Gagasan Penulisan Buku LITERASI ENCLAVE TIONGHOA DAN ADAPTASI BUDAYANYA ZAMAN BALI KUNO
Oleh:
Dr. I
Made Pageh, M.Hum.
1.
Pengantar
Lierasi tionghoa di Bali, secara
temporal spasial Bali dapat dikaji paling tidak menjadi tiga sempalan, pertama
literasi zaman Bali Kuno, kedua zaman kolonial, dan zaman kemerdekaan.
Secara historis telah ditemukan
jejak-jejak literasi hubungan Tionghoa/Cina dengan Bali dalam bentuk kontak
perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Terutama terjadi ketika jalan sutra
mendapat gangguan dari bangsa Hsiung-nu di Asia Tengah pada awal abad Masehi.
Kemudian perdagangan beralih ke Asia tenggara, sehingga hubungan Iindia-Cina
melalui Asia tengah (jlaan Sutra) beralih menjadi perjalanan perdagangan pantai
(Van Leur). Dengan demikian hubungan menjadi melibatkan daerah nusantara yaitu
Cina-Indonesia-India. Hubungan itu memnbawa pengaruh makin dalam memasuki
system religi di kawasan Nusantara, dimana bangsa Indonesia ketika itu sudah
kedatangan dua gelombang migrasi bangsa Melayu Austronesia (Protomelayu dan
Detromelayu), sekitar tahun 4000/300- 2000 SM (P. dan F. Sorokin).
Bangsa Melayu Austronesia ini sudah
memiliki system religi yaitu percaya pada roh leluhur dan Catur sanaknya, yanjg
diwujudkan dalam benda-benda prasejarah zaman Megalithic yaitu Lingga-Yoni,
Funden Berundak, Menhir, Fondusha, tahta batu, sarchopagus dan sebagainya.
Ketika kedatangan bangsa Tionghoa-India
ke nusantara (Indonesia), berarti bukan menemukan penduduk tanpa sistem
kepercayaan (Agama Asli), tetapi sudah memiliki peradaban yang tinggi. Kemudian
tiga peradaban yaitu Tionghoa/Cina, Nusantara, India saling beradaptasi
sehingga memunculkan perkembangan hibridasi sistem religi dan budaya di
Indonesia.
Kalau Tionghoa didominasi oleh
sistem pemujaan leluhur dengan Bhuda sebagian besar agama dari Indianya, juga
sudah ada ajaran Kung Futsu, Lao Tse dan sebagainya. Perpaduannya di Indonesia
akan mendapat kesamaan dengan pemujaan leluhur, Hindu dan Bhudanya. Sedangkan
di Indonesia Hindu dan Bhuda serta pemujaan leluhur dengan catur sananknya
mendapatkan kondisi yang tidak bertentangan secara prinsif dan filosopis. Hal
ini memberikan dasar untuk menemukan hibridasi system relegi tionghoa dengan system religi di Bali.
Dengan latar belakang pemikiran
kritis bagan-bagian system religi enclave tionghoa di zaman Bali Kuno, terutama
zaman pemerintahan Jaya Pangus dengan Kang Ceng Wie, secara monumental dapat
ditemukan dalam system bebarongan (Barong Landung), Pelinggih Ratu Ayu Mas
Subandar (Perdagangan antarpulau) dapat dikumpulkan data-datanya, pada enclave
tionghoa yang ada di Bali. Dengan dasar pikiran sementara itu maka dirumuskan
judul kajian ini.
2.
Tema-tema yang direncanakan digarap:
1.
Literasi Enclave Penagruh Cina di
Poros Bali:
a.
Literasi
Pura Pegonjongan: Lokasi pusat perdagangan Pantai di Bali Utara, tempat
saudagar Cina bernama Ping-An, sebagai pedagang pirign sutra (Pinggan) menjadi
genealogi munculnya Desa Pinggan di dekat Dalem Balingkang (Ratu Ayu
Syahbandar, dengan Padma Trilingganya), sehingga termasuk kategori system
religi zaman Kuturan, Bhuda (ratu Syahbandar: representasi Kang Ceng Wie)
terjadi Hibridasi budaya di Bali Utara dan Kintamani Bangli.
b.
Literasi
Pura Dalem Balingkan: lokasi Puri Jaya Pangus dengan permaisurinya kedua,
setelah Dewi Danuh (di Ulun Danu Batur Song-An). Literasi akan dikonstruksi
keberadaan Puri Balem Bali-Im-Kang (Im sama dengan tenaga dalam), kaitannya
dengan Pura Pagonjongan dengan Nyegara Gunung Desa-desa pendukung Jaya Pangus.
c.
Literasi
Nyegara-Gunung Panulisan- Puri Bedahulu-Goa Gajah Gianyar dan perpindahan Pura
Ulun Danu Song-An ke Pura Ulun Danu Batur.
d.
Literasi
Representasi Barong Landung: Bhuda-Waisnawa, jaya Pangus vs. Kang Ceng Wie di
Bali.
e.
Efilog:
Hibridasi Cina (Bhuda), Bali (Waisnawa): Kasus Pemukiman Cina di Payangan,
Situs Pura Bhuda Waisnawa Bedulu, dll.
2.
Enclave Tionghoa di Bali lainnya
a.
Literasi
Tionghoa di Pujungan Daerah Pupuan
b.
Literasi
Pemujaan Ratu Ayu Subandar di Bali Utara; Bali Barat dan Nusa Penida.
c.
Literasi
Pura kena Pengaruh Kang Ceng Wie: Situs Pura berhiaskan Piring Sutra: Pura
Jemeng/Cemeng di Penge Tabanan; Pura Yeh Gangga Tabanan; Pura Kehen Bangli,
dll.
3.
Metode Penulisan
Data dikumpulkan melalui: 1.
Mencari beberapa tulisan yang sudah dihasilkan oleh mahasiswa, dan hasil
penelitian terdahulu: Tesis, Disertasi, dan karya buku yang dapat menunjang
penulisan ini. 2. Kritik sumber dilakukan dengan menggunkan triangulasi dari
beberapa sumber yang dapat dipercaya. 3. Interpretasi data untuk menghasilkan
fakta dalam kajian ini, diutamakan dalam bentuk foto, narasi, dan deskripsi
yang sudah ada. Namun ditulis ulang menggunakan perspektif Cultural studies,
sehingga akan bercerita dari sisi lain, yang berbeda dengan kajian terdahulu.
Tentu berupa literasi, diutamakan wacana lapangan,tidak mengunggulkan akademik.
Terutama kalau ada kajian akademik akan dicoba disandingkan dengan literasi
lain dengan pemikiran seperti yang dituliskan dalam pengantar. 4. Cerita
sejarah (historiografi) yang dihasilkan berupa historiografi kontemporer
menyesuaikan tulisan dengan kesenangan pembaca dan tidak mengutamakan
keseriusan akademik, tetapi meringankan yang dipandang berat sehingga menjadi
bacaan yang mengejutkan pembaca yang selama ini menganggap ceritanya sudah
mapan.
Dalam
penulisan difokuskan pada pusat-pusat yang mewakili wacana yang dapat megubah
stigma negative hubungan etnik Cina-Bali, sehingga terwujud masyarakat
multikultur. Lebih banyak mengandalkan foto dalam dan kekuatan interpretasi
sistem religi, sehingga lebih bersifat ideologis dalam kajian ini.
4.
Jumlah Tim Peneliti 5 Orang
a.
Peneliti
dan Penulis Laporan 2 orang.
b.
Field
Worker 2 Orang
c.
Foto
Grafer 1 orang.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda