Dr. I Made Pageh, M.Hum
Universitas
Pendidikan Ganesha
I. PENDAHULUAN
Mengajarkan sejarah sebenarnya tidak cukup hanya hafal terhadap cerita
sejarah yang ditulis oleh sejarawan profesional, tetapi membutuhkan pengetahuan
ilmu sejarah, filsafat sejarah secara baik dan konprehensif. Agar sejarah tetap
menjadi sebagai sekolah moral (Atmadja, 2010), atau sebagai bank menyimpan model of (aspek kognitif), atau model for (aspek evaluatif) kata Kleden(1999), atau collective representation Sartono mengutif Dukheim (1987). Karena super market disinyalir oleh Atmadja menjadi tempat pendidikan moral di era
globalisasi ini, karena sudah sebagian besar kebutuhan labido manusia
disediakan di Super Market awal abad XXI
ini (2010:107).
Hendry Ford pernah berkata “sejarah adalah omong kosong”, tetapi Soekarno
membantahnya, dan mengatakan sejarah memberikan banyak bahan, perspektif dan
pelajaran penting dengan pidato Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan
sejarah). Dua tokoh ini bermakna
memiliki pandangan berbeda terhadap pentingnya sejarah. Dari sini dapat
dipahami bahwa cerita sejarah memiliki aksiologi berbeda, seperti disebutkan
dalam Majalah Sintesa (1995) bahwa
kategori sejarah dibagi menjadi tiga, yaitu sejarah kekuasaan, sejarah
akademik, dan sejarah “apa adanya” (common
sense). Pertama sejarah kekuasaan adalah sejarah yang telah diberi “makna”
kepentingan kekuasaan. Kedua, sejarah direkonstruksi pemaknaannya melalui teori
dan metodologi yang digunakan, sedangkan yang ketiga, sejarah yang bangunan
kisahnya diserap dari tradisi dan diwariskan secara “apa adanya” given (Ananda, 1995:4). Sejarah
kekuasaan dan sejarah akademik disebut sebagai sejarah uncommon sense, karena banyak kepentingan lebih cocok disebut
“mithology’, dibandingkan dengan history.
Berbagai tafsir miring terhadap sejarah kekuasaan terutama, bermunculan.
Nampaknya hal ini sudah merupakan masalah klasik dalam sejarah.
Makna sejarah secara umum sering diuraikan orang dalam
dua kategori, pertama dalam literatur
klasik ditemukan kategori penekanan kajian: (1) penekanan pada teoretis yang
menguraikan bahwa ada satu struktur makna yang terkandung dalam sejarah, yang
dapat mengantar manusia menjadi manusia (memanusiakan manusia), dan (2) di lain
pihak ada yang melihat secara moral bahwa perjalanan sejarah umat manusia yang
mengarah pada sasaran melihat keburukan sejarah (Meyerhoff, 1959:292). Kedua, berbagai pendekatan dalam kajian
sejarah, termasuk pendekatan filsafat sejarah (historiografinya penulis besar)
mulai dari St. Agustinus hingga Hegel, mencoba memenuhi keduanya baik faktor
kebajikan maupun faktor keburukannya, dengan berbagai cara yang ditempuh oleh
pemikir sejarah untuk dapat menuliskannya secara objektif. Sampai abad ke-19
terus mengalami perubahan, bahkan sampai penghujung abad 21 ini, sikap terhadap
sejarah ditemukan beberapa uraian: (a) pencarian suatu makna sejarah adalah
suatu kesia-siaan, (b) bahwa penyakit manusia modern yang disebabkan oleh
kegagalan dalam menemukan makna sejarah. Ada yang mengarahkan kembali ke makna
teologi, etika, moral (modernisme) dan atau ada yang kembali ke pencarian makna
kemanusiaan (kebebasan manusia posmodern), dengan mengubah standard kehidupan dari
melihat secara simbolik kebesaran manusia bagikan pohon beringin, berubah
menjadi masyarakat manusia ideal bagaikan rizhome,
bersatu bagaikan padang rumput kuat di bawah, tidak ada yang mengungguli
satu dengan yang lain.
Sejarah secara umum dapat dibedakan
sejarah sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi (‘res gestae’) dan sejarah sebagai cerita sejarah (rerum gestarum). Sebagai peristiwa
sejarah yang benar-benar terjadi peristiwanya hanya sekali jadi, setelah itu
tidak pernah terulang lagi, dia ditelam Sang Kala, dan hanya
meninggalkan jejak-jejaknya pada manusia berikutnya. Sedangkan sebagai sebuah
cerita sejarah terus berkembang diceritakan berulang-ulang, terus diberikan
makna baru sesuai dengan perkembangan zaman, peruntukan, dan ideologi yang melatarinya.
Peranan penulis sejarah sangat penting, karena tanpanya cerita sejarah tidak
pernah ada. Bagaikan karya sastra lainnya, seorang satrawan,memiliki peranan
yang sangat penting, jika tidak ada sastrawan dan atau sejarawan maka cerita
sejarah tidak akan pernah ada (Pageh, 2010).
Secara filosofis kritis dapat dipahami bahwa sebuah karya sejarah
memiliki bias pribadi penulis (personal
bias), bias kelompok (group prejudice),
konflik-konflik teori dalam interpretasi sejarah (conflicting theories of historical interpretation), konflik
filosofis, ideologis yang melatari penulis (Walsh, 1967:99-105). Sejarah sarat aksiologi kekuasaan untuk melanggengkan status quo,
kekuasaan, ideologi, ditentang keras
oleh kelompok oposisi,
menjadikan sejarah sebagai monument politik, bahkan moral politik, oleh pendukung kekuasaan yang umumnya dilabeli dengan
“nasionalisme”. Dengan demikian pendidikan
sejarah, penulisan sejarah adalah sebuah pilihan seorang sejarawan (subjektif), mengenai topic (departemental),
sudut pandang, ideologi, dan
filsafat yang dikembangkan. Di sinilah ontologi, efistimologi dan aksiologi dari sejarah dapat ditemukan,
karena paradigma dan metodologi penulisan
sejarawan secara tersamar ada di baliknya (lihat Purwanto, 2005; dan 2006).
Kekuatan kritik sejarah yang digunakan dalam menulis atau membaca sebuah
karya sejarah menjadi sangat penting untuk dapat menemukan makna otentik dari
sebuah cerita tentang masa lalu yang tidak pernah dapat dihentikan dari
absolutisme dari perjalanan sang waktu. Makin jauh Sang Kala meninggalkan sebuah
generasi, makin sering generasi berganti, maka makin terbuka masalah subjektivitas itu terjadi.
Sehingga otentisitas dari cerita sejarah itu dapat diduga makin menjauh
pula. Tetapi roh penulisannya (zeitgeist-nya)
atau alikan guminya makin mendekat
dengan zaman penulisannya, karena ikatan budaya zaman (cultuur gebudenheid atau trand-nya) silih berganti, sesuai dengan
perkembangan kebudayaan manusia itu. Oleh karena itu, penulisan cerita sejarah
terus dilakukan oleh generasi belakangan, karena pemaknaannya berkembang terus, walaupun
peristiwanya hanya terjadi sekali (enmalig)
(Widja, 1989).
Dari latar belakang di atas dapat
dirumuskan beberapa permasalahan:
(1)
Bagaimana
hakikat sejarah itu (problem filsafat)?
(2)
Bagaimana
hubungannya dengan ilmu sejarah?
(3)
Bagaimana
kedudukan filsafat sejarah, sejarah dan pendidikan sejarah?
Untuk menjawab persoalan ini (efistimologinya)
digunakan prosedur kerja (1) pengumpulan sumber, pembacaan beberapa sumber
tulisan, dokumen, jurnal dan karya ilmiah lainnya, (2) diklasifikasi dan
dikritik sumber agar dapat memenuhi kredibelitas penulisan, (3) dilakukan
interpretasi dan penulisan paper ini. Dengan demikian secara efistimologi dapat
memenuhi standard karya ilmiah. Berpikir filosofis menggunakan filsafat kritis,
spekulatif dengan mencoba memahami sejarah sebagai metahistori (dengan
perenungan dan pemikiran mendalam dan menyeluruh).
Dengan demikian kajian ini
akan berguna (aksiologis) untuk mewujudkan sejarah dan pendidikan sejarah dapat
memberikan sumbangan pada manusia, sejarah “history make man a
wise” tidak mengalami
kematian, digantikan oleh super market (Atmadja, 2010), dan kolektivitas kita menjadi buyar, dan nasionalisme kita
hanya tinggal sejarah saja. Tulisan ini ingin menunjukkan pilihan (pilihan
rasional) bahwa manusia banyak dapat belajar dari sejarah, bahkan sejarah make a life tobe life, terutama
dapat memahami hubungan dan kedudukan antara filsafat sejarah, sejarah dan
pendidikan sejarah yang tidak dapat dilepaskan, kalau sejarah tidak mau kehilangan
makna.
II. PEMBAHASAN
Pembahasan
masalah di atas diawali dengan pembahasan karakteristik berpikir filsafat,
kemudian dilanjutkan dengan pengertian filsafat sejarah. Permasalahan kedua
diawali dengan menguraikan hakikat peristiwa sejarah, baik yang unik maupun
yang bersifat massal, bahkan kemungkinan generalisasi terbatas dalam sejarah.
Baru kemudian dihubungkan kedudukan filsafat sejarah, peristiwa sejarah, dan
pendidikan sejarah. Sebagai aksiologi dari pentingnya sejarah dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dibahas beberapa persoalan mendasar terkait dengan pendidikan dan
keraifan sejarah di dalamnya untuk dapat menunnjukan dan memberikan pilihan
rasional pembaca untuk memilih sesuai dengan kepentingan dan rasionalitasnya.
2.1
Karakteristik
Berpikir Filsafat
Kata filsafat yang merupakan kata bahasa Arab, berasal/bersumber dari
bahasa Yunani, yaitu “philosophia” (philein
= cinta; sophos = hikmat,
kebijaksanaan). Jadi, secara etimologi filsafat menunjuk pada pengertian “cinta
pada kebijaksanaan”. Secara lebih luas makna kata filsafat adalah keinginan yang kuat untuk mencapai
atau mewujudkan kebijaksanaan yang ada di dalamnya terkandung pengertian
mendasar, yaitu hakikat kebenaran tentang sesuatu.
Hakikat pengertian filsafat ini
(keinginan yang kuat untuk mengeti secara mendasar tentang sesuatu) sering
dikaitkan dengan hakikat manusia sendiri yang sering disebut ‘makhluk berpikir’
(animal rationale). Sebagai makhluk
istimewa dengan kemampuan pikiran yang dimilikinya itu, menyebabkan manusia selalu
terdorong untuk tahu/mengerti tentang segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Keingintahuan yang kuat tersebut memang menjadi pendorong manusia untuk terus
menerus bertanya tentang segala sesuatu itu sampai akhirnya ketemu pada satu
hakikat tentang satu kebenaran (Suriasumantri,1999:19-20).
Dengan demikian sering dikatakan bahwa hakikat berpikir fisafati tersebut
memiliki cirri-ciri seperti: (a) berpikir secara menyeluruh, maksudnya melihat sesuatu secara
keseluruhan sehingga bisa dipahami satu
pengertian yang utuh. (b) Berpikir secara mendasar,
artinya berpikir menuju ke hakikat kebenaran sesuatu. Sehingga filosof tidak puas dengan jawaban
dipermukaan saja dan harus tuntas, dalam arti tidak muncul pertanyyan lagi,
atau dilain pihak juga berarti tidak habis-habisnya bertanya sampai adanya
jawaban hakiki. (c) Berpikir
sedalam-dalamnya,: artinya berpikir sampai ke luar batas-batas dunia empiris (yang
ditangkap pacaindera); atau berpikir
(lihat Suriasumantri,1999:20-22).
Oleh sifat-sifat berpikir filsafati seperti dikemukakan di atas, maka
berpikir semacam itu lebih banyak mengandung unsur perenungan (reflektif) dan
imajinatif. Ini sering diulas sebagai berpikir tentang pikiran (berpikir
tingkat kedua) artinya, berpikir tingkat pertama menghasilkan pengetahuan
tentang sesuatu, sedangkan berpikir tingkat kedua menghasilkan hakikat
pengetahuan tentang sesuatu itu dan inilah merupakan hasil berpikir filsafati.
Dari penegasan di atas ini terlihat hubungan antara ilmu pengetahuan dan
filsafat, yaitu ilmu hanya membatasi diri pada pengetahuan tentang fenomena (kenyataan empiris), sedang
filsafat merupakan pengetahuan tentang noumena
(kenyataan yang ada di metafisis);
dengan demikian ilmu lebih membatasi diri dalam upaya menemukan kebenaran terjangkau oleh indera, tetapi
filsafat bisa mengelana sampai ke dunia metafisis, kemana pikiran mau menjangkaunya. Namun,
di antara ilmu dan filsafat ada saling keterkaitan, yaitu bahwa filsafat karena
ketidakterbatasannya dalam pencarian kebenaran sering dianggap sebagai sumber pengembangan
ilmu (mother of science).
Dengan kata lain berbagai cabang ilmu kita ketahui terkait dengan cabang
filsafat tertentu dan selanjutnya sesuatu cabang ilmu itu diperdalam oleh
pemikiran filsafati. Dengan kata
lain filsafat sejarah yang intinya memperdalam pemikiran-pemikiran dari
ilmu sejarah, ilmu sejarah mengambil
pemikiran filosofis dalam pengembangan keilmuannya.
2.2 Pengertian Filsafat Sejarah
Meskipun konsep-konsep dasar pemikiran filsafat sejarah sudah berkembang sejak zaman
Yunani-Romawi, namun istilah filsafat sejarah sendiri baru dikembangkan sekitar
abad ke-18 di Eropa. Menurut
Collingwood (1973:1-7) yang pertama-tama memunculkan istilah filsafat sejarah adalah Voltaire. Dia
menekankan konsep filsafat sejarah sebagai filsafat sejarah kritis, untuk membedakannya dengan sejarah atau
lebih tepatnya cerita-cerita yang termuat dalam buku klasik. Ini sejalan dengan
semangat zaman pencerahan (Aufklarung) yang mengutamakan
rasionalitas, memunculkan modernitas
di dunia sekarang.
Istilah filsafat sejarah,
kemudian digunakan pada akhir abad
ke-18 oleh Hegel yang lebih mengartikannya sebagai World Universal History. Ini dimaksudkan sejarah yang bersifat
menyeluruh dalam arti meliputi seluruh umat manusia, bukan menyangkut kelompok
–kelompok tertentu saja. Tegasnya tentang gambaran kehidupan manusia di dunia
sebagai keseluruhan, kemudian
memperjuangkan masyarakat tanpa kelas (ideologi komunis).
Pengertian filsafat sejarah selanjutnya muncul abad ke-19, digunakan oleh kelompok positivis dengan tokohnya Auguste
Comte. Mereka memaknainya sebagai upaya untuk menemukan general laws yang menguasai jalannya
peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam hubungan ini, Comte bertolak dari anggapan bahwa sejarah harus disejajarkan
dengan ilmu nomotetis yang tujuan
utamanya adalah merumuskan hukum-hukum
umum. Ini berbeda dengan anggapan-anggapan pemikiran sejarah yang bersifat ideografis yang tekanannya pada upaya
memahami sejarah sebagai peristiwa unik (bersifat kondisional) (Widja, 1989).
Terlepas dari berbagai pandangan awal tentang filsafat sejarah itu, seperti ditegaskan Collingwood,
filsafat sejarah kemudian lebih dilihat sebagai teori pengetahuan, yang intinya
bukan sekadar pengetahuan tentang rangkaian peristiwa yang terjadi di waktu
lampau, tetapi tentang hakikat peristiwa masa lampau yang bersifat menyeluruh
mendasar dan mendalam. Dari perspektif ini yang menjadi perhatian utama adalah “makna dan tujuan dari
keseluruhan proses sejarah”(Walsh, 1970:26), artinya terlepas dari banyaknya
kekhususan yang ditampilkan sejarah, namun sangat penting diperhatikan bentuk-bentuk atau pola-pola umum dari proses sejarah sejarah itu. Pola-pola umum proses sejarah ini bisa
dianggap menggambarkan overall plan
yang di dalamnya mengandung hakikat kausalitas,
hakikat kontinuitas dan hakikat diskontinuitas fenomena sejarah dari zaman ke zaman yang membawa
karakteristiknya sendiri sesuai dengan semangat zaman dan ikatan budaya zamannya (zeitgeist dan cultuurgebudenheid-nya) (Kartodirdjo, 1990). Sebagai teori pengetahuan, filsafat
sejarah juga di lain pihak memasalahkan sejauh mana kita dapat memperoleh
pengetahuan yang benar mengenai masa lampau itu, dan bagaimana sifat pengetahuan tentang masa lampau tersebut
(lihat Ankersmit,1987:1-75).
2.3 Peristiwa Sejarah Unik
Sebelum kita membahas lebih jauh konsep-konsep serta
substansi yang dikembangkan dalam filsafat sejarah ada baiknya kita melihat
lebih dahulu membahas karakteristik
(hakikat) dari peristiwa
sejarah. Ini perlu dipahami unyuk
dapat membedakan peristiwa sejarah dengan fenomena alam. Pertama peristiwa sejarah terakit dengan
kehidupan manusia, sedangkan kedua
(peristiwa alam terkait dengan benda-benda alam/fisik atau hewan,
tumbuh-tumbuhan yang berbeda dengan
manusia. Manusia memiliki
jiwa/roh yang menyebabkan peristiwa atau tindakan manusia tidak sama dengan gejala alam dalam menghadapi
situasi yang sama. Dengan kata lain, peristiwa/tindakan manusia tidak hanya
ditentukan oleh faktor eksternal tetapi juga ditentukan oleh faktor internal,
yaitu unsur kejiwaannya yang terdiri dari pikiran, rasa, kesadaran, serta
kemampuan lainnya (Gazalba,
1966:12-13).
Karakteristik seperti di atas ini memang berbeda dengan peristiwa alam
yang menunjukkan sifat pasif atau sangat ditentukan oleh alam sekitarnya, dan karena itu pula bisa dikatakan tidak akan menghasilkan tindakan
yang sama atas dasar sebab
yang sama, karena ada faktor pikiran
dalam diri manusia. Sebagai kelanjutannya maka pada peristiwa alam
seperti ini akan mungkin dirumuskan pola-pola yang kokoh dari berlakunya
hubungan sebab- akibat yang
berlaku pada peristiwa alam. Sebaliknya pada peristiwa manusia perumusan
pola-pola semacam itu dapat diduga akan
mengalami kegagalan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apabila dengan filsafat sejarah
kita maksudkan upaya untuk merumuskan pola-pola proses sejarah yang mengandung
di dalamnya makna dan tujuan yang
terlihat dalam keseluruhan jalannya sejarah, apakah hal ini dapat diwujudkan. Karena peristiwa sejarah tersebut
bersifat unik, apakah masih
relevan mengkaitkannya dengan filsafat sejarah, yang kita ketahui berusaha
menemukan pola-pola/ kecenderungan dalam keseluruhan proses sejarah. Secara singakt dibahas berikut ini.
2.4 Peristiwa Sejarah Massal
Seperti telah dikemukakan di atas kekhasan dari peristiwa sejarah adalah
sifat unik, karena bergantung pada tempat, waktu, dan
situasi/kondisi tertentu yang terkait dengan unsur-unsur kejiwaan yang
merupakan keistimewaan dari manusia. Keadaan ini sering disebut asas “kondisionalitas” dari peristiwa sejarah
yang menghalangi sifat perulangan dari peristiwa sejarah (Gazalba,1966:16-17;
lihat pula Renier,1961:225). Sebagai konsekuensinya, seperti yang ditegaskan di
atas, kelihatannya sulit untuk menemukan pola-pola/ umum dalam peristiwa sejarah seperti yang
diinginkan terutama oleh filosof sejarah spekulatif.
Namun demikian, seperti dikemukakan oleh Robert V.Daniels, kalau sejumlah
peristiwa sejarah diparalelkan/diperbandingkan kelihatannya nampak pula
unsur-unsur kesejajarannya, di samping unsur kekhususannya (1981:97). Misalnya
bila kita membandingkan berbagai peristiwa revolusi politik di berbagai daerah, maka di samping unsur-unsur
kontekstualnya yang terkait dengan waktu, tempat, dan situasi yang
melatarbelakangi peristiwa perang atau revolusi tersebut, terlihat pula
unsur-unsur kesamaan (umum) yang dikandungnya. Sebagai contoh
nyata bila kita bandingkan peristiwa
revolusi politik dunia
seperti Revolusi Prancis, Revolusi Amerika, Revolusi Rusia, dan bahkan Revolusi Indonesia, maka di samping kekhasannya
masing-masing revolusi tersebut, maka bisa pula diambil beberapa unsur kesamaannya, seperti mengandung sifat penjungkirbalikan
kekuasaan lama oleh kekuasaan baru secara cepat dan radikal (hukum revolusi). Unsur persamaan lainnya
terlihat dari proses pematangan (necessary condition) terjadinya
revolusi umumnya ditandai dengan terjadinya “deadlock” komunikasi antara kekuatan lama dengan kekuatan pembaharu (revolusioner). Unsur-unsur umum
dalam peristiwa-peristiwa sejarah ini bukan hanya menyangkut perang atau
revolusi tetapi juga menyangkut peristiwa-peristiwa penting lainnya, seperti
perkembangan budaya, ekonomi, sosial,sistem politik dan lain-lain.
Namun, seperti ditegaskan oleh Nugroho Notosusanto, unsur-unsur umum dari
peristiwa sejarah ini lebih disifatkan general
tendencies, bukan hukum-hukum pasti seperti hukum natural science.
Oleh karena itu, Nugroho lebih memilih istilah “kejadian massal” (mass occurrence) untuk menggambarkan
kecenderungan umum tersebut, sebagai lawan dari unique event
yang menjadi perhatian studi sejarah. Studi tentang kejadian massal ini sering disebut studi sejarah
teoretis (cf.Notosusanto,1964:65). Sifat atau konsep kejadian massal seperti
itulah yang menjadi dasar studi filsafat sejarah, terutama yang bersifat
spekulatif yang berupaya mencapai suatu pengertian tentang jalannya sejarah
secara keseluruhan seperti tampak pada karya-karya filosof terkenal Vico, Herder, Hegel, Toynbee, dan
lain-lain (Walsh,1970).
Timbul pertanyaan kemudian, mana di antara kedua pandangan tersebut yang
bisa dianggap lebih berdasar (benar) karena keduanya punya argumentasi
masing-masing. Nugroho
Notosusanto, yang mengutip hasil pengkajian dari “Social Science Research Council” di Amerika Serikat berkesimpulan :
“boleh dikatakan semua sejarawan menggunakan generalisasi di dalam
penulisannya, tetapi tingkatan penggunaannya tidak sama. Ada semacam spektrum
mulai dari mazab unik sampai mazab peristiwa massal seperti dianut filosof
sejarah” (Susanto,1979:6).
Lebih lanjut dapat
dikategorikan bahwa ada semacam rentang anggapan para sejarawan dari:
(1) yang sangat menekankan sifat unik peristiwa sejarah; (2) yang menggunakan
generalisasi dengan sangat terbatas; (3) yang berusaha menemukan benang merah
atau “trend” di dalam sejarah yang
memungkinkan mereka membuat sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang saling berhubungan
(interpretatif); (4) yang
berusaha menemukan episode-episode yang menunjukkan keteraturan yang sejajar
atau analog walaupun belum pasti punya hubungan kausal (komparatif); dan (5)
yang berusaha merumuskan
generalisasi-generalisasi dari peristiwa sejarah yang bahkan bisa dimanfaatkan
untuk meramalkan peristiwa-peristiwa yang akan datang (nomotetis).
Di ujung rentang ini, yang sebenarnya memanfaatkan anggapan-anggapan
kelompok nomor 3,4,5 yang mencari unsur-unsur
umum dalam sejarah adalah para filosof sejarah; namun berbeda dengan para
sejarawan, mereka ini (para filosof sejarah) memandang keumuman dalam peristiwa
sejarah terutama dari sudut pandang metafisis untuk menghasilkan apa yang
menjadi “makna dan tujuan keseluruhan proses sejarah” (the meaning and purpose of the whole historical process) (lihat
Walsh, 1970:26).
2.5 Karakteristik Bidang Kajian Filsafat Sejarah,
Ilmu Sejarah, dan Pendidikan Sejarah
Dilihat dari batang tubuh keilmuan
ketiga dimensi kajian sejarah ini memang bersumber dari bidang kajian yang
berbeda. Filsafat sejarah seperti yang kita ketahui memang merupakan
bagian/cabang khusus studi filsafat. Dengan demikian filsafat sejarah
sebenarnya merupakan studi filsafati yang bersifat supraempiris (menerobos
batas-batas dunia empiris/pengalaman) tentang peristiwa sejarah. Maka dari tiu,
seperti yang telah diungkapkan dalam bab I, sifat metodologi kajiannya memang
bersifat khusus, yaitu menyeluruh, mendalam, dan mendasar. Ini menyebabkan
filsafat sejarah lebih memperhatikan gambaran peristiwa yang utuh/menyeluruh
dari peristiwa kehidupan manusia baik dari fakta-fakta yang bisa ditangkap
dengan pancaindera maupun yang hanya bisa direnungkan/diimajinasikan (maka dari
objek studinya sering disebut noumena, lihat Ankersmith 1987: bab I dan bab
II). Kecenderungan seperti ini menyebabkan para filosof sejarah tidak
henti-hentinya mengajukan pertanyaan tentang gambaran peristiwa yang
dihadapinya sampai akhirnya terjawab yang menjadi tujuan utamanya yaitu “makna
dan tujuan yang ada di balik proses sejarah” (lihat Walsh,1970:26). Tujuan
seperti ini tentu sulit dicapai apabila filosof hanya dibatasi pada fakta-fakta
sejarah seperti yang bisa diungkapkan secara empiris oleh para ahli sejarah.
Apalagi para ahli sejarah sering lebih tertarik pada fakta-fakta dari
zaman-zaman (periode) tertentu saja atau dari wilayah yang terbatas. Jadi
sejarah factual yang sifatnya sepotong-sepotong tidak menjadi perhatian filosof
sejarah.
Dari gambaran di atas sudah
tergambar perbedaan studi filsafat sejarah dengan ilmu sejarah. Ilmu sejarah
adalah satu disiplin keilmuan (biasanya dimasukkan dalam kelompok ilmu-ilmu
humaniora) yang terutama mempelajari peristiwa masa lampau melalui jejak-jejak
yang ditinggalkan oleh peristiwa sejarah tersebut. Untuk itu studi sejarah
sebagai satu disiplin keilmuan telah mengembangkan perangkat metodologi seperti
heuristic, kritik, interpretasi dan penulisan gambaran/cerita sejarah (lihat
Widja,1988). Berbeda dengan filsafat sejarah studi sejarah terutama menaruh
perhatian pada fakta-fakta yang terkait dengan dunia pengalaman (fenomena)
kehidupan manusia diwaktu yang lewat. Dengan kata lain studi sejarah terutama
ingin membangun gambaran kehidupan masa lampau berdasarkan fakta-fakta yang
masih berada di dunia pengalaman tanpa berpretensi masuk jauh ke dunia
supraempiris (di luar dunia empiris). Ahli sejarah juga biasanya tidak berupaya
mengungkap hal-hal yang berada di balik dari peristiwa seperti menyangkut makna
gerak sejarah seperti yang sangat diperhatikan para filosof sejarah. Maka dari
tu untuk memudahkan mekanisme kerjanya para ahli sejarah sudah biasa membagi
sejarah atas dasar periode-periode tertentu atau memfokuskan studinya atas
dasar unit-unit sejarah tertentu seperti Sejarah Lokal, Sejarah Nasional
ataupun Sejarah Global/Universal. Bahkan ahli sejarah juga sejak pertengahan
abad 20 membuat focus yang lebih spesialistik dalam studinya seperti studi
Sejarah Sosial, Sejarah Pedesaan, Sejarah Kota, dan lain-lain. Model sejarah
yang terpecah-pecah ini justru dikritik oleh para filosof sejarah sebagai suatu
yang tidak menggambarkan sejarah yang sebenarnya. Mengenai pendidikan sejarah
(di sekolah), ini terutama menyangkut proses pendidikan/pembelajaran dengan
memanfaatkan hasil kajian sejarah untuk mencapai tujuan pendidikan seperti yang
biasanya tertuang dalam kurikulum sekolah. Dari sini bisa dipahami bahwa
pendidikan sejarah pada dasarnya adalah bagian dari ilmu pendidikan yang
terutama bertujuan menanamkan pada subjek didik hal-hal yang menyangkut
pengetahuan, keterampilan maupun sikap/nilai-nilai tertentu seperti yang
biasanya tertuang dalam peraturan perundang-undangan terutama yang terkenal
dengan sistem pendidikan. Bila kita berbicara tentang pembelajaran sejarah ini
berarti bahwa ada proses untuk menanamkan pada anak didik hal-hal yang
menyangkut pengetahuan sejarah, keterampilan yang bersumber pada studi sejarah
dan nilai-nilai serta sikap yang dijabarkan dari pengetahuan sejarah (lihat
Widja,1989).
Dengan demikian dari uraian di atas
kita ketahui filsafat sejarah, ilmu sejarah dan pendidikan sejarah
masing-masing merupakan bidang kajian yang berdiri sendiri dengan metodologi
dan tujuannya sendiri-sendiri pula. Namun demikian ketiganya juga saling
terkait seperti dibahas berikut ini.
2.6
Keterkaitan
Filsafat Sejarah, Ilmu Sejarah, dan Pendidikan Sejarah
Di antara ketiga bidang kajian ini, satu hal sudah jelas, yaitu bahwa
ketiganya menjadikan sejarah atau peristiwa masa lampau manusia sebagai fokus
objek studinya. Lebih dari itu ketiganya pula saling terkait karena di antara
ketiganya bisa dikatakan saling memerlukan untuk lebih memantapkan posisinya
masing-masing (cf. Pageh, 2010).
Seperti telah dibahas di atas,
filsafat sejarah, meskipun memiliki karakteristiknya sendiri, namun
memerlukan ilmu sejarah untuk mewujudkan
tujuan studinya, karena dibutuhkan
pengetahuan awal dengan pengetahuan mendalam tentang fakta dan eristiwa sejarah. Jadi, agar
filsafat sejarah mampu menemukan makna umum dan tujuan proses sejarah yang menjadi tujuan utamanya, membutuhkan dukungan fakta-fakta (metahistoris) yang kokoh terutama
memanfaatkan hasil kerja para
ahli sejarah.
Sebaliknya,
para ahli sejarah pada dasarnya memanfaatkan
pemikiran filosof sejarah
dalam karyanya, karena sebagai satu kajian keilmuan memerlukan landasan
yang kokoh untuk menguji kebenaran fakta-fakta yang dihasilkannya, agar mampu memantapkan gambaran sejarah
yang dibangunnya. Dasar-dasar untuk pengujian kebenaran fakta-fakta dan
kemantapan cerita sejarah ini adalah terutama menjadi perhatian utama filosof
sejarah.
Secara khusus penting
diperhatikan kaitan antara pendidikan sejarah dengan filsafat sejarah dengan
ilmu sejarah. Sudah jelas bahwa dalam pendidikan sejarah apa yang telah
dihasilkan oleh para ahli sejarah (baik berupa fakta maupun cerita sejarah)
akan sangat diperlukan sebagai substansi/materi utama dalam kegiatan
pembelajaran sejarah. Dengan kata lain, baik pengetahuan, nilai/sikap dan
keterampilan yang ingin ditanam oleh guru sejarah pada anak didiknya adalah
berupa fakta dan cerita yang dihasilkan para ahli sejarah. Tentu saja
bahan-bahan ini perlu diolah
oleh guru sejarah untuk disesuaikan dengan tujuan dan metode pembelajarannya
dan juga tentunya sesuai dengan tingkatan sekolah tempat pelajaran sejarah dilangsungkan.
Di lain pihak pendidikan sejarah juga memerlukan dukungan filsafat
sejarah karena melalui pendidikan sejarah juga ingin ditanamkan nilai-nilai dan sikap-sikap tertentu
pada pesertadidik. Seperti kita ketahui, penanaman
nilai yang bersumber dari kehidupan masa lampau dari suatu masyarakat biasanya
sangat terkait dengan pengungkapan makna dan tujuan gerak sejarah dalam
lingkungan masyarakat tersebut. Ini berarti, agar guru mampu menanamkan
nilai-nilai yang dinginkan, maka dia harus mengambil dan menyeleksi dari
berbagai pengungkapan makna sejarah yang telah dikembangkan oleh para ahli
filsafat sejarah. Memang, seperti yang dikemukakan oleh Lee (1983) dalam
tulisannya tentang “History Teaching and
Philosophy of History”, banyak hal yang masih perlu diklarifikasikan
tentang peranan filsafat sejarah dalam pembelajaran sejarah. Namun seperti yang
ditegaskan oleh Burston (1963) dalam bukunya “Principles of History Teaching”, pembelajaran sejarah mestinya
tidak hanya bersifat “rote learning”
(hafalan fakta belaka). Pandangan
ini sejalan dengan pandangan
beberapa ahli Hirst (1965), Bruner (1960) yang menekankan pentingnya hal-hal
yang bersifat struktural, konseptual, serta kritis dalam pembelajaran sejarah (Hasan, 2010).
Semua tersebut di atas berarti
perlunya guru sejarah memahami aspek-aspek yang lebih mendasar dan mendalam
dalam sejarah, yang hanya dimungkinkan bila guru sejarah lebih memperhatikan
proses sejarah secara lebih menyeluruh seperti dilakukan oleh filosof sejarah.
Dengan kata lain, dalam pembaruan
pembelajaran sejarah, guru
diharapkan tidak hanya mengarahkan murid untuk menghafal fakta-fakta belaka
yang sering dikritik menyebabkan murid tidak tertarik belajar sejarah, maka
pemahaman yang lebih mendasar tentang peristiwa sejarah perlu diperkenalkan
pada murid. Untuk itu para guru sejarah dalam kegiatan mengajarnya perlu
mengajak murid untuk membahas konsep-konsep serta struktur peristiwa sejarah
yang tentu saja harus disesuaikan dengan tingkatan usia siswa (lihat Widja,1991).
2.7 Can Be Learn To History (?)
Secara aksiologis
memberikan pembaca untuk menentukan pilihannya sendiri,
dibandingkan dengan menggurui jauh lebih bermakna dalam pembelajaran sejarah.
Oleh karena itu untuk melihat apakah sejarah itu penting atau bukan, diberikan
catatan akhir dalam tulisan ini, dengan mengajukan pertanyaan “dapatkah kita
belajar dari sejarah?”, yang acapkali muncul di benak banyak orang, bahkan di kalangan sejarawan
sendiri. Keingintahuan seperti itu muncul, karena seperti ditegaskan oleh
kalangan sejarawan, bahwa peristiwa sejarah bersifat unik sekali jadi tidak
dapat diulang kembali (einmalig)(Kartodirdjo,1992:153).
Ankersmit mengatakan “untuk
berguru, seyogyanya tidak
mengikuti sejarawan, melainkan sebaiknya ngikut pada ilmuwan ocus (1987:375). Persoalan generalisasi
dalam sejarah, seperti aksiologi ilmu-
ilmu postivis, sejarah paling
minim ocu menjadi perspektif dalam studi/pendidikan sejarah. Tegasnya meskipun
banyak sejarawan menyatakan sejarah tidak mungkin membuat peramalan, seperti
diungkapkan dalam kutipan berikut.
“The knowledge, the detailed knowledge of the past cannot, of
course, lead us, historians, to an infallible prediction of what will take
place tomorrow on the day after, but it can and must serve to a better
understanding of the present. And a good understanding of the present is one of
the best guarantees of a wise treatment of this present with a view to the
things which the future will bring us“( Renier, 1961:225).
Dengan dasar perkiraan di
atas ini, kiranya prinsip belajar dari masa lalu, bukan saja mungkin, tetapi
malah dianggap suatu keharusan dalam menjadikan manusia lebih beradab tidak tertubruk pada tiang yang sama dua
kali. Kajian sejarah mengajarkan, bagaimana dalam krisis
multidimensional harus bertindak, disebut
dalam adegium ‘historia magistra
vitae’ sejarah bertindak sebagai guru dalam kehidupan” (Ankersmit,
1987:374-375). Pernyataan ini sejalan dengan anggapan Carr, bahwa sejarah pada
hakikatnya “unending dialogue between the present and the past “ dialog berkelanjutan tanpa akhir sampai akhir
zaman (Carr,1972:35). Dari
dialog semacam itulah muncul pemahaman aksiologis reflektif-inspiratif sejarah yang memungkinkan manusia
belajar dari sejarah tentang berbagai pengalaman yang ocu dijadikan pedoman
dalam menghadapi permasalahan masa kini dan masa depan, dan menyadarkan secara lebih mantap tetang hakikat
jatidirinya sebagai makhluk
menyejarah. Seperti yang diucapkan oleh sejarawan Inggris berikut.
Knowing yourself means knowing what you can do; and since nobody
knows what he can do until he tries, the only clue to what man can do is what
man has done. The value of history, then, is that it teaches us what man has
done and then what man is (Collingwood, 1973:10 ).
Melalui makna sejarah seperti
ini, dapat dipahami betapa strategisnya fungsi sejarah dalam menghadapi
berbagai krisis dan permasalahan dalam kehidupan manusia, seperti yang pernah
dinyatakan oleh A. L. Rowse : “ … the truth is that without the sense of
history human life as we know it would unthinkable : history is as fundamental
to our life as that. Dari berbagai pernyataan dalam kutipan di atas kita mendapat
keyakinan tentang fungsi reflektif-inspiratif sejarah, dalam arti bahwa sejarah
dapat memberikan kearifan serta kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat dan
berbangsa, baik secara sosial maupun
politik, dengan Pancasila sebagai dasar filosofisnya (Sastrapratedja,
1998:68;Tjokrowinoto, 1998:37. Kearifan bangsa Indonesia secara bijak dapat mengambil nilai-nilai yang
berkembang di nusantara, sebagaimana dikembangkan oleh pendahulu negara, hal
ini mengingatkan pada ucapan Francis Bacon, “histories make man wise“
yang terkait dengan ungkapan orang Belanda, “a donkey does not twice hurt
itself on the same stone” (Renier,1969:19; Cf. Santoso, 1993:16).
Bertolak
dari situasi ini, banyak pihak pula menjadi curiga terhadap berbagai ocusa
mengkaitkan sejarah dengan proses reflektif-inspiratif yang memungkinkan
manusia ocu mengambil kearifan dari padanya. Sejarah yang sering dianggap
sebagai sumber moral precepts dicurigai, karena mudah menjelma menjadi instrumental
indoktrinasi untuk alat legitimasi ocusat kekuasaan (Oakeshott,1962:165). Demikian juga ungkapan sejarah
sebagai penumbuh-kembang terhadap “understanding of the present and the future“
dengan terang- terangan dikritik habis oleh Elton, yang dikatakan tidak
terbukti, sehingga komentar lanjutannya, “ … any use of the past try to
throw light on the present is a cardinal error“ ( Elton, 1967:148).
Pendidikan
sejarah sekolahan di Amerika Serikat pernah muncul suasana yang sangat
pesimistis terhadap dimensi reflektif histories. Hal ini terbukti dengan
munculnya serangkaian artikel yang seperti tidak percaya lagi pada keberadaan
pelajaran sejarah di sekolah. Beberapa artikel yang bermunculan di berbagai
media menampilkan judul- judul seperti : “Why Study History ? “, atau “The Erosion of History
“, “Clio at the Crossroads “, atau bahkan “The End of History “
(lihat Bain & Mirel, 1982 : 229). Malah ada judul yang tajam menyarankan “Let’s
Abolish History Courses“, ini muncul dalam majalah pendidikan terkenal Phi Delta Kappan (lihat Wesley,
1967:3-8). Jadi ada jiwa zaman atau suasana Cliophobia di
lingkungan pendidikan sejarah, dengan muara seperti yang dikatakan oleh seorang
sejarawan terkenal, “I am very doubtful wether history teachs anyone
anything“ (Pratt,1974:411 ). Atau seperti yang secara polos
ditegaskan oleh Elton, “in the very real sense, history is not a good
subject to teach children, or rather the real thing, academic history is
the wrong thing for them “ ( Elton,1967: 146 ).
Meskipun
arus pemikiran seperti digambarkan di atas itu tidak benar- benar melenyapkan
posisi reflektif-inspiratif historis di dunia pendidikan, namun sedikitnya
cukup mengganggu eksistensi dari pendidikan sejarah. Karena di lain pihak pada
hakikatnya banyak pihak yang tetap melihat bahwa dimensi kearifan dan kebajikan
bermasyarakat dan bernegara banyak
dapat diambil dari peristiwa sejarah (Siswomihardjo, 1998:3; Kartodirdjo, 1998:15). Khusus kasus di
Indonesia, seperti berulang- ulang diingatkan oleh sejarawan kondang UGM
Sartono Kartodirdjo, tentang arti penting sejarah bagi pembentukan jatidiri dan
pembangunan kepribadian bangsa secara luas (lihat Kartodirjo:1990). Di sini
posisi sejarah masih cukup dihargai, baik di kalangan sejarawan professional
(peneliti). Naupun sejarawan pendidik (guru
sejarah), meskipun terkadang muncul sorotan tajam tentang cara sejarawan
pendidik dalam memetik pelajaran atau hikmah dari peristiwa sejarah, dianggap
kurang kritis atau tidak mengikuti ocusativ kajian sejarah kritis, sehingga
terkesan monetun dan membosankan dalam pembelajarannya di sekolah (lihat Abdullah, 1996; cf. Alfian, 1998:23).
Bangsa
kita tidak sukses dalam mengembangkan penulisan sejarah yang mengembangkan jiwa
toleransi, terutama semangat menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan (as actuality) dalam kehidupan antaretnis
(to life together), yang ditampilkan dalam perjalanan sejarah, sebagai
suatu kearifan yang memudahkan terwujudnya kehidupan berbangsa dengan motto
“bhineka tunggal ika” itu, dengan semangat “manyama
braya berdasar semangat salunglung
sabayantaka”. Semangat seperti itu, nampaknya perlu ditampilkan kembali,
terlihat banyak label baru diberikan seperti diistilahkan dengan pendidikan
“multikulturalisme” sebagai suatu solusi ocusative dalam menghadapi krisis yang
berkepanjangan. Sikap kritis, nampaknya masih dibutuhkan untuk melakukan
dekonstruktif sejarah yang adaptif dalam merespons tuntutan jiwa
zaman (zeitgeist) dan ikatan budaya
zaman (cultuurgebudenheid).
Pemikiran di atas dan berbicara
masalah membangkitkan jiwa yang cerdas menghadapi tuntutan zaman sebenarnya
tidak lepas dengan proses pendidikan sejarah yang secara ideal semuanya menuju
(bermuara) pada terbangunnnya sosok subjek didik yang cerdas dan kritis. Subjek
didik yang cerdas dan kritis ini, tidak lain dari pada manusia yang memiliki
karakter yang utuh antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional,
kecerdasan kenestetik, dan kecerdasan spiritual, untuk menghadapi berbagai
fenomena kehidupannya.
Ketidakmampuan dalam merespons berbagai kondisi lingkungannya, secara kritis,
adaptif, luwes dalam menghadapi berbagai bentuk perubahan zaman, baik perubahan
eksternal maupun internal. Bila hal ini kemudian dihubungkan dengan penanaman
nilai-nilai sejarah sebagai salah satu fungsi pengajaran sejarah, maka hal-hal
yang diharapkan, yaitu tumbuhnya jiwa bebas, kritis, adaptif yang diyakini ocu
dikembangkan melalui berbagai strategi/metode pembelajaran sejarah. Dengan kata lain, pendidikan/pengajaran
sejarah semestinya bebas dari sifat instrumental dalam pengembangan jiwa anak
dalam mempelajari dan memahami sejarah bangsanya. Hanya dengan cara seperti itu
para siswa mampu secara bebas dan kreatif memungut nilai-nilai (kecerdasan dan
kearifan) terbaik dari sejarah, sebagai bekal bagi peserta didik berpartisipasi
dalam ikut mengkontruksi sejarah bangsanya di masa depan, seperti yang kita
diidam-idamkan, kinerja ideal seorang sejarawan pendidik (Hasan, 2010).
Secara
konseptual memang sejarah masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia,
namum dalam pendidikan sejarah dibutuhkan sinergi antara filosof sejarah,
sejarawan profesional dan sejarawan pendidik untuk menhasilkan pendidikan
sejarah yang bebas dari kepentingan penguasa, tapi berpihak pada kepentingan
kehidupan bersama sebagai nation state
dalam upaya pengembangan caracter building
bangsa di Indonesia.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Di lihat dariobjek kajian, metodologi dan tujuan yang
ingin dicapai, filsafat sejarah, ilmu sejarah, dan pendidikan sejarah merupakan
bidang kajian yang berdiri sendiri-sendiri. Namun demikian di antara ketiganya
terlihat adanya saling keterkaitan, di samping karena sama-sama menjadikan
peristiwa masa lampau sebagai substansi utama kajiannya, tetapi juga di antara
ketiganya saling memerlukan untuk memantapkan bidang kajian masing-masing. Seperti ada hubungan hierarkhis antara
filsafat sejarah (paradigma), ilmu sejarah (efistimologis) dan pendidikan
sejarah (aksiologisnya).
Filsafat sejarah memerlukan hasil-hasil studi ilmu
sejarah karena apapun yang menjadi tujuan akhir filsafat sejarah selalu harus
diawali/bertolak dari fakta-fakta sejarah yang merupakan ocus utama kegiatan para ahli sejarah.
Sebaliknya ilmu sejarah juga memerlukan dukungan filsafat sejarah karena untuk
mewujudkan fakta sejarah yang benar dan kokoh diperlukan cara-cara pengujian
kebenaran fakta sejarah (filsafat
kritis) yang merupakan satu aspek yang didalami para filosof sejarah.
Juga dalam mewujudkan gambaran/cerita
sejarah yang mantap yang juga menjadi perhatian utama ilmu sejarah banyak
memerlukan dukungan dari aspek lain dari filsafat sejarah, yaitu yang mencoba
memahami kekuatan penggerak, pola, dan arah proses sejarah (filsafat sejarah
spekulatif).
Secara khusus pendidikan sejarah juga sangat memerlukan baik ilmu sejarah maupun filsafat
sejarah. Pendidikan/pembelajaran sejarah memerlukan ilmu sejarah karena bahan
dasar (substansi/materi) pelajaran sejarah adalah fakta-fakta serta cerita
sejarah yang dihasilkan oleh para ahli sejarah. Sedang pendidikan/pembelajara
juga memerlukan dukungan para ahli filsafat sejarah terutama untuk menghindarkan
karakteristik pelajaran sejarah yang hanya bertumpu pada pengajaran fakta
sejarah belaka. Dalam rangka
pembaharuan pembelajaran sejarah yang lebih menekankan pengajaran konsep
ataupun struktur peristiwa sejarah, sumbangan dari kajian filsafat sejarah
sangat diperlukan dalam membantu guru
untuk menemukan struktur serta memilih konsep-konsep penting dari peristiwa
sejarah (cf. Widja, 2002).
Dengan
uraian di atas sejarah masih sangat dibutuhkan secara filosofis, konseptual dan
pendidikan nilai keilmuan dan kemanusiaan oleh bangsa Indonesia dalam
pembangunan karakter bangsa dan menjaga NKRI di era globalisasi.
B. Saran-saran
1.
Disarankan
pada pilosof (ahli pilsafat), sejarawan profesional (sastra sejarah) dan
sejarawan pendidik (guru sejarah) melalui lembaganya untuk bahu membahu dalam
membumikan hasil kajiannya ke dalam dunia pendidikan, sehingga pendidikan
sejarah dapat memiliki penuh makna (meaningfull)
dalam pendidikan sejarah.
2.
Disarankan
agar terjadi sinergi antara filosof sejarah, sejarawan profesional dan
sejarawan pendidik untuk mengembangkan materi pembelajaran sejarah dari seluruh
tingkatan pendidikan. Secara konseptual memang sejarah masih sangat dibutuhkan
oleh masyarakat Indonesia, namum prakteknya di dunia pendidikan sejarah
diharapkan tidak membosankan, tidak menjadi beban kurikulum, dan memiliki makna
dalam kehidupan bersama.
3.
Disarankan
agar dalam pendidikan sejarah (aksiologis) menggunakan pemikiran-pemikiran
baru, dalam mengembangkan nasionalisme dengan kemasan baru teori posmodernisme
dan posstrukturalisme, atau sejarah kritis, sehingga sejarah tidak menjadi
instrumental dari penguasa, tetapi menjadi kepentingan hidup bersama (life together) dalam mengemban empat
pilar kebangsaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik.
1996. “Pengajaran Sejarah yang Reflektif dan Inspiratif”, Artikel dalam Jurnal Sejarah No. 6 Februari 1996. Hal.
1-16.
|
Alfian, Teuku Ibrahim. 1998. “Nasionalisme dalam
Perspektif Sejarah, dalam Jurnal
Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis,
dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.
|
Ananda, Yussac F. 1995. “Editorial: Mengukir Emas
Dengan Sejarah”, dalam Majalah Sintesa,
Mahasiswa UGM, hal.4.
|
Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah,
Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat SejarahI. Dick Hartoko (penerjemah).
Pt Gramedia: Jakarta.
|
Atmadja, Nengah Bawa. 2010. ”Sejarah Sebagai Sekolah
Moral Versus Super Market Sekolah Adab XXI dan Memudarnya Kesejatian Hidup”,
dalam I Made Pageh dan Nengah Bawa Atrmadja (ed.)Sejarah Kearifan Berbangsa: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran
Sejarah. Undiksha dan Pustaka Larasan: Denpasar.
|
Bain, Robert and Mirel, Jeffrey. 1982. “Re-inacting the Past: Using
Collingwood at the Secondary Level”, dalam The History Teacher, Vol. XV,
No.3.
|
Bruner, J.1960. The Process Of Education. New York: Harvard University Press.
|
Burston, W.H. 1963. Principles of History Teaching. London
Routledge & Kegan Paul.
|
Carr, E.H. 1972. What is
History. Pinguin Books: Midlesex.
|
Collingwood, R.G.1973.The Idea of History. London: Oxford
University Press.
|
Daniels, Robert V.1981.Studying History:How and Why. New
Jersey: Prentice Hall Inc.
|
Elton, G.R. 1967. The Practice
of History. Sidney: The Fontana Library.
|
Gazalba, Sidi.1966.Pengantar Sejarah sebagai Ilmu.
Jakarta: Bharatara.
|
Hasan, Hamid,
2010.” Pembelajaran Sejarah yang Mencerdaskan: Mungkinkah?, dalam I Made
Pageh dan Nengah Bawa Atrmadja (ed.)Sejarah
Kearifan Berbangsa: Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah.
Undiksha dan Pustaka Larasan: Denpasar.
|
Hirst, P. 1965. ”Liberal Education and
The Nature of Knowledge”, dalam Philosophical
Analysis and Education (R.D. Archambault,ed.)
|
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. PT. Gramedia: Jakarta.
|
Kartodirdjo, Sartono. 1998. “Beberapa Dimensi Fenomena
Nasional dan Negara Kebangsaan (Nation
State), dalam Jurnal Filsafat
Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis, dan
Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.
|
Lee, P.J.
1983. ”History Teaching and Philosophy of History”, dalam History and Theory: Studies in Philosophy
of History, Vol.XXII, No.4.
|
Renier,
G.J.1961.History: Its Purpose and
Method. London: Goerge Allen & Union.
|
Meyerhhoff, Hans. 1967. The Philosophy of History in Our Time: An Antology. Doubleday
Anchor Books: New York.
|
Notosusanto,
Nugroho.1964.”Teori Sejarah”, artikel dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia No.1, Jilid 2 (Februari).
|
Oakshott, M. 1962. Rationalism
in Politics and Other Essays. London:Methuen.
|
Pageh, I Made. 2010. Buku Ajar:Filsafat Sejarah: dalam
Perspektif Pendidikan. Undiksha: Sinagaraja.
|
Pageh, I Made. 2010. Respons
Para Pemikir Pendidik: Sebuah Pengantar, dalam I Made Pageh dan Nengah Bawa
Atrmadja (ed.)Sejarah Kearifan Berbangsa:
Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah. Undiksha dan Pustaka
Larasan: Denpasar.
|
Poespowardojo, Soerjianto. 1999. “Menuju Integrasi
Bangsa Indonesia Masa Depan”, artikel dalam Jurnal SEJARAH, no: 8.
|
Pratt, David. 1974. The
Function of Teaching History”, dalam The
History Teacher, Vol. VII, No.3.
|
Purwanto, Bambang & Asvi
Varman Adam. 2005. Menggugat
Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
|
Santoso,
Boedhi. 1993. Mengelola Masyarakat Multy-Etnik dalam Sebuah Negara Bangsa (Etat Nation), dalam Jurnal Kritis: Pluralisme di Penghujung
Abad XX , No. 2 Th VIII. Desember 1993, Universitas Kristen Satya Wacana: Salatiga.z
|
Puwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Penerbit Ombak: Yogyakarta.
|
Sastraoratedja, M. 1998. “Pancasila Sebagai Etos
Pembangunan Nasional”, dalam Jurnal
Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis,
dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.
|
Siswomihardjo, Koeto Wibisono, 1998. “Wawasan Kebangsaan
dalam Era Reformasi, dalam Jurnal
Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis,
dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.
|
Suparlan, Parsudi. 2000. “Masyarakat Majemuk dan
Perawatannya”, artikel dalam Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA, no: 63, tahun
XXIV.
|
Suryasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat
Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
|
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1998. “Nasionalisme dalam
Perspektif Politik, dalam Jurnal
Filsafat Pancasila: Nasionalisme dalam Perspektif Historis, Politis, Yuridis,
dan Filosofis. No.2, Thn II, Desember 1998.
|
Toynbee, 1988. Menyelamatkan Hari Depan Umat Manusia.
Nin Bakdi Sumanto (penerjemah), University Press: Yogyakarta.
|
Toynbee, A.J. 1956. A Study of History (Abridgement of
Vol. I – IV by D.C. Somervell). London: Oxford University Press.
|
Triyono, Lambang. 1996. “Globalisasi, Modernitas dan
Krisis Negara Bangsa: Tantangan Integrasi Nasional dalam Konteks Globalisasi,
artikel dalam ANALISIS CSIS, no: 2, tahun XXV.
|
Walsh, W.H. 1970. An Introduction
to Philosophy of History. London : Hutchinson University Library.
|
Wesley, Edgar Bruce, 1967. “Let’s Abolish History Courses” dalam
Phi Delta Kappan, September.
|
Widja, I Gde. 2002. Menuju Wajah Baru Pendidikan Sejarah. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta.
|
Widja, I Gde. 1991. “Pendidikan Sejarah dan Tantangan
Masa depan”, Pidato Pengukuhan Guru besar pada FKIP UNUD Singaraja.
|
Widja, I
Gde.1988. Pengantar Ilmu Sejarah.
Semarang: Satya Wacana.
|
Wijdja, I Gde.1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi serta Metode Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Dept. P&K.
|
Wikiepedia.org.com. Tokoh George Ritser .
|
Zaccaria, Michael A. 1978. “The Development of
Historical Thinking: Implication for The Teaching of History”, Artikel dalam
Jurnal THE HISTORY TEACHER, no: 3, vol. XI.
|