Rabu, 29 November 2017

Gagasan Penulisan Buku LITERASI ENCLAVE TIONGHOA DAN ADAPTASI BUDAYANYA ZAMAN BALI KUNO



Oleh:
Dr. I Made Pageh, M.Hum.

1.      Pengantar      
Lierasi tionghoa di Bali, secara temporal spasial Bali dapat dikaji paling tidak menjadi tiga sempalan, pertama literasi zaman Bali Kuno, kedua zaman kolonial, dan  zaman kemerdekaan. 
Secara historis telah ditemukan jejak-jejak literasi hubungan Tionghoa/Cina dengan Bali dalam bentuk kontak perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Terutama terjadi ketika jalan sutra mendapat gangguan dari bangsa Hsiung-nu di Asia Tengah pada awal abad Masehi. Kemudian perdagangan beralih ke Asia tenggara, sehingga hubungan Iindia-Cina melalui Asia tengah (jlaan Sutra) beralih menjadi perjalanan perdagangan pantai (Van Leur). Dengan demikian hubungan menjadi melibatkan daerah nusantara yaitu Cina-Indonesia-India. Hubungan itu memnbawa pengaruh makin dalam memasuki system religi di kawasan Nusantara, dimana bangsa Indonesia ketika itu sudah kedatangan dua gelombang migrasi bangsa Melayu Austronesia (Protomelayu dan Detromelayu), sekitar tahun 4000/300- 2000 SM (P. dan F. Sorokin).
            Bangsa Melayu Austronesia ini sudah memiliki system religi yaitu percaya pada roh leluhur dan Catur sanaknya, yanjg diwujudkan dalam benda-benda prasejarah zaman Megalithic yaitu Lingga-Yoni, Funden Berundak, Menhir, Fondusha, tahta batu, sarchopagus dan sebagainya.
            Ketika kedatangan bangsa Tionghoa-India ke nusantara (Indonesia), berarti bukan menemukan penduduk tanpa sistem kepercayaan (Agama Asli), tetapi sudah memiliki peradaban yang tinggi. Kemudian tiga peradaban yaitu Tionghoa/Cina, Nusantara, India saling beradaptasi sehingga memunculkan perkembangan hibridasi sistem religi dan budaya di Indonesia.
            Kalau Tionghoa didominasi oleh sistem pemujaan leluhur dengan Bhuda sebagian besar agama dari Indianya, juga sudah ada ajaran Kung Futsu, Lao Tse dan sebagainya. Perpaduannya di Indonesia akan mendapat kesamaan dengan pemujaan leluhur, Hindu dan Bhudanya. Sedangkan di Indonesia Hindu dan Bhuda serta pemujaan leluhur dengan catur sananknya mendapatkan kondisi yang tidak bertentangan secara prinsif dan filosopis. Hal ini memberikan dasar untuk menemukan hibridasi system relegi  tionghoa dengan system religi di Bali.
            Dengan latar belakang pemikiran kritis bagan-bagian system religi enclave tionghoa di zaman Bali Kuno, terutama zaman pemerintahan Jaya Pangus dengan Kang Ceng Wie, secara monumental dapat ditemukan dalam system bebarongan (Barong Landung), Pelinggih Ratu Ayu Mas Subandar (Perdagangan antarpulau) dapat dikumpulkan data-datanya, pada enclave tionghoa yang ada di Bali. Dengan dasar pikiran sementara itu maka dirumuskan judul kajian ini.
2.      Tema-tema yang direncanakan digarap:
1.       Literasi Enclave Penagruh Cina di Poros Bali:
a.       Literasi Pura Pegonjongan: Lokasi pusat perdagangan Pantai di Bali Utara, tempat saudagar Cina bernama Ping-An, sebagai pedagang pirign sutra (Pinggan) menjadi genealogi munculnya Desa Pinggan di dekat Dalem Balingkang (Ratu Ayu Syahbandar, dengan Padma Trilingganya), sehingga termasuk kategori system religi zaman Kuturan, Bhuda (ratu Syahbandar: representasi Kang Ceng Wie) terjadi Hibridasi budaya di Bali Utara dan Kintamani Bangli.
b.      Literasi Pura Dalem Balingkan: lokasi Puri Jaya Pangus dengan permaisurinya kedua, setelah Dewi Danuh (di Ulun Danu Batur Song-An). Literasi akan dikonstruksi keberadaan Puri Balem Bali-Im-Kang (Im sama dengan tenaga dalam), kaitannya dengan Pura Pagonjongan dengan Nyegara Gunung Desa-desa pendukung Jaya Pangus.
c.       Literasi Nyegara-Gunung Panulisan- Puri Bedahulu-Goa Gajah Gianyar dan perpindahan Pura Ulun Danu Song-An ke Pura Ulun Danu Batur.
d.      Literasi Representasi Barong Landung: Bhuda-Waisnawa, jaya Pangus vs. Kang Ceng Wie di Bali.
e.       Efilog: Hibridasi Cina (Bhuda), Bali (Waisnawa): Kasus Pemukiman Cina di Payangan, Situs Pura Bhuda Waisnawa Bedulu, dll.

2.        Enclave Tionghoa di Bali lainnya
a.       Literasi Tionghoa di Pujungan Daerah Pupuan
b.      Literasi Pemujaan Ratu Ayu Subandar di Bali Utara; Bali Barat dan Nusa Penida.
c.       Literasi Pura kena Pengaruh Kang Ceng Wie: Situs Pura berhiaskan Piring Sutra: Pura Jemeng/Cemeng di Penge Tabanan; Pura Yeh Gangga Tabanan; Pura Kehen Bangli, dll.
3.       Metode Penulisan
Data dikumpulkan melalui: 1. Mencari beberapa tulisan yang sudah dihasilkan oleh mahasiswa, dan hasil penelitian terdahulu: Tesis, Disertasi, dan karya buku yang dapat menunjang penulisan ini. 2. Kritik sumber dilakukan dengan menggunkan triangulasi dari beberapa sumber yang dapat dipercaya. 3. Interpretasi data untuk menghasilkan fakta dalam kajian ini, diutamakan dalam bentuk foto, narasi, dan deskripsi yang sudah ada. Namun ditulis ulang menggunakan perspektif Cultural studies, sehingga akan bercerita dari sisi lain, yang berbeda dengan kajian terdahulu. Tentu berupa literasi, diutamakan wacana lapangan,tidak mengunggulkan akademik. Terutama kalau ada kajian akademik akan dicoba disandingkan dengan literasi lain dengan pemikiran seperti yang dituliskan dalam pengantar. 4. Cerita sejarah (historiografi) yang dihasilkan berupa historiografi kontemporer menyesuaikan tulisan dengan kesenangan pembaca dan tidak mengutamakan keseriusan akademik, tetapi meringankan yang dipandang berat sehingga menjadi bacaan yang mengejutkan pembaca yang selama ini menganggap ceritanya sudah mapan. 
            Dalam penulisan difokuskan pada pusat-pusat yang mewakili wacana yang dapat megubah stigma negative hubungan etnik Cina-Bali, sehingga terwujud masyarakat multikultur. Lebih banyak mengandalkan foto dalam dan kekuatan interpretasi sistem religi, sehingga lebih bersifat ideologis dalam kajian ini.

4.       Jumlah Tim Peneliti 5 Orang
a.       Peneliti dan Penulis Laporan 2 orang.
b.      Field Worker 2 Orang
c.       Foto Grafer 1 orang.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda