Senin, 16 Juli 2018

LANDASAN PENGEMBANGAN KEILMUAN DALAM PERSPEKTIF SOSIAL


LANDASAN PENGEMBANGAN KEILMUAN
DALAM PERSPEKTIF SOSIAL
1.  LANDASAN SOSIAL
Pembahasan ini berusaha untuk menampilkan diri sebagai kenyataan (par exellence) hidup sehari-hari sebagai yang tertib dan tertata, di sini sekarang dan nyata (realissimuni). Dalam menanggapi nyata, sekarang, di sini tentu memiliki ragam pandangan dalam masyarakat luas (Berger dan Lukcmann, 2012:32). Dunia kehidupan sehari-hari memiliki struktur, sosio-kultur,  ruang dan waktu. Dimensi sosio-kultural manusia ditata secara intrinsik dan memiliki kesadaran intersubjektif dalan interaksi sosial sehari-hari. Suatu pemahaman dalam interaksi akan menjadi  lebih baik, jika dibarengi dengan refleksi historis dalam interaksi sosial itu. Bersifat khas bagaikan bayangan dalam cermin, karena refleksi terkoneksi dalam aksi dan reaksi orang lain dalam pergaulan yang meruang dan mewaktu. Jadi pengetahuan kita terhadap orang lain (interkonektif) adalah sebagai refleksi (cermin) dalam relasi sosial kita dalam kontek waktu dan ruang itu (Sztompka, 2007:48).  Karena pemahaman itu terjadi sebagai refleksi interaksi selama pergaulan (perjumpaan), sesungguhnya bukan pemahaman orang lain (individu) seutuhnya, karena hanya tergambar dari interaksi dan informasi sepenggal-sepenggal saja.
Dalam memahami perubahan sosial yang terjadi di sekeliling kita, pengetahuan sosial dapat memberikan pemahaman kita lebih baik/dalam dari sekadar apa yang dilalui dalam perjumpaan di atas. Akal manusia dapat memformulasikan dengan menganalisis pengalaman dalam ideasional, interaksi sosial, fakta sosial, dan kritik sosial secara sistematis, dengan berbagai perspektif dalam paradigma (efistimologis) yang berkembang dalam ilmu sosial.
2. Kenyataan Sosial di Masyarakat
Ilmu Pengetahuan dan teknologi (sains) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penting membawa perubahan dan dampak dalam kehidupan manusia sehari-hari (Berger dan Luckmann, 2008). Inilah kenyataan sosial yang ditemukan dalam masyarakat kampus. Tekonogi sebagai produk ilmu pengetahuan menjadi faktor pengubah terbesar kehidupan manusia modern. Besarnya peran teknologi dalam masyarakat, bahkan dapat mengantar masyarakat menjadi nungkalik, yaitu teknologi yang diciptakan dalam mengatasi keterbatasan manusia, berubah menjadi manusia diciptakan oleh teknologi itu, manusia terjebak oleh ciptaannya. Terutama  pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informatika masalah jarak dan waktu dalam intetraksi dapat diatasi secara ektif dan efisien. Dengan demikian Ilmu Telekomunikasi berdampak luas terhadap pemahaman manusia mengenai realitas sosial dan dunia, jarak dan waktu. Perubahan ini membutuhkan perhatian khusus dalam dunia pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan  itu.  Bahwa dengan Hand Phone dan internet jarak, waktu, bahkan dunia dilipat dan dimasukkan ke saku. Inilah realitas yang kita hadapi, yaitu dunia berubah menjadi kampung global, berubah sangat cepat dan revolusioner (Piliang, 2010:37). Masyarakat tumbuh menjadi masyarakat jaringan dengan cyberspace menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, bahkan agama di masyarakat.
Kenyataan sosial terkadang wujudnya bersifat multirupa, kadang hadir dalam manusia sebagai dugaan, kadang juga tidak terduga. Kadang muncul seperti yang dibayangkan, tetapi di pihak lain hadir tidak seperti yang dibayangkan; kadang keberaturan tapi sering juga tampak dalam ketidakberaturan; kadang refleksi dari rasionalitas, kadang juga refleksi dari irasionalitas. Dengan demikian keberagaman pemahaman kita terhadap realitas ini perlu disadari keberagamannya. Keberagaman itu di dalamnya ditemukan berbagai bentuk, rupa, wajah seperti: keterputusan (discontinuity), keretakan (rupture), titik balik (reverse), ektrimitas, fatalitas, dan promiskuitas, penuh ketidakberaturan, ketidakterdugaan, ketidakpastian, dan keacakan. Inilah tantangan masa depan kita di era globalisasi yang penuh dengan teka-teki (complex pussle). Seperti dikonsepkan dalam geografi bahwa kehidupan manusia modern dewasa ini, kehidupan sosial kemasyarakatan ditemukan penuh: “retakan, celah, ceruk, letupan, reruntuhan, pecahan, kepingan, puing-puing, dan lain-lain. Bangunan sosial penuh dengan instabilitas, kontradiksi, dan interdepensi. Dengan demikian dalam membangun realitas sosial, dibutuhkan dekonstruksi, hibridasi dalam mengatasi anomali di bidang keilmuan. Dalam masyarakat ditemukan banyak persilangan, persimpangsiuran, tabrakan ,tumpang-tindih, berimpitan, campuran, hibridasi, hal ini membentuk topografi sosial yang serba tidak beraturan, diskontinuitas. Piliang menyebut realitas sosial itulah yang membentuk realitas dunia yang sangat kompleks era globalisasi ini (Piliang, 2010:xxviii).
Demikian kompleksnya kenyataan sosial itu, maka rumpun keilmuan itu merupakan usaha manusia dengan pengetahuannya untuk mengklasifikasikan atau menyederhanakan kompleksitas itu. Usaha itu juga tidak sepenuhnya berhasil, dengan demikian makna yang dapat dipahami bahwa tidak ada kebenaran tunggal yang dapat dijadikan acuan dalam memahami dan menjelaskan kompleksitas masalah sosio-kultural. Sedangkan dalam natural science hukum umum yang diciptakan, tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam memahami masalah sosial dan budaya (termasuk ilmu pengetahuan) di masyarakat.
Implikasinya betapapun sempurnanya dipandang pembentukan rumpun keilmuan itu (cf. Pasal 10 UU No.12 Tahun 2012), baik selanjutnya ada pohon keilmuan, cabang keilmuan, ranting keilmuan, dan sebagainya yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sosial di masyarakat, maka secara teoretis tidak akan dapat mengakomudasi secara sempurna apa yang dikembangkan oleh masyarakat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan di dunia modern itu. Bahkan kebenaran dalam masalah sosio-kultural lebih banyak wacana kebenaran lahirdari penguasa (mainstream).  Juga dapat dipahami pengembangan keahlian yang sangat kompleks menjadi sekitar 817 jenis (perumusan Dirjendikti, belum final), bahkan terus berkembang dan bertambah untuk menjawab kompleksitas persoalan dalam menghadapi masalah sosio-kultural dan pengembangan peradaban manusia era globalisasi ini (cf. Santoso, dkk., 2012).
Walaupun demikian kompleksitas itu harus diatasi, dengan penetapan pilihan (agar legitimit) sementara menunggu kesempurnaan itu didapatkan. Tugas IPTEK memang menyederhanakan dunia kompleks itu untuk dapat dipahami secara konseptual secara bersama-sama, seperti disebutkan di atas. Untuk itu butuh ditetapkan aturan berupa UU, Permen, SK Rektor, dan sebagainya. Sebagai masyarakat akademik, sesuatu yang dapat dijadikan pedoman harus berdasarkan naskah akademik (KK), sehingga tata aturan yang akan dipedomani, secara logika telah berazas akademik juga.
3. Beberapa Simpulan
Dari uraian di atas mengingat kompleksitas dan pluralitas kenyataan sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan IPTEK yang ada, maka ada beberapa rekomendasi pemikiran alternatif dilihat dari perspektif sosial-kultural:
a.       Bahwa tidak ada kebenaran tunggal dalam memahami keilmuan dan masyarakat, terutama karena wacana kebenaran lebih banyak dikonstruksi oleh penguasa. Sehingga dibutuhkan pemahaman dan kesadaran kritis dan multikultural dalam melihat perubahan yang multiarah dan multiperspektif dalam terwujud lembaga (Undiksha) yang unggul berdasarkah falsafah trihita karana di masa depan.
b.      Bahwa IPTEK, khususnya Teknologi Informatika menjadi faktor penting dalam mengubah sistem sosial masyarakat, sehingga perlu dijadikan perspektif dalam pembuatan naskah akademik (KK) ini.
c.       Bahwa dalam penerapan ilmu (rumpun Ilmu Terapan) di lembaga kita, sangat dibutuhkan pemikiran hibridasi dalam inovasi pendidikan dan pengajaran, pengembangan keilmuan, pengabdian pada masyarakat untuk menghasilkan bentuk baru dari persilangan itu (cf. Deleuze dan Felix Guattari, 2010).
d.      Bahwa perlu kesamaan pemahaman tentang Pendidikan sebagai Rumpun Ilmu Trapan (mayoritas di Undiksha), sedangkan Batang Keilmuan (Fakultas) dan Ranting Keilmuan (Jur-Prodi) dipahami dengan jelas interkoneksitasnya, sehingga pandangan masing-masing batang keilmuan itu, tetap berbasis pendidikan, sehingga visi Trihita Karana dapat diejawantahkan dalam pengembangannya ke depan (cf. UU No. 12 Tahun 2012).
e.       Visi masa depan terkait dengan dimensi sosial, bahwa lembaga, lulusan, steakeholder (masyarakat luas), menghadapi tantangan dan perubahan yang undifinate, penuh teka-teki, berubah secara cepat, sehingga gambaran ini perlu dipahami  dan diantisifasi secara bersama-sama.
f.       Bahwa ke depan SDM kita harus dibekali dengan pikiran, sikap, ketrampilan  yang berkesadaran kritis, antisipatif, inovatif, dan progresif visioner, diarahkan untuk mampu menghadapi persaingan global serta dampak yang dihasilkan oleh globalisasi dan IPTEK itu (Wineburg, 2006).  






DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Pengantar Frans M. Parera. Jakarta: LP3ES.
                            
Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media Group: Jakarta.

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post Metafisika. Jalasutra: Yogyakarta.

Santoso, Listiyono, dkk. 2012. Seri Pemikiran Tokoh: Efistimologi Kiri. Arruzz Media: Yogyakarta.

Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Masri Maris (penerjemah). Yayasan Obor: Jakarta.

Delauze, Gilles dan Felix Guattari. 2010. What is Philosophy? (Reinterpretasi Atas Filsafat, Sains, dan Seni. Muh. Indra Purnama (penerjemah). Jalasutra: Yogyakarta.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda