta uang untuk bekal hari raya Galungan/Kuningan atau kalau ada orang meninggal sebagai bekal begadang pada permainan Ceki atau  main Cap Jeki, bahkan sekali-sekali sebagai hiburan hura-hura ke tajen, ke tempat Billiard, dan minum-minum Bir dengan teman sekaumnya (megenjekan) (lihat Atmadja, 2010).
            Satatus seorang istri saudagar akan menjadi lebih disegani kalau dapat bertumbuh menjadi pedagang sukses. Sedangkan peningkatan gensi seorang saudagar sayur ditunjukkan dengan perlombaan membeli mobil baru (trend di Desa Baturiti), perlombaan membeli perhiasan emas (gelang dan kalung emas yang sangat besar-besar) biasanya ditunjukkan atau dipakai saat ada upacara adat atau odalan di Desa. Di samping itu ada juga menunjukkan diri mampu dengan membangun rumah atau Bale Bali full asesoris ukiran Bali. Dengan demikian gengsi mereka menjadi meningkat dan dikagumi oleh tetangganya, bahwa dia adalah orang sukses dalam berusaha. Karena ini termasuk modal sosial di lingkungannya, agar dipercaya nganggeh pajegannya oleh lingkungannya.
            Penghargaan mereka terhadap pendidikan tidak begitu positif, bahkan banyak ada yang berpandangan mengapa bersekolah tinggi-tinggi toh juga tidak dapat menghasilkan uang sebanyak menjadi saudagar sayur, atau bersekolah tinggi-tinggi (ke Perguruan Tinggi maksudnya) toh juga pada akhirnya menjadi pedagang sayur, modal pendidikan dianggap tidak menentukan sukses tidaknya sebagai pedagang sayur (Field, 2010:115; Saifuddin2005).
            Sistem ekonomi arisan sangat membantu para saudagar, karena sistem ariasan harian di antara mereka, setiap hari mengeluarkan uang bisa Rp 100.000,00 sampai Rp 400.000,00 tergantung pada besar kecilnya modal yang dimiliki. Hal ini ditarik setiap 20 hari sekali, dengan demikian dari uang inilah mereka mengembangkan modalnya atau melakukan pembelian barang yang lebih besar seperti membeli mobil, membangun rumah, melaksanakan upacara menghabiskan uang besar dan sebagainya. Ini adalah ritual untuk meningkatkan prestise di masyarakatnya.  
            Seorang perempuan yang sukses dalam perdagangan sayur-mayur tidak serta merta diikuti oleh peningkatan status tinggi, karena pekerjaan di sektor publik kalau suaminya tidak langsung ikut berjualan selalu diderai oleh isu perselingkuhan antara saudagar perempuan dengan sopirnya dan atau dengan teman sepergaulannya. Wacana ini ini sangat mudah memakan suami saudagar, sehingga terkadang sukses dalam bidang ekonomi tidak sukses di keluarga. Kalau ada yang sukses tetapi tidak diderai oleh kasus perselingkuhan diisukan memakai pengeger, panglantih (guna-guna) (aji wegig/pesugihan), sehingga menjadi perguningan di masyarakat. Kondisi ke pasar malam hari, juga menjadi wacana kondusif  bagi provokator yang memang berusaha untuk melakukannya demi kemajuan pribadi, mematikan pedagang yang diajak bersaing.
            Dengan demikian dapat dipahami bahwa perempuan Bali khususnya dalam kasus perdagangan sayur-mayur memegang peranan sangat penting, bahkan perempuan dipandang yang paling cocok sebagai saudagar karena memiliki kemampuan untuk tawar-menawar lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan laki-laki lebih berfungsi sebagai pembantu kelancaran para saudagar perempuan.

II. Simpulan
            Membongkar keadilan (kesetaraan gender), tidak serta merta datang begitu saja walaupun perempuan sukses dalam perdagangan, karena doinasi kuasa laki-laki, tetap dipentaskan (kontestasi) dalam potret perdagangan sayur di pasar Baturiti Tabanan Bali (Agger, 2003; Field,2010). Dalam perdagangan sayur-mayur, tengkulak perempuan Bali sangat dominan laki-laki justru berperan sebahai pembantunya. Hanya perdagangan antar pulau lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Kelebihan wanita sebagai tengkulak karena memiliki daya tawar yang tinggi. Kemampuan ini, masih tetap tidak diakui sepenuhnya di masyarakat patrilinial, karena masih ada istilah perempuan memerlukan laki-laki untuk “ngelawatin” agar sukses, alasan dibangun oleh budaya dominan, dalam perdagangan itu penuh persaingan yang sangat rawan bagi perempuan dalam perdagangan terutama ke masar di saat malam hari.





DAFTAR PUSTAKA
Busero,Ester. 1970. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dewey A.G. Peasant Marketing in Java. (New York: The Pree Press, 1962). 

Dick, Howard W. “Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu Perekonomian Nasional”, dalam, Sejarah Ekonomi Indonesia. Anne Booth. (et al.) (penyunting).  Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 399-434.

Geertz, Clifford. Peddler and Princes: Sosial Change and Economic Modernization in Two Indonetion Towns. Chicago: University of Chicago Press,1963.

Geertz, Clliford. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologis di Indonesia. S. Soepomo (penerjemah). (Jakarta: Bhratara, 1983).

Kano, Hiroshi. “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran Kembali”, dalam  Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Beberapa Aspek Nasionalisme Indonesia. Akira Nagazumi (penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1986.

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. (PAU Studi Sosial, (draft naskah siap terbit),1988).

Purwanto, Bambang. From Dusun to the Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra 1890-1940. London: Universty of London,1992.

Sajogjo, Pudjiwati. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: YIIS.

Sanderson, Stephen K. 1993.  Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Raja Wali Press.

Sendratari, Luh Putu. 2000. “Identifikasi Kegiatan Sosial Ekonomi Wanita di Desa Tertinggal (Kasus di Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng Bali)”. IKIP Negeri Singaraja (Hasil Penelitian).

Suparlan, Parsudi, 1991. “Antropologi Untuk Indonesia”, dalam Membangun Martabat Manusia Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan. Sofian Effendi dkk. (ed.). Yogyakarta: UGM Press

Vlaming, J.R. Kongsi dan Spekulasi Jaringan Bisnis Cina. Bob Widyahartono, penyadur). Jakarta: Grafiti, 1988.


Weber, Max. “Sekte-sekte Protestan dan semangat Kapitalisme”, dalam Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Taufik Abdullah (ed.).( Jakarta: LP3ES,cet.5, 1993), hal.79.
                                   
YIIS- EUR. 1990. Beberapa Aspek Industri Kecil di Indonesia. Bogor: YIIS.

Atmadja, Bawa Nengah. 2010.Ajeg Bali, Gerakan Identitas Kultural, dan Globalisasi. Lkis:Yogyakarta.

Abdilah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnik, Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Indonesiatera: Magelang.

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradgima. Kencana: Jakarta.

Field, John. 2010. Modal Sosial, Nurhadi (penerjemah). Kreasi Wacana: Jakarta.

Egger, Men. 2003. Mazhab Frankfurt, Karl Marx, Culture Studies, Teori Feminis, Derrida Posmodernitas: Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan dan Implikasinya. Nurhadi (Penerjemah). Kreasi Wacana: Jakarta.











0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda