1. Pendahuluan
Pariwisata sesungguhnya anak dari kapitalisme dan merupakan industri tanpa asap, industri itu walaupun tidak memunculkan "kabut hitam bergantung di awan", tetapi memiliki kemampuan merusak tatanan sosial budaya terbesar, karena pengaruh budaya asing dalam "gemerlapnya dunia pariwisata" cepat atau lambat akan membongkar pertahanan budaya lokal yang menjadi objek wisata, terutama Bali yang menjadi destinasi budaya dunia unik yang paling diidealkan di muka bumi ini.
Bali dengan kategori ideologi budaya yang mengental dalam tataran ideologi masyarakat, yang masih menonjol dipahami adalah budaya Wong Bali Aga dan Budaya Wong Mojopahit, dalam teori disebut "tradisi kecil dan tradisi besar". Sesungguhnya untuk dapat dibedakan secara akademik, bukan secara kategoris berdasarkan streotif budaya penguasa dan yang dikuasai, maka akan lebih mudah dipahami berdasarkan kateorisasi "Agama Melayu Austronesia" dan "Agama Hindu dari India". Kolaborasi inilah menjadikan Hinduisme di Bali sangat unik dan menarik berbeda dengan kraakter Agama Hindu di daerah lain. Hal ini sangat menarik untuk dikaji; (1) Bagaimana sejarah masuknya gelombang cultural heroes ke Bali yang berkolaborasi dengan Agama Malayu Austronesia yang sudah ada sejak zaman megalitik? (2) Bagaimana warisan budaya unik yang ada di desa Bali Aga sebagai warisan budaya Agama zaman Rsi Markandeya dapat dikemas menjadi objek wisata budaya yang unik dan berkelanjutan?
2. Sejarah Masuk dan Berhibridasinya Budaya Agama di Desa Bali Aga di Bali
Sejarah Ideologi Cultural Heroes Hinduism ke Bali, yang digunakan sebagai dasar dalam menata Bali dapat diketahui jejaknya: (a) Kedatangan Hindu dari Jatim ke Bali, dari Gunung Raung ke Bali, mengalami gelombang kedatangan dua kali pada abad ke-8 dengan pengiring ke Bali. Kedatangannya yang kedua kalinya itu "dalam lontar Rsi Markandeya disebutkan dalam rangka untuk melaksanakan wahyu untuk menamcamkan Pancadatu di Gunung Agung (Tohlangkir) untuk menjaga keselamatan, kesejahtraan penduduk di Bali khususnya bagi pengiringnya yang ikut ke Bali pada saat itu.
Penduduk Bali yang masih beragama lokal (Melayu Austronsia) yang datang ke nusantara dalam dua gelombang yaitu Detro Melayu dan Proto Melayu yang disebut rumpun bangsa Melayu Austronesia. Bangsa Bali Aga itu adalah menganut sistem religi hibridasi antara Agama Lokal dan Agama Hindu, dengan konsep dharsana yang diajarkan oleh Aji Samkya (dualitas), terutama terkait dengan pemujaan roh leluhur masih menggunakan simbolik yang sangat fulgar yaitu "Lingga-Yoni" dengan pengambaran sangat natural. Secara filosofis kepercayaan lokal ini ditransformasikan ke dalam sistem berpikir yang lebih tinggi mengubah Bapa-Ibu sekala menjadi Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi. Konsep dasar ini dijadikan dasar untuk menjawab hakikat hidup manusia menjadi sistem berpikir Purusha dan Pradana, atau kemudian lebih dikenal dengan konsep rwabhineda. Pemujaan kesuburan pada zaman megalitik, dan simbolisasi kesuburan dengan air dan wisnu menjadikan sekta waisnawa paling dapat diterima dalam sistem masyarakat yang masih hidup dalam pertanian, kepala suku dan raja kemudian dianggap sebagai titisan wisnu ke dunia. Sekta lainnya sebagaimana dewa adalah sinar suci dari Brahman, maka muncul lusinan pemujaan dewa sesuai dengan ciri-ciri dan kedudukan orang tuanya dalam sistem sosial yang berkembang pada zamannya. Peranan Rsi Markandeya dalam melakukan hibridasi itu sangat besar, beliau menetap dan membuat pesraman (sekolah) atau pedukuhan terbesar di Bali di Pura Agung Gunung Agubg Raung di Desa Sarwada (Sarwa ada) yang sekarang bernama Desa Taro di Gianyar, daerah hulu dari pusat kerajaan Bali Aga Bedulu, dengan pusat permandiannya di Pura Tirta Empul di desa Tampang Siring. Pagu Utama pelinggih terbuat dari kayu sakti dengan wujud filosofi yang mendasari yaitu (1) Rong dwa (Ibu-Bapak), Rong Siki (Taksu/penunggalan Ibu-Bapak), Kemulan Sakti (dua tiang dengan atap ijuk sebagai wujud sekta yang dianut leluhurnya, dan satu lagi Jro Nyoman/Panglurah Agung, tambahan piyasan untuk dewa dan bhatara sami.
Kemudian sampai abad ke-11 datang cultural heroes ke dua yaitu Empu Kuturan, datang dari Jatim, pada zaman pemerintahan Prabu Udayana dengan Istrinya Mahendradatta. Kedatangan Kuturan sebagai seorang petinggi agama Bhuda melakukan pembenahan kehidupan beragama di Bali dengan melakukan "penyatuan dan kodifikasi seluruh sekta yang ada di Bali", menggunakan hukum alam Lahir-Hidup-Mati, kemudian seluruh sekta dijadikan tiga sekta besar yaitu Brahma-Wisnu-dan Ciwa yang disebut dengan sekta Trimurti. Kerajaan selanjutnya diwajibkan melindungi penggabungan itu, dan menjadikannya sebagai Agama Kerajaan. Keputusan ini ditetapkan di Campuan Ubud Gianyar. Sejak itu pula ditetapkan beberapa keputusan penting lagi yaitu agar masing-masing pekarangan membuat prahyangan, dengan pagu utama turus lumbung (dari kayu sakti) pada saat itu: mulai diwajibkan membuat rong tiga, sebagai perwujudan trimurthi, karena batur menjadi pura pusat kerajaan setelah pindahnya ulun danu ke Batur dari Songan, maka setiap pelinggih di perumahan ditambahkan dengan "Bebaturan", sebagai representasi tunduk pada Batur, kemudian pada akhir kekuasaan Bali Aga diwajibkan membuat "Pura Dasar/Bataran saja" sebagai representasi perpindahan pusat kekuasaan dari Batur ke Gelgel, di bawah kekuasaan Agung Gelgel akhir kekuasaan Bali Aga sebelum datangnya Rsi Kresna Kepakisan kemudian menjadi "Dalem" bergelar Sri Kresna Kepakisan di Bali.
Transformasi sistem religi terus terjadi, mimikri, hibridasi, dan hegemoni sistem religi terjadi dalam perjalanan waktu. Pada abad ke-16 mulai datang Dang Hyang Nirarta ke Bali, menjadi Purohito kerajaan bermukim di Taman Pule Gianyar, berlanjut sampai pusat pemerintahan berpindah-pindah terakhir di Semara Pura (Kelungkung). Kalau semara+kung, dan kata kung berarti buang, maka kata kelu genealoginya kalu...ng..kung (menjadi bermakna buang kalu). Karena raja di masa lalu terkenal sebagai raja bebek, bukan kehendak raja menjadi bebek, karena sistem sosialnya menjadikan raja sebagai juru kawin (selir), karena sistem manjing ke puri, menjadikan anak gadis cantik sebagai aturan, sebagai gantinya akan diberikan cecatu atau tanah tadtadan, sebagai emas kawin dari raja, ketika itu. Karena ada pandangan masyarakat, kalau rajanya sudah tidak dapat menikah lagi, dianggap kekuatannya sudah menurun. Jadi ada pemaksaan budaya enak pada raja oleh rakyatnya. Termasuk pendetanya yang dihormati, dapat dipahami berapa istri yang dimiliki oleh pemegang ajaran Canting Mas dan Siwer mas, bernama Danhyang Nirartha itu. Pada zaman kekuasaan Klungkung sekta Ciawa Sidanta menjadi mendominasi, sehingga kata OM yang merupakan penunggalan AUM dijadikan Ciwa-Sada Ciwa dan Parama Ciwa, semuanya itu dilakukan dalam rangka untuk menjawab tantangan Hindu di Jawa yang dicap sebagai agama politheisme (Lihat Atmadja, 2010).
Jika itu dijadikan alasan, kecuali alasan politik keagamaan, berarti pada saat itu (Dang Hyang Nirartha) tidak dapat membedakan Brahman, Dewa, Bhatara, Kala dan sebagainya. Di Penataran Agung Besakih ditemukan Padma Tiga apakah itu stana Brahman?, jika ia apakah tiga da Brahman?
Politki keberagamaan untuk mengoperasionalisasikan berbagai kepentingan di dalam keberagamaan di Bali, menjadikan umat Hindu di Bali, tidak memberlakukan Wedha sebagai mana mestinya, karena ada permainan politik kepentingan kekuasaan, dan keagungan kelompok tertentu menggunakan pengetahuan keagamaan, sebagai dasar menanamkan kekuasaan secara permanen. Sejak itu terjadi perubahan dari kultus roh leluhur, ke kultus Dewa Raja, menjadi Kultus Rsi Dewa. Penjelasan dan pemitosan dilakukan dengan berbagai Lontar, Usana Jawa, dan Usana Bali dan karya sastra dalam lontar lainnya. Dikuatkan dengan membuatkan pelinggih, meru, dan pemitosan lainnya.
Resistensi budaya yang dihegemoni dan didominasi sejak zaman Kelungkung, terutama di desa Bali Aga sebagai pewaris budaya yang diideologikan zaman Rsi Markandeya, masih menyisakan beberapa tradisi, bangunan, cerita, mitos, adat budaya dan sebagainya yang masih ditemukan di desa-desa Bali Aga yang tinggal di Pegunungan (SCTP) maupun di tepi pantai (Julah, Sambirenteng, Pacung, dan sebagainya).
Budaya sisa ini, masih dapat dibongkar ideologinya, untuk dijadikan dasar pemahaman budaya desa Bali Aga, termasuk eksistensi budaya kekerasan di Desa Bali Aga. banyak orang menjadi menghindar datang ke desa Bali Aga karena memiliki citra kolot, gunung, terbelakang, tidak beradab, dan suka bunuh-bunuh. Sesungguhnya jika dipahami dengan baik, di desa Bali Aga itulah dapat ditemukan karakteristik kejujuran, setia kawan, solideritas sosial tinggi dengan teman bahkan rasa Bela Pati terhadap sesama teman dan sesama warganya secara kolektif.
3. Mengkemas Budaya Desa Bali Aga (Lovina-SCTP) sebagai objek Wisata Budaya Unik Berkelanjutan
Nyegara-Gunung adalah konsep budaya desa Bali Aga yang masuk pula ke dalam Bali Mojopahit, sebagai representasi unsur atas (Gunung) dan Bawah (laut), dengan Pura Desa, Puseh, Pancering Jagat, dan nama lainnya sebagai pusar dan tengah-tengah keseimbangannya. Pura pusat ini, umumnya ngemanca, yaitu sebagai representasi dari Saudara Catur leluhurnya, dengan tengah-tengah dari Tapak Dara itu sebagai pusat ritual, dengan menjadikan Catus Pata/Perapatan Agung sebagai daerah astral. Di situlah lokasi nedunan Dewa, Leluhur, Ngutang Gering, Nebusin Nyama tradisi orang Bali jatuh di margi agung, dan termasuk ngenasakang satra bagi yang belajar kedigjayaan (Liyak atau Dukun). Ketemunya Bapa Akasa dengan Ibu Pertiwi terjadi di situ, sehingga tercipta "hidup" itu.
Lovina sebagai daerah kaki, segara dari SCTP tidak boleh lupa dengan hulunya, baik secara sekala dan niskala, walaupun secara dewasa ini, dilihat secara administratif tidak berhubungan dengan desa SCTP yang ada di daerah hulunya. Ketika terjadi kehendak untuk melakukan aktivitas pariwisata, dan melakukan perbuatab 'Cuntaka di daerah Pantai", jangan kaget jika datang orang hulu (SCTP) ngelurug ke pantai Lovina, karena berkembangnya Lovina, memang sepertinya tidak ada hubungan dengan derah hulu, tetapi dilihat dari Trihita Karana, daerah pantai itu merupakan kaki/segar a dari daerah hulu (SCTP).
Dalam kontek segara-gunung itulah seharusnya objek wisata budaya dikemas, sehingga memeng betul-betul mengembangkan pariwisata yang didasari oleh ideologi dengan kearifan lokal yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar wacana. kalau kemiskinan terjadi di daerah hulu, maka sebagai manusia biasa yang memiliki pikiran, perasaan, keinginan, dan aksi politik mapun budaya akan melakukan tindakan resistensi, dan menuntut keadilan pada pelaku wisata daerah lovina, karena secara tradisional, daerah pantai itu adalah kakinya mereka. Bagaimana Pura Labuhan Aji, sebagai kaki sakral dari raja diraja desa Bali Aga Gobleg yang menjadi Gusti Agungnya Catur Desa Gobleg, asal pecahan SCTP dan Desa Pakraman di Baratnya sampai ke daerah Sepang, membentang dari Padang Buraha (Padang Bulia) sampai daerah Belulang Sepang Kaja dalam prasasti Bulian Sanding Tamblingan.
Beberapa yang sudah dirintis oleh Tokoh Sailen Drs. Wayan Ariawan dari Sidatapa melakukan trobosan dalam mengembangkan pariwisata di desa Bali Aga (SCTP) dengan menjual alamnya melalui trecking Lovina-Sidatapa dan sekitarnya, Melakukan Penghijauan di Gunung dan di Pantai, dengan mengajak tamu asing dalam penanaman pohon, pelepasan burung lokal, melestarikan rumah penduduk "Tumpang Salu Gajah Mungkur", mempelopori pembuatan souvenir dari Anyaman Bambu, kursus memasak Anjani (memasak tradisional Bali/Balinese food, dan melakukan pendidikan karakter masyarakat dengan Go Greennya, dan pengolahan sampah keluarga untuk menghasilkan pupuk, dan melakukan pendidikan masyarakat mengajak petani utuk membuat pupuk organik. Semuanya itu dilakukan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanpa pamrih dengan melihat sejarah masa lalu desanya untuk memetakan masa depan masyarakatnya, agar menjadi lebih sejahtra, makmur, dan budaya kekerasan, memaak, dan mengantarkan masyarakatnya tidak mudah diperdaya oleh kepentingan politik, terutama menjelang hajatan politik lima tahunan dalam pilkada, atau pilgub di Bali.
Model-model yang dicoba dikemas, seharusnya pemerintah dapat mendukung dengan memberikan suntikan dana, dan penguatan pada aktor intelektual seperti itu, dalam mengenbangkan wisata budaya secara berkelanjutan. Dengan demikian pemerintah tidak lagi menjadikan dirinya sebagai tuan dengan melihat rakyatnya sebagai sahaja. Seharusnya pemerintah terkait sadar bahwa pascakolonial, terutama dalam demokratisasi terutama karena pemilihan langsung, pemerintah secara langsung merupakan abdi rakyatnya, bukan sebaliknya. Sebagai penguasa dari lokal-sampai ke atas, semuanya berpikir, berkata, dan bertindak (trikaya parisudha)