LANDASAN PENGEMBANGAN KEILMUAN DALAM PERSPEKTIF SOSIAL
LANDASAN
PENGEMBANGAN KEILMUAN
DALAM
PERSPEKTIF SOSIAL
1. LANDASAN SOSIAL
Pembahasan
ini berusaha untuk menampilkan diri sebagai kenyataan (par exellence) hidup sehari-hari sebagai yang tertib dan tertata,
di sini sekarang dan nyata (realissimuni).
Dalam menanggapi nyata, sekarang, di sini tentu memiliki ragam pandangan dalam
masyarakat luas (Berger dan Lukcmann, 2012:32). Dunia kehidupan sehari-hari
memiliki struktur, sosio-kultur, ruang
dan waktu. Dimensi sosio-kultural manusia ditata secara intrinsik dan memiliki
kesadaran intersubjektif dalan interaksi sosial sehari-hari. Suatu pemahaman
dalam interaksi akan menjadi lebih baik,
jika dibarengi dengan refleksi historis dalam interaksi sosial itu. Bersifat
khas bagaikan bayangan dalam cermin, karena refleksi terkoneksi dalam aksi dan
reaksi orang lain dalam pergaulan yang meruang dan mewaktu. Jadi pengetahuan
kita terhadap orang lain (interkonektif) adalah sebagai refleksi (cermin) dalam
relasi sosial kita dalam kontek waktu dan ruang itu (Sztompka, 2007:48). Karena pemahaman itu terjadi sebagai refleksi
interaksi selama pergaulan (perjumpaan), sesungguhnya bukan pemahaman orang
lain (individu) seutuhnya, karena hanya tergambar dari interaksi dan informasi
sepenggal-sepenggal saja.
Dalam
memahami perubahan sosial yang terjadi di sekeliling kita, pengetahuan sosial dapat
memberikan pemahaman kita lebih baik/dalam dari sekadar apa yang dilalui dalam perjumpaan
di atas. Akal manusia dapat memformulasikan dengan menganalisis pengalaman
dalam ideasional, interaksi sosial, fakta sosial, dan kritik sosial secara
sistematis, dengan berbagai perspektif dalam paradigma (efistimologis) yang berkembang dalam ilmu sosial.
2. Kenyataan Sosial di Masyarakat
Ilmu
Pengetahuan dan teknologi (sains) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor
penting membawa perubahan dan dampak dalam kehidupan manusia sehari-hari (Berger
dan Luckmann, 2008). Inilah kenyataan sosial yang ditemukan dalam masyarakat
kampus. Tekonogi sebagai produk ilmu pengetahuan menjadi faktor pengubah
terbesar kehidupan manusia modern. Besarnya peran teknologi dalam masyarakat,
bahkan dapat mengantar masyarakat menjadi nungkalik,
yaitu teknologi yang diciptakan dalam mengatasi keterbatasan manusia, berubah
menjadi manusia diciptakan oleh teknologi itu, manusia terjebak oleh ciptaannya.
Terutama pesatnya perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Informatika masalah jarak dan waktu dalam intetraksi
dapat diatasi secara ektif dan efisien. Dengan demikian Ilmu Telekomunikasi
berdampak luas terhadap pemahaman manusia mengenai realitas sosial dan dunia,
jarak dan waktu. Perubahan ini membutuhkan perhatian khusus dalam dunia
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan
itu. Bahwa dengan Hand Phone dan internet jarak, waktu, bahkan
dunia dilipat dan dimasukkan ke saku. Inilah realitas yang kita hadapi, yaitu
dunia berubah menjadi kampung global, berubah sangat cepat dan revolusioner
(Piliang, 2010:37). Masyarakat tumbuh menjadi masyarakat jaringan dengan cyberspace menjadi bagian yang tidak
dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan,
pendidikan, bahkan agama di masyarakat.
Kenyataan sosial terkadang wujudnya
bersifat multirupa, kadang hadir dalam manusia sebagai dugaan, kadang juga
tidak terduga. Kadang muncul seperti yang dibayangkan, tetapi di pihak lain
hadir tidak seperti yang dibayangkan; kadang keberaturan tapi sering juga
tampak dalam ketidakberaturan; kadang refleksi dari rasionalitas, kadang juga
refleksi dari irasionalitas. Dengan demikian keberagaman pemahaman kita
terhadap realitas ini perlu disadari keberagamannya. Keberagaman itu di
dalamnya ditemukan berbagai bentuk, rupa, wajah seperti: keterputusan (discontinuity), keretakan (rupture), titik balik (reverse), ektrimitas, fatalitas, dan
promiskuitas, penuh ketidakberaturan, ketidakterdugaan, ketidakpastian, dan
keacakan. Inilah tantangan masa depan kita di era globalisasi yang penuh dengan
teka-teki (complex pussle). Seperti
dikonsepkan dalam geografi bahwa kehidupan manusia modern dewasa ini, kehidupan
sosial kemasyarakatan ditemukan penuh: “retakan, celah, ceruk, letupan,
reruntuhan, pecahan, kepingan, puing-puing, dan lain-lain. Bangunan sosial
penuh dengan instabilitas, kontradiksi, dan interdepensi. Dengan demikian dalam
membangun realitas sosial, dibutuhkan dekonstruksi, hibridasi dalam mengatasi
anomali di bidang keilmuan. Dalam masyarakat ditemukan banyak persilangan,
persimpangsiuran, tabrakan ,tumpang-tindih, berimpitan, campuran, hibridasi,
hal ini membentuk topografi sosial yang serba tidak beraturan, diskontinuitas. Piliang
menyebut realitas sosial itulah yang membentuk realitas dunia yang sangat
kompleks era globalisasi ini (Piliang, 2010:xxviii).
Demikian kompleksnya kenyataan sosial
itu, maka rumpun keilmuan itu merupakan usaha manusia dengan pengetahuannya
untuk mengklasifikasikan atau menyederhanakan kompleksitas itu. Usaha itu juga
tidak sepenuhnya berhasil, dengan demikian makna yang dapat dipahami bahwa
tidak ada kebenaran tunggal yang dapat dijadikan acuan dalam memahami dan
menjelaskan kompleksitas masalah sosio-kultural. Sedangkan dalam natural
science hukum umum yang diciptakan, tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam
memahami masalah sosial dan budaya (termasuk ilmu pengetahuan) di masyarakat.
Implikasinya betapapun sempurnanya
dipandang pembentukan rumpun keilmuan itu (cf. Pasal 10 UU No.12 Tahun 2012),
baik selanjutnya ada pohon keilmuan, cabang keilmuan, ranting keilmuan, dan
sebagainya yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sosial di masyarakat, maka
secara teoretis tidak akan dapat mengakomudasi secara sempurna apa yang
dikembangkan oleh masyarakat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan di dunia
modern itu. Bahkan kebenaran dalam masalah sosio-kultural lebih banyak wacana
kebenaran lahirdari penguasa (mainstream).
Juga dapat dipahami pengembangan
keahlian yang sangat kompleks menjadi sekitar 817 jenis (perumusan Dirjendikti,
belum final), bahkan terus berkembang dan bertambah untuk menjawab kompleksitas
persoalan dalam menghadapi masalah sosio-kultural dan pengembangan peradaban
manusia era globalisasi ini (cf. Santoso, dkk., 2012).
Walaupun demikian kompleksitas itu harus
diatasi, dengan penetapan pilihan (agar legitimit) sementara menunggu kesempurnaan
itu didapatkan. Tugas IPTEK memang menyederhanakan dunia kompleks itu untuk
dapat dipahami secara konseptual secara bersama-sama, seperti disebutkan di
atas. Untuk itu butuh ditetapkan aturan berupa UU, Permen, SK Rektor, dan sebagainya.
Sebagai masyarakat akademik, sesuatu yang dapat dijadikan pedoman harus
berdasarkan naskah akademik (KK), sehingga tata aturan yang akan dipedomani, secara
logika telah berazas akademik juga.
3. Beberapa Simpulan
Dari uraian di atas mengingat
kompleksitas dan pluralitas kenyataan sosial, budaya, politik, ekonomi,
pendidikan, dan IPTEK yang ada, maka ada beberapa rekomendasi pemikiran
alternatif dilihat dari perspektif sosial-kultural:
a. Bahwa
tidak ada kebenaran tunggal dalam memahami keilmuan dan masyarakat, terutama
karena wacana kebenaran lebih banyak dikonstruksi oleh penguasa. Sehingga
dibutuhkan pemahaman dan kesadaran kritis dan multikultural dalam melihat
perubahan yang multiarah dan multiperspektif dalam terwujud lembaga (Undiksha)
yang unggul berdasarkah falsafah trihita
karana di masa depan.
b. Bahwa
IPTEK, khususnya Teknologi Informatika menjadi faktor penting dalam mengubah
sistem sosial masyarakat, sehingga perlu dijadikan perspektif dalam pembuatan naskah
akademik (KK) ini.
c. Bahwa
dalam penerapan ilmu (rumpun Ilmu Terapan) di lembaga kita, sangat dibutuhkan
pemikiran hibridasi dalam inovasi pendidikan dan pengajaran, pengembangan
keilmuan, pengabdian pada masyarakat untuk menghasilkan bentuk baru dari
persilangan itu (cf. Deleuze dan Felix Guattari, 2010).
d. Bahwa
perlu kesamaan pemahaman tentang Pendidikan sebagai Rumpun Ilmu Trapan
(mayoritas di Undiksha), sedangkan Batang Keilmuan (Fakultas) dan Ranting
Keilmuan (Jur-Prodi) dipahami dengan jelas interkoneksitasnya, sehingga pandangan
masing-masing batang keilmuan itu, tetap berbasis pendidikan, sehingga visi Trihita Karana dapat diejawantahkan
dalam pengembangannya ke depan (cf. UU No. 12 Tahun 2012).
e. Visi
masa depan terkait dengan dimensi sosial, bahwa lembaga, lulusan, steakeholder (masyarakat luas),
menghadapi tantangan dan perubahan yang undifinate,
penuh teka-teki, berubah secara cepat, sehingga gambaran ini perlu dipahami dan diantisifasi secara bersama-sama.
f. Bahwa
ke depan SDM kita harus dibekali dengan pikiran, sikap, ketrampilan yang berkesadaran kritis, antisipatif,
inovatif, dan progresif visioner, diarahkan untuk mampu menghadapi persaingan
global serta dampak yang dihasilkan oleh globalisasi dan IPTEK itu (Wineburg,
2006).
DAFTAR
PUSTAKA
Berger,
Peter L. dan Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan. Pengantar Frans M. Parera. Jakarta: LP3ES.
|
Sztompka,
Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan
Sosial. Prenada Media Group: Jakarta.
|
Piliang,
Yasraf Amir. 2010. Post-Realitas:
Realitas Kebudayaan dalam Era Post Metafisika. Jalasutra: Yogyakarta.
|
Santoso,
Listiyono, dkk. 2012. Seri Pemikiran
Tokoh: Efistimologi Kiri. Arruzz Media: Yogyakarta.
|
Wineburg,
Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan
Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Masri Maris (penerjemah). Yayasan
Obor: Jakarta.
|
Delauze,
Gilles dan Felix Guattari. 2010. What
is Philosophy? (Reinterpretasi Atas Filsafat, Sains, dan Seni. Muh. Indra
Purnama (penerjemah). Jalasutra: Yogyakarta.
|
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda