PERANAN SETRA/TUNON
Dalam
lontar Bali disebutkan beberapa tokoh besar yang mendapat pencerahan di setra/kuburan
antara lain: Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gadjah Mada, Mpu Beradah dan
sebagainya. Mengapa demikian? Kuburan erat hubungannya dengan kesadaran akan
kematian, sehingga dapat menumbuhkan rasa pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa, juga
dapat mengantar manusia mencapai pencerahan dalam hidupnya. Kesombongan kepada
atribut keduniawian seperti kecantikan, kekayaan, kekuatan fisik, jabatan rumah
mewah dan mobil mewah dan sebagainya akan luluh dan gugur gezagnya di kuburan ini. Hal ini menjadikan kuburan
memiliki citra tenget, serem dan menakutkan manusia, karena terbayang di benak
seseorang akan hari akhir itu.
Sangat
berbeda dengan penganut tantric jalan kiri (avidya tantra) kuburan umumnya
dijadikan sarana untuk melipatgandakan kekuatan, kesaktian (super power)-nya.
Di Bali praktik avidya tantra ini, sering disejajarkan dengan Liak dan Balian
Pengiwa. Anggapan ini perlu diluruskan karena seperti sudah saya jelaskan di
atas bahwa Liak hanyalah metode keilmuan (efistimologi ilmu Bali), Liak adalah
prosedur/tata cara ngelinggihan aksara (lakuning olah energi tubuh)
dengan memosisikan aksara modre (Sa,Ba,Ta,A,I) dalam diri manusia, dengan olah
dan otak-atik aksara modre ini diyakini orang dapat memaksimumkan energi dalam
dirinya (power diri-sakti mantra guna). Dan bahkan dia memungkinkan terangkan
naik ke dimensi alam lain. Jadi pengiwa dan penengen itu adalah berada dalam
ranah motivasi manusia, bukan ranah keilmuan, sementara Liak itu adalah metode
keilmuan (jalan ngelmu Bali) (Subagia, 2011:23).
Asal Usul
Sistem Religi di Bali
Pertanyaan kemana manusia setelah
mati, atau kemana perjalanan Sang Roh Ketika badannya sudah mati. Untuk
menjawabnya Manusia zaman praaksara mengalami revolusi berpikir, jejaknya
terjadi pada zaman megalithikum. Hal ini dapat dipahami karena sejak munculnya
peradaban megalithikum itu, manusia praaksara Bali sudah mampu berpikir
abstrak, yaitu memikirkan manusia setelah mati. Kematian dipandang memiliki
kehidupan secara niskala yang berlanjut seperti Ketika dia masih ada di dunia
ini. Dengan demikian rasa cintanya pada kepala suku dan pemimpinnya yang mempu
memberikan perlindungan (bhatr) pada kelompoknya ketika masih hidup,
maka dibuatkanlah sebuah Peti batu yang dalam arkeologi disebut Sarkopagus.
Agar sang Roh dapat bersemayam dalam kubur batu selamanya untuk melindungi
kelompok suku bersangkutan. Muncullah konsep Bhatara dalam system religi di
Bali, yaitu pelindung yang berasal dari manusia istimewa yang memiliki
“sakti/kekuatan gaib”.
Pertanyaannya kemudian adalah
mengapa manusia itu bisa sakti/punya kekuatan gaib, penghayatannya pada sang
Rohm aka dibedakan menjadi lima bagian disebut dengan Panca Bayu (lima
power/energi) yang disebut Mrajapati, Anggapati, Banaspati, dan Banaspati raja,
dan Sang Roh (Atman). Penghayatan melalui kebathinan Bali ini, menjadi muncul
konsep perlindungan musuh dari empat arah angin disebut dengan “konsep nyaga
Satru”. Di alam semesta dipresentasikan menjadi penjaga Purwa Desa, Daksina
Desa, Pascima Desa dan Utara Desa. Sedangkan di tengah-tengah memosisikan Atmat
(roh manusia sakti itu), karena berupa yatra (symbol) Lingga-Yoni diposisikan
sebagai penjaga satru atas dan satru dari bawah.[1] Konsep
nyaga satru ini dijadikan ideologi dalam pembangunan pakraman di zaman kuno
yaitu banwa (gebog domas), seperti:
1.
Banwa Gebog Domas: Gobleg-Gesing-Munduk-UmaJero
dengan Tamblingan sebagai pusatnya.
2.
Banwa Gebog Domas:
Sidatapa-Cempaga- Tigawasa-Pedawa, dengan pusatnya di Banyusri.
3.
Banwa Gebog Domas:
Bulian-Depaha-Bayad-Tajum, dengan Bulian ketua Banwanya dan pura Pucak
Sinunggal pusat religinya.
4.
Banwa Gebog Domas:
Menyali-Sekumpul-Galungan-Lemukih, Lemukih puranya, menyali ketua banwanya.
5.
Banwa Gebog Domas:
Julah-Pacung-bangkah-Purwasidi (pusat Purwasidhi/Ponjok Batu). Dalam prasasti
Julah dan Sembiran disebutkan bahwa Purwasidi bersetru dengan Julah yang akhirnya sama-sama
mendapat anugrah berusaha hidup sebagai swatantra dari raja ketika itu, maka
Purwasidi menyapih diri menjadi Sembiran, beserta temannya yang muslim yang
ikut berdagang di Pelabuhan Julah di masa lalu, yang menjadi leluhur Islam
Batugambir.
Di
samping dipresentasikan dalam bentuk banwa, latar penghayatan terhadap
power/energi/sakti yang diberinama ‘Panca Bayu” dalam lontar-lontar di Bali.
Juga difungsikan sebagai “Nyaga Satru” pada wewidangan yang menjadi hak
perlindungannya, menjaga/nolak satru “Radius/wilayah Karang”. Seperti:
1.
Mrajapati, kuasa di wewidangan
Karang Desa, dipresentasikan oleh Pura Kuburan yang ada di masing-masing setra
di Bali. Batas-batas kuasanya adalah dengan melihat Bantas Desa Pakraman/
Banwa. Banyak desa kuno masih menyisakan daerah bantas, den bantas, dan
sebagainya, dapat dimaknai radius daerah bayu kuasa atau power/energi dari Sang
Marajapati. Kecuali karang desa muncul modifikasi tugu bersama disebut “Pura
Maduwe Karang/Tugu Desa”, seperti di Kubutambahan yang kemungkinan di masa lalu
Mrajapati pengempu desanya ada di Bulian.
2.
Anggapati, bayu kuasa di
wewidangan paumahan menjadi Tugun Karang (Jro Gede Penunggun Karang). Di Bali
Utara lazim ditempatkan berhadapan dengan pintu masuk pekarangan, bermakna
sebagai pecelang niskala, melindungi pemilik rumah dari gangguan black
megic.
3.
Banaspati, yaitu menjaga
wewidangan Merajan (Sanggah) melindungi pemujanya leluhurnya dari musuh-musuh/
satru niskala, karena Bhatara Hyang Guru diposisikan sebagai Bhatara Pramesti
Guru berstana di Mrajan. Sering juga disebut dengan Panglurah Agung, Jro
Nyoman, Juru Sapuh dan sebagainya.[2]
4.
Banaspatiraja, sebagai nyaga
satru keliling, terutama di daerah-daerah liminitas, seperti di marga Tiga,
Catus Pata, Sungai, kayu Besar, Pintu Masuk rumah (Angkul-Angkul) disebut juga
Jro Nyoman Pengadang-ngadangan. Power ini yang dapat menjadi berbagai kekuatan
dimana saja, bisa berbentuk apa saja.
5.
Bayu kelima (yaitu Sang
Roh/Atman) berada di tengah-tengah (zenith), karena hidup terdiri dari dualitas
yang harmoni, maka dia di Tunggalkan menjadi Lingga-Yoni (Brahman Atman
Aekyam), setekah terjadi bekisarisasi/hibridasi Hinduisme dengan local
genius Bali.
Kemudian
bercampur “bekisarisasi atau berhibridasi system religi hindu (kebajikan India)
dengan system religi local (Lokal Genius Bali), menjadi sistem religi hinduisme
di Bali.[3]
Dalam perkembangan setelah abad ke-8 dengan masuknya ajaran Rsi Markandeya
(Hinduisme Paksa Waisnawa) pengaruh India (Rsi Markande) ajaran sudah hidup sekitar
abad ke-2 SM, berpengaruh ke Indonesia dan ke Bali dari Gunung Agung Raung Jawa
Timur.[4]
Pancabayu,
Atman, dan Sang Catur sanak kemudian mewarnai, dan membentuk wajah Bali sebagai
Pulau Mitis, Pulau Megic, dan bercitra Black Magic. Dan Bali menjadi penghibrid
ajaran local dengan India. Representasi dari uraian ini adalah: (1) Sinar Suci
(Dewa) bekisarisasi dengan Bhatara; Sang Catur Sanak menjadi Dewa Nyatur,
beserta dewa-dewa lainnya, diutamakan dan difungsikan sebagai mana genealogi
awalnya, dengan penamaan dan pengisian nilai-nilai Agama pengaruh India. Lingga-Yoni menjadi Bapa Akasa dan Ibu
Pertiwi; menjadi benda langit yaitu Surya Candra Bintang Tranggana (menjadi windu).
Yatra (symbol-simbol) India dilokalisasi, disesuaikan, dan dihibridkan menjadi
kepercayaan asing berasa local. Kemudian dalam perkembangannya dengan
terbentuknya PHDI maka kepercayaan local (Agama bali) ini disebut
Adat-Istiadat, sedang Religi India disebut Agama Hindu. Jadi bekisar system religi
hindu dan Bali sangat tidak mungkin dibedakan, karena bekisar bukanlah keker
(ayam Hutan) dan bukan pula ayam kampung, bekisar adalah sosok makhluk baru
yang memang memiliki wujud ayam, dengan karakter dan sifat khas tersendiri
(asli Bekisar), berbeda dengan makhluk induknya. Bekisar tidak serengas
keker (ayam Hutan), dan tidak semonoh ayam kampung.
Kemudian
kita akan dapat memberikan penjelasan secara teoretis, mengapa makhluk mitologi
“Singaambara raja”, yaitu Singa Terbang (bersayap) dapat terwujud dalam yatra
(symbol) Kota Singaraja. Jika digunakan teori hibrida ini, maka dapat
dijelaskan bahwa Singa menganbil mitologi seperti Candi Sukuh di Jawa, bahwa
turunnya Budha ke dunia sebagai Awatara dalam bentuk/wujud raja hutan, yaitu
Singa dan harimau, sehingga Singa/ Harimau adalah binatang terkait dengan
certita Gagak Aking dan Bubuk Saha, dalam ngudi kesampurnan mengambil jalan
berbeda yang satu Budha Hinayana (Gagak Aking) yang kurus kering, dan adiknya
Bubuk Sah mengambil Tantra/Jalan Budha Mahayana (gemuk dan berdaging), dengan
Lima M-nya. Tetapi ujiannya Bubuk Sah dan Gagak Aking lolos, sehingga jalan
manapun diambil semuanya berhak masuk nirwana, sepanjang jalan yang ditempuh
adalah memang jalan dharma.
Persoalannya
kemudian hibridasi bukanlah hanya sampai pada F-1 saja, tetapi di Bali sampai
F-4 mungkin, sehingga sangat dibutuhkan kehati-hatian untuk mengenali ciri-ciri
yang masih mimikri di dalamnya, sehingga masih dapat diurai dalam pemahaman,
walau dalam tata lakunya sangat samar adanya. Taantrayana dan Baerawa misalnya
dalam Jalan Bhuda Mahayana, bermimikri dalam system religi Hindu di Bali.
Seperti mantra (saha) bahasanya Bali, jangan-jangan isinya India. Banten
sebagai bentuk teksnya (tulisannya berupa simbolik) dari unsur-unsur alam yang diwujudkan
secara plural oleh penciptanya, cukup mantranya dengan diam (Jnyana), dengan
Mudra tangan ngayab atau mebakti ngrana sika, dan mohon tirta dengan
menengadahkan tangan, dengan yatra (symbol-simbol) yang ada di Banten, berupa
segi empat (ceper), segi tiga, budar (tamas), lanying, podol (tumpeng), warna
jajan, sate dengan berbagai bentuk, dan sanganan dan isi dalam dari daksina,
banten ayaban, ajengan dan sebagainya merupakan representasi dari yatra dalam
Budha Mahayana. Power Pancabayu,
kekuatan sakti dewa nyatur, kekuatan sanghyang Tunggal. Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dapat terwujud, karena prasyarat dari jalan budha mahayana dapat terpenuhi
lebih dari necessary condition yang
dipersyaratkan.
Jadi
Hibridasi local genius, India, berbagai sekta dan agama yang secara spesifik di
tempat lain dapat menjadi secara holistic dapat dilaksanakan dari system religi
zaman purbakala sampai zaman melinial, terangkum dalam Hinduisme di Bali.
Dengan demikian kebajikan Tri Hita Karana, sebagai pengejawantahan trinitas
hubungan harmonis antara manusia (termasuk roh/atmannya) dengan sang pencipta
(panca bayu); hubungan harminis manusia dengan manusia (relasi antar roh dan
fisiknya); hubungan harmonis manusia dengan alamnya (termasuk roh secara
universal) merupakan kebajikan universal yang dapat mengayomi hubungan berbagai
dimensi, dengan menyertakan kebhinekaan unsur fisik, dan ketunggalan unsur
rohaniah. Jadi zeitsgeist-nya adalah Brahman-Atman Aekyam,
sedangkan Cultuurgebudenheid-nya adalah berbagai dimansi hubungan harmonis
terkait dengan ruang, waktu, struktur dan agensi dalam masyarakat Bali.
Dapat
dijelaskan menggunakan teori Anthony Giddens (2010) hubungan harmonis dengan
melihat kehidupan itu hakikatnya adalah ada dalam entitas liminitas, ruang,
waktu, keadaan, dan daerah astralnya adalah “keberadaannya yang mengada” (windunya) sehingga ruang dan tempat,
struktur dan agennya manunggal dalam hinduisme di Bali. Tataran filosofis,
metodologis, strategi, tenpat dan waktu jelas dapat dipahami dalam system religi
di Bali dapat dijadikan pusat kajian secara akademik. Karena telah mengadung
unsur-unsur ontology, efistimologi, dan aksiologi, dengan perspektifnya
berstruktur tiga yaitu Tri Hita Karana.
Dengan
demikian liak sebagai metode, dan ngereh aksi tindakan, dan banten sebagai
sarana (simbolik teks/ teori), perapatan Agung sebagai tempat praktik, dan
setra sebagai laboratorium, dapat menjadikan
Ilmu Bali itu sebagai pusat kajian akademik postmodernisme. Pencerahan
baru (new aufklarung) berupa new etno-science yang dapat dibumikan
nilai-nilainya, walaupun sangat relatif dalam ‘entitas maujud” seperti yang
menjadi harapan banyak orang. Science modern juga memiliki kondisi yang sama, tidak semuanya diuji
cobakan langsung berhasil sebagaimana diasumsikan. Butuh waktu, kesabaran,
ketekunan dan keberanian untuk melakukan modifikasi menuju kesempurnaan. Semua
wacana ini didedikasikan untuk memberikan pemahaman bahwa liak tidaklah
negative (peyotif), tetapi dia bersifat netral (astral/liminitas), hanya
manusia memiliki orientasi pada ilmu itu, sehingga saking sulitnya menjelaskan
dan membuktikan menggunakan ukuran panca idria, sehingga dicarikan padanan dan
lawanan, yaitu hitam/putih, whaite /black, sehingga stigma diberikan pada ilmu
Bai itu negative, termasuk oleh penulis Bali sendiri.
Kemudian, pertanyaan bagaimana
manusia ada, dan menjadi manusia dalam kehidupan ini (who am I) siapakah
saya, maka dengan melihat kenyataan yang ada, bahwa dia lahir dari pertemuan
Lingga-Yoni (Valus dan Genital), purusa dan pradana, maka muncul simbolisasi
Lingga-Yoni yang dijadikan dasar keyakinan bahwa adanya dia karena bertemunya
secara harmonis Lingg-Yoni itu, sehingga muncul benda budaya lingga-yoni. Di
Tambalingan jejaknya bernama “Celak Kontong Lugeng Luwih”, unsur laki dan perempuan,
menjadi Siwa Muka Suwukan (laki-laki/Lingganya), dan Siwa Muka Bulakan
(Perempuan/Yoninya) kalua digenderkan. Celak Kontong Lugeng Luwih ini,
merupakan nama dari Bahasa Bali local, yang sampai saat ini biasa sebutan Celak
(sama dengan purus/kemaluan laki-laki) kontong (goyang) dan Lugeng (Luweng,
Lobang, Luh), merupakan representasi dari pertemuan istimewa unsur laki dengan
perempuan, perusha dengan pradana.
[1] Bayu
di Bali bermakna energi, power, dan sakti, lima entitas energi itu disebut Panca
Bayu dalam Lontar-lontar di Bali.
[2]
Kata sapuh bisa bermakna sapa, juga bermakna penyapu merajan, jam banggul di
merajan; sedangkan Anglurah Agung bermakna Lurah Besar/ penguasa daerah dengan
batas-batas pekarangan sanggah.
[3]
Hinduisme adalah hibridasi dari berbagai macam system religi, seperti
percampuran sectarian, system religi bhuda, local Bali, semuanya diayomi oleh
Agama Hindu, dihibridasi atau dimimikri (simkritisme atau akomodasi), menjadi kesatuan
yang sulit dipisahkan, karena telah bertumbuh menjadi makhluk baru
(bekisar/hybrid).
[4]
Rsi Markandeya dimaksudkan ke Bali, bukanlah Rsi Markande India, yang hidup dua
abad sebelun abad masehi, tetapi penganut ajarannya yang bernafaskan filsafat
Aji Samkya mendasarkan diri pada entitas Rwabhineda.