Rabu, 03 Februari 2021

GENEALOGI BALISEERING: MEMBONGKAR IDEOLOGI PENDIDIKAN KOLONIAL BELANDA DI BALI UTARA DAN IMPLIKASINYA DI ERA GLOBALISASI

imagespura dalem jagaraga
RINGKASAN DISERTASI



ABSTRACT
            Genealogy of Baliseering (Balinization) hid the ideology of power and capitalism applied through the discourse of education policy of Baliseering during the colonial period in North Bali. It is very interesting to uncover the implications in this era of globalization. Based on this background, the study focused on: (1) What was behind the emergence of the Baliseering policy? (2) What was the process of Baliseering in North Bali? (3) What are its implications in the era of globalization?
To answer the research problem, it was used a qualitative method, by following the procedures of social science research, namely: the data collection was carried out by interviews, observation, and literature study. The collected data was analyzed, in the perspective of cultural studies.
            The first of the research results showed that the policy of Baliseering had a background associated with the colonial interests in the modernization of the bureaucracy and make Bali as a tourist destination of exotic culture. Second, the process began by dominating the legitimacy of power symbolically was done by building "Bali Monument in Surabaya". With a base of knowledge about the local genius, colonization operated colonial idea behind the temple reliefs with symbols of colonial culture, such as modern transportation (aircraft and vehicles), violin, bicycle, bell in the crossroads /catus pata, the religious system in the pakraman villages. Colonization in formal and informal education was carried out by the Balinization of the supporting components of the education system. Third, the Baliseering had implications on the hegemony in the structure and culture of Bali. This can be seen in the establishment of the State of East Indonesia and the Council of Kings, to reinforce ethnocentrism and primordial. Transformation of colonization can be seen in the form of liberalism, internationalism, and the marginalization of the poor in education. Tourism has implications for the desecration and co-modification of land, traditions, customs, and world view of the Balinese.
The conclusion that can be drawn from the background of the Baliseering education is that the Netherlands disguised their economic interests and colonization. Colonial ideology was implicated in the era of globalization in political attitudes and bureaucracy, liberalism and capitalism of education, and the co-modification of art, traditions, customs, land, and religion. The limitation of this study is expected to be continued by further research on the Baliseering.

Keywords: Baliseering, Ideology, Colonialism, Critical Education.








I.                   PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Baliseering merupakan kebijakan kolonial Belanda melakukan proteksi kebudayaan, adat, dan Agama Hindu agar tidak punah dilanda oleh pengaruh luar, terutama pengaruh modernisasi, kristenisasi dan islamisasi yang dikontruksi oleh kolonial Belanda “seolah-olah melaksanakan politik etis demi  kepentingan lokal Bali yang digagas oleh Flierhaar tahun 1920-an (cf. Sidemen, 1983). Para ahli memandang kebijakan Baliseering merupakan kebijakan sangat positif dan baik-baik saja. Picard (2006) menyebutkan Balinisasi yang dilakukan oleh bangsa asing dengan “mengambil alih suara lokal, dengan melibatkan penguasa seberang lautan dalam merumuskan kebijakan itu”, tidak disebut Belanda secara eksplisit. Dengan demikian, “kebijakan seolah-olah melaksanakan politik etis itu”, sangat menarik dibongkar ideologi yang tersembunyi di baliknya. Dengan adanya kebijakan Balinisasi bersamaan dengan munculnya konflik kasta di Bali Utara, dan keberpihakan pemerintah kolonial pada golongan primordial kebijakan Baliseering menjadi sangat mencurigakan, karena bersebarangan dengan logosentrisme zamannya (Lyotard). Hasil penelitian Sidemen (1983) tentang peran Baliseering dalam pengembangan pariwisata di Bali, menjelaskan sumbangan kebijakan Baliseering sangat besar dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali, walaupun kritik dilakukan terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang melakukan pemindahan penduduk Bali (transmigrasi), karena dapat mengganggu keseimbangan penduduk dan budaya Bali di masa depan, tidak mengurai konteks zamannya, sehingga perlu dilengkapi dengan pemahaman Baliseering dalam pendidikan formal dan nonformal pada zamannya.
Belajar dari sejarah kolonialisme di Asia Tenggara bahwa sebagian besar kolonialisme melakukan asimilasi dan penetrasi budaya di daerah jajahan untuk memudahkan melakukan negosiasi dalam mempertahankan kekuasaannya, seperti Inggris, Spanyol, Jepang di Asia Tenggara (King and Wilder, 2012:6). Sangat kontras dengan wacana kebijakan Baliseering yang “seolah-olah untuk kepentingan lokal Bali”.  Penelitian Wijaya (2009) dalam kajian Ajeg Bali (1910-2007) memberikan kritik pada kebijakan Ajeg Bali yang menguatkan sistem kasta dan feodalisme di Bali, terutama dalam  mengantar masa depan pemuda Bali menjadi tidak cerdas, menarik untuk dibuktikan, tidak membahas pendidikan. Dengan demikian sangat beralasan meragukan kebijakan Baliseering tahun 1920-an, dengan fakta kolonial Belanda memainkan golongan primordialis dalam konflik kasta di Bali Utara, khususnya dalam dunia pendidikan Baliseering yang tidak membebaskan dalam menanamkan nilai kuasa di dalamnya (Bourdieu,1986; Poulo Preire dalam Martono, 2010). Oleh karena itu, penulis memosisikan diri sisi negatif, dengan mencurigai kebijakan Baliseering itu menyembunyikan ideologi sesuai dengan motif-motif kepentingan kolonial Belanda.  
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut.
1.2.1        Mengapa kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan pendidikan Baliseering di Bali Utara?
1.2.2        Bagaimana proses Baliseering khususnya dalam struktur dan kultur melalui pendidikan formal maupun nonformal di Bali Utara?
1.2.3        Bagaimana implikasi kebijakan Baliseering dalam struktur dan kultur pendidikan di Bali Utara era globalisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membongkar atau menunda makna yang dibangun zaman Baliseering, dengan menemukan ideologi yang tersembunyi di balik jejak-jejak kebijakan Baliseering baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, serta implikasinya berupa dampak atau pengaruh kebijakan Baliseering di Bali Utara di era globalisasi.
1.3.2   Tujuan Khusus
a.         Menemukan latar belakang ideologi yang tersembunyi di balik kebijakan Baliseering khususnya berupa jejak-jejak sejarah, struktur dan kultur masyarakat dalam pendidikan formal maupun nonformal zaman kolonial Belanda di Bali Utara.
b.        Membongkar proses Baliseering dalam Jejak-jejak sejarah, struktur dan kultur masyarakat melalui pendidikan formal maupun nonformal zaman kolonial Belanda di Bali Utara.
c.         Menganalisis implikasi (dampak dan pengaruh) Baliseering berupa jejak-jejak sejarah, struktur dan kultur masyarakat di era globalisasi.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berarti pada pengembangan teori kritis, di Lembaga Program Kajian Budaya, khususnya dalam pengembangan konsep ideologi, genealogi, hegemoni dalam pendidikan kritis.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.        Bagi penulis merupakan pengalaman sangat berharga dalam penelitian menggunakan perpektif teori kritis.
2.        Bagi pemerintah dapat dipergunakan untuk mengambil kebijakan dalam pengembangan pendidikan kritis.
3.        Bagi akademisi dan penelitian selanjutnya dapat dikembangkan lebih lanjut.









II.    KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORETIS, DAN MODEL PENELITIAN

2.1    Kajian Pustaka
Karya Krause Bali 1912, berupa kumpulan Foto dan dilengkapi teks yang banyak memberikan inspirasi penulis berikutnya. Namun, belum ada yang membahas Baliseering dengan memosisikan diri mencurigai motif-motif yang tersembunyi di balik Baliseering. Penelitian ini memosisikan diri berbeda dengan perspektif Karya Miguel Covarrubias (1937) Island of Bali (sarjana orientalis) terutama dalam membahas kiprah Yayasan Pita Maha dan pengembangan seni modern di Bali. Adrian Vikers buku Bali: A Paradise Created (1989) dan Travelling to Bali, Four Hundred Years of Journeys (1994) banyak mempromosikan Bali di luar negeri. Kemudian Michel Picard (2006) membahas Bali Parwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, mengawali pembahasan melalui asal-usul munculnya gagasan Balinisasi, membiarkan Bali tetap tradisional.
Karya Robinson (2006), mengulas tentang cengkraman kekuasaan kolonial yang “membentuk Bali” dimulai tahun 1920-an, memberikan pemahaman bahwa Bali tidak seperti dimitoskan orang, karena banyak konflik dan kekerasan yang tidak diekspose ke permukaan. Kekerasan mewarnai masyarakat pascakemerdekaan di Bali Utara, seperti hasil kajian Suryawan (2010) memberikan gambaran menarik untuk memahami secara kritis kebudayaan di Bali Utara.
Hasil penelitian sejarawan Sidemen (1983) berjudul Baliseering dan Perkembangan Pariwisata Budaya di Bali, memberikan inspirasi khusus untuk memilih tema ini. Hanya menyoroti peranan kebijakan Baliseering dalam membantu perkembangan pariwisata budaya, tidak melakukan analisis lebih lanjut. Atmadja (2010) membahas identitas kultural Bali, menguraikan dan menganalisis fenomena kontemporer yang terjadi di Bali. Wijaya (2009) mengkaji Ajeg Bali sudah terjadi tahun 1910-an, dan menemukan hampir lusinan penggunaan konsep Ajeg Bali, dan terutama dengan menggunakan intelektual organis menjadikan masa depan Bali tidak cerdas, menguatkan sistem kasta dan primordialisme di Bali. Wijaya memosisikan diri memandang tidak semua konsep Ajeg Bali memiliki nilai positif, dengan mengkritisi Ajeg Bali yang berperan membelenggu masa depan Bali karena mengantar menguatnya primordialisme di Bali. Konstruksi wacana Ajeg Bali memiliki relasi kuasa dengan berbagai kepentingan kuasa kapital dan politik di Bali (Kumbara, 2010:23). Karya Suda (2009), merupakan karya yang memberikan pembahasan secara kritis dalam pendidikan di SD, kajian kasus ini menemukan telah bahwa pendidikan telah dijadikan merkantilisme kapitalis dengan berbagai alasannya dalam dunia pendidikan, sehingga pendidikan menjadi sebuah komoditas.
Karya-karya di atas melihat kebijakan Baliseering baik-baik saja, penulis memiliki posisi yang berseberangan dengan kajian akademik di atas, karena Baliseering secara genealogis dikaji memiliki relasi kuasa kolonial, di dalam menjadikan Bali sebagai objek wisata eksotik, kebijakan yang se-olah-olah melaksanakan politik etis demi kepentingan Bali, tetapi sesungguhnya mengandung kepentingan kapitalis dan kolonialis dalam kebijakan itu. Dengan demikian sangat menarik untuk dibongkar ideologi yang disembunyikan di balik kebijakan Baliseering khususnya dalam bidang pendidikan formal maupun nonformal dan implikasinya di Bali Utara era globalisasi.

2.2      Penjelasan Konsep

2.2.1 Genealogi Pengetahuan
Konsep genealogi pengetahuan dikembangkan oleh Michel Foucault, sebuah konsep melihat asal-usul lahirnya sebuah diskursus yang ada relasi kuasa di dalamnya. Wacana itu  kemudian menjadi sebuah arkeologi, dalam memahami asal-usul arkeologi itu dikaitkan dengan relasi kuasa disebut “genealogi pengetahuan” (Foucault,1969). Dengan teoretisasi dari Michel Foucault kebijakan Baliseering dibongkar, terutama dalam melihat ideologi yang beroperasi dalam diskursus Baliseering itu (cf. Martono, 2014:36; Parchiano, 2012:163).  Genealogi Baliseering (tahun 1920-an) dibongkar kebenaran apreori (episteme) dari jejak-jejak sejarah, cerita sejarah, relief, praktek budaya dalam Baliseering, khususnya dalam artikulasi budaya dalam dunia pendidikan, dengan berbagai bentuk kebijakan rebalinisasi, dan implikasinya.

2.2.2  Membongkar
Membongkar dalam karya ini mengacu pada konsep dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi adalah “penundaan makna”, bukan program sistematis, melainkan cara membaca teks yang menunjukkan pengaruh dan ketergelincirannya berupa detail-detail kecil yang terlampaui, yang kemudian menyugestikan pandangan lain dan tafsiran lain yang lebih memungkinkan, secara argumentatif sehingga dapat mengantar pluralisme kritis dalam pengetahuan (Derrida,1967:85; Sumaryono, 2013). Oleh karena itu, bagi Derrida dekonstruksi adalah menggoyang, menjungkir balikkan, mencemaskan, mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang membangun hal-hal baru dan menemukan artikulasi budaya yang salah kaprah, karena ada relasi kuasa di dalamnya dan membuka pikiran masyarakat yang tertutup, menjadi terbuka (lihat Lubis, 2006). Derrida lebih jauh mengatakan bahwa yang menjadi primordial (yang asli, mula-mula) mestinya gagasan didasarkan atas jejak, dan bukan sebaliknya. Proto-writing ini mulai bekerja sebagai asal-usul arti. Karena bersifat sementara di alam ini, arti tidak pernah tampil begitu saja; tetapi selalu dalam keadaan terbawa dalam ‘gerak’ jejak “yang memberi arti” (Derrida,1967: 85).

2.2.3  Ideologi Pendidikan
Peta ideologi Giroux dan Aronowitz sejalan dengan analisis Paulo Preire tentang konsep kesadaran ideologi masyarakat. Preire dalam Martono (2009) mengolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis, kesadaran naïf dan kesadaran kritis. (a) Kesadaran magis kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lain, semua peristiwa dikaitkan dengan faktor yang ada di luar manusia. (b) Kesadaran naïf adalah lebih melihat “aspek manusia” yang menjadi akar permasalahan. Tugas pendidikan adalah mengarahkan peserta didik agar masuk sekolah dan beradaptasi dengan sistem pendidikan yang ada. (c) Kesadaran kritis/radikal adalah lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur menghindari menyalahkan korban (blaming the victim), dan menganalisis secara kritis struktur dalam kultur masyarakatnya.
Proses ideologis dilakukan oleh Negara melalui “aparat represif’, dan “aparat ideologis”, seperti pendidikan, keluarga dan media massa dan sebagainya (Althussers, 2010: ix). Roger Eatwell menjelaskan lebih jauh, bahwa ideologi cenderung menjadi istilah negatif yang digunakan untuk mengelompokkan ide-ide yang bias atau ekstrim. Perdebatan ideologis yang tidak pernah berakhir, dapat diklasifikasi menjadi: (1) kategori ideologi sebagai pemikiran politik; (2) ideologi sebagai kepercayaan dan norma; (3) ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos dan; (4) ideologi sebagai kekuasaan elite. Model-model cara kerja ideologi dapat diklasifikasikan menjadi model umum dan bentuk strategi konstruksi simbol di dalamnya: (1) legitimasi, bentuknya adalah rasionalisasi, universalisasi, dan narativisasi; (2) penipuan, bentuknya pemindahan, eufemisasi, kiasan (seperti sinekdot, metonimi, metaphor); (3) unifikasi, bentuknya standardisasi, simbolisasi dari kesatuan; (4) fragmentasi, bentuknya diferensiasi, ekspurgasi yang lain; (5) reifikasi, bentuknya naturalisasi, eksternalisasi, nominalisasi/pasivisasi (Thomson, 2015:84).

2.2.4 Pendidikan Baliseering
Pendidikan Baliseering adalah usaha sadar kolonial Belanda dalam menyelenggarakan pendidikan formal maupun nonformal seolah-olah melaksanakan politik etis. Pendidikan diperlukan adanya: (a) transformasi budaya; (b) transmisi budaya; (c) internalisasi budaya; (d) kontrol sosial untuk pelestarian budaya; (e) pendidikan sama dengan personalisasi peran sosial budaya/ personalisasi peradaban. Pendidikan nasional diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 (Sisdiknas), menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan, membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Tilaar, 2007).

2.2.5 Implikasi Era Globalisasi
Implikasi dalam KBBI disebutkan “(1) keterlibatan atau keadaan terlibat; (2) yang termasuk atau tersimpul; yang disugestikan tetapi tidak dinyatakan” (1977:374).  Nyoman Dhana menyebutkan: bahwa implikasi berarti melibat atau merangkum, yaitu sesuatu dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri. Istilah implikasi diartikan sebagai “keterlibatan atau keadaan terlibat; yang termasuk atau tersimpul, tetapi tidak dinyatakan” (2010:251). Pembahasan implikasi era globalisasi di Bali Utara dipilih yang memiliki keterkaitan ideologis dengan pendidikan Baliseering pada tahun 1920-an. Rentang durasi yang panjang didasari oleh asumsi bahwa hasil pengideologian dalam pendidikan akan tampak setelah 1-2 generasi berikutnya. Karena sebuah ideologi beroperasi tersembunyi di bawah alam sadar masyarakat. Ideologi kolonial dan primordialisme itu secara tidak sadar berdampak dan berpengaruh kembali berimplikasi secara ideologis tersembunyi dalam praktik budaya dan pendidikan di Bali Utara era globalisasi.

2.3      Landasan Teoretis

2.3.1  Poststrukturalisme, Postmodernisme, dan Globalisme
     Pandangan struktural itu dikritik oleh kelompok poststrukturalis (Piliang, 2010:53). Poststrukturalisme berarti setelah strukturalisme, yaitu menyangkut penerimaan dan kritik, seperti disebutkan R. Barthers dalam C. Barker (2004:75), bahwa teks bukanlah sebatas kata yang membebaskan makna “teologi tunggal pengarang”, melainkan suatu ruang multidimensi yang melebur dan berbenturan satu sama lain. Sejalan dengan pandangan itu (Recoeur, 2009:195; Said, 2012:175) menyebutkan teks adalah isu tulisan yang diambil dari pusat kebudayaan yang tiada batas. Tokoh-tokoh poststrukturalisme dan pandangannya dibahas oleh  (Sarup, 2011). Makna dalam wacana adalah sesuatu yang tidak stabil, sehingga perlu ditunda pemaknaannya, karena selalu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks (cf. Fiske, 2011:117; Kellner, 2010). Filsuf J. Lacan (2009) membaca ulang S. Freud untuk memperjelas konsep ketidaksadaran. Teori ego dalam diri manusia yang dapat memunculkan ketidaksadaran manusia, menjadi meluas ke berbagai bidang kehidupan sosial dan kemanusiaan (cf. Fakih, 2013). Pada masa setelah perang, gerakan humanisme menjadi paham betapa pentingnya kesadaran manusia, suatu keyakinan bahwa ego itu, --baik maupun buruk-- berada di dalam kehidupan psikologis masyarakat manusia (cf. Hall, et.al, 2011; Giddens, 2007), Jean-Francois Lyotard menyebutkan, postmodernisme merupakan kelanjutan dari zaman modern, di sisi lain, Rosenberg menyebut postmodern menempati posisi yang tidak jelas, karena menawarkan segala-galanya atau tidak menawarkan apa-apa (nothing) dalam Ritzer dan Goodman (2011). Pada tahun 1971 George Steiner lebih melihat postmodernisme merupakan kelanjutan dari modernisme. Kritik beberapa tokoh postmodernisme terhadap modernisme, menampilkan ciri-ciri postmodernisme: (1) kesangsian terhadap optimisme modernisme; (2) cara pandang holistik terhadap segala kemampuan manusia yang  mengintegrasikan emosi dan intuisi manusia ke dalamnya; (3) gagasan kebenaran yang menyebar dan penolakan terhadap kebenaran tunggal; (4) penolakan terhadap universalisme dan totalisme dengan menghargai perbedaan, partikularitas, lokalitas, dan fragmentasi realitas; (5) penolakan atas metafisika dan fundamentalisme, penolakan terhadap pemaknaan realitas bersifat tunggal dan tetap; (6) perspektif organis penekanan pada relasionalitas dan proses. Hal ini dijadikan solusi dalam difrensiasi, diskontinuitas, dari  cara pandang dualistik kekhasan modernisme, realitas adalah saling berhubungan satu sama lain secara egaliter ; (7) cara pandang terhadap alam menawarkan model kooperatif terhadap alam, alam memiliki nilai intrinsik, bukan hanya nilai yang diintrumentalisasikan dan dimanipulasikan; (8) kebangkitan kembali spiritualitas dan relegiositas, hidup akan terjamin kalau nilai-nilai ini mendapat perhatian umat manusia (Parekh, 2008).
Globalisasi menurut Arjun Appandurai dalam Ritzer dan Goodman (2011) disebutkan ada lima arus lanskap utama dalam globalisasi, antara lain: (1) ethnoscapes, ini adalah ideologi yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain; (2) tecnhoscape, arus teknologi; (3) finanscape, arus modal dan ideologi; (4) mediascape, media cetak dan elektronik; dan (5) ideoscape, arus ideologi libralisme. Pada titik ekstrim, globalisasi dapat dilihat sebagai ekspansi transnasional berupa kode dan homoginitas dari modernitas, bahkan terjadi saling mempengaruhi antara budaya lokal dan global, sehingga muncul budaya glocalization atau Robertson menyebut “keragaman budaya”, dan Friedman (1994) menyebutnya “percampuran budaya” atau pastiche cultural (cf. Ritzer dan Goodman, 2011:588; Hall, 2011). Sedangkan Babha dan Loomba menyebutnya “mimikri dan hibridasi”, yaitu budaya campuran yang sangat samar bentuk aslinya (dalam Martono, 2011:158).

2.3.2        Genealogi Pengetahuan Michel Foucault
Konsep kunci dari Foucault adalah arkeologi, genealogi, dan kekuasaan. Bila arkeologi terfokus pada kondisi historis yang ada, sedangkan  genealogi lebih mempermasalahkan tentang proses historis yaitu berupa proses tentang jaringan-jaringan diskursus yang dicurigai memiliki relasi kuasa di dalamnya. Karir akademik Foucault banyak mendapat pengaruh dari Althussers, Heidegger, dan Nietzsche, pilosof yang berpengaruh zamannya.
Pada tahun 1969 Foucault menerbitkan buku “The Archeology of Knowledge (2012:107)”, dari karyanya inilah muncul metode pengujian arkeologi, dengan kemungkinannya untuk berubah, dan ideologi- berupa faktor penyebab yang mungkin dapat mengubah dan mengembangkan ide-idenya. Foucault menggunakan konsep sejarah sebagai “diskontinuite, rupture, seuil, limite, serie, and transformation” (diskontinuitas, patahan, ambang, batas, seri, dan transformasi) dalam pembahasan sejarah (Martono,2014:36). Metodologi Foucault disebut genealogi pengetahuan, yaitu setiap pengetahuan yang sudah dianggap final kebenarannya (disebut episteme) telah menjadi sebuah arkeologi. Genealogi mencari asal-usul sebuah pengetahuan dimana sebuah arkeologi selalu memiliki relasi dengan kekuasa dalam memroduksi kebenaran. Perspektif pendidikan kritis perlu dilakukan, sejalan dengan pandangan Foucault untuk melihat produksi pengetahuan dalam kaitannya dengan pendidikan, diutamakan yang berkaitan dengan praktik pendidikan dan sosial pada masyarakat kontemporer, terutama pendidikan pembebasan (Paulo Preire) di Bali Utara era globalisasi.

2.3.3 Hegemoni Anthonio Gramsci
Konsep hegemoni Antonio Gramsci ditempatkan pada dialektik atau dikotomi pemikiran politik Italia (Machavellian dan Paretoan), dan beberapa bagian lainnya dari Lenin. Konsep Macheavelli diadopsi seperti konsep kekuasaan (force) dan persetujuan (concern) atau ideologikelas dominan. Bagi Gramsci kelas sosial yang berkuasa memiliki keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu: (1) cara dominasi (domination) atau paksaan (coercion); dan (2) hegemoni yaitu melalui kepemimpinan intelektual dan moral, bahkan membuat ideologi kesepakatan-kesepakatan dengan kelas yang dikuasai, sampai mereka tidak sadar dikuasai bahkan ikut menguatkan hegemoni itu di luar kesadarannya (Gramsci, 2000:163; Arief, 1999:115). Hal ini memungkinkan terabaikannya gerakan civil society seperti gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan (new social movement), dalam konteks inilah Gramsci mencetuskan reaksi intelektual dalam konsep hegemony (Simon, 2004: xiv; cf. Culla, 2006: 203). Pendidikan war of position and war of ideology, counter hegemony  merupakan “aksi ideologis” terhadap kultur dan struktur dominan untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat (criticscivil consciousness) terhadap ideologi, struktur, kultur dominan yang menindas, eksploitatif, yang berelasi dengan struktur kelas, rasisme, ketidakadilan (Arief, 1999:133). Perebutan kekuasaan merupakan perebutan terhadap ideologi dan tatanan world view masyarakat melalui pendidikan (Fashri, 2007:81).

2.3.4   Pendidikan  Kritis
Pierre Bourdieu sangat ideologis dalam pengembangan pemikiran pendidikan kritis, idenya tentang modal budaya hubungannya dengan pendidikan. Bourdieu melihat terdapat hubungan antara pendidikan dan ideologi budaya. Kedua ideologi ini direproduksi dan diideologikan melalui sekolah (cf. Martono, 2010:45). Habitus merupakan tindakan manusia berupa dialektik antara pemikiran dengan aktivitas dunia objektif. Hubungan dialektik ini merupakan hubungan habitus dengan ranah, yang terkenal d rumusnya “Habitus X Modal + Ranah= Praktik” (Harker, et al., 1990: 9). Habitus mengimplikasikan adanya pengalaman masa lalu (makhluk menyejarah), di dalamnya ditemukan bentuk-bentuk skema persepsi, pemikiran, dan perbuatan yang menjamin adanya ketepatan dalam praksis yang tampak dalam: (1) gaya hidup (life style), (2) motivasi/ preferensi dan emosi, (3) prilaku yang sudah mendarah daging, (4) kosmologi, (5) keterampilan dan kemampuan sosial praktis, (6) aspirasi-aspirasi berkaitan dengan perubahan hidup dan karya seseorang. Ranah (field) merupakan wilayah kehidupan sosial seperti ideologi, hukum, seni, pendidikan, pasar, dan sebagainya, sebagai modal budaya (Bourdieu dalam Harker, 1990:109).
Paulo Preire (1921-1977), memiliki pendekatan baru dalam pendidikan, yang dikenal dengan ideologi politik, yang mengembangkan pendidikan pembebasan. Slogannya adalah “pendidikan untuk orang tertindas adalah pendidikan pembebasan, dan merupakan perjuangan tanpa henti untuk memperoleh kembali kemanusiaan, kebebasan (liberalization) masyarakat yang terpinggirkan. Masyarakat harus dibantu untuk menuntut haknya untuk ikut berpartisipasi dalam masyarakatnya. Konsep “mengetahui” bukanlah mengumpulkan fakta dan informasi sebanyak-banyaknya (ideology banking), namun mengetahui adalah menjadikan subjek didik sebagai subjek dan aktif di dunia ini dalam memperjuangkan kebebasan dari belenggu kekuasaan, politik, ideologi, dan perubahan zaman yang niscaya dapat dipungkiri (Tilaar, 2007:41).



















5.3  Model Penelitian












 










III.             METODE PENELITIAN

3.1    Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan cultural studies, kualitatif –argumentatif kritis (Barker, 2004:28). Sasaran pokoknya bukan pada pengukuran, melainkan pada pendeskripsian secara kritis jejak sejarah, struktur dan kultur masyarakat implikasi Baliseering di Bali Utara.

3.2    Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Bali Utara, dengan pertimbangan: 1) Kota Singaraja merupakan kota keresidenan Bali Lombok, sehingga secara perspektif spasial dapat mewakili Bali seluruhnya. (2) pertimbangan efisiensi dalam penyelesaian studi ini.

3.3  Jenis dan Sumber Data
Keterkaitannya dengan fokus penelitian, dipilah menjadi dua, yakni jejak-jejak budaya zaman kolonial dan sumber data primer. Beberapa sisa budaya kolonial, seperti ideology, socio-fact, releigio-fact, dokumen arsip kolonial.

3.4  Teknik Penentuan Informan
Pemilihan informan dengan teknik snow-ball (Koentjaraningrat, 1985:26). Informan kunci selanjutnya.



3.5  Instrumen Penelitian
Mengingat penelitian ini bersifat kualitatif, intrumennya pedoman wawancara dan observasi mengacu pada Moleong (1993:4). Instrumen disesuaikan dengan tujuan penelitian, dan peneliti termasuk instrument, sampai kejenuhan data didapat untuk penulisan. 

3.6  Teknik Pengumpulan Data
(a). Wawancara: informasi yang digali tidak hanya yang diucapkan oleh informan, tetapi juga dilengkapi dengan penggalian beberapa sumber tulis yang dimiliki informan (b). Observasi: Observasi mencari informasi di lapangan. (c). Studi Dokumen: dokument dikumpulkan kemudian diidentifikasi keabsahannya, pembacaan dokumen dipilih bagian yang menunjang tujuan penelitian ini (lihat Purwanto, 2006:1-41).

3.7  Teknik Analisis
 Setelah data terkumpul dianalisis  secara keseluruhan data diinterpretasi, kemudian sebelum disimpulkan diadakan triangulasi data, dan hasil reduksi data didisplay keseluruhan dalam perpsketif teori poststruktural/kritis. Cara kerja ideologis dibongkar dengan model berikut. 








Tabel 3.1  Model–model Cara Kerja Ideologi
No.
Model Umum
Bentuk Strategi Konstruksi
Simbol
1.
Legitimasi
Rasionalisasi,Universalisasi,
Narativikasi
2.
Penipuan
Pemindahan, Eufemisasi,
Kiasan (Sinekdot, etomini, metafora).
3.
Unifikasi
Standarisasi, simbolisasi dari kesatuan.
4.
Fragmentasi
Diferensiasi, ekspurgasi yang lain.
5.
Reifikasi
Naturalisasi, Eternalisasi, Nominalisasi/pasivikasi.
Sumber: John B. Thompson. 2015. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. (Jakarta: IRCISoD), hal. 84.
Pemaknaan dibongkar dalam model dan bentuk kontruksi simbol seperti disebutkan Thompson di atas.









IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembahasan diklasifikasikan menjadi tiga bagian utama, yaitu latar belakang (genealogi), proses, dan implikasi Baliseering.

4.1 Latar Belakang Pendidikan Baliseering
Genealogi atau latar belakang kebijakan Baliseering berhubungan dengan munculnya politik etis yang menyebabkan munculnya elite terpelajar di Bali Utara yang mengagas ide zaman kemajuan atau modernisasi, sehingga muncul konflik kasta. Respons pemerintah kolonial dengan memunculkan kebijakan pendidikan Baliseering, yaitu pendidikan mengajegkan Bali yang seolah-olah melindungi Bali, di baliknya tersembunyi kepentingan politik dan kapitalisme kolonial Belanda memainkan ideologi Baliseering dalam menguatkan etnosentrisme, dan primordialisme untuk menangkal ideologi radikal dan nasionalisme yang dipersepsi potensial tumbuh pada elite terpelajar di Bali Utara. Gerakan modernisasi golongan elite terpelajar memiliki kesetaraan dengan perjuangan Budi Utomo di Jawa yang dikonstruksi dapat mengancam kekuasaan kolonial jika tidak ditangani secara serius.
Kebijakan kolonial untuk meyakinkan bahwa Balinisasi itu adalah untuk kepentingan penduduk lokal. Dilanjutkan dengan kebijakan: (a) Melarang kristenisasi di Bali. (b) Mempertegas sistem kasta untuk meredam konflik dengan menciptakan “bom waktu” di Bali. (c) Memihak golongan tradisional, dengan regulasi ideologi warna menjadi sistem kasta. (d) Membendung ideologi radikal seperti Nasionalisme, Islamisme, Komunisme, Kristenisasi masuk ke Bali. Jadi genealogi kebijakan Baliseering yaitu mengalihkan sistem eksploitasi politik menjadi eksploitasi ekonomi kapitalis melalui pariwisata budaya eksotis.

 4.2 Proses Baliseering dan Sekolah Sebagai Agen Baliseering
Proses Baliseering berawal dari penguasaan Bali Utara melalui puputan Jagaraga. Legitimasi kekuasaan dilakukan dengan membangun “Monumen Bali di Surabaya”. Pembangunan simbol kemenangan di Surabaya ada kesan kekhawatiran kolonial terhadap patriotisme orang Bali. Monumen dirikan pada tanggal 4 September 1869 (dua puluh tahun setelah berakhirnya Perang Jagaraga), dibangun di Bekas Tangsi Djotangan (sekarang di depan Polwiltabes di Jalan Sikatan) Surabaya (Gambar 4.1).
monumen bali (2)
Gambar  4.1 Monumen Perang Bali Tahun 1849 di Surabaya (Sumber: Sarkawi B. Husein (2010) (Pageh Repro,2015).

Proses Baliseering melalui kolonisasi dan hegemoni gagasan kolonial pada relief di beberapa ranah pura strategis di Bali Utara. (1) Kolonisasi gagasan ideologi hegemonik di pura Dalem Segara Madu Jagaraga. Relief dibuat di Penyengker Pura paling luar, pengunjung sebelum masuk ke jeroan disuguhkan relief mengenai: “kendaraan, pesawat udara, adegan memancing ikan dan botol minuman keras (Gambar 4.2).
Gambar 4.2: Relief Mobil Tahun 1930-an  (Pageh, 2015)

(2) Kolonisasi dan hegemoni ideologi religi dengan ringgit mimikri dengan uang kepeng, uang Belanda seperti uang ringgit, sen, bengol dalam masyarakat Bali dan uang kertas dan logam modern masuk dalam struktur ritual di Bali (Gambar 4.3).
P_20150312_171314 (2)pis arjuna
Gambar  4.3 : Uang Ringgit Belanda dan Uang Kepeng di Bali (Pageh, 2015), dan Pis Jimat diunduh, tanggal 13 Maret 2015.

Uang Kepeng memiliki fungsi dan makna relegius pada masyarakat Bali, karena telah bermakna di samping nilai tukar, ritual, juga telah dimitologikan memiliki kekuatan gaib, sehingga juga berfungsi religiomagis. Itu dapat dijelaskan adanya perpaduan ideologi religi Melayu Austronesia, Hinduisme, dan pengaruh kebudayaan Cina. Kemudian Uang Ringgit menyusul bermimikri dalam ritual di Bali (Sidemen, 2003).
(3) Kolonisasi struktur dan kultur dengan menempatkan relief “orang Belanda bermain biola” di pura Beji Sangsit, sebagai ideologiterhadap dewi Saraswati. Di bawah ini gambar gapura Pura Beji yang membatasi jaba sisi dengan utama mandala (Gambar 4.4).
relief pura beji
Gambar 4.4: Gapura dan  Orang Belanda Main Biola
(4) Menempatkan relief “ orang Belanda naik sepeda” pada posisi Garuda Wisnu Kencana  pada padmasana di pura Maduwe Karang Kubutambahan, hegemoni orang Belanda atau desakralisasi terhadap burung Garuda dan dewa Wisnu. Perhatikan reproduksi relief bersepeda di Pura Maduwe Karang Kubutambahan (Gambar 4.5).  
maduwae karang
Gambar 4.5: Orang Belanda Bersepeda di Pura Maduwe Karang Buleleng
Dari uraian di atas dapat dijelaskan pembangunan tahun 1922-1935 erat kaitannya dengan Baliseering, dimana pura inti disisipi ideologi barat, yang di dalamnya ada unsur kesengajaan mengantar kognisi sosial masyarakat ke material/duniawi.
(4) Hegemoni dan kolonisasi kultur kolonial dengan lonceng/jam dinding pada catus pata Buleleng yang menjadi pusat ritual kebalian. Pandangan adat Bali, khususnya masyarakat Buleleng mengenai Catus Pata merupakan daerah astral, karena merupakan tempat yang dijadikan lokasi “ngelebar caru”, ngelebar Dewa, Ngundang Dewa, ngirim atma/pitara ke swarga loka dan ngenasakang Aji Wegig (Sugandi, 75 th). (Gambar 4.6)
2.
 
1.
 
110Description: D:\Foto asus 2\P_20150107_133401.jpg
Gambar 4.6  Patung Catur Muka di Catus Pata Buleleng dan Simbolik Hegemoniknya (Sumber: Penulis, 2015).

Di samping relief di atas, pemerintah Belanda menggunakan sekolah sebagai ranah dalam mengideologikan Baliseering. Pendidikan Baliseering dilakukan dengan mengubah seluruh komponen pendidikan dengan lokal Bali, seperti kurikulum dan hidden curriculum,  pembangunan fisik sekolah yang ber-style Bali, guru diambil dari seniman dan guru adat, buku ajar didominasi dengan kebalian, kesenian dibalikan, menggambar, olah raga dengan pagu “agem Bali”, pakaian dan juga cara hidup menggunakan dasar kebalian. Yayasan Pita Maha yang dibangun oleh ilmuan orientalis barat mendidik seniman untuk mendukung pariwisata budaya, bahkan memunculkan seni modern di Bali. Beberapa ideologi gagasan kolonial dalam proses kebijakan Baliseering dalam tabel berikut.

Tabel 01: Jejak gagasan ideologi kolonial  yang disembunyikan di Bali Utara
No
Jejak Kolonial
No
Ideologi yang disembunyikan
1.
Memihak primordial dalam konflik kasta, melarang kristenisasi, modernisasi, ideolgi radikal ke Bali.
1.
Ideologi kekuasaan yaitu mendapat dukungan dan kepercayaan golongan tradisionalisme di Bali.
2.
Melaksanakan pendidikan Baliseering .
2.
Dapat tenaga murah dan tetap tradisional (memoseumkan Bali).
3.
Relief Pesawat udara, mobil di Pura Dalem Segara Madu Jagaraga.
3.
Genealogi hegemoniik gagasan ideology materialistik Barat.
4.
Relief Belanda Main Biola di Pura Beji Sangsit.
4.
Genealogi ideology hegemonik Saraswati membawa gitar
5.
Relief Belanda naik sepeda di Pura Maduwe Karang
5.
Genealogi hegemonik terhadap Garuda Wisnu Kencana
6.
Lonceng di Catus Pata di daerah astral kebalian
6.
Genealogi desakralisasi dan hegemonik gagasan kesadaran waktu
7.
Uang Ringgit dalam ritual
7.
Hibridasi penggunaan uang kepeng di Bali

Peran akademisi orientalis dan seniman barat terlihat dalam bentuk karya ilmiah, foto-foto eksotis, pameran lukisan, misi kesenian Bali, kongres kebudayaan, dan pameran-pameran kebudayaan Bali di luar negeri menjadi pendukung yang sangat penting dalam proses Baliseering dan promosi Bali sebagai pulau kecil yang memiliki objek wisata eksotik.

4.3 Implikasi Baliseering di Era Globalisasi
Beberapa bahasan menonjol dalam latar belakang dan proses ideologi dalam Baliseering yang ditanamkan zaman kolonial Belanda, mengalir diam-dian tersembunyi di bawah sadar masyarakat terbentuk dalam praksis budaya di era globalisasi. Beberapa yang dapat dikategorikan sebagai transportasi gagasan berideologi Baliseering zaman kolonial, yang berimplikasi di era globalisasi, di antaranya: (a) Munculnya etnosentrisme, primordialisme dalam bentuk gerakan Ajeg Bali, pacalang di Bali yang menonjolkan identitas hinduisme, namun ada relasi kuasa politik dan capital di dalamnya (Kumbara, 2010:23). (b) Munculnya primordialisme dalam pergerakan Nasional melalui NIT dan pembentukan Dewan Raja-raja awal kemerdekaan. (c) Primordialisme dalam peristiwa Buleleng kelabu yang mempersepsikan bahwa Megawati bertrah Buleleng. Dalam bidang pendidikan terjadi liberalisme, internasionalisme, komodifikasi berbagai bidang kehidupan. Semuanya itu mengakibatkan marginalisasi masyarakat miskin dalam pendidikan, petunjuk gagalnya pendidikan nasional dalam mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.


V.                PENUTUP
5.1 Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat disampaikan. Pertama latar belakang kebijakan Baliseering menyembunyikan ideologi kepentingan kolonial dalam pengembangan pariwisata budaya dan kepentingan memperkuat birokarasi dengan tenaga terdidik lokal murah, dalam memenuhi kepentingannya. Kedua, dominasi Belanda melalui Puputan Jagaraga, legitimasi dengan membangun “Monumen Bali di Surabaya” tahun 1869 (Husein, 2010:39). Kedua, proses Baliseering dilakukan dengan pembuatan relief yang menyembunyikan ideologi kapitalis dan kolonialis di baliknya. Kolonisasi dan hegemoni melalui pendidikan dilakukan dengan lokalisasi dan Balinisasi seluruh komponen pendukung ideologi Baliseering. Ketiga, ideologi Baliseering secara tidak sadar berimplikasi dalam struktur dan kultur masyarakat, dengan terjadinya desakralisasi, menguatnya primordialisme, liberalisme, dan komodifikasi di Bali, mengikuti kebutuhan pasar sejalan dengan arus wisatawan, ideologi, teknologi telekomunikasi dalam konteks ideologi glokal.

5.2 Temuan Penelitian
Beberapa temuan penelitian dapat disebutkan novelty hasil penelitian. Pertama, Baliseering menyembunyikan ideologi kapitalisme dan kekuasaan hegemonik melalui pendidikan Baliseering “seolah-olah melaksanakan politik etis”, melalui intelektual organik dan intelektual tradisional (Gramsci, 2000). Sejalan dengan Wijaya (2009) dan berbeda dengan Sidemen (1983). Kedua, adaptasi budaya tidak atas kehendak masyarakat, tetapi dilakukan dengan  power and capital hegemonik kolonial Belanda. Berbeda dengan pandangan ilmuwan sebelumnya bahwa adaptasi budaya terjadi karena pengaruh positif bangsa asing, terbukti tidak benar. Kedua, proses Baliseering memainkan kolonisasi gagasan kolonial dalam relief yang memiliki muatan ideologis barat. Gagasan barat dalam relief itu baru dapat dipahami dalam konteks relasi kuasa (Foucault). Ketiga, implikasi dari Baliseering tersirat ideologi beberapa aksi budaya, politik, dan pendidikan yang di dalamnya tersembunyi primordialisme, etnosentrisme, libralisme dan kapitalisme, pendidikan era globalisasi tidak membebaskan tetapi membuat ketergantungan dengan Barat. Ideologi kolonial tersebut tersembunyi di bawah sadar masyarakat secara laten yang mempengaruhi berbagai kehidupan masyarakat, sejalan dengan Althussers (2010) dan Lacan, (2009), tampak dalam berbagai model seperti disebutkan oleh Thomson (2015).

5.3 Saran-saran
Saran-saran: Pertama, disarankan pada peneliti selanjutnya agar menyempurnakan keterbatasan penelitian ini. Kedua, disarankan pada pemerintah agar mengambil kebijakan pendidikan kritis yang membebaskan, mencerdaskan, berkeadilan, berkesadaran kritis, dan tidak memarginalkan rakyat miskin. Ketiga, membebaskan masyarakat dari dominasi dan hegemoni kapitalisme, kolonialisme asing, dalam pariwisata budaya maupun dalam pendidikan di Bali, agar sesuai dengan Sisdiknas dan amanat Pembukaan UUD 1945.
Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Olsy Vinoli Arnof (Penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.
Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LkiS.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Nurhadi (Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiotika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Form of Capital”. Dalam Hand Book of Theory and Research for The Sociology of Education. New York: Green- wood Press.
-------------1991. Language and Symbolic Power. Gino Raymond (Penerjemah). Cambridge: Polity Press.
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Form of Capital”. Dalam Hand Book of Theory and Research for The Sociology of Education. New York: Green- wood Press.
-------------1991. Language and Symbolic Power. Gino Raymond (Penerjemah). Cambridge: Polity Press.
Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali: Penemuan Yang Menakjubkan. Sunaryo Basuki (Penerjemah). Denpasar: Universitas Udayana Press.
Darmaningtyas, et al. 2014. Melawan Libralisme Pendidikan. Malang: Penerbit Madani.
Derrida, Jacques (1967).1988. The Ear of The Other. Lincoln: University of Nebraska Press.
Dhana, I Nyoman. 2010. “Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus Ideologi Pasar Pada Masyarakat Multikultural: Studikasus Pengelolaan Pura Subak Tegal di Perumahan Bumi Dalung Permai, Kuta Utara, Badung, Bali”. Denpasar: Disertasi S-3 Kajian Budaya Unud.
Fakih, Mansour. 2013. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Fashri, Fauzi. 2007. Menyingkap Kuasa Simbol: Apropriasi Refleksi Pemikiran Pierre Bourdieu. Jogjakarta: Juxtapose.
Flierhaar , H.Te. 1931. De Aanpassing van het Inlandsch Orderwijs op Bali aan de Eigen Sfeer. Batavia: Kolonial Belanda.
Foucault, Michel. 1969/2002. Pengetahuan dan Metode Karya-karya Penting Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Gramsci, Antonio. 2000. Sejarah dan Budaya. Ira Puspitorini, dkk. (Penerjemah). Surabaya: Pustaka Premethea.
Hall, Stuart, et al. 2011. Budaya Media Bahasa: Teks Utama Pencanang Cultural Studies, 1972-1979. Saleh Rahmana (penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.
Harker, Richard. 1990. “Bourdieu: Pendidikan dan Reproduksi, dalam Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Pipit Maizier (Penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra, hal.109-138.
Husein, Sarkawi B. 2010. Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya, 1930-1960). Jakarta: LIPI Press.
Illich, Ivan. Dkk. 2013. Sari Wacana Pendidikan: Sekolah Dibubarkan, Lantas Mau Apa?: Pro Kontra Terhadap Pandangan Ivan Illich. Saksono, Ign. Gatut (Penyadur). Yogyakarta: Penerbit Ampera Utama.
King, Victor T. and William D. Wilder. 2012. Antropologi Modern Asia Tenggara: Sebuah Pengantar. Hatib Abdul Kadir (penerjemah). Jogjakarta: Kreasi Wacana.
Kumbara, A.A.Ngr. Anom. 2010. “Konstruksi Wacana Ajeg Bali dalam Relasi Kuasa: Antara Ideologi dan Utopia”, Orasi Ilmiah, Tanggal 6 November 2010. Denpasar: Unud.
Lacan, Jaques. 2009. Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis. Yogyakarta: Jalasutra.
Lubis, Akhyat Yusuf. 2006. Dekonstruksi Efistemologi Modern: Dari Postmodernisme Teori Kritis Postkolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Martono, Nanang. 2010. Pendidikan Bukan Tanpa Masalah: Mengungkap Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi. Yogyakarta: Gava Media.
------------2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Postmodern, dan Postkolonial. Jakarta: Rajawali Press.
-------------2014. Sosiologi Pendidikan Michel Foucault: Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman, dan Seksualitas. Jakarta: Penerbit Rajawali.
Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
O’Donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Parchiano, Novella, 2012. Lyotard, Jean-Francois: Kondisi (era) Pos(t)modern. Novella Parchiano (Penerjemah). Magelang: Panta Rhei Books.
Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jean Couteau & Warih Wisatsana (Penerjemah). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Ritzer, Geroge dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern.Alimandan (penerjemah). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sarup, Madan. 2011. Panduan Memahami Poststrukturalisme dan Postmodernisme. Medhy Aginta Hidayat (penerjemah). Jogjakarta: Jalasutra.
Sidemen, Ida Bagus. 1983. “Baliseering dan Perkembangan Pariwisata Budaya di Bali”. Laporan Hasil Penelitian.Denpasar: Universitas Udayana.
---------------------. 2003. Nilai Historis Uang Kepeng. Denpasar: Larasan-Sejarah.
Sumaryono, E. 2013. Hermeniutik: Sebuah Metode Filsafat. Edisi Revisi. Jogjakarta: Kanisius.
Thompson, John B. 2015. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. Haqqul Yaqin (penerjemah). Yogyakarta: IRCiSoD.
Wijaya, I Nyoman. 2009. “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali dalam Sejarah Kebudayaan Bali, 1910-2007”. Disertasi S-3 UGM. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.











BIO DATA PENULIS

            Penulis lahir 31 Desember 1962 di Tabanan Baturiti, selesai Studi S1 di FKIP Unud Singaraja, tahun 1986, dan diangkat menjadi tenaga edukatif di program Studi Pendidikan Sejarah tahun 1988, dan melanjutkan Studi ke Sastra Sejarah UGM pada tahu 1995, dan selesai tahun 1998, bertugas dua periode (1998-2002) menjadi Kejur Pendidikan sejarah; dan dua periode juga menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan (PD III) sejak 2002- 2010. Kemudian melanjutkan Studi S-3 di Kajian Budaya Unud sejak tahun 2012, sampai ke jenjang ujian terbuka ini.
            Pengalaman penelitian dan penulisan buku, artikel terakhir menjelang studi. (1) “Revitalisasi Ideologi Desa Pakraman: Mengungkap Perbedaan Ideologi untuk merancang Model Rekayasa Kearifan Lokal Berbasis Trihita Karana di Era Globalisasi”, Stranas tahun 2010”; dan menulis beberapa Buku: (2) Pengantar Prof. Dr. I Gde Widja. Metodologi Sejarah dalam Perspektif Pendidikan, Denpasar: Larasan, 2010; (3) Buku Suntingan I Made Pageh dan Nengah Bawaatmadja, Sejarah Kearifan, Berbangsa dan Bernegara: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah. Denpasar: FIS Undiksha dan Larasan, 2010. (4) Buku usulan pahlawan nasional oleh I Made Pageh, Kepahlwanan dan Perjuangan Sejarah Sekitar Proklamasi Kemerdekaan NKRI: Konteks Lampah Mr. I Gusti Ketut Pudja, 1908-2010. Denpasar: Kerjasana Undiksha dengan Pemda Buleleng, Larasan, 2011. (5) Pengantar Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. Integrasi Masyarakat Multietnik: Nyama-Bali dan Nyama Selam (Belajar dari Enclave Muslim di Bali). Denpasar: Larasan, 2013 (Stranas 2012). Dan beberapa makalah: (6) ”Desa Taro Pusat Pemujaan “Sinuhun” Rsi Markandeya: Representasi Pura Agung Gunung Raung dalam Perspektif Sejarah Krritis”, P3M S2-/S-3 Kajian Budaya Unud di Desa Taro, hari Jumat, tanggal 7 Juni 2013; (7) Sumbangan tulisan pada Prof. Dr. A.A Gde Putra Agung “Jasmerah”Puputan” Margarana: Menyoal Aktualisasi Nilai-nilai Sejarah di Era Globalisasi”, Denpasar: Larasan, 2013;  (8) Hasil penelitian “Transformasi Pemujaan Roh Leluhur ke Pemujaan Para Dewa”, dalam buku Raja Udayana Warmadewa, I Ketut Ardhana dan Ketut Setiawan (ed.). Denpasar: Pemkab Gianyar dan Pusat Kajian Bali Unud, 2014; (9) Sumbangan tulisan pada Prof. Dr I Gde Parimartha, M.A, “Sisi Gelap Desa Pakaraman: Kajian Kritis Pemberlakuan Undang-Undang Desa di Bali”. Denpasar: Larasan, 2014; (10) Sumbangan tulisan pada AA Gde Putra Agung, “Dari Tengkulak ke Soebandar: Perdagangan di Singaraja Kota Keresidenan Bali Lombok, 1850-1940”, Denpasar: Larasan, 2015; (11) Makalah “Perang Puputan Jagaraga dalam Perpektif Ketahanan Nasional”, tanggal 16 Desember 2015 di Gedung Pemuda dan Olahraga Renon Denpasar.














0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda