Baliseering
GENEALOGI BALISEERING:
MEMBONGKAR
IDEOLOGI PENDIDIKAN KOLONIAL BELANDA
DI BALI UTARA
DAN IMPLIKASINYA DI ERA GLOBALISASI
Oleh
I Made Pageh,
A.A.Ngurah Anom Kumbara,
A.A. Bagus Wirawan, dan
Putu Sukardja.
ABSTRAK
Baliseering
dalam pendidikan secara genealogis menyembunyikan ideologi dan kepentingan
kolonial yang dimainkan dalam berbagai wacana kolonisasi, hegemoni dalam
struktur dan kultur masyarakat yang berimplikasi secara luas di Bali Utara. Hal ini sangat menarik untuk dibongkar,
kajian difokuskan pada: (1) Latar belakang mengapa muncul kebijakan Baliseering? (2) Bagaimana proses Baliseering di Bali Utara? (3) Bagaimana implikasinya di era
globalisasi?
Untuk menjawab masalah penelitian itu digunakan
metode kualitatif, dengan mengikuti prosedur penelitian ilmu sosial, yaitu:
pengumpulan data (wawancara, observasi, dan studi pustaka), data yang terkumpul
diverifikasi dan dianalisis, disimpulkan dalam perspektif cultural studies. Dengan konsep genealogi pengetahuan, dominasi dan
hegemoni (Foucault, Gramsci, dan Giddens). Analisis pendidikan kritis
menggunakan konsep Bourdieu, Paulo Preire, Ivan Ilich, secara eklektik.
Hasil penelitian pertama, ditemukan latar belakang
kebijakan Baliseering berhubungan
dengan kepentingan kolonial dalam modernisasi birokrasi dan menjadikan Bali
sebagai tujuan wisata budaya eksotik. Ideologi kolonisasi itu disembunyikan di
balik kebijakan Baliseering. Kedua, proses Baliseering berlangsung secara
dominatif dan hegemonik dilegitimasi dengan membangun “Monumen Bali di
Surabaya”. Dengan basis pengetahuan lokal genius, kolonisasi dan hegemoni
kolonial dioperasikan dalam pembuatan relief: (1) transportasi modern (Pesawat
dan Kendaraan), (2) Orang Belanda bermain Biola, (3) Orang Belanda bersepeda di
Pura Maduwe Karang, (4) Lonceng Catus
Pata, (5) hegemoni sistem religi
di Desa Pakraman, dan (6) kolonisasi
dan hegemoni pendidikan formal dan nonformal, dilakukan dengan lokalisasi dan
Balinisasi seluruh komponen pendukung sistem pendidikan formal, baik kurikulum
resmi maupun hidden curriculum.
Sedang pendidikan nonformal dilakukan dengan kursus Guru Adat, komodifikasi
pelukis di Yayasan Pita Maha. Ketiga,
Baliseering memiliki implikasi yang sangat luas dalam
struktur dan kultur masyarakat Bali. Kolonisasi dan hegemoni terbukti pada masa
revolusi fisik terlihat dalam Negara Indonesia Timur dan Dewan Raja-raja. Di
era glokal etnosentrisme, primordialisme, dan kapitalisme muncul di Desa
Pakraman dalam bentuk pemertahanan
budaya dalam Ajeg Bali dan Pacalang. Respons politik berbentuk
primordialisme terlihat dalam peristiwa Buleleng Kelabu, Bakso Haram, isu
terorisme di Bali. Potret politik primordial dalam bentuk Gerakan Buleleng
Kelabu, emosi massa sutindih terhadap
Megawati Soekarno Putri sebagai trah
Soekarno yang dipersepsi berdarah Buleleng. Kolonisasi dalam pendidikan
bertransformasi dalam bentuk sistem pendidikan mengarah ke libralisme,
internasionalisme, dan memarginalisme pendidikan rakyat miskin, yang
membuktikan gagalnya pendidikan Nasional di era globalisasi. Dunia pariwisata
budaya bertransformasi mengikuti kebutuhan pasar, menguatnya komodifikasi seni
sejalan dengan arus wisatawan, finansial, teknologi telekomunikasi, dalam
konteks ideologi glokal, yang berpengaruh terhadap rapuhnya world view orang Bali. Terutama mengarah
ke desakralisasi dan komodifikasi tanah, tradisi, adat, agama dalam “pariwisata
budaya” di Bali.
Kata Kunci: Baliseering, Ideologi, Kolonialisme, Pendidikan Kritis.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda