PERANG PUPUTAN JAGARAGA DALAM PERSPEKTIFBELA NEGARA
Oleh
Prof. Dr. I Made Pageh, M.Hum.
1.
Latar
Belakang
Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh
kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin
kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan syarat-syarat
tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan
berbakti pada negara dan kesediaan berkorban membela negara. Perspektif bela
negara itu sangat luas, dari yang paling halus, hingga yang paling keras. Mulai
dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman
nyata musuh bersenjata. Tercakup di dalamnya adalah bersikap dan berbuat
yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Unsur Dasar Bela
Negara : Cinta Tanah Air; Kesadaran Berbangsa & bernegara; Yakin akan Pancasila sebagai ideologi Negara; Rela berkorban
untuk bangsa & Negara; Memiliki kemampuan awal bela negara. Contoh-Contoh Bela Negara:
Melestarikan budaya; Belajar dengan rajin bagi para pelajar; Taat akan hukum
dan aturan-aturan Negara; Mencintai produk-produk dalam negeri (Wikipedia,
diunduh tanggal 15-12-2015).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara untuk memperingati
berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dibentuk 19 Desember
1948, dengan presidennya Amir Syafrudin Prawira Negara. "Saya telah
mengeluarkan Keputusan Presiden yang menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela
Negara," katanya di Pelabuhan Teluk Bungus Padang saat memperingati Hari
Nusantara. Pada acara yang turut dihadiri ibu Ani Yudhoyono, Presiden
menyatakan, pembentukan PDRI 1948 terpaksa dilakukan karena pemerintahan pada
saat itu sudah tidak bisa melaksanakan tugasnya. Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta tidak bisa melaksanakan tugasnya karena desakan
Belanda. www.depdagri.go.id 19/12
Perang Jagaraga merupakan Perang Puputan pertama dalam sejarah perlawanan
menentang kolonialisme Belanda di Bali. Dominasi ini terjadi dalam rangka
menguasai geopolitik dan geostrategis dalam mewujudkan politik Pax
Neerlandica, atau dalam konteks persaingan
imperialisme dan kapitalisme Belanda dengan Inggris. Pusat pedagangan Belanda
di Kuta, setelah Jagaraga jatuh, dipindahkan secara administratif dari Kuta --melalui Mads Lange-- ke Bali Utara. Belanda melihat potensi
ekonomi pantai Bali Utara jauh lebih baik
dibandingkan dengan Bali Selatan. Daerahnya terbuka dan lebih menguntungkan dijadikan pusat politik dan perdagangan.
Ambisi pemindahan pusat pemerintahan
ke Bali Utara,
di samping faktor geopolitik dan geostrategis
tersebut di atas,
juga terkait dengan persaingan
dagang dengan penjajah Inggris
(Parimartha, 2002; Pageh, 1998).
“Mati ring rana nemu swarga“, menjadi dasar ideologis perang puputan
di Bali. Perang Jagaraga memiliki kronologis latar belakang: (1) diawali dengan terdampar dan
tergeledahnya dua kapal berbendera Belanda di Pantai Purancak dan Pantai
Sangsit, dengan kejadian itu, maka (2) pemerintah Belanda mengintimidasi akan menyerang raja Buleleng, karena melakukan pelanggaran kesepakatan tahun 1843, agar tidak memberlakukan
“Hak Tawan Karang”. Dituntut (dapat diampuninya), (3) kalau mau nyerahkan Patih
Jelantik sebagai ganti ruginya, menjadi tawanan politik Belanda. Menyerahkan
Patih Jelantik menjadi persoalan bagi raja Buleleng, karena Patih Jelantik
sangat karismatik, maka raja tidak kuasa menyerahkan Patih Jelantik, sehingga
menyerahkan permasalahan itu keputusannya pada patih Buleleng ini. Tentu
Jelantik dan laskarnya mengadakan perlawanan “bela diri dan bela Negara”.
Negara dalam konteks ini adalah tanah kelahirannya, kerajaannya, rakyatnya yang
kini mejadi bagian dari NKRI 17 Agustus 1945, berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
2.
Pertunjukan
Drama Bela Negara Orang Bali.
Jagaraga
merupakan wilayah NKRI yang berada Bali Utara di sebelah timur kota Singaraja. Dengan
jarak tempuh sekitar 20 menit dari Singaraja.
|
Perang
di Bali Utara merupakan
pertunjukan dramatis pertemuan antara pasukan tradisional
dengan senjata modern
barat seperti: meriam, mortir, houwizer dan senapan api, melawan senjata
tradisional seperti keris, tombak, panah, cuntrik, pedang, kelewang dan
sumpitan yang diisi “racun getah ancar”
di oleskan pada ujung anak panah dan sumpitnya. Namun di baliknya dipercayai memiliki kekuatan
magis, sehingga keberaniannya dalam perang heroik itu,
karena adanya kepercayaan terhadap kekuatan magisnya, di samping
pilosofi dan keyakinan bahwa “mati ring rana swarga”, artinya mati dalam perang menemukan surga. Inilah dasar patriotisme dalam perang-perang puputan
di Bali, di samping faktor kepemimpinan karismatik yang taktis
dan penuh perhitungan rasional yang ditunjukkan oleh Patih Jelantik. Di pihak
lain, pasukan Belanda
terdiri dari pasukan altereli, kavalri, genie serta staf administratif dan
kesehatan. Belanda lebih banyak menggunakan tentara bayaran dalam perang
Jagaraga. Sedangkan laskar Jagaraga terdiri dari gabungan beberapa laskar
bantuan dari simpatisan kerajaan lain di Bali
(Sastrodiwiryo,1994:104).
Perbandingan
jenis senjata dalam perang di Buleleng (Gambar 01).
Gambar 01: Perbandingan
Senjata Modern dengan Senjata Tradisional Bali.
Tawan Karang itu adalah hak adat yang sudah diwarisi
turun temurun, dan siap membela warisan nenek moyangnya. Karena diketahui usaha kolonial untuk mempertahankan motif-motif ekonomi
dengan mematikan hak-hak adat yang telah diwarisi menjadi milik rakyat pinggir
pantai. Hak Tawan
Karang sesungguhnya bukan hanya ditemukan di Bali, juga
diberlakukan di kepulauan Tanimbar dan Kalimantan Tenggara, dengan demikian hak
tawan karang adalah suatu lembaga adat yang mempunyai segi-segi religius dan
ekonomis, maka dimaknai tidak dapat dihapus sepihak begitu saja.
Asisten residen Basuki Maijor langsung datang
meratifikasi perjanjian penghapusan Hak Tawan Karang pada bulan Mei 1845. Namun ditolak oleh raja Buleleng, karena belum
sempat koordinasi dengan Patih Jelantik. Penolakan ini menjadi penyebab Perang Buleleng. Tugas
Maijor ke Bali menyampaikan ketentuan-ketentuan perjanjian
dan ancaman jika tidak dipenuhi, seperti
disebutkan oleh Soehartono, sebagai berikut.
Pertama, melaksanakan ketentuan perjanjian tahun 1843, bahwa raja Buleleng menjadi bagian dari Hindia Belanda. Kedua,Buleleng
harus mengganti rugi kapal yang dirampas oleh penduduk Jembrana dan Sangsit. Ketiga, telah menghina utusan Belanda. Keempat, tidak menjawab surat Gubernur Jenderal. Kelima,
tidak mengibarkan bendera Belanda (1973:212).
Tuntutan
kolonial Belanda itu melanggar hak-hak kerajaan yang berdaulat, pemahaman
perjanjian yang pernah dibuat tidak lebih sebagai sebuah perjanjian
persahabatan, bukan perjanjian pengakuan hak politik mengendalikan kekuasaan
raja dan adat tradisional yang telah dilaksanakan secara turun-temurun. Ketentuan di atas dianggap melanggar oleh sehingga
ditolak I Gusti Ketut
Jelantik,
dengan menghina utusan
Belanda dihadapan raja dan para punggawa yang hadir di kerajaan Klungkung, dengan kata-kata pedas dan penuh permusuhan, sebagai berikut:
Hai kau utusan anjing besar”, dan katanya lagi “sampaikan perkataanku pada
pimpinanmu di Jawa dan suruh pula ia dengan lekas menyerang Bali Utara.
Kerahkan anjing putihmu itu.” Jelaskan Buleleng tidak gentar melawan
serdadu-serdadu Belanda. Selama itu Dewa Agung tidak berbicara
sedikitpun karena gusar hatinya. Para punggawa kerajaan
dan bangsawan tepekur mendengar kata-kata Gusti Ketut Jelantik itu (Soehartono, 1973:213).[1]
Perundingan
dilakukan dengan Raja Karangasem dan Raja Klungkung dengan mengirim I Gusti
Ketut Jelantik sebagai utusan Raja Buleleng. Tepat jam 08.00 pagi tanggal 27
Juni 1846 akan habislah waktu 10 hari yang diberikan itu.
Utusan Belanda ke Batavia dan Patih Jelantik ke Buleleng,
sementara persiapan perang terus dilakukan. Daerah Jembrana dan Buleleng
dipersiapkan dengan membangun kubu-kubu dan pagar-pagar bambu dan
rintangan di daerah yang
kemungkinan didarati Belanda.
Daerah Buleleng terutama di daerah Kampung Bugis, dan Kampung Pacinan Kampung
Tinggi, di sekitar Pelabuhan Buleleng, Pelabuhan Sangsit dibangun benteng-benteng pertahanan berupa galian
tanah sebagai perlindungan dan tempat-tempat persembunyian dalam persiapan
melawan pasukan Belanda yang “sudah dibayangkan” menggunakan senjata-senjata modern. Laskar
raja Karangasem, Mengwi dan
Tabanan, bersedia membantu Buleleng, mereka bersama-sama membuat pertahanan untuk menghadapi
serangan Belanda (Soehartono, 1973:214). Pasukan Buleleng yang terdiri dari orang-orang Bali,
Melayu, Bugis, dan Cina bersatu melawan musuh. Menggunakan senjata tombak,
keris, panah, sumpitan dan kelewang. Ada sekitar 2000 tombak dan keris. Tiang tombak menggunakan kayu
Jabung panjangnya 3-5 m; sedangkan sumpitan panjangnya sekitar 2,5 m di bagian
ujungnya diisi pisau kecil dan beracum. Dalam tulisan
Soehartono (dalam Sartono Kartodirdjo) diuraikan Patih Jelantik adalah sangat ahli memanah,
kebal, cerdas, dan karismatik. Busur panahnya memiliki panjang sekitar 1,6 m dan talinya menggunakan rotan,
kulit kerbau dan kulit menjangan, anak panahnya diisi racun dari Getah Pohon Ancar, racun yang sangat mematikan.
Jumlah semuanya ada 70 orang perwira dan 1.753 serdadu. Mereka terdiri dari
400 orang Eropa, 700 bumi putra, 100 Afrika dan 582 orang budak dan prajurit
pembantu. Sedangkan Angkatan lautnya di
bawah komando Schout Bij Nacht van den Broeke. Terdiri dari 5 buah kapal laut,
12 buah Kruisboot masing kapal membawa Kanon dan 6 buah Perahu Mayang. Devisi
pendarat terdiri dari 600 orang pelaut di bawah Kapten Letnan A.J. de Smith van de Broeke, mereka membawa 34 pucuk senjata (Soehartono,
1973).
Namun karena persenjataan Belanda menggunakan senjata
berat dan menghancurkan rumah-rumah penduduk, raja Buleleng dan Patih I Gusti Ketut Jelantik bersama
Brahmana Ida Bagus Tamu mengungsi ke Desa Jagaraga,
ke benteng yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Perang berlangsung selama tiga hari dari tanggal 27,
28, 29 Juni 1846. Dengan keberanian pasukan Buleleng sangat luar biasa, walaupun dalam
perang itu Buleleng dapat ditundukkan, tetapi perlawanan belum selesai (Soehartono,1973:217). Kekalahan Puri Buleleng dalam Perang Buleleng tahun 1846 bukan
berarti penyerahan kepada kolonialisme Belanda, karena kekuatan pasukan
Buleleng dikonsentrasikan di Benteng Jagaraga.
3.
Perang
Jagaraga I
Perjanjian Belanda yang sangat mengikat dilanggar oleh
Karangasem dan Buleleng, sehingga Belanda merasa ditantang pada Tanggal 7 Maret 1848, Gubernur Jenderal Rochussen memerintahkan untuk menyerang Bali kedua
kalinya. Diangkat Gubernur
Jenderal diangkat J. van der Wijck sebagai panglima ekspedisi. Pada tanggal 8 Juni 1848 pasukan
Belanda mendarat di Pantai Sangsit, langsung mengeluarkan ultimatum bahwa dalam
14 hari pasukan Buleleng, Karangasem dan Klungkung harus menyatakan diri
menepati perjanjian tahun 1846. Permintaan yang paling menghina adalah raja
Buleleng harus menyerahkan I Gusti Ketut Jelantik akan dikenakan hukuman politik. Kapal-kapal penduduk dirampas dan benteng-benteng harus
dibongkar. Dalam ekspedisi itu Belanda menggunakan kekuatan penuh, karena tidak
mau mengulang kekalahan dalam ekspedisi kedua ini, dikenal dengan Perang
Jagaraga I tahun 1848.
Pasukannya diikuti oleh komisaris Letnan Kolonel A.H.W.
de Kock dan ajudan J. Van
der Capellen beserta stafnya 10 perwira tinggi, puluhan staf kesehatan dan administrasi. Belanda menggunakan kekuatan
penuh dalam menyerang Jagaraga. Pertempuran sudah terjadi di daerah Bungkulan,
karena laskar Bali mengadakan pengintaian menggunakan rmuah-rumah penduduk,
parit dan pematang sawah
yang memang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Van der Wick juga memerintahkan mengadakan pengintaian, tanggal 6 Juni 1848
itu pasukan Belanda berada di depan Pura Sangsit dan Bungkulan.
Di medan perang Bungkulan
berhadapan laskar Bali dengan kolone I dan III yang membawa senjata berat, terus menghalau pejuang Bali ke
selatan memasuki daerah bebukitan gersang, terjal penuh gundukan dan pohon
kaktus. Kolone IV dari sebelah kiri, sedang kolone II belum keluar dari
perlindungannya.
Pasukan Jagaraga bertahan di pematang persawahan,
sedangkan pasukan Alteleri Belanda terhalang oleh gundukan sawah yang tinggi, sehingga sulit memasuki daerah pedalaman.
Pertempuaran di Bungkulan Belanda dapat menduduki Pura di Bungkulan, namun
terjadi korban jiwa yang menewaskan Letda Infantri J.M.M Wichers dan 7 serdadu,
seorang perwira, dan 7 anak buahnya luka-luka. Pasukan Belanda
terus mendekat
ke Jagaraga dengan medan yang
makin terjal dan persawahan luas, dengan sungai di kanan dan kirinya.
Pada Jagaraga jarak sekitar 600 meter,
kelihatan dua benteng besar yaitu benteng II dan IV berupa benteng
tertutup.
Benteng IV dekat dengan
Tukad Sangsit yang dilengkapi dengan Meriam. Sedangkan benteng II berbentuk
persegi
empat. Tiap benteng itu berpagar bambu
dan kayu, dengan tinggi dinding tiga meter dengan ketebalan dua meter. Parit-parit dibuat mengelilingi
benteng dengan kedalaman 8 m dan lebarnya 3 m.
Jalan-jalan dirintangi dengan bambu dan pohon dadap berduri, dan
tiap benteng
dihubungkan dengan parit-parit yang dipasangi bambu runcing, dan
“sungga” pecahan bambu tajam kecil-kecil. Di persimpangan jalan ada benteng pertahanan,
dengan sisinya sekitar 50 kaki, tinggi 5 kaki dan tebalnya 3 kaki, pertahanan
ini berhadapan dengan Sungai Bungkulan yang sangat dalam di timurnya. Tidak
jauh dari benteng itu terdapat Pura Dalem Jagaraga dikelilingi oleh Penyengker dari
paras yang kuat, terletak
sekitar 80 langkah disebelah Barat Benteng II. Di depan Pura Dalem ada pos penjagaan tempat mengintai pasukan Belanda yang
datang dari Utara. Pertempuran di benteng
II, Belanda dibuat
kocar-kacir sehingga Kapten Maanen dibantu oleh Kapten Kallerman, terpaksa menghujankan mortir sehingga
memaksa pasukan Bali masuk
ke benteng
pertahanannya. Perang hebat terjadi,
mengorbankan sekitar 60 laskar Bali
dalam mempertahankan Benteng Jagaraga. Pasukan Belanda merasa kawalahan melawan laskar Bali. Pasukan terlatih pun mengalami kepanikan dalam
menghadapi serangan-serangan mendadak pasukan Jagaraga. Karena benteng pertahanannya tidak diketahui secara pasti,
dan membingungkan pasukan Belanda.
Van Sweiten berusaha menghancurkan benteng IV, perkelahian
seperti perang tanding antar geng terjadi dimana-mana, sehingga akhirnya Mayor Vos
memerintahkan untuk mundur, untuk menghindari korban nyawa
lebih banyak. Dalam pertempuran
itu pihak Belanda terhitung menjadi korban: (1) tewasnya Kapten Donleben, (2) Letnan Uhlenbeck dan (3) 74 serdadu. Dan korban luka
sebanyak 7 orang perwira dan
98 serdadu. Pasukan
Kavaleri kehilangan 7 kuda dan ratusan kuli-kuli dalam perang itu. Jendral van der Wijck menarik seluruh kolone mereka
tanggal 20 Juni 1848 menuju Bungkulan dan Pelabuhan Sangsit
(cf.Soehartono, 1973; Weitzel, 1859).
Hasil
Perang Jagaraga tahun 1848 laskar Buleleng dapat mengusir pasukan Belanda dari Jagaraga, dengan demikian dapat dikatakan
pertempuran itu dapat dimenangkan oleh pasukan Buleleng yang terdiri dari
pasukan Buleleng, Karangasem, Klungkung yang diperkirakan berjumlah 7000-8000
prajurit, yang sangat jauh besarnya dari
perkiraan Belanda semula. Demikian juga Benteng Jagaraga tidak terbayangkan sebelumnya, sehingga taktik perang modernnya yang
diterapkan Belanda sama sekali
tidak dapat mengatasi serbuan laskar Bali di daerah Jagaraga. Kegagalan Belanda kali
pertama itu, tidak menyurutkan kehendaknya untuk menundukkan Bali, sehingga
mereka merencanakan serangan kedua dengan persiapan satu tahun mempersiapkan
dengan berbekal pengalaman kekalahannya dalam perang tahun 1948.
4.
Puputan
Jagaraga
Perang Jagaraga tahun 1849 lebih hebat
dari perang tahun 1948. Belanda berdasarkan pengalaman perang sebelumnya,
mempersiapkan pasukan khusus untuk menghadapi pasukan Jagaraga. Persatuan raja-raja Bali
sangat baik dalam Perang Jagaraga tahun 1848, mulai mengendor dalam Perang Jagaraga tahun
1849. Alam
pun tidak bersahabat, ketika sedang berlangsungnya perang kedua ini, terjadi hujam yang sangat
lebat, sehingga hampir semua parit
dan benteng tergenangi air, seperti kubangan. Perang ini masih memiliki 4 benteng pertahanan yang
dihubungkan oleh lorong dari benteng ke benteng (Bentang I-II-III). Pada benteng terakhir (benteng IV) airnya dialirkan ke Tukad Sangsit. Bambu-bambu dipasang miring untuk
menahan tembakan meriam dan granat Belanda. Dalam pertempuran ini kekuatan I
Gusti Ketut Jelantik terdiri dari:
(1) laskar dari Buleleng, (2)
Klungkung, (3) dan Karangasem, berjumlah sekitar 1.500-2.000 orang bersenjata senjata tradisional seperti: keris, tombak, panah, kelewang, bambu runcing, dan sebagainya. Juga digunakan beberapa senjata modern hasil
pampasan perang Jagaraga tahun 1848 yang ditinggalkan pemiliknya karena terbunuh, atau lari
menyelamatkan diri. Kemudian dimodifikasi disesuaikan
dengan kemampuan lokal agar dapat dimanfaatkan.
Ekspedisi
kedua Belanda ke Jagaraga melibatkan jenderal dan pasukan sangat besar, dapat
dibaca dalam buku De Derde Militaire
Expeditie Naar Het Bali Eiland Bali in 1849 (Met Drie Kaarten door den Kapitein
A.W.P Wietzel, 1850). Ekspedisi
Belanda ke
dua ini diikuti oleh para senior tentara Belanda, dipimpin oleh Mayjen. A.V. Michiels, dibantu oleh tiga ajudan: (1) W.A.C
Ardesch pimpinan Inf. (2) Kepala
Staf Letnan Kolonel C.A. de Brauw; (3) Wakil kepala staf Kapten Alteleri S. von Stampa; (4) Kapten Infantri H.C. Staring, (5) J. Vertholen, (6) dan T. van Capellen,
(7) beserta, turut juga Auditur Militer Haastert. Dengan kekuatan 4
batalion. Batalion I Inf., dipimpin oleh Kapten G.B Beekinf, dan III batalion
inf., dipimpin oleh kolonel T. Polan, dengan bawahannya pangkat Mayor dan
puluhan Pangkat Kapten, beserta pasukannya yang memiliki disiplin militer
modern.
Pasukan Belanda mendarat tanggal 28 Maret 1849 di Pelabuhan Sangsit,
utusan patih Jelantik pada Michiels dikirim untuk kesediaannya melakukan perundingan
(tanggal 7 April 1849),
tawaran itu
diterima oleh kolonial Belanda, tetapi karena Patih Jelantik membawa 1500 pasukan untuk menghindari penangkapan,
ditolak karena dianggap
demonstrasi dan pamer kekuatan terhadap Belanda.
Sejak penolakan itu Benteng Jagaraga sudah siap-siap
untuk berperang. Telah terkumpul sekitar 12.000 pasukan bersenjata. Raja
Buleleng dan Karangasem sesungguhnya telah menerima apa yang disepakati bertiga. Namun Michiels bersikeras menuntut perjanjian tahun sebelumnya, agar
dipatuhi,
sehingga perang tidak dapat dihindari.
Perang
puputan terjadi dipimpin oleh Jro Jempiring, ketika itu pimpinan perang Patih
Jelantik ikut lari ke Karangasem. Jro Jempiring dengan keberaniannya mengambil
alih pimpinan pasukan Jagaraga dengan memekikkan ‘Perang Puputan’, sehingga
perang dilanjutkan yang menelan korban tidak sedikit. Berujung pada kekalahan
Gusti Ketut Jelantik, karena meninggalkan pasukannya ikut pasukan kerajaan
Karangasem. Sejak itu Jelantik juga disebut Jlantik Gingsir karena bertempat tinggal selalu bergerak dan
berpindah untuk menghindari sergapan kolonial dan kerajaan Karangasem (Widja,
1984). Jero Jempiring adalah anak dari Ida Mpu Pande Nyoman Gempol pahlawan yang dibuang ke Padang tahun 1858 bersama dengan Raja Jlantik dari Puri Buleleng; Jro Jempiring bersaudara putri Jero Ratna istri Pungagawa Panji bernama I Gusti Ngurah Raka, mempunyai putra Pahlawan Nasional Mr. I Gusti Ketut Pudja (pahlawan Nasional tahun 2011); dan Jero Banjar istri dari Oda Made Rai, pahlwan banjar dalam Prang Banjar tahun 1868, semuanya menjadi anti Belanda dan mengobarkan semangat perjuangan melawn kolonial Belanda. Sedanhkan Nyoman Gempol adalah keturunan Pande bernama Kedosot dan Kedumpyung yang menjadi penjaga Gajah di Banjar Jawa dekat kubur Islam pertama di Banjar Jawa, terutama bertugas untuk menjaga taksu Keris Ki Baru Semang yang diyakini sangat bertuah dalam mitologi di Bali Utara.
Dampak
psikologis peristiwa perang Jagaraga sangat besar pada pasukan Belanda, dua
puluh tahun setelah Perang Jagaraga yaitu setahun setelah Perang Banjar tahun
1869 Belanda membuat “Monumen Bali” di Surabaya, tepatnya tanggal 4 September
1869. Pendirian monumen Perang Bali 1849 ini, tidak dapat dilepaskan dari
Perang Banjar Buleleng yang terjadi pada tahun 1868, mengorbankan
petinggi-petinggi tentara Belanda, seperti sejarawan Unud I Wayan Tagel Edy
(1984:125) menyebutkan: Kebesaran Perang Banjar tidak dapat diabaikan dalam
konteks kekuasaan Belanda di Bali Utara. Dapat dibuktikan dengan terbunuhnya
perwira Belanda Mayor C. Beerns, Kapten Stegman, Letnat Bode, Kapten de Nijs,
Ajuan Hafely, beserta dua puluh opsirnya dalam perang itu.
5.
Simpulan
dan Saran
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa laskar Perang Puputan Jagaraga mempertun
jukkan drama heroisme dalam membela Negara (kerajaan Buleleng) dari dominasi
kolonial Belanda yang mencari-cari alasan untuk menjadikan Bali Utara
(Singaraja) sebagai kota dagang dalam pertengahan abad ke-19. Bali Utara
merupakan daerah pertama-tama dijadikan objek kolonisasi, setengah abad lebih
dulu dari daerah Bali Selatan, yaitu Puputan Badung 1906, dan Puputan Klungkung
1908. Klaim penguasaan Bali oleh Belanda tidak berani dibuat monumennya di
Jagaraga daerah kemenangannya dalam Perang Puputan Jagaraga, tetapi justru
dibuat di Surabaya, untuk menghindari “Bangunnya Macan Tidur” atau heroisme
orang Bali dalam Bela Negara.
Pengorbanan
para pejuang di Jagaraga dalam mengusir kolonial Belanda dilihat dari
perspektif Bela Negara dapat dikatakan merupakan pengorbanan tanpa pamerih
karena membela tanah air dari kekuasaan asing, penuh dedikasi dan penuh
keberanian dalam melawan kekuatan asing dengan senjata modern yang sangat
lengkap. Membela tanah kelahiran dengan semangat berani mati dengan pengorbanan
semangat puputan (Jagaraga) disebut sebagai patriotisme sujati.
Saran
yang dapat disampaikan kita harus mau belajar dari peristiwa keberanian laskar
Bali Utara dalam mengatakan tidak untuk menyerahkan wilayahnya, walaupun harus
mengorbankan nyawanya. Pelajaran sejarah di skolah-sekolah era Masyarakat Ekonomi Asean dan
Globalisasi butuh diberikan ruang dan perhatian lebih, bukan hanya dari dimensi
ekonomi, karena pembangunan karakter bangsa sangat ditentukan oleh pemahaman
terhadap sejarah bangsa dan negaranya. Dengan demikian tidak terjadi borderless state for all, secara fisik okelah karena keniscayaan untuk dihindari, tetapi secara kejiawaan rasa nasionalisme itu agar bertumbuh sendirinya dari dalam diri manusia Indonesia, dengan adanya rangsangan luar yang selalu menindih dan menjapit nasionalisme kita.
DAFTAR PUSTAKA
Edy, I Wayan Tagel. 1984. Perlawanan
Rakyat Banjar di Bali Utara Pada Tahun 1868”. Yogyakarta: Tesis S-1 UGM.
|
Kartodirdjo,
Sartono. 1973. Sejarah
Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme. Jakarta: Departemen
Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.
|
Pageh,
I Made 2015. “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial
Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”, Disertasi (Ujian Tertutup). Unud,
Denpasar.
|
Pageh,
I Made, 1998. “Dari Tengkulak Sampai Subandar: Perdagangan Komuditas Lokal di
Bali Utara, zaman kolonial di Pantai
Utara Bali, 1849-1942”. Tesis S-2 UGM.
|
Parimartha,
I Gde, 2002. Perdagangan dan Politik di
Nusa Tenggara 1815-1915, KITLV-Djambatan: Jakarta.
|
Sastrodiwiryo, dr. Soegianto. 1994. Perang Jagaraga (1846-18490): Kisah Heroik Patih Jelantik dari Bali,
dalam Melawan Tentara Kolonial Belanda di Abad XIX. Kayumas Agung,
Denpasar.
|
Soehartono,
1973. “Perang Jagaraga”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.) Sejarah Perlawanan-perlawanan terhadap Kolonial. Jakarta: Dep.
Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.
|
Wietzel,
A.W.P. 1850. De Derde Militaire
Expeditie Naar Het Bali Eiland Bali in 1849 (Met Drie Kaarten door den
Kapitein)
|
[1] Kata-kata ini nampaknya sangat rekonstruktif dari
pengarang, tidak mungkin keluar kata-kata seperti itu di hadapat raja yang
dihormati, karena seorang bangsawan (Patih Agung) penulis berkeyakinan bahwa
kata-kata kasar tidak akan dikeluarkan seperti tafsir marah yang dibayangkan
oleh penulis, dalam konteks budaya kepara,
yaitu ke luar dari
ikatan budaya yang mengikat seorang kesatria.