KETAHANAN NASIONAL DAN PROXY WAR
1. PENDAHULUAN
NKRI adalah daerah yang sangat luas, dari Sabang sampai Meraoke, dari Talaud sampai ke Timor, dengan wilayah yang begitu luas maka kesatuan dalam kebhinekaan adalah sebuah anugrah bagi bangsa ini. Rasa kebesamaannya dibentuk oleh kesadaran sejarah, sebagai bangsa yang pernah sama-sama menderita dijajah oleh kolonial Barat (Belandan, Inggris), dan bahkan timur (Jepang). Rasa senasib dan sepenanggungan itulah menjadikan bangsa yang sangat luas, dengan variasi budaya, daerah, kemajuan, dan perkembangan ekonomi berbeda itu dapat bersatu dalam NKRI. Sesungguhnya betapa pentingnya pemahaman sejarah perjuangan Indonesia dalam memupuk persatuan untuk bersama-sama seia sekata mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia ini.
Kesadaran nasional kita tumbuh tahun 20 Mei 1908, ditandai dengan berdirinya BudiUtomo, kemudian pada 1925 dengan adanya manifestopolitik para pemuda di Negeri Belanda yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Indonesia (pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di Belanda) menyadari bahwa perjuangan Indonesia harus dilakukan sendiri menggunakan kekuatan sendiri, dan kekuatan itu adalah persatuan Indonesia, tanpa persatuan yang kuat tidak mungkin kemerdekaan menggunakan kekuatan sendiri itu akan diraih, dalam pada itulah sistem kerajaan tidak sesuai dengan pengembangan masyarakat egaliter. Oleh karena itu manifestopolitik para pelajar di negeri Belanda itu telah memenuhi syarat pembentukan negara unity, liberty and egality. Dan akhirnya pada tahun 1928 diadakanlah kongres pemuda II yang di dalamnya menghasilkan sumpah pemuda yang berisi wawasan persatuan dalam Tanah Air, bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Kesadaran dengan melihat ada musuh yang terlihat, ada penjajah yang nyata bangsanya, fisiknya, budayanya, dan tanahnya berbeda dengan bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan masih memiliki musuh yang tampak, sedangakan dalam proxy war musuhnya tidak jelas, tidak maujud,bahkan cenderung ada di dalam negeri, yang hak-haknya dilindungi oleh undang-undang, sbagai warga negara republik Indonesia.
Proxy war adalah perang dengan tidak jelas wujud lawannya, sehingga menjadi sangat menarik untuk didiskusikan untuk dapat memberikan pemahaman kita terhadap kesadaran berbangsa, di era serba tidak jelas dan serba tidak terbuka tabirnya, sehingga lawan perang tidak merasa risih satu sama lain.
Menariknya bagaimana itu proxy war dikaitkan dengan ketahanan nasional? di era globalisasi ini pemahaman proxy war ini menjadi sangat penting kalau dikaitkan dengan daerah yang sangat luas, dan ketimpangan ekonomi, dan kemajuan dalam segala bidang tidak merata. Dianalisis menggunakan teori kajian budaya, dalam memahami ketidakadilan dan kerancuan publik di era pascakolonial ini.
Menariknya bagaimana itu proxy war dikaitkan dengan ketahanan nasional? di era globalisasi ini pemahaman proxy war ini menjadi sangat penting kalau dikaitkan dengan daerah yang sangat luas, dan ketimpangan ekonomi, dan kemajuan dalam segala bidang tidak merata. Dianalisis menggunakan teori kajian budaya, dalam memahami ketidakadilan dan kerancuan publik di era pascakolonial ini.
2. PEMBAHASAN
Apa itu proxy war, untuk dapat mengaitkan dengan ketahaan nasional, maka harus dijawab dulu proxy war itu, baru kemudian dikaitkan dengan ketahanan nasional.
seperti dikutif oleh Yehu Wangsajaya (2015:18) menyatakan sebagai berikut:
"Proxy War adalah bentuk peperangan dengan menggunakan pihak ketiga, sebagai perpanjangan tangan pihak-pihak tertentu, untuk menghindari perselisihan, serta langsung sekaligus terhindar dari beban politik internasional. Pihak pengganti yang dimaksudkan, yaitu: pemerintahan, violent non-state actor berupa LSM, Ormas, kelompok masyarakat atau perorangan, perusahan, atau pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan (spt. ilmuan dari penulis) (Chris Loveman, 2002:30; cf Wangsajaya, 2015:18).
Pradigma Nasional Indonesia, terkadang hanya berupa utopis, yang isinya melenceng dari kenyataannya, beda isi dengan wacananya, demokrasi, tapi mobokrasi, kacang lupa kulitnya.
(1) Pembukaan UUD 1945 adalah kaiah fundamental bangsa, yaitu sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, karena mengubah pembukaan berarti mengubah negara. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ada beberapa gerakan memisahkan diri dari NKRI, sepanjang pembukaan itu tidak diubah tidak mungkin membentuk negara baru di tanah air Indonesia. Karena daerah yang diproklamasikan adalah daerah bekas jajahan kolonial Belanda. Silahkan membentuk negara baru, namun jangan di Indonesia yang daerahnya seperti disebutkan di atas. Jika ada kelompok yang menggembar gemborkan mau merdeka... merdeka.. merdeka? itu artinya melanggar kaidah fundamental bangsa (pembukaan UUD 1945).
(2) Pancasila sebagai ideologis, falsafah hidup, atau Pancasila sebagai landaan ideal bangsa. Dalam kenyataannya tumbuh dan berkembang ideologi keagamaan, ideologi liberal, bahkan cendarung kapitalistik (neolib), padahal Pancasila sebagai kanter ideologi dari kapitalisme (anti kapitalisme), anti-kolonialisme, dan anti-materialisme. Ada kecenderungan di masyarakat (klp.tertentu) berlawanan dengan ideologi Pancasila, karena organisasi dari penganut mayoritas maka diberikan bertindak sebagaimana dimauinya (kasus FPI), sehingga kadang kala terjadi pengabaian ideologi negara,mengutakana ideologi kapitalis dan imprialisme, atau ideologi bentuk lainnya. Contoh lain, memaksakan semua sekolah bertarap internasional misalnya di masa lalu dengan mewajibkan berbahasa Inggris, bergelar master, atau Dr, dan sekarang misalnya untuk PT wajib memiliki journal bersecopus (bertaraf internasional) sehingga secara otomatis journal berskalan nasional (terkreditasi A) misalnya menjadi tidak sepadan, lebih rendah, bahkan cenderung ditinggalkan, karya bangsa menjadi tidak bisa mengakui sebagai bangsa kelas satu, sama dengan klasifikasi penduduk zaman Belanda di Indonesia. Dengan demikian akan terjadi aliran kekayaan intelektual bangsa ini diarsip dan dipahamai oleh negara maju, dan bila perlu didahului mempatenkan, sehingga kita sebagai bangsa penghasil karya ilmiah itu menjadi gigit jari, di samping itu ada aliran dana besar untuk membayar journal internasional itu, dan membendung kariri bangsa sendiri (seperti kasus ayam Bali). Kenapa dapat dikatakan demikian mempatenkan itu bukanlah budaya kita (Bali), biasa memberikan apa yang berharga untuk Dewanya, dan atau untuk masyarakatnya, sehingga karyanya menjadi anonim (milik masyarakat Bali). Seperti bangunan Bale Bali, Lumbung, dan sebagainya, demikian juga dalam karya seni (kasus tari Pendet sebagai bukti), Malaysia mengklaim dirinya sebagai pemilik, walau akhirnya dapat diselelsaikan secara damai.
(3) UUD 1945 Negara Republik Indonesia sebagai landasan konstitusional, karena UUD 1945 (sebelum di amandemen tahun 1999, amandemen 1 dst.), merupakan konstitusi otentik bangsa, bukan yang diamandemen. Seharusnya amandemennya dibedakan dengan aslinya UUD 1945 (otentik), sehingga nilai-nilai historisnya tetap terjamin, karena setiap zaman akan memiliki respons terhadap tantangan zamannya berbeda-beda. Sejarah adalah dialog generasi masa kini dengan masa lalunya secara berkesinambungan, beda zaman beda interpretasi, sesuai dengan kepentingannya, memang peristiwanya sama, namun ceritanya mengikuti zamannya.
(4) Wawasan Nusantara kita terus dijadikan landasan visional alam perjalanan bangsa ini menuju cita-citanya, yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jangan lupa dengan sejarah (JASMERAH kata Soekarno) sebagai perekat bangsa, terutama pendidikan sejarah perjuangan bangsa bagaimanapun kondisinya wajib diberikan dari generasi ke generasi secara keberlanjutan bahkan bila perlu menjadi prasyarat jadi PNS, ABRI, Kuliah di LN, dan wajib kelulusan kesarjanaan, dll,seperti TOEPL itu posisinya. Mengapa demikian agar bangsa ini tetap memiliki "rasa kebersamaan, karena nasib sama", bukan hanya diukur dari elektibilitas atau melihat dari kekuatan politik yang dijadikan dasar untuk dapat kekuasaan sesaat (lima tahunan/10 tahunan), sehingga seolah-olah pepimpin bangsa ini hanya bertanggung jawab pada masa kepemimpinannya, sedang ketika turun jabatan tidak pernah ada usaha untuk melakukan kesinambungan melalui serah terima jabatan: apa yang perlu dilanjutkan, apa yang sudah rampung, berapa hutang dimiliki, berapa devisa dimiliki, bagaimana masalah politik yang ada terkait dengan keamanan negrara dan bangsa dan sebagainya. Dengan tidak adanya UU yang mengatur hal itu, maka selalu setiap ada pergantian pimpinan puncak (negara, Gubernur, Bupati, dll), ada kehendak untuk menyusahkan yang berikutnya, dan menghancurkan arsip-arsip penting terkait dengan pemerintahan sustaineble (continuity), selalu terasa diskontinum, dan memulai baru.... kapan bangsa ini akan bisa maju???? belum lagi hegemoni kolonial terus berlanjut, setelah berkuasa kadang kala pemimpin kita,pejabat kita dari bawah sampai tingkat atas "menjadi pejabat lebih kolonial dari kolonial Belanda", semuanya dipersulit dengan alasan birokrasi, namun jika dibayar semuanya oke....,jika atasannya semuanya oke....,jika pacarnya (gundiknya) semuanya oke.... sadar atau tidak yang saya amati secara kritis seperti itu. Sehingga wajar saja otonomi daerah menjadikan para pemimpin daerah menjadi raja-raja kecil, namun kuasa besar, lebih besar kekuasaannya dari zaman kerajaan dulu...bukan???
Lemahnya struktur dan kultur masyarakat pascakolonial itu menjadikan bangsa ini sangat rawan dengan proxy war, mudah digoyang, mudah disusup, dan mudah dikendalikan dari luar, sehingga kita lupa diri, bagaikan "ayam Bali bersanding dengan ayam Bangkok", ketika diberikan makan bersama-sama dialaman secara bebas dan liar, ayam Bali akan bertarung dulu dengan temannya, sampai ada yang mengalah, sementara ayam Bangkok masa bodo dengan teman mau apa, yang penting perutnya/gondoknya penuh, setelah itu dia dapat berkokok keras, sementara ayam Bali habis napas, muka hancur, dan makanan sudah habis, sehingga hanya bisa menyalahkan teman sebangsanya saja (kuat di dalam lemah diluar, kayak sabit tajam ke dalam tumpul ke luar, seharusnya kita bersuluh pada keris pusaka, tajam kesegala penjuru, bukan?.
3. IMPLIKASI
Bangsa Indonesia di era globalisasi ini, yang diwarnai oleh adanya aliran deras dari negara maju ke negara yang sdang berkembang (lemah struktur dan kultur) berupa ideologi luar (mengancam Pancasila), arus manusia (pariwisata) mengusir penduduk lokal, arus modal (kapital, kuasa, pengetahuan, dan simbolik), arus media massa/informasi (HP, internet, koran, dll), dapat mengancam ketahanan nasional kita. Kesadaran ini harus datang dari ilmuan, pemimpin, dan penguasa dalam berbagai bidang kehidupan (kuasa politik, ekonomi, sosial-budaya, ipteks) agar sadar bahwa proxy war ini sangat potensial menghancurkan dari dalam. Seperti adanya LSM didanai oleh LN namun diberikan tugas mengawasi hal tertentu,karena informasinya dibutuhkan (NGO itu menjadi kaki tangan pemilik modal, informasi ditukar dengan uang); beasiswa bersekolah di PT LN diberikan ijazah dan status tertentu, kemudian diberikan tugas sebagai alumni untuk melakukan perombakan sesuatu di negaranya, bahkan cenderung menurun penghargaannya pada negaranya setelah kuliah di LN, dan mengagungkan asal sekolahnya, sehingga menjadi bangsa ini menurun terus citranya, karena wibawa ilmiah dijadikan alat penghancur (science is power); orang pintar diambil disekolahkan, kemudian diberikan pekerjaan dengan jangka waktu tertentu, terus tinggal di negara tersebut (orang pintar diambil untuk memajukan negara orang lain); bangsa asing diberikan kuliah di sekolah unggulan, dengan membayar sejumlah uang lebih, kemudian ditempatkan di daerah perbatasan Indonesia (kebudayaan, dan pengetahuan dijadikan senjata). Bangasa kita tidak dapat bangku kuliah, sementara bangsa asing diberikan, dengan alasan kerjasama, internasionalisasi, meningkatkan status, dll. intinya rasa kebangsaannya sudah hilang karena uang, kuasa dan pengetahuan bernegosiasi mengalahkan nasionalisme kita.
4. SIMPULAN
Waspadalah terhadap ketahanan nasional kita terhadapa proxy war, karena jalan ini sekarang yang paling mungkin untuk menguasai negara asing, sementara perang terbuka seperti di masa lalu memiliki porsi sangat kecil. Jangan lupa sejarah bangsa Indonesia menjadi bersatu karena faktor sejarahnya, bukan karena faktor mayoritas, faktor agama, faktor politik, dan faktor ekonomi, apalagi budaya dan bahasa. karena sukar mengidentifikasi mana lawan dan mana kawan, dan cenderung bergerak di dalam negari menggunakan bangsa sendiri karena kurang sadar pada nasionalisme dan ketahanan nasional, dengan visi wawasan nusantara/nasional kita. Semoga.