Kamis, 14 Januari 2016

Baliseering


GENEALOGI BALISEERING:
MEMBONGKAR IDEOLOGI PENDIDIKAN KOLONIAL BELANDA
DI BALI UTARA DAN IMPLIKASINYA DI ERA GLOBALISASI

Oleh
I Made Pageh,
A.A.Ngurah Anom Kumbara,
A.A. Bagus Wirawan, dan
Putu Sukardja.

ABSTRAK

Baliseering dalam pendidikan secara genealogis menyembunyikan ideologi dan kepentingan kolonial yang dimainkan dalam berbagai wacana kolonisasi, hegemoni dalam struktur dan kultur masyarakat yang berimplikasi secara luas di Bali Utara.  Hal ini sangat menarik untuk dibongkar, kajian difokuskan pada: (1) Latar belakang mengapa muncul kebijakan Baliseering? (2) Bagaimana proses Baliseering di Bali Utara?  (3) Bagaimana implikasinya di era globalisasi?
Untuk menjawab masalah penelitian itu digunakan metode kualitatif, dengan mengikuti prosedur penelitian ilmu sosial, yaitu: pengumpulan data (wawancara, observasi, dan studi pustaka), data yang terkumpul diverifikasi dan dianalisis, disimpulkan dalam perspektif cultural studies. Dengan konsep genealogi pengetahuan, dominasi dan hegemoni (Foucault, Gramsci, dan Giddens). Analisis pendidikan kritis menggunakan konsep Bourdieu, Paulo Preire, Ivan Ilich, secara eklektik.
            Hasil penelitian pertama, ditemukan latar belakang kebijakan Baliseering berhubungan dengan kepentingan kolonial dalam modernisasi birokrasi dan menjadikan Bali sebagai tujuan wisata budaya eksotik. Ideologi kolonisasi itu disembunyikan di balik kebijakan Baliseering. Kedua, proses Baliseering  berlangsung secara dominatif dan hegemonik dilegitimasi dengan membangun “Monumen Bali di Surabaya”. Dengan basis pengetahuan lokal genius, kolonisasi dan hegemoni kolonial dioperasikan dalam pembuatan relief: (1) transportasi modern (Pesawat dan Kendaraan), (2) Orang Belanda bermain Biola, (3) Orang Belanda bersepeda di Pura Maduwe Karang, (4) Lonceng Catus Pata, (5) hegemoni sistem religi di Desa Pakraman, dan (6) kolonisasi dan hegemoni pendidikan formal dan nonformal, dilakukan dengan lokalisasi dan Balinisasi seluruh komponen pendukung sistem pendidikan formal, baik kurikulum resmi maupun hidden curriculum. Sedang pendidikan nonformal dilakukan dengan kursus Guru Adat, komodifikasi pelukis di Yayasan Pita Maha.  Ketiga,  Baliseering  memiliki implikasi yang sangat luas dalam struktur dan kultur masyarakat Bali. Kolonisasi dan hegemoni terbukti pada masa revolusi fisik terlihat dalam Negara Indonesia Timur dan Dewan Raja-raja. Di era glokal etnosentrisme, primordialisme, dan kapitalisme muncul di  Desa Pakraman  dalam bentuk pemertahanan budaya dalam Ajeg Bali dan Pacalang. Respons politik berbentuk primordialisme terlihat dalam peristiwa Buleleng Kelabu, Bakso Haram, isu terorisme di Bali. Potret politik primordial dalam bentuk Gerakan Buleleng Kelabu, emosi massa sutindih terhadap Megawati Soekarno Putri sebagai trah Soekarno yang dipersepsi berdarah Buleleng. Kolonisasi dalam pendidikan bertransformasi dalam bentuk sistem pendidikan mengarah ke libralisme, internasionalisme, dan memarginalisme pendidikan rakyat miskin, yang membuktikan gagalnya pendidikan Nasional di era globalisasi. Dunia pariwisata budaya bertransformasi mengikuti kebutuhan pasar, menguatnya komodifikasi seni sejalan dengan arus wisatawan, finansial, teknologi telekomunikasi, dalam konteks ideologi glokal, yang berpengaruh terhadap rapuhnya world view orang Bali. Terutama mengarah ke desakralisasi dan komodifikasi tanah, tradisi, adat, agama dalam “pariwisata budaya” di Bali.

Kata Kunci: Baliseering, Ideologi, Kolonialisme, Pendidikan Kritis. 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda