GENEALOGI BALISEERING: MEMBONGKAR IDEOLOGI PENDIDIKAN KOLONIAL BELANDA DI BALI UTARA DAN IMPLIKASINYA DI ERA GLOBALISASI
RINGKASAN DISERTASI
ABSTRACT
Genealogy of Baliseering (Balinization) hid the
ideology of power and capitalism applied through the discourse of education
policy of Baliseering during the
colonial period in North Bali. It is very interesting to uncover the
implications in this era of globalization. Based on this background, the study
focused on: (1) What was behind the emergence of the Baliseering policy? (2) What was the process of Baliseering in North Bali? (3) What are
its implications in the era of globalization?
To answer the
research problem, it was used a qualitative method, by following the procedures
of social science research, namely: the data collection was carried out by
interviews, observation, and literature study. The collected data was analyzed,
in the perspective of cultural studies.
The
first of the research results showed that the policy of Baliseering had a background associated with the colonial interests
in the modernization of the bureaucracy and make Bali as a tourist destination
of exotic culture. Second, the process began by dominating the legitimacy of
power symbolically was done by building "Bali Monument in Surabaya".
With a base of knowledge about the local genius, colonization operated colonial
idea behind the temple reliefs with symbols of colonial culture, such as modern
transportation (aircraft and vehicles), violin, bicycle, bell in the crossroads
/catus pata, the religious system in
the pakraman villages. Colonization
in formal and informal education was carried out by the Balinization of the
supporting components of the education system. Third, the Baliseering had implications on the hegemony in the structure and
culture of Bali. This can be seen in the establishment of the State of East
Indonesia and the Council of Kings, to reinforce ethnocentrism and primordial.
Transformation of colonization can be seen in the form of liberalism,
internationalism, and the marginalization of the poor in education. Tourism has
implications for the desecration and co-modification of land, traditions,
customs, and world view of the Balinese.
The conclusion
that can be drawn from the background of the Baliseering education is that the Netherlands disguised their
economic interests and colonization. Colonial ideology was implicated in the
era of globalization in political attitudes and bureaucracy, liberalism and
capitalism of education, and the co-modification of art, traditions, customs,
land, and religion. The limitation of this study is expected to be continued by
further research on the Baliseering.
Keywords: Baliseering, Ideology, Colonialism,
Critical Education.
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Baliseering merupakan kebijakan kolonial
Belanda melakukan proteksi kebudayaan, adat, dan Agama Hindu agar tidak punah
dilanda oleh pengaruh luar, terutama pengaruh modernisasi, kristenisasi dan
islamisasi yang dikontruksi oleh kolonial Belanda “seolah-olah melaksanakan
politik etis demi kepentingan lokal Bali
yang digagas oleh Flierhaar tahun 1920-an (cf. Sidemen, 1983). Para ahli
memandang kebijakan Baliseering merupakan
kebijakan sangat positif dan baik-baik saja. Picard (2006) menyebutkan
Balinisasi yang dilakukan oleh bangsa asing dengan “mengambil alih suara lokal,
dengan melibatkan penguasa seberang
lautan dalam merumuskan kebijakan itu”, tidak disebut Belanda secara eksplisit.
Dengan demikian, “kebijakan seolah-olah melaksanakan politik etis itu”, sangat
menarik dibongkar ideologi yang tersembunyi di baliknya. Dengan adanya
kebijakan Balinisasi bersamaan dengan munculnya konflik kasta di Bali Utara,
dan keberpihakan pemerintah kolonial pada golongan primordial kebijakan Baliseering menjadi sangat mencurigakan,
karena bersebarangan dengan logosentrisme zamannya (Lyotard). Hasil penelitian
Sidemen (1983) tentang peran Baliseering
dalam pengembangan pariwisata di Bali, menjelaskan sumbangan kebijakan Baliseering sangat besar dalam
pengembangan pariwisata budaya di Bali, walaupun kritik dilakukan terhadap
kebijakan pemerintah Orde Baru yang melakukan pemindahan penduduk Bali
(transmigrasi), karena dapat mengganggu keseimbangan penduduk dan budaya Bali
di masa depan, tidak mengurai konteks zamannya, sehingga perlu dilengkapi
dengan pemahaman Baliseering dalam
pendidikan formal dan nonformal pada zamannya.
Belajar dari
sejarah kolonialisme di Asia Tenggara bahwa sebagian besar kolonialisme
melakukan asimilasi dan penetrasi budaya di daerah jajahan untuk memudahkan
melakukan negosiasi dalam mempertahankan kekuasaannya, seperti Inggris,
Spanyol, Jepang di Asia Tenggara (King and Wilder, 2012:6). Sangat kontras
dengan wacana kebijakan Baliseering yang
“seolah-olah untuk kepentingan lokal Bali”.
Penelitian Wijaya (2009) dalam kajian Ajeg Bali (1910-2007) memberikan kritik pada kebijakan Ajeg Bali yang menguatkan sistem kasta
dan feodalisme di Bali, terutama dalam
mengantar masa depan pemuda Bali menjadi tidak cerdas, menarik untuk
dibuktikan, tidak membahas pendidikan. Dengan demikian sangat beralasan
meragukan kebijakan Baliseering tahun
1920-an, dengan fakta kolonial Belanda memainkan golongan primordialis dalam
konflik kasta di Bali Utara, khususnya
dalam dunia pendidikan Baliseering
yang tidak membebaskan dalam menanamkan nilai kuasa di dalamnya (Bourdieu,1986;
Poulo Preire dalam Martono, 2010). Oleh karena itu, penulis memosisikan diri
sisi negatif, dengan mencurigai kebijakan Baliseering
itu menyembunyikan ideologi sesuai dengan motif-motif kepentingan kolonial
Belanda.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut.
1.2.1
Mengapa
kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan pendidikan Baliseering di Bali Utara?
1.2.2
Bagaimana
proses Baliseering khususnya dalam
struktur dan kultur melalui pendidikan formal maupun nonformal di Bali Utara?
1.2.3
Bagaimana
implikasi kebijakan Baliseering dalam
struktur dan kultur pendidikan di Bali Utara era globalisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum
penelitian ini bertujuan untuk membongkar atau menunda makna yang dibangun
zaman Baliseering, dengan menemukan
ideologi yang tersembunyi di balik jejak-jejak kebijakan Baliseering baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, serta
implikasinya berupa dampak atau pengaruh kebijakan Baliseering di Bali Utara di era globalisasi.
1.3.2
Tujuan
Khusus
a.
Menemukan
latar belakang ideologi yang tersembunyi di balik kebijakan Baliseering khususnya berupa jejak-jejak
sejarah, struktur dan kultur masyarakat dalam pendidikan formal maupun
nonformal zaman kolonial Belanda di Bali Utara.
b.
Membongkar
proses Baliseering dalam Jejak-jejak
sejarah, struktur dan kultur masyarakat melalui pendidikan formal maupun
nonformal zaman kolonial Belanda di Bali Utara.
c.
Menganalisis
implikasi (dampak dan pengaruh) Baliseering
berupa jejak-jejak sejarah, struktur dan kultur masyarakat di era globalisasi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti pada pengembangan teori
kritis, di Lembaga Program Kajian Budaya, khususnya dalam pengembangan konsep
ideologi, genealogi, hegemoni dalam pendidikan kritis.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.
Bagi
penulis merupakan pengalaman sangat berharga dalam penelitian menggunakan
perpektif teori kritis.
2.
Bagi
pemerintah dapat dipergunakan untuk mengambil kebijakan dalam pengembangan
pendidikan kritis.
3.
Bagi
akademisi dan penelitian selanjutnya dapat dikembangkan lebih lanjut.
II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORETIS,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka
Karya Krause Bali 1912, berupa kumpulan Foto dan
dilengkapi teks yang banyak memberikan inspirasi penulis berikutnya. Namun,
belum ada yang membahas Baliseering dengan
memosisikan diri mencurigai motif-motif yang tersembunyi di balik Baliseering. Penelitian ini memosisikan
diri berbeda dengan perspektif Karya
Miguel Covarrubias (1937) Island of Bali
(sarjana orientalis) terutama dalam membahas kiprah Yayasan Pita Maha dan pengembangan seni modern di Bali. Adrian
Vikers buku Bali: A Paradise Created
(1989) dan Travelling to Bali, Four
Hundred Years of Journeys (1994) banyak mempromosikan Bali di luar negeri.
Kemudian Michel Picard (2006) membahas Bali
Parwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, mengawali pembahasan melalui
asal-usul munculnya gagasan Balinisasi,
membiarkan Bali tetap tradisional.
Karya Robinson
(2006), mengulas tentang cengkraman kekuasaan kolonial yang “membentuk Bali”
dimulai tahun 1920-an, memberikan pemahaman bahwa Bali tidak seperti dimitoskan
orang, karena banyak konflik dan kekerasan yang tidak diekspose ke permukaan.
Kekerasan mewarnai masyarakat pascakemerdekaan di Bali Utara, seperti hasil
kajian Suryawan (2010) memberikan gambaran menarik untuk memahami secara kritis
kebudayaan di Bali Utara.
Hasil
penelitian sejarawan Sidemen (1983) berjudul Baliseering dan Perkembangan Pariwisata Budaya di Bali, memberikan
inspirasi khusus untuk memilih tema ini. Hanya menyoroti peranan kebijakan Baliseering dalam membantu perkembangan
pariwisata budaya, tidak melakukan analisis lebih lanjut. Atmadja (2010)
membahas identitas kultural Bali, menguraikan dan menganalisis fenomena
kontemporer yang terjadi di Bali. Wijaya (2009) mengkaji Ajeg Bali sudah terjadi tahun 1910-an, dan menemukan hampir lusinan
penggunaan konsep Ajeg Bali, dan
terutama dengan menggunakan intelektual organis menjadikan masa depan Bali
tidak cerdas, menguatkan sistem kasta dan primordialisme di Bali. Wijaya
memosisikan diri memandang tidak semua konsep Ajeg Bali memiliki nilai positif, dengan mengkritisi Ajeg Bali yang berperan membelenggu masa
depan Bali karena mengantar menguatnya primordialisme di Bali. Konstruksi
wacana Ajeg Bali memiliki relasi
kuasa dengan berbagai kepentingan kuasa kapital dan politik di Bali (Kumbara,
2010:23). Karya Suda (2009), merupakan karya yang memberikan pembahasan secara
kritis dalam pendidikan di SD, kajian kasus ini menemukan telah bahwa
pendidikan telah dijadikan merkantilisme kapitalis dengan berbagai alasannya
dalam dunia pendidikan, sehingga pendidikan menjadi sebuah komoditas.
Karya-karya di
atas melihat kebijakan Baliseering
baik-baik saja, penulis memiliki posisi yang berseberangan dengan kajian akademik di atas,
karena Baliseering secara genealogis
dikaji memiliki relasi kuasa kolonial, di dalam menjadikan Bali sebagai objek
wisata eksotik, kebijakan yang se-olah-olah melaksanakan politik etis demi
kepentingan Bali, tetapi sesungguhnya mengandung kepentingan kapitalis dan
kolonialis dalam kebijakan itu. Dengan demikian sangat menarik untuk dibongkar
ideologi yang disembunyikan di balik kebijakan Baliseering khususnya dalam bidang pendidikan formal maupun
nonformal dan implikasinya di Bali Utara era globalisasi.
2.2
Penjelasan
Konsep
2.2.1 Genealogi Pengetahuan
Konsep
genealogi pengetahuan dikembangkan oleh Michel Foucault, sebuah konsep melihat
asal-usul lahirnya sebuah diskursus yang ada relasi kuasa di dalamnya. Wacana
itu kemudian menjadi sebuah arkeologi,
dalam memahami asal-usul arkeologi itu dikaitkan dengan relasi kuasa disebut
“genealogi pengetahuan” (Foucault,1969). Dengan teoretisasi dari Michel
Foucault kebijakan Baliseering dibongkar,
terutama dalam melihat ideologi yang beroperasi dalam diskursus Baliseering itu (cf. Martono, 2014:36;
Parchiano, 2012:163). Genealogi Baliseering (tahun 1920-an) dibongkar
kebenaran apreori (episteme) dari
jejak-jejak sejarah, cerita sejarah, relief, praktek budaya dalam Baliseering, khususnya dalam artikulasi
budaya dalam dunia pendidikan, dengan berbagai bentuk kebijakan rebalinisasi,
dan implikasinya.
2.2.2
Membongkar
Membongkar
dalam karya ini mengacu pada konsep dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi adalah
“penundaan makna”, bukan program sistematis, melainkan cara membaca teks yang
menunjukkan pengaruh dan ketergelincirannya berupa detail-detail kecil yang
terlampaui, yang kemudian menyugestikan pandangan lain dan tafsiran lain yang
lebih memungkinkan, secara argumentatif sehingga dapat mengantar pluralisme
kritis dalam pengetahuan (Derrida,1967:85; Sumaryono, 2013). Oleh karena itu,
bagi Derrida dekonstruksi adalah menggoyang, menjungkir balikkan, mencemaskan,
mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang membangun hal-hal baru dan
menemukan artikulasi budaya yang salah kaprah, karena ada relasi kuasa di
dalamnya dan membuka pikiran masyarakat yang tertutup, menjadi terbuka (lihat
Lubis, 2006). Derrida lebih jauh mengatakan bahwa yang menjadi primordial (yang
asli, mula-mula) mestinya gagasan didasarkan atas jejak, dan bukan sebaliknya. Proto-writing ini mulai bekerja sebagai
asal-usul arti. Karena bersifat sementara di alam ini, arti tidak pernah tampil
begitu saja; tetapi selalu dalam keadaan terbawa dalam ‘gerak’ jejak “yang
memberi arti” (Derrida,1967: 85).
2.2.3 Ideologi Pendidikan
Peta ideologi
Giroux dan Aronowitz sejalan dengan analisis Paulo Preire tentang konsep
kesadaran ideologi masyarakat. Preire dalam Martono (2009) mengolongkan
kesadaran manusia menjadi kesadaran magis, kesadaran naïf dan kesadaran kritis.
(a) Kesadaran magis kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu
faktor dengan faktor lain, semua peristiwa dikaitkan dengan faktor yang ada di luar
manusia. (b) Kesadaran naïf adalah lebih melihat “aspek manusia” yang menjadi
akar permasalahan. Tugas pendidikan adalah mengarahkan peserta didik agar masuk
sekolah dan beradaptasi dengan sistem pendidikan yang ada. (c) Kesadaran kritis/radikal
adalah lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan struktur menghindari menyalahkan korban (blaming the victim), dan menganalisis secara kritis struktur dalam
kultur masyarakatnya.
Proses ideologis
dilakukan oleh Negara melalui “aparat represif’, dan “aparat ideologis”,
seperti pendidikan, keluarga dan media massa dan sebagainya (Althussers,
2010: ix).
Roger Eatwell menjelaskan lebih jauh, bahwa ideologi cenderung menjadi istilah
negatif yang digunakan untuk
mengelompokkan ide-ide yang bias atau ekstrim. Perdebatan ideologis yang tidak pernah berakhir,
dapat diklasifikasi menjadi: (1) kategori ideologi sebagai pemikiran politik; (2) ideologi sebagai
kepercayaan dan norma;
(3) ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos dan; (4) ideologi sebagai kekuasaan elite.
Model-model cara kerja ideologi dapat diklasifikasikan menjadi model umum dan
bentuk strategi konstruksi simbol
di dalamnya:
(1) legitimasi, bentuknya
adalah rasionalisasi, universalisasi, dan narativisasi; (2) penipuan, bentuknya
pemindahan, eufemisasi, kiasan (seperti sinekdot, metonimi, metaphor); (3) unifikasi, bentuknya
standardisasi, simbolisasi dari kesatuan; (4) fragmentasi, bentuknya diferensiasi,
ekspurgasi yang lain; (5) reifikasi,
bentuknya naturalisasi, eksternalisasi, nominalisasi/pasivisasi (Thomson,
2015:84).
2.2.4 Pendidikan Baliseering
Pendidikan Baliseering adalah usaha sadar kolonial
Belanda dalam menyelenggarakan pendidikan formal maupun nonformal seolah-olah
melaksanakan politik etis. Pendidikan diperlukan adanya: (a) transformasi
budaya; (b) transmisi budaya; (c) internalisasi budaya; (d) kontrol sosial
untuk pelestarian budaya; (e) pendidikan sama dengan personalisasi peran sosial
budaya/ personalisasi peradaban. Pendidikan nasional diatur dalam UU No. 20
tahun 2003 (Sisdiknas), menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Tilaar, 2007).
2.2.5 Implikasi Era Globalisasi
Implikasi
dalam KBBI disebutkan “(1) keterlibatan atau keadaan terlibat; (2) yang termasuk atau tersimpul; yang
disugestikan tetapi tidak dinyatakan” (1977:374). Nyoman Dhana menyebutkan: bahwa implikasi berarti melibat atau
merangkum, yaitu sesuatu dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau
evidensi itu sendiri. Istilah implikasi diartikan sebagai “keterlibatan atau
keadaan terlibat; yang termasuk atau tersimpul, tetapi tidak dinyatakan”
(2010:251). Pembahasan implikasi era globalisasi di Bali Utara dipilih yang memiliki
keterkaitan ideologis dengan pendidikan Baliseering
pada tahun 1920-an. Rentang durasi yang panjang didasari oleh asumsi bahwa
hasil pengideologian dalam pendidikan akan tampak setelah 1-2 generasi
berikutnya. Karena sebuah ideologi beroperasi tersembunyi di bawah alam sadar
masyarakat. Ideologi kolonial dan primordialisme itu secara tidak sadar
berdampak dan berpengaruh kembali berimplikasi secara ideologis tersembunyi
dalam praktik budaya dan pendidikan di Bali Utara era globalisasi.
2.3
Landasan
Teoretis
2.3.1
Poststrukturalisme, Postmodernisme, dan Globalisme
Pandangan struktural itu dikritik oleh
kelompok poststrukturalis (Piliang, 2010:53). Poststrukturalisme berarti
setelah strukturalisme, yaitu menyangkut penerimaan dan kritik, seperti disebutkan
R. Barthers dalam C. Barker (2004:75), bahwa teks bukanlah sebatas kata yang
membebaskan makna “teologi tunggal pengarang”, melainkan suatu ruang
multidimensi yang melebur dan berbenturan satu sama lain. Sejalan dengan
pandangan itu (Recoeur, 2009:195; Said, 2012:175) menyebutkan teks adalah isu
tulisan yang diambil dari pusat kebudayaan yang tiada batas. Tokoh-tokoh
poststrukturalisme dan pandangannya dibahas oleh (Sarup, 2011). Makna dalam wacana adalah
sesuatu yang tidak stabil, sehingga perlu ditunda pemaknaannya, karena selalu
tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata yang bersifat
tunggal, namun hasil hubungan antar teks (cf. Fiske, 2011:117; Kellner, 2010).
Filsuf J. Lacan (2009) membaca ulang S. Freud untuk memperjelas konsep ketidaksadaran.
Teori ego dalam diri manusia yang dapat memunculkan ketidaksadaran manusia,
menjadi meluas ke berbagai bidang kehidupan sosial dan kemanusiaan (cf. Fakih,
2013). Pada masa setelah perang, gerakan humanisme menjadi paham betapa
pentingnya kesadaran manusia, suatu keyakinan bahwa ego itu, --baik maupun
buruk-- berada di dalam kehidupan psikologis masyarakat manusia (cf. Hall,
et.al, 2011; Giddens, 2007), Jean-Francois
Lyotard menyebutkan, postmodernisme merupakan kelanjutan dari zaman modern, di
sisi lain, Rosenberg menyebut postmodern menempati posisi yang tidak jelas,
karena menawarkan segala-galanya atau tidak menawarkan apa-apa (nothing) dalam Ritzer dan Goodman
(2011). Pada tahun 1971 George Steiner lebih melihat postmodernisme merupakan
kelanjutan dari modernisme.
Kritik beberapa tokoh postmodernisme terhadap modernisme, menampilkan ciri-ciri postmodernisme:
(1) kesangsian terhadap optimisme modernisme; (2) cara pandang holistik
terhadap segala kemampuan
manusia yang mengintegrasikan emosi dan
intuisi manusia ke dalamnya; (3) gagasan kebenaran yang menyebar dan penolakan
terhadap kebenaran tunggal; (4) penolakan terhadap universalisme dan totalisme
dengan menghargai perbedaan, partikularitas, lokalitas, dan fragmentasi
realitas; (5) penolakan atas metafisika dan fundamentalisme, penolakan terhadap
pemaknaan realitas bersifat tunggal dan tetap; (6) perspektif organis penekanan
pada relasionalitas dan proses. Hal ini dijadikan solusi dalam difrensiasi,
diskontinuitas, dari cara pandang dualistik
kekhasan modernisme, realitas adalah saling berhubungan satu sama lain secara
egaliter ; (7) cara pandang terhadap alam menawarkan model kooperatif terhadap
alam, alam memiliki nilai intrinsik, bukan hanya nilai yang
diintrumentalisasikan dan dimanipulasikan; (8) kebangkitan kembali
spiritualitas dan relegiositas, hidup akan terjamin kalau nilai-nilai ini
mendapat perhatian umat manusia (Parekh, 2008).
Globalisasi
menurut Arjun Appandurai dalam Ritzer dan Goodman (2011) disebutkan ada lima
arus lanskap utama dalam globalisasi, antara lain: (1) ethnoscapes, ini adalah ideologi yang berpindah dari satu tempat ke
tempat lain; (2) tecnhoscape, arus
teknologi; (3) finanscape, arus modal
dan ideologi; (4) mediascape, media
cetak dan elektronik; dan (5) ideoscape, arus
ideologi libralisme. Pada titik ekstrim, globalisasi dapat dilihat sebagai
ekspansi transnasional berupa kode dan homoginitas dari modernitas, bahkan
terjadi saling mempengaruhi antara budaya lokal dan global, sehingga muncul
budaya glocalization atau Robertson
menyebut “keragaman budaya”, dan Friedman (1994) menyebutnya “percampuran
budaya” atau pastiche cultural (cf.
Ritzer dan Goodman, 2011:588; Hall, 2011). Sedangkan Babha dan Loomba
menyebutnya “mimikri dan hibridasi”, yaitu budaya campuran yang sangat samar
bentuk aslinya (dalam Martono, 2011:158).
2.3.2
Genealogi
Pengetahuan Michel Foucault
Konsep kunci dari Foucault adalah arkeologi, genealogi, dan
kekuasaan. Bila arkeologi terfokus pada kondisi historis yang ada,
sedangkan genealogi lebih mempermasalahkan tentang proses
historis yaitu berupa proses tentang jaringan-jaringan diskursus yang dicurigai memiliki relasi kuasa di
dalamnya. Karir akademik Foucault banyak mendapat pengaruh dari Althussers,
Heidegger, dan Nietzsche, pilosof yang berpengaruh zamannya.
Pada tahun 1969 Foucault menerbitkan buku “The Archeology of Knowledge (2012:107)”,
dari karyanya inilah muncul metode pengujian arkeologi, dengan kemungkinannya
untuk berubah, dan ideologi- berupa faktor penyebab yang mungkin dapat mengubah
dan mengembangkan ide-idenya. Foucault
menggunakan konsep sejarah sebagai “diskontinuite,
rupture, seuil, limite, serie, and transformation” (diskontinuitas,
patahan, ambang, batas, seri, dan transformasi) dalam pembahasan sejarah
(Martono,2014:36). Metodologi Foucault disebut genealogi pengetahuan, yaitu setiap pengetahuan yang sudah dianggap
final kebenarannya (disebut episteme)
telah menjadi sebuah arkeologi.
Genealogi mencari asal-usul sebuah pengetahuan dimana sebuah arkeologi selalu
memiliki relasi dengan kekuasa dalam memroduksi kebenaran. Perspektif
pendidikan kritis perlu dilakukan, sejalan dengan pandangan Foucault untuk
melihat produksi pengetahuan dalam kaitannya dengan pendidikan, diutamakan yang
berkaitan dengan praktik pendidikan dan sosial pada masyarakat kontemporer,
terutama pendidikan pembebasan (Paulo Preire) di Bali Utara era globalisasi.
2.3.3 Hegemoni Anthonio Gramsci
Konsep
hegemoni Antonio Gramsci ditempatkan pada dialektik atau dikotomi pemikiran
politik Italia (Machavellian
dan Paretoan), dan beberapa bagian lainnya dari Lenin. Konsep Macheavelli
diadopsi seperti konsep kekuasaan (force)
dan persetujuan (concern) atau ideologikelas dominan. Bagi
Gramsci kelas sosial yang berkuasa memiliki keunggulan (supremasi) melalui dua
cara, yaitu: (1) cara dominasi (domination)
atau paksaan (coercion); dan (2)
hegemoni yaitu melalui kepemimpinan intelektual dan moral, bahkan membuat
ideologi kesepakatan-kesepakatan dengan kelas yang dikuasai, sampai mereka
tidak sadar dikuasai bahkan ikut menguatkan hegemoni itu di luar kesadarannya
(Gramsci, 2000:163; Arief, 1999:115). Hal ini memungkinkan terabaikannya
gerakan civil society seperti gerakan
masyarakat adat, gerakan lingkungan (new
social movement), dalam konteks inilah Gramsci mencetuskan reaksi
intelektual dalam konsep hegemony (Simon,
2004: xiv; cf. Culla, 2006: 203). Pendidikan war of position and war of ideology, counter hegemony merupakan “aksi ideologis” terhadap
kultur dan struktur dominan untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat (criticscivil consciousness) terhadap
ideologi, struktur, kultur dominan yang menindas, eksploitatif, yang berelasi
dengan struktur kelas, rasisme, ketidakadilan (Arief, 1999:133). Perebutan
kekuasaan merupakan perebutan terhadap ideologi dan tatanan world view masyarakat melalui pendidikan
(Fashri, 2007:81).
2.3.4
Pendidikan
Kritis
Pierre
Bourdieu sangat ideologis dalam pengembangan pemikiran pendidikan kritis,
idenya tentang modal budaya hubungannya dengan pendidikan. Bourdieu melihat
terdapat hubungan antara pendidikan dan ideologi budaya. Kedua ideologi ini
direproduksi dan diideologikan melalui sekolah (cf. Martono, 2010:45). Habitus
merupakan tindakan manusia berupa dialektik antara pemikiran dengan aktivitas
dunia objektif. Hubungan dialektik ini merupakan hubungan habitus dengan ranah,
yang terkenal d rumusnya “Habitus X Modal + Ranah= Praktik” (Harker, et al., 1990: 9). Habitus
mengimplikasikan adanya pengalaman masa lalu (makhluk menyejarah), di dalamnya
ditemukan bentuk-bentuk skema persepsi, pemikiran, dan perbuatan yang menjamin
adanya ketepatan dalam praksis yang tampak dalam: (1) gaya hidup (life style), (2) motivasi/ preferensi
dan emosi, (3) prilaku yang sudah mendarah daging, (4) kosmologi, (5)
keterampilan dan kemampuan sosial praktis, (6) aspirasi-aspirasi berkaitan
dengan perubahan hidup dan karya seseorang. Ranah (field) merupakan wilayah kehidupan sosial seperti ideologi, hukum,
seni, pendidikan, pasar, dan sebagainya, sebagai modal budaya (Bourdieu dalam
Harker, 1990:109).
Paulo Preire
(1921-1977), memiliki pendekatan baru dalam pendidikan, yang dikenal dengan
ideologi politik, yang mengembangkan pendidikan pembebasan. Slogannya adalah
“pendidikan untuk orang tertindas adalah pendidikan pembebasan, dan merupakan
perjuangan tanpa henti untuk memperoleh kembali kemanusiaan, kebebasan (liberalization) masyarakat yang
terpinggirkan. Masyarakat harus dibantu untuk menuntut haknya untuk ikut
berpartisipasi dalam masyarakatnya. Konsep “mengetahui” bukanlah mengumpulkan
fakta dan informasi sebanyak-banyaknya (ideology
banking), namun mengetahui adalah menjadikan subjek didik sebagai subjek
dan aktif di dunia ini dalam memperjuangkan kebebasan dari belenggu kekuasaan,
politik, ideologi, dan perubahan zaman yang niscaya dapat dipungkiri (Tilaar,
2007:41).
5.3 Model Penelitian
III.
METODE PENELITIAN
3.1
Pendekatan Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan cultural
studies, kualitatif –argumentatif kritis (Barker, 2004:28). Sasaran
pokoknya
bukan pada pengukuran, melainkan pada pendeskripsian secara kritis jejak
sejarah, struktur dan kultur masyarakat implikasi Baliseering di Bali Utara.
3.2
Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian di Bali Utara, dengan pertimbangan: 1) Kota
Singaraja merupakan kota keresidenan Bali Lombok, sehingga secara perspektif
spasial dapat mewakili Bali seluruhnya. (2) pertimbangan efisiensi dalam
penyelesaian studi ini.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Keterkaitannya
dengan fokus penelitian, dipilah menjadi dua, yakni jejak-jejak budaya zaman
kolonial dan sumber data primer. Beberapa sisa budaya
kolonial, seperti ideology, socio-fact, releigio-fact, dokumen arsip kolonial.
3.4 Teknik Penentuan Informan
Pemilihan
informan dengan teknik snow-ball (Koentjaraningrat, 1985:26). Informan
kunci selanjutnya.
3.5 Instrumen Penelitian
Mengingat penelitian ini bersifat kualitatif, intrumennya pedoman wawancara
dan observasi mengacu pada Moleong (1993:4). Instrumen disesuaikan dengan tujuan penelitian, dan peneliti termasuk
instrument, sampai kejenuhan data didapat untuk penulisan.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
(a). Wawancara: informasi yang
digali tidak hanya yang diucapkan oleh informan, tetapi juga dilengkapi dengan
penggalian beberapa sumber tulis yang dimiliki informan (b). Observasi: Observasi mencari
informasi di lapangan. (c). Studi
Dokumen: dokument dikumpulkan kemudian diidentifikasi
keabsahannya, pembacaan
dokumen dipilih bagian
yang menunjang tujuan penelitian ini
(lihat Purwanto, 2006:1-41).
3.7 Teknik Analisis
Setelah data terkumpul dianalisis secara keseluruhan data diinterpretasi,
kemudian sebelum disimpulkan diadakan triangulasi data, dan hasil reduksi data
didisplay keseluruhan dalam perpsketif teori poststruktural/kritis. Cara
kerja ideologis dibongkar dengan model berikut.
Tabel 3.1 Model–model Cara Kerja Ideologi
No.
|
Model Umum
|
Bentuk
Strategi Konstruksi
Simbol
|
1.
|
Legitimasi
|
Rasionalisasi,Universalisasi,
Narativikasi
|
2.
|
Penipuan
|
Pemindahan,
Eufemisasi,
Kiasan (Sinekdot, etomini, metafora).
|
3.
|
Unifikasi
|
Standarisasi,
simbolisasi dari kesatuan.
|
4.
|
Fragmentasi
|
Diferensiasi,
ekspurgasi yang lain.
|
5.
|
Reifikasi
|
Naturalisasi,
Eternalisasi, Nominalisasi/pasivikasi.
|
Sumber: John B. Thompson. 2015. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan
Komunikasi Massa. (Jakarta: IRCISoD), hal. 84.
Pemaknaan
dibongkar dalam model dan bentuk kontruksi simbol seperti disebutkan Thompson
di atas.
IV.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Pembahasan
diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama, yaitu latar belakang (genealogi),
proses, dan implikasi Baliseering.
4.1 Latar Belakang Pendidikan Baliseering
Genealogi atau
latar belakang kebijakan Baliseering
berhubungan dengan munculnya politik etis yang menyebabkan munculnya elite
terpelajar di Bali Utara yang mengagas ide zaman kemajuan atau modernisasi,
sehingga muncul konflik kasta. Respons pemerintah kolonial dengan memunculkan
kebijakan pendidikan Baliseering, yaitu
pendidikan mengajegkan Bali yang seolah-olah melindungi Bali, di baliknya
tersembunyi kepentingan politik dan kapitalisme kolonial Belanda memainkan
ideologi Baliseering dalam menguatkan
etnosentrisme, dan primordialisme untuk menangkal ideologi radikal dan
nasionalisme yang dipersepsi potensial tumbuh pada elite terpelajar di Bali
Utara. Gerakan modernisasi golongan elite terpelajar memiliki kesetaraan dengan
perjuangan Budi Utomo di Jawa yang dikonstruksi dapat mengancam kekuasaan
kolonial jika tidak ditangani secara serius.
Kebijakan
kolonial untuk meyakinkan bahwa Balinisasi itu adalah untuk kepentingan
penduduk lokal. Dilanjutkan dengan kebijakan: (a) Melarang kristenisasi di
Bali. (b) Mempertegas sistem kasta untuk meredam konflik dengan menciptakan
“bom waktu” di Bali. (c) Memihak golongan tradisional, dengan regulasi ideologi warna menjadi sistem kasta. (d)
Membendung ideologi radikal seperti Nasionalisme, Islamisme, Komunisme,
Kristenisasi masuk ke Bali. Jadi genealogi kebijakan Baliseering yaitu mengalihkan sistem eksploitasi politik menjadi
eksploitasi ekonomi kapitalis melalui pariwisata budaya eksotis.
4.2 Proses Baliseering
dan Sekolah Sebagai Agen Baliseering
Proses Baliseering berawal dari penguasaan Bali
Utara melalui puputan Jagaraga. Legitimasi kekuasaan dilakukan dengan membangun
“Monumen Bali di Surabaya”. Pembangunan simbol kemenangan di Surabaya ada kesan
kekhawatiran kolonial terhadap patriotisme orang Bali. Monumen dirikan pada tanggal 4 September 1869 (dua
puluh tahun setelah berakhirnya Perang Jagaraga), dibangun di Bekas Tangsi
Djotangan (sekarang di depan Polwiltabes di Jalan Sikatan) Surabaya (Gambar
4.1).
Gambar 4.1 Monumen Perang Bali Tahun 1849 di
Surabaya (Sumber: Sarkawi B. Husein (2010)
(Pageh Repro,2015).
Proses Baliseering melalui kolonisasi dan
hegemoni gagasan kolonial pada relief di beberapa ranah pura strategis di Bali
Utara. (1) Kolonisasi gagasan
ideologi hegemonik di pura Dalem Segara Madu Jagaraga. Relief dibuat di
Penyengker Pura paling luar, pengunjung sebelum masuk ke jeroan disuguhkan relief mengenai: “kendaraan, pesawat udara,
adegan memancing ikan dan botol minuman keras (Gambar 4.2).
Gambar 4.2: Relief Mobil
Tahun 1930-an (Pageh, 2015)
(2) Kolonisasi
dan hegemoni ideologi religi dengan ringgit mimikri dengan uang kepeng, uang Belanda seperti uang ringgit, sen,
bengol dalam masyarakat Bali dan uang kertas dan logam modern masuk dalam
struktur ritual di Bali (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 : Uang Ringgit Belanda dan Uang Kepeng di Bali (Pageh, 2015), dan Pis Jimat diunduh, tanggal 13 Maret 2015.
Uang
Kepeng memiliki fungsi dan makna relegius pada masyarakat Bali, karena telah
bermakna di samping nilai tukar, ritual, juga telah dimitologikan memiliki
kekuatan gaib, sehingga juga berfungsi religiomagis. Itu dapat dijelaskan adanya perpaduan ideologi religi
Melayu Austronesia, Hinduisme, dan pengaruh kebudayaan Cina. Kemudian Uang Ringgit menyusul bermimikri dalam
ritual di Bali (Sidemen, 2003).
(3) Kolonisasi
struktur dan kultur dengan menempatkan relief “orang Belanda bermain biola” di
pura Beji Sangsit, sebagai ideologiterhadap dewi Saraswati. Di bawah ini gambar gapura Pura Beji yang membatasi
jaba sisi dengan utama mandala (Gambar 4.4).
Gambar 4.4: Gapura dan Orang Belanda Main Biola
(4)
Menempatkan relief “ orang Belanda naik sepeda” pada posisi Garuda Wisnu Kencana pada padmasana di pura Maduwe Karang
Kubutambahan, hegemoni orang Belanda atau desakralisasi terhadap burung Garuda
dan dewa Wisnu. Perhatikan reproduksi relief bersepeda di Pura Maduwe Karang
Kubutambahan (Gambar 4.5).
Gambar 4.5: Orang Belanda Bersepeda di Pura Maduwe
Karang Buleleng
Dari uraian di
atas dapat dijelaskan pembangunan
tahun 1922-1935 erat kaitannya dengan Baliseering, dimana pura
inti disisipi ideologi barat, yang di dalamnya ada unsur kesengajaan mengantar kognisi sosial
masyarakat ke material/duniawi.
(4) Hegemoni
dan kolonisasi kultur kolonial dengan lonceng/jam dinding pada catus pata Buleleng yang menjadi pusat
ritual kebalian. Pandangan adat
Bali, khususnya masyarakat Buleleng mengenai Catus Pata merupakan daerah astral, karena merupakan tempat yang
dijadikan lokasi “ngelebar caru”, ngelebar Dewa, Ngundang Dewa, ngirim
atma/pitara ke swarga loka dan
ngenasakang Aji Wegig (Sugandi, 75 th). (Gambar 4.6)
|
|
Gambar 4.6 Patung Catur Muka di Catus Pata Buleleng dan Simbolik Hegemoniknya (Sumber: Penulis,
2015).
Di samping
relief di atas, pemerintah Belanda menggunakan sekolah sebagai ranah dalam
mengideologikan Baliseering.
Pendidikan Baliseering dilakukan
dengan mengubah seluruh komponen pendidikan dengan lokal Bali, seperti
kurikulum dan hidden curriculum, pembangunan fisik sekolah yang ber-style Bali, guru diambil dari seniman
dan guru adat, buku ajar didominasi dengan kebalian, kesenian dibalikan,
menggambar, olah raga dengan pagu “agem
Bali”, pakaian dan juga cara hidup menggunakan dasar kebalian. Yayasan Pita Maha yang dibangun oleh ilmuan orientalis
barat mendidik seniman untuk mendukung pariwisata budaya, bahkan memunculkan
seni modern di Bali. Beberapa ideologi gagasan kolonial dalam proses kebijakan Baliseering dalam tabel berikut.
Tabel 01:
Jejak gagasan ideologi kolonial yang disembunyikan
di Bali Utara
No
|
Jejak Kolonial
|
No
|
Ideologi
yang disembunyikan
|
1.
|
Memihak primordial dalam
konflik kasta, melarang kristenisasi, modernisasi, ideolgi radikal ke Bali.
|
1.
|
Ideologi kekuasaan yaitu
mendapat dukungan dan kepercayaan golongan tradisionalisme di Bali.
|
2.
|
Melaksanakan pendidikan Baliseering .
|
2.
|
Dapat tenaga murah dan
tetap tradisional (memoseumkan Bali).
|
3.
|
Relief Pesawat udara, mobil
di Pura Dalem Segara Madu Jagaraga.
|
3.
|
Genealogi hegemoniik
gagasan ideology materialistik Barat.
|
4.
|
Relief
Belanda Main Biola di Pura Beji Sangsit.
|
4.
|
Genealogi
ideology hegemonik Saraswati membawa gitar
|
5.
|
Relief
Belanda naik sepeda di Pura Maduwe Karang
|
5.
|
Genealogi
hegemonik terhadap Garuda Wisnu Kencana
|
6.
|
Lonceng di Catus Pata di daerah astral kebalian
|
6.
|
Genealogi desakralisasi dan
hegemonik gagasan kesadaran waktu
|
7.
|
Uang Ringgit dalam ritual
|
7.
|
Hibridasi penggunaan uang
kepeng di Bali
|
Peran
akademisi orientalis dan seniman barat terlihat dalam bentuk karya ilmiah,
foto-foto eksotis, pameran lukisan, misi kesenian Bali, kongres kebudayaan, dan
pameran-pameran kebudayaan Bali di luar negeri menjadi pendukung yang sangat
penting dalam proses Baliseering dan
promosi Bali sebagai pulau kecil yang memiliki objek wisata eksotik.
4.3 Implikasi Baliseering di Era Globalisasi
Beberapa
bahasan menonjol dalam latar belakang dan proses ideologi dalam Baliseering yang ditanamkan zaman
kolonial Belanda, mengalir diam-dian tersembunyi di bawah sadar masyarakat
terbentuk dalam praksis budaya di era globalisasi. Beberapa yang dapat
dikategorikan sebagai transportasi
gagasan berideologi Baliseering zaman
kolonial, yang berimplikasi di era globalisasi, di antaranya: (a) Munculnya
etnosentrisme, primordialisme dalam bentuk gerakan Ajeg Bali, pacalang di
Bali yang menonjolkan identitas hinduisme, namun ada relasi kuasa politik dan
capital di dalamnya (Kumbara, 2010:23). (b) Munculnya primordialisme dalam
pergerakan Nasional melalui NIT dan pembentukan Dewan Raja-raja awal
kemerdekaan. (c) Primordialisme dalam peristiwa Buleleng kelabu yang
mempersepsikan bahwa Megawati bertrah Buleleng. Dalam bidang pendidikan terjadi
liberalisme, internasionalisme, komodifikasi berbagai bidang kehidupan.
Semuanya itu mengakibatkan marginalisasi masyarakat miskin dalam pendidikan,
petunjuk gagalnya pendidikan nasional dalam mengemban amanat mencerdaskan
kehidupan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
V.
PENUTUP
5.1 Simpulan
Beberapa
simpulan yang dapat disampaikan. Pertama
latar belakang kebijakan Baliseering
menyembunyikan ideologi kepentingan kolonial dalam pengembangan pariwisata
budaya dan kepentingan memperkuat birokarasi dengan tenaga terdidik lokal
murah, dalam memenuhi kepentingannya. Kedua,
dominasi Belanda melalui Puputan Jagaraga, legitimasi dengan membangun “Monumen
Bali di Surabaya” tahun 1869 (Husein, 2010:39).
Kedua, proses Baliseering dilakukan
dengan pembuatan relief yang menyembunyikan ideologi kapitalis dan kolonialis
di baliknya. Kolonisasi dan hegemoni melalui pendidikan dilakukan dengan
lokalisasi dan Balinisasi seluruh komponen pendukung ideologi Baliseering. Ketiga, ideologi Baliseering secara
tidak sadar berimplikasi dalam struktur dan kultur masyarakat, dengan
terjadinya desakralisasi, menguatnya primordialisme, liberalisme, dan komodifikasi di Bali,
mengikuti kebutuhan pasar sejalan dengan arus wisatawan, ideologi, teknologi
telekomunikasi dalam konteks ideologi glokal.
5.2 Temuan Penelitian
Beberapa
temuan penelitian dapat disebutkan novelty
hasil penelitian. Pertama, Baliseering menyembunyikan ideologi
kapitalisme dan kekuasaan hegemonik melalui pendidikan Baliseering “seolah-olah melaksanakan politik etis”, melalui intelektual organik dan intelektual
tradisional (Gramsci, 2000). Sejalan dengan Wijaya (2009) dan berbeda dengan
Sidemen (1983). Kedua, adaptasi
budaya tidak atas kehendak masyarakat, tetapi dilakukan dengan power
and capital hegemonik kolonial
Belanda. Berbeda dengan pandangan ilmuwan sebelumnya bahwa adaptasi budaya terjadi karena pengaruh positif
bangsa asing, terbukti tidak benar. Kedua,
proses Baliseering memainkan
kolonisasi gagasan kolonial dalam relief yang memiliki muatan ideologis barat.
Gagasan barat dalam relief itu baru dapat dipahami dalam konteks relasi kuasa (Foucault).
Ketiga, implikasi dari Baliseering tersirat ideologi beberapa
aksi budaya, politik, dan pendidikan yang di dalamnya tersembunyi
primordialisme, etnosentrisme, libralisme dan kapitalisme, pendidikan era
globalisasi tidak membebaskan tetapi membuat ketergantungan dengan Barat.
Ideologi kolonial tersebut tersembunyi di bawah sadar masyarakat secara laten
yang mempengaruhi berbagai kehidupan masyarakat, sejalan dengan Althussers
(2010) dan Lacan, (2009), tampak dalam berbagai model seperti disebutkan oleh
Thomson (2015).
5.3 Saran-saran
Saran-saran: Pertama, disarankan pada peneliti
selanjutnya agar menyempurnakan keterbatasan penelitian ini. Kedua, disarankan pada pemerintah agar
mengambil kebijakan pendidikan kritis yang membebaskan, mencerdaskan,
berkeadilan, berkesadaran kritis, dan tidak memarginalkan rakyat miskin. Ketiga, membebaskan masyarakat dari
dominasi dan hegemoni kapitalisme, kolonialisme asing, dalam pariwisata budaya
maupun dalam pendidikan di Bali, agar sesuai dengan Sisdiknas dan amanat Pembukaan UUD 1945.
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 2010. Tentang
Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Olsy
Vinoli Arnof (Penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.
|
Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg
Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LkiS.
|
Barker, Chris. 2004. Cultural
Studies: Teori dan Praktik. Nurhadi (Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
|
Barthes, Roland. 2007. Petualangan
Semiotika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
|
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Form of Capital”. Dalam Hand Book of Theory and Research for The
Sociology of Education. New York: Green- wood Press.
-------------1991. Language
and Symbolic Power. Gino Raymond (Penerjemah). Cambridge: Polity Press.
|
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Form of Capital”. Dalam Hand Book of Theory and Research for The
Sociology of Education. New York: Green- wood Press.
-------------1991. Language
and Symbolic Power. Gino Raymond (Penerjemah). Cambridge: Polity Press.
|
Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau
Bali: Penemuan Yang Menakjubkan. Sunaryo Basuki (Penerjemah). Denpasar:
Universitas Udayana Press.
|
Darmaningtyas, et al. 2014.
Melawan Libralisme Pendidikan.
Malang: Penerbit Madani.
|
Derrida, Jacques (1967).1988. The
Ear of The Other. Lincoln: University of Nebraska Press.
|
Dhana, I Nyoman. 2010. “Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus Ideologi Pasar Pada Masyarakat
Multikultural: Studikasus Pengelolaan Pura Subak Tegal di Perumahan Bumi
Dalung Permai, Kuta Utara, Badung, Bali”. Denpasar: Disertasi S-3 Kajian Budaya Unud.
|
Fakih, Mansour. 2013. Runtuhnya
Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
|
Fashri, Fauzi. 2007. Menyingkap Kuasa Simbol: Apropriasi Refleksi
Pemikiran Pierre Bourdieu. Jogjakarta: Juxtapose.
|
Flierhaar
, H.Te. 1931. De Aanpassing van het
Inlandsch Orderwijs op Bali aan de Eigen Sfeer. Batavia: Kolonial
Belanda.
|
Foucault, Michel. 1969/2002. Pengetahuan
dan Metode Karya-karya Penting Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
|
Gramsci, Antonio. 2000. Sejarah
dan Budaya. Ira Puspitorini, dkk. (Penerjemah). Surabaya: Pustaka
Premethea.
|
Hall, Stuart, et al. 2011. Budaya Media Bahasa: Teks Utama Pencanang
Cultural Studies, 1972-1979. Saleh Rahmana (penerjemah). Yogyakarta:
Jalasutra.
|
Harker, Richard. 1990. “Bourdieu: Pendidikan dan Reproduksi, dalam Pengantar Paling Komprehensif Kepada
Pemikiran Pierre Bourdieu. Pipit Maizier (Penerjemah). Yogyakarta:
Jalasutra, hal.109-138.
|
Husein, Sarkawi B. 2010. Negara di Tengah Kota: Politik
Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya, 1930-1960). Jakarta:
LIPI Press.
|
Illich, Ivan. Dkk. 2013. Sari
Wacana Pendidikan: Sekolah Dibubarkan, Lantas Mau Apa?: Pro Kontra Terhadap Pandangan
Ivan Illich. Saksono, Ign. Gatut (Penyadur). Yogyakarta: Penerbit Ampera
Utama.
|
King, Victor T. and William D. Wilder. 2012. Antropologi Modern Asia Tenggara: Sebuah Pengantar. Hatib Abdul
Kadir (penerjemah). Jogjakarta: Kreasi Wacana.
|
Kumbara, A.A.Ngr. Anom. 2010. “Konstruksi Wacana Ajeg Bali dalam
Relasi Kuasa: Antara Ideologi dan Utopia”, Orasi Ilmiah, Tanggal 6 November 2010. Denpasar: Unud.
|
Lacan, Jaques. 2009. Diskursus
dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Yogyakarta:
Jalasutra.
|
Lubis, Akhyat Yusuf. 2006. Dekonstruksi
Efistemologi Modern: Dari Postmodernisme Teori Kritis Postkolonialisme Hingga
Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
|
Martono, Nanang. 2010. Pendidikan
Bukan Tanpa Masalah: Mengungkap
Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Gava
Media.
------------2011. Sosiologi
Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Postkolonial. Jakarta:
Rajawali Press.
-------------2014. Sosiologi
Pendidikan Michel Foucault: Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman, dan
Seksualitas. Jakarta: Penerbit Rajawali.
|
Moleong,
Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
|
O’Donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme.
Yogyakarta: Kanisius.
|
Parchiano, Novella, 2012. Lyotard,
Jean-Francois: Kondisi (era) Pos(t)modern. Novella Parchiano
(Penerjemah). Magelang: Panta Rhei Books.
|
Picard, Michel. 2006. Bali
Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jean Couteau & Warih
Wisatsana (Penerjemah). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
|
Ritzer, Geroge dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern.Alimandan (penerjemah). Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
|
Sarup, Madan. 2011. Panduan Memahami Poststrukturalisme dan
Postmodernisme. Medhy Aginta Hidayat (penerjemah). Jogjakarta: Jalasutra.
|
Sidemen, Ida Bagus. 1983. “Baliseering
dan Perkembangan Pariwisata Budaya di Bali”. Laporan Hasil Penelitian.Denpasar: Universitas Udayana.
---------------------. 2003. Nilai
Historis Uang Kepeng. Denpasar: Larasan-Sejarah.
|
Sumaryono, E. 2013. Hermeniutik:
Sebuah Metode Filsafat. Edisi Revisi. Jogjakarta: Kanisius.
|
Thompson, John B. 2015. Kritik
Ideologi Global: Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi
Massa. Haqqul Yaqin (penerjemah). Yogyakarta: IRCiSoD.
|
Wijaya, I Nyoman. 2009. “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali
dalam Sejarah Kebudayaan Bali, 1910-2007”. Disertasi S-3 UGM. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
|
BIO DATA PENULIS
Penulis lahir 31 Desember 1962 di Tabanan Baturiti,
selesai Studi S1 di FKIP Unud Singaraja, tahun 1986, dan diangkat menjadi
tenaga edukatif di program Studi Pendidikan Sejarah tahun 1988, dan melanjutkan
Studi ke Sastra Sejarah UGM pada tahu 1995, dan selesai tahun 1998, bertugas
dua periode (1998-2002) menjadi Kejur Pendidikan sejarah; dan dua periode juga
menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan (PD III) sejak 2002- 2010. Kemudian
melanjutkan Studi S-3 di Kajian Budaya Unud sejak tahun 2012, sampai ke jenjang
ujian terbuka ini.
Pengalaman
penelitian dan penulisan buku, artikel terakhir menjelang studi. (1)
“Revitalisasi Ideologi Desa Pakraman: Mengungkap Perbedaan Ideologi untuk
merancang Model Rekayasa Kearifan Lokal Berbasis Trihita Karana di Era
Globalisasi”, Stranas tahun 2010”; dan menulis beberapa Buku: (2) Pengantar
Prof. Dr. I Gde Widja. Metodologi Sejarah
dalam Perspektif Pendidikan, Denpasar: Larasan, 2010; (3) Buku Suntingan I
Made Pageh dan Nengah Bawaatmadja, Sejarah
Kearifan, Berbangsa dan Bernegara: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran
Sejarah. Denpasar: FIS Undiksha dan Larasan, 2010. (4) Buku usulan pahlawan nasional oleh I Made Pageh, Kepahlwanan dan Perjuangan Sejarah Sekitar Proklamasi
Kemerdekaan NKRI: Konteks Lampah Mr. I Gusti Ketut Pudja, 1908-2010.
Denpasar: Kerjasana Undiksha dengan Pemda Buleleng, Larasan, 2011. (5)
Pengantar Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. Integrasi Masyarakat Multietnik: Nyama-Bali dan Nyama Selam (Belajar
dari Enclave Muslim di Bali). Denpasar: Larasan, 2013 (Stranas 2012). Dan
beberapa makalah: (6) ”Desa Taro Pusat Pemujaan “Sinuhun” Rsi Markandeya:
Representasi Pura Agung Gunung Raung dalam Perspektif Sejarah Krritis”, P3M
S2-/S-3 Kajian Budaya Unud di Desa Taro, hari Jumat, tanggal 7 Juni 2013; (7)
Sumbangan tulisan pada Prof. Dr. A.A Gde Putra Agung “Jasmerah”Puputan”
Margarana: Menyoal Aktualisasi Nilai-nilai Sejarah di Era Globalisasi”,
Denpasar: Larasan, 2013; (8) Hasil
penelitian “Transformasi Pemujaan Roh Leluhur ke Pemujaan Para Dewa”, dalam
buku Raja Udayana Warmadewa, I Ketut Ardhana dan Ketut
Setiawan (ed.). Denpasar: Pemkab Gianyar dan Pusat Kajian Bali Unud, 2014; (9)
Sumbangan tulisan pada Prof. Dr I Gde Parimartha, M.A, “Sisi Gelap Desa
Pakaraman: Kajian Kritis Pemberlakuan Undang-Undang Desa di Bali”. Denpasar:
Larasan, 2014; (10) Sumbangan
tulisan pada AA Gde Putra Agung, “Dari Tengkulak ke Soebandar: Perdagangan di
Singaraja Kota Keresidenan Bali Lombok, 1850-1940”, Denpasar: Larasan, 2015;
(11) Makalah “Perang Puputan Jagaraga dalam Perpektif Ketahanan Nasional”,
tanggal 16 Desember 2015 di Gedung Pemuda dan Olahraga Renon Denpasar.