AKTUALISASI NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN UNTUK REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA
Oleh
Drs.
I Made Pageh, M.Hum.[1]
1.
Pendahuluan
Makalah
ini mencoba untuk memadukan lokal genius dengan rasa nasionalisme di era
globalisasi, kemudian untuk dapat dijabarkan ke dalam bentuk media penanaman
rasa nasionalisme melalui kegiatan dalam kehidupan keseharian anak bangsa.
Untuk itu dimulai dengan mencari etimologi pahlawan dan menggali dalam etika
moral dan ajaran guru (dalam arti uas) pada anak bangsanya di Bali.
Secara etimologi kata pahlawan
terdiri dari dua kata “phahala + wan”,
yang berarti “buah dan orang”. Dengan demikian “pahlawan dapat dimaknai orang
yang telah membuahkan hasil bermanfaat untuk orang banyak, menyumbangkan buah
perbuatannya kepada masyarakat, bangsa dan negara”. Kata pahlawan juga bermakna
agung, indah, luhur, jagoan, sederhana, antagonis, melawan arus jaman edan.
Figur pahlawan dalam cerita Ramayana
adalah Rama dan Laksamana, Sinta, Jatayu, Hanoman, dan Kumbakarna. Dalam
Mahabratha tokoh Bisma yang Agung, Panca Pandawa, Drupadi, Karna, Wikarma, sedangkan
figur provakator adalah Sakuni, dan Kresna. Sakuni provokator masuk neraka dan
Kresna adalah provokator masuk surga. Sesuai dengan kehidupan kita, bahwa hidup
itu adalah pilihan, hanya manusia memiliki kemampuan untuk memilih berdasarkan
rasionalitasnya, karena pikiran adalah hadiah terbaik dari Tuhan. Kalau pilihannya
berdasarkan emosi (Sekuni dan Duryodana) tentu akan mengantarkan pada pilihan
yang sesat. Sebagai manusia memiliki dua tuntutan mendasar yaitu nafsu dan hati
nurani, maka kepahlawan dirujuk pada pilihan berdasar hati, bukan berdasarkan
nafsu, hasrat kenikmatan perut. Pertarungan dua kebutuhan hidup ini terjadi selama
manusia hidup. Soekarno-Hatta dan pejuang kemerdekaan lainnya mengalami pertarungan
yang ada zaman kolonial. Dalam sejarah dari zaman ke zaman, selalu ada muncul
tokoh antagonis zamannya, sehingga muncul pahlawan. Seperti pahlawan pergerakan
nasional (melawan Kolonial Belanda dan Jepang), pahlawan revolusi (menegakkan
kemerdekaan), pahlawan pembangunan, pahlawan reformasi, dan sebagainya dalam
mengisi kemerdekaan kita. Terakhir dicanangkan revolusi mental oleh Jokowi-JK
(dalam melawan kemiskinan dan kebodohan) serta masalah integritas bangsa
lainnya, seperti kebobrokan mental (amoral, korup, sadis), mengumbar nafsu
birahi (pejabat publik juru kawin), tidak punya malu dalam pamer kekayaan hasil
korupsi (konsumerisme) dan bercitera generasi lembek, masa bodo dan mau menang
sendiri (karakter modernitas). Dalam kondisi seperti itu, masyarakat Indonesia
berharap Jokowi menjadi tokoh (Presiden 2014-2019) yang antagonis, keluar dari
citra bangsa di atas.
Motto: “bangsa yang besar adalah
bangsa yang mau menghormati jasa-jasa pahkawannya” selalu dikumandangkan setiap
peringatan hari pahlawan. Hari pahlawan diperingati setiap tahun, lebih banyak bersifat
serimonial “mengenang, mengagumi dan bahkan meratapi” dalam konteks mental
paternalistik diikuti berbagai harapan dan belas kasihan dari pemerintah (minta
bantuan terus) tidak ada kamus kata “membantu” walaupun kekayaannya lebih dari
kekayaan negara. Tidak pernah ada solusi good
practisce, demi perbaikan bangsa, sehingga dengan demikian kualitas Sumber
Daya Manusianya terus merosot. Bahkan ironis terjadi, makin kaya sumber daya
finansial makin lemah mental anak bangsa ini (keluarga, masyarakat dan
pemerintah) karena pengaruh budaya konsumerisme, linglung terhadap nilai-nilai
kepahlawanan dan perjuangan Revolusi Kemerdekaan tanggal 17-08-1945, dalam
ideologi praksis di masyarakat.
Dengan tujuan dan latar belakang di
atas, maka masalah yang perlu diaktualisasikan dalam revolusi mental bangsa
dalam konteks ini: (1) dari mana kita memulai revolusi mental itu untuk
membenahi benang kusut bangsa; (2) Mengapa pendidikan generasi muda dijadikan
sasaran? (3) Bagaimana ajaran Catur Guru dapat diaktualisasikan dalam kehidupan
kita berbangsa dan bernegara?
Masalah ini dikaji menggunakan
pendekatan sejarah kritis, khususnya pendekatan pendidikan, sehingga
aktualisasi nilai-nilai kepahlawanan dalam usaha mengentaskan kebodohan dan
kemiskinan dapat diatasi.
2.
Revolusi
Mental: Dari Pendidikan Diri Sendiri (Generasi Muda) Melawan Kemiskinan dan
Kebodohan
Mengubah
ideologi masyarakat tidak dapat diperintah tetapi harus diajak dan dimuai dari
diri sendiri, dengan dicontohi oleh pejabat publiknya dan publik figurnya.
Bangsa agraris yang paternalistik dengan tingkat pendidikan yang belum merata,
membutuhkan contoh nyata bukan teori, tetapi praktek langsung (good practisce).
Generasi
Muda yang dijadikan sasaran perubahan mental dalam melawan kemiskinan dan
kebodohan, kata kuncinya adalah pendidikan
dan belajar dengan disiplin dan kerja keras tanpa kenal lelah. Anggaran
pendidikan butuh prioritas (20% dari APBD/N), sarana dan prasarana sekolah,
guru, kurikulum, buku ajar, dan revolusi birokrasi dalam pendidikan. Guru
jangan dijadikan objek politik, sekolah jangan dijadikan kartel, sekolah jangan
menjadi ajang permainan kekuasaan dan budaya konsumerisme. Dalam masyarakat
Bali yang masih banyak ada sisa-sisa budaya feodalistik yang paternalistik
pimpinan (Kepala Sekolah, pengawas, diknas, dan pejabat politik lainnya seperti
DPRD, Gubernur, Bupati dan jajarannya) harus mampu merevolusi mental (mind seet) dan mengubah budaya korup
bangsa dengan pengawasan ketat pada jajaran di bawahnya agar tidak korup.
Terutama berawal dari birokrasi yang menyangkut kepentingan publik, harus
dibersihkan dari korupsi, seperti Kantor Samsat, kantor Kepegawaian (BPKD), kantor
Pajak, Penegak Hukum (Polisi, Hakim, Jaksa, penyidik) sebagai ranah rekayasa
(kolusi), kepala pasar tradisional, Rasia Polisi dijalan raya, harus diawasi
dengan ketat dikoordinasikan dengan publik/wartawan/NGO/civil society di dalamnya. Dana masyarakat dari manapun asalnya,
harus dibuka secara transparan, dengan fokus pada pemegang kekuasaan yang dapat
mengendalikan jabatan dan kekuasaan dalam bidang tertentu secara menyeluruh (good gaverment dan good gavernance).
Semuanya
ini dalam membentuk karakter bangsa yang disiplin dan tidak main-main dengan
kekuasaan, jangan dengan kekuasaan mereka mendapatkan keuntungan finasial,
diawasi sejak pemilihan pejabat strategis (adakah indikasi K K N dan Cecungukisme di dalamnya). Dalam
masyarakat feodal, kekeluargaan dari landasan sifat menjadi geneologis (AMPI=
anak, misan, ponakan dan ipar, klen dsb.). Pengaruh budaya politik inilah sesungguhnya dunia pendidikan kita tidak dapat
berkutik dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Ditambah dengan permainan
“uang sogok” dalam mencari kerja, maka kualitas pendidikan akan menjadi kabur,
bahkan gelar dapat dibeli di hotel-hotel berbintang. Adakah pejabat kita yang
mempraktikannya, dosennya, mahasiswanya, gurunya dan pelaksana legitimasi
bidang pendidikan lainnya. Sebenarnya “pejabat/guru
yang sakit tidak berkualitas, sejatinya lebih berbahaya dari obat-obatan
terlarang/Narkoba”. Kondisi ini berakibat lunturnya semangat belajar, pelecehan
profesi guru/dosen, kurangnya penghormatan gelar pendidikan (karena bacik mana
asli dan mana aspal), kurangnya kompetisi dalam pendidikan bermutu, karena
telah ada pola pikir nantinya toh akan nombok dalam mencari pekerjaan,
kurangnya wibawa kejujuran dan harga diri manusia dan penghormatan terhadap
pejabat jujur (digenderalisir korup ). Semuanya itu menjadi bangsa kita kurang
kompetitif, kehilangan rasa jengah
dan rasa malu, dan paling menyedihkan munculnya budaya “kejengat-kejengit di
media pencitraan tidak bersalah” karena yakin dengan uangnnya akan dapat
membebaskan segala masalahnya. Dengan demikian muncul penyakit masyarakat dan
menular pada generasi mudanya.
Pertama, penyakit “kurap-kudis” yaitu
kurang siap dan kurang disiplin, sehingga membutuhkan motivasi “obat ekstasi” yang
mampu memabukkan semangat kompetisi, semangat belajar, dan semangat kerja, dan
merasa berdosa kalau tidak siap dan tidak disiplin. Hal ini dapat dilihat pada
pejabat publik (politisi) yang terkadang menyedihkan, karena ditugaskan (politik)
pada bidang yang tidak sesuai keahlian dan pendidikannya, sehingga tidak
memiliki karakter disiplin diri dan antisipatif dalam pekerjaannya (wright men in wrong job). Birokrasi
digunakan untuk belajar dan trial and
error. Ini membuktikan sistem berbangsa dan bernegara kita tidak siap dalam
melaksanakan antisipasi terhadap tantangan zaman era globalisasi. Kedua, sakit “sembelit” yaitu sedikit
membaca literatur”, tidak sempat dan tidak memiliki budaya membaca, sehingga
lebih banyak mendengarkan bisikan (bagaimana kalau bisikan setan?), omongan di
warung kopi, media massa yang siarannya “dagelan artis yang tak berujung
pangkal”, sehingga “sembelit itu” penyakit mematikan bagi bangsa kita. Karena
mereka dalam jabatannya tidak memiliki pertimbangan logis, filosofis dan
mendasar dalam menangani masalah publik. Realitasnya diisi dengan mengangkat staf
ahli, yang diisi oleh orang staf out of
date (tidak efisien). Sering diisi oleh pejabat power sindrom, terindikasi korup, dan nonjob, karena kedekatannya dengan
pejabat dia diangkat menjadi staf ahli (bagaimana kalau ahlinya korupsi?). Ketiga, penyakit “mencret dan mules” yaitu menjabat “nyeroscos dan cerewet dengan
mutu lesu”, dengan terkesan pejabat banyak yang hanya mengamankan jabatan
tidak mengunggulkan mutu dan hasil karya pada jobnya. Tidak banyak muncul pejabat
yang makan ‘pil Aspirin” yaitu pejabat memiliki pilosofi penuh aspirasi,
refleksi, dan inspiratif terhadap bawahannya karena dampak kualitas dan
integritas pribadinya.
Dari
bahasa akronim dengan menggunakan penyakit dan obat diharapkan mudah diingat
dengan akronim di atas, maka implikasi dalam pendidikan masyarakat paternalistik,
figur publik yang mampu memberi contoh adalah sangat dibutuhkan. Misalnya hidup
sederhana dicontohkan presiden dengan naik Pesawat kelas ekonomi. Di ranah lain
diharafkan muncul seperti di sekolah oleh kepala sekolah dan gurunya, di
masyarakat oleh pejabat dan jajarannya, Bupati dan jajarannya, Presiden dan
pembantu-pembantunya menteri dan setarap menteri sebagai pemegang otoritas
kebijakan publik. Membutuhkan revolusi mental pejabat kita sebagai publik figur
dan kesadaran masyarakat ditumbuhkan dari diri sendiri (Generasi Muda) sebagai
publik figur di lingkungannya untuk dapat di contoh ideologi hidupnya, dalam
belajar, bekerja keras, integritas dan kejujuran, yang selalu berkaca pada kemaslahatan
hidup orang banyak.
Jalan
yang harus diambil dalam mengatasi krisis multidimensional bangsa ini: pertama, melalui revolusi Birokrasi
pemerintahan, revolusi mental dilakukan dalam birokrasi kita yang sarat dengan
kepentingan politik/kekuasaan, sehingga kekuasaan memberikan peluang untuk KKNC
sehingga penyakitan; kedua, melalui pendidikan
formal, dan pendidikan nonformal melalui pejabat publik. Hal ini sangat penting
dalam kultur dan struktur masyarakat paternalistik, dengan demokrasi yang masih
mobokrasi. Masyarakat adalah sebuah kesatuan sistem jaringan yang saling
ketergantungan antarkomponen bangsa. Dengan demikian keberhasilan pendidikan di
sekolah, sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang berkembang pada pemerintahan,
masyarakat, dan keluarga (trikonsentris pendidikan).
3.
Revolusi
Mental Anak Bangsa Melalui Generasi Muda.
Generasi Muda bukan hanya dilihat
dari umur usia muda, tetapi juga dapat diartikan orang perorang tidak terbatas
umur yang memiliki jiwa sesuai dengan zamannya. Generasi muda selalu
dipertentangkan dengan golongan etablishment,
umumnya kelompok orang yang telah mapan dalam kekuasaan. Di antara mereka ada
yang melawan kelompok berkuasa demi kepentingan orang banyak. Kelompok ini
dapat dikategorikan kelompok pemuda. Karena pemuda adalah kelompok orang yang
sedang mencari status untuk mendapatkan kekuasaan pada zamannya.
Jiwa kepahlawanan adalah kesadaran
jiwa yang di dalamnya ada kehendak untuk memperjuangkan hak-hak sipil/civil society dari penindasan kekuasaan,
baik dari bangsa asing maupun dari bangsa sendiri. Karena terkadang bangsa
sendiri lebih “kolonial dari kolonialisme, lebih belanda dari Belanda pada zaman
penjajahan. Adakah niat dalam tindakan dan kebijakannya untuk membantu
masyarakat yang dipinggirkan, apakah hanya wacana saja, seperti wacana politik
umumnya. Dalam kenyataannya sangat berlawanan tindakannya.
Maka
kesadaran kepahlawanan itu harus dibangun dan dieksplorasi oleh penguasa
sebagai “publik figur--tokoh, pejabat/kepsek/guru/ pimpinan/ kepala keluarga”—kalau
dianalisis dapat disimpulkan kondisi objektif bangsa kita sebagai berikut:
§ Belum
memiliki kesadaran akan potensi yang kita miliki sebagai bangsa yang besar,
yang siap dikembangkan untuk kemajuan bangsa. Belajar dari alam, “kalau biji lemtoro
saja dapat menembus beton bertulang”, mengapa manusia yang berakal tidak?, karena
manusia memiliki potensi yang tak terbatas.
§ Perlu
ditumbuhkankembangkan kesadaran bangsa (melalui pendidikan generasi muda),
jangan berpikir pendidikan seperti “sistem bank” (paulo Priere). Sadari bahwa “...
setiap anak/generasi muda tetap akan bertumbuh dan berkembang mengikuti
perkembangan zamannya, ada atau tidak orang disekitarnya. Tugas guru
membekalinya dengan cara hidup sehat, kemapuan mengases ilmu pengetahuan,
kemanpuan membaca dan menulis yang kuat, cara mengahadapi tantangan situasi masa
depan, dan keyakinan terhadap kemampuan dirinya (self esteem) bahwa manusia memiliki potensi besar (from Teaching to learing).
§ Tumbuhkan
kesadaran waktu dalam kehidupan dan managemennya, waktu lewat adalah masa lalu,
waktu sekarang adalah kehidupannya, dan waktu yang akan datang adalah masa
depannya. Berikan visi untuk menentukan masa depannya. Karena masa depannya
adalah milik generasi muda. Terkadang orang tua menentukan masa depan anak
seperti yang dikehendaki, sehingga terjadi gap antargenerasi. Jadi setiap
generasi muda memerlukan kesadaran akan waktu (sejarah dan masa depan) dan
kemampuan memanagemen waktu untuk bisa melakukan sesuatu sesuatu sesuai dengan “inkubasinya”
masing-masing.
§ Kembangkan besar expectation (harapan) Generasi Muda, membutuhkan motimasi agar
dapat menggugah harapannya yang tinggi, sehingga cita-citanya itu akan diisi
dengan kemampuannya sendiri menggunakan seluruh potensinya. Bukan foto copy-an
orang tua, setiap generasi, akan menorehkan prestasi pada zamannya.
§ Publik
figur sebagai motivator dan kepemimpinannya yang visioner, dengan kata lain apa
yang dilakukan seorang pemimpin bukanlah untuk kepentingan sesaat (lima
tahunan), tetapi menghasilkan karya yang hasilnya baru akan dapat dinikmati di
masa depan. Seperti rancangan penguatan bidang maritim oleh Jokwi-Jk dilaksanakan
tahun 2014 mungkin baru dapat dinikmati oleh bangsa ini setelah minimal 5-10
tahun ke depan. Sungguh program yang sangat visioner di era kegaduhan politik
di tanah air ini (Maryanto, 2009:7).
Persyaratan pendidikan formal dan
informal harus mengikuti antisipasi masa depan bangsa yang akan berhadapan
dengan kualitas SDM bangsa asing yang akan memasuki kepulauan Indonesia di era
globalisasi. Bangsa asing (western) dan negara tetangga yang ulet, disiplin,
kerja keras adalah tantangan bangsa kita yang lemah karena dimanjakan oleh
kekayaan alam dan budaya paternalistik (KKNC) yang mengantar terjadi penurunan
kualitas anak bangsa secara segnifikan (Darmaningtyas et.al.,2014:19). Kelemahan generasi baru kita yang diwarnai oleh budaya berutang dan
menunggu alam mengahasikan sendiri tanpa dibudidayakan, sudah satnya melakukan
revolusi mental, melalui aktualisasi nilai-nilai kepahlawanan dengan menumbuhkan
“rasa jengah”, dengan prinsip “learning
by doing”, menunjukkan ‘good practice”,
belajar dan bekerja keras untuk menghasikan generasi muda kompetitif untuk
mengatasi ketertinggalan dengan negara tetangga (cf. Ilahi, 2014).
4.
Dengan
Lokal Genius Catur Guru Membentuk
Bangsa Unggul.
Sejak lama telah menjadi persoalan
karakter bangsa Indonesia, menurunnya kualitas SDM-nya, dan nasionalismenya
sebagai bangsa majemuk. Terjadi bentrokan berbau SARA, pembunuhan di luar
prikemanusiaan (mutilasi), perang antar aliran agama, partisan partai,
perkelahian di DPR dalam perebutan kursi pimpinan, tawuran pelajar dan
mahasiswa. Semuanya ini sangat memprihatinkan dilihat dari kehidupan bangsa
yang majemuk. Bhineka Tunggal Ikha
hanya menjadi Motto hiasan kaki Burung Garuda Pancasila, tidak bermakna sama
sekali, terkait dengan kebutuhan sesaat seperti seks, kekuasaan, jabatan dan
kekayaan, bahkan rela mengorbankan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Manusia sebagai makluk simbolicum, makhlun educandum, homo sapiens,
dan homo rational memiliki harapan
besar dapat diadabkan memalui pendidikan, baik pendidikan formal maupun non-formal.
Pendidika formal di sekolah tidak bermakna sama sekali kalau tidak dibarengi
dengan good performance figur publik sebagai pendidikan
nonformal yang ada di luar sistem sekolah (Illich, 2013:22; Widja, 2012).
Keterbatasan waktu dan kefiguran di masyarakat menjadi faktor penentu dalam
mengantarkan kesadaran berbangsa dan bernegara, khususnya dalam menyumbangkan
kebaikan untuk kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Menurut Easton (1957:312)
objek politik, nilai-nilai politik, dan sikap politik seorang figur harus dapat
dijadikan panutan oleh masyarakat luas (Sirozi, 2005; Maliki, 2000).
Nasionalisme kita yang dibangun dari
sejarah kolonialisme di Indonesia, menjadi kabur setelah terjadi “pergaulan
dunia” yang tidak memandang latar belakang negara tersebut sebagai penjajah
atau yang dijajah. Rongrongan nasionalisme yang datang dari luar (globalisasi)
dan dari dalam yaitu otonomi daerah (etnosentrime) yang tidak kita sadari telah
merongrong jiwa dan nilai-nilai nasionalisme
bangsa (Smith, 2002:49). Dengan demikian nasionalisme sebagai ajaran kecintaan
kepada bangsa dan negara (nation state)
harus terus dibangun, dipelihara, dan disemaikan karena “perasaan senasib-sepenanggungan”
berkembang karena dari semangat anti-kolonialisme. Kini kolonialisme
bertransformasi mengubah diri dari langsung menjadi tidak langsung, dari
penguasaan fisik menjadi penguasaan mental melalui IPTEKS dan sebagainya.
Transformasi penjajahan politik (kekuasaan) menjadi penjajahan di bidang budaya,
ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, tantangan baru kita
adalah bagaimana mengantisipasi penjajah bentuk baru itu, maka pendidikan dan
kerja keras adalah kata kunci suksesnya (Ilahi, BP Tanggal 10 November 2014,
hal.4).
Dengan kondisi bangsa seperti
diuraikan di atas, maka dengan local
genius catur guru yang ada di
Bali dapat dijadikan vitaminnya: (1) pendidikan pada Generasi Muda dengan
pengembangan potensi guru swadiyaya
belajar sendiri dengan kekuatan sendiri. (2) Guru rupaka, keluarga harus melaksanakan pendidikan sesuai dengan
tuntutan anak, jangan “ketidak baikan anak” dituduhkan pada guru pengajian,
karena sebagian besar waktu anak ada di rumah. Didik anak untuk menjadi anak
yang suputra, sempatkan waktu untuk berdialog dengan anak. (3) Guru pengajian, memberikan bimbingan dan
tuntunan belajar dan mencari ilmu untuk antisipasi masa depannya, kembangkan
potensi anak sesuai dengan minat dan kesenangannya, sehingga dia belajar tidak
seperti di neraka, dijajah, dan dipasung tidak memiliki kebebasan untuk
mengembangkan potensi dan kesenangan dirinya. (4) Guru Wisesa cukup memberikan panutan sebagai publik figur, sederhana,
visioner dalam memimpin. Kendalikan nafsu (jangan mengumbar nafsu), nafsu seks,
kaya berlebihan, komsumeris, dan arogan. Memotivasi dan menghargai Generasi Muda
berprestasi, beri peluang untuk menunjukkan kelebihannya, dan dorong dengan motivasi
menuju masa depannya yang gemilang.
Catur
guru dalam menjalankan amanat UUD 1945 salah satu amanatnya “mencerdaskan
kehidupan bangsa, menuju masyarakat adil dan makmur”, semua harus memiliki kemampuan berpikir
visioner, dalam mencerdaskan bangsa. Karena dengan pendidikan demikian akan
tumbuh generasi muda yang cerdas, dengan kecerdasannya kemiskinan akan lebih mudah
teratasi. Pendidikan sekarang sepertinya terfokus menyiapkan Pegawai/Buruh/
PNS, kurang mengembangkan prinsip sekolah INS Kayutanam (Syafei) di Sumatra zaman penjajahan, yaitu “learning by doing” belajar sambil
bekerja, sehingga produktivitas bangsa tidak ada yang sia-sia, tanpa
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi diri, keluarga, bangsa dan negara
(Navis, 2000:379). Misalnya belajar “ngrakit komputer”, bikin meja, kosen,
bengkel, masak, dsb. di sekolah SMK, dijadikan produk untuk dibayar oleh
pengguna.
Kegagalan Indonesia dalam
mengimbangi kemajuan bangsa tetangga adalah Indonesia ada dalam kondisi
“kemanjaan keluarga-nasional” karena tumbuh mentalitas “berger dan keju” yang dikembangkan pada generasi muda. Mengapa
berger dan keju bukan tempe dan singkong, karena berger dan keju itu bermakna
mewah, “siap saji”, tapi memiliki sifat
lembek dan datang dari pengaruh barat modernisasi (westernisasi), butuh filter.
Kalau dalam relegi Hindu India dapat diakomudasikan dan ditansformasikan dengan
kepercayaan lokal (Hindduisme) mengapa dalam budaya material tidak. Seharusnya
jauh lebih dangkal dibandingkan nilai-nilai relegius itu sendiri. Di sinilah
dibutuhkan cultural heroes untuk
melakukan transfortasi budaya pada generasi muda. Bangsa yang berada dalam
kemiskinan dan kebodohan sulit memulainya, bagaikan lingkaran setan (vicius circle), yang satu menyalahkan
yang lain, yang tua menyalahkan generasi muda dan sebaliknya, agar dihentikan.
5.
Simpulan
dan Saran
Aktualisasi
nilai-nilai kepahlawanan di era globalisasi sangat penting dilakukan dalam
usaha untuk merevolusi mental kita, karena dengan belajar dari sejarah atau mereflekasikan
pengorbanan para pahlawan diharapkan anak bangsa (generasi muda) termotivasi
untuk mengembangkan potensinya secara
maksimal, melalui belajar dan bekerja keras untuk melawan kemiskinan dan kebodohan.
Generasi
muda sebagai calon pemimpin bangsa di masa depan, wajib untuk memahami
peristiwa sejarah bangsanya (termasuk pahlawannya). Saya berharap pengorbanan
(kepahlawanan) harus di mulai dari “dalam diri kita masing-masing baru keluar
seperti lingkaran konsentris melebar”, dengan diinternalisasi dan enkulturasi nilai-nilai
kepahlawanan, semangat belajar dan bekerja keras menjadi bagian dari
kepribadian dan integritas kesehariannya.
Bangsa/pemimpin
yang besar adalah mereka yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai
kepahlawanannya, dengan belajar dari sejarah kiprah para pahlawan dapat
bertindak visioner dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari.
Sumbangsih belajar dan kerja keras karakter pribadi-pribadi visioner ini akan
mengantar massa depan bangsa jadi gemilang berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Saran
saya, jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena nilai-nilai sejarah
perjuangan bangsa akan memberikan banyak manfaat dan kearifan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara kita. Demikian juga dapat belajar dari maju-mundurnya peradaban
yang telah dicapai oleh suatu bangsa, akan menjadi cambuk bagi kita untuk
menorehkan prestasi sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Mari
dari Margarana kita mengurai benang kusut bangsa, belajar dari pengorbanan jiwa
dan raga pahlawan, memulai dari diri sendiri untuk kebaikan keluarga, negara
dan bangsa multikultural.
Melalui kesempatan yang sangat baik
ini saya mengajak mari revolusi mental kita
untuk mengatasi kemiskinan dan kebodohan, melalui belajar dan bekerja keras
dimulai dari diri sendiri dan keluarga kembangkan demi kemaslahatan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Darmaningtyas, et al.2014. Melawan
Libralisme Pendidikan. Jakarta. Penerbit Madani.
|
Ilahi, Mohamad Takdir. 2014.
“Revitalisasi Makna Kepahlawanan”, dalam Bali
Post, Senen Pon, Tanggal 10 November 2014, hal.4.
|
Illich, Ivan. 2013. “Setelah Sekolah
dibubarkan Lantas Mau Apa?, dalam Seri
Wacana Pendidikan: Sekolah
Dibubarkan Lantas Mau Apa?: Pro dan Kontra Terhadap Pandangan Ivan Illich,
dkk. (IGN. Gatut Saksono, Penyadur). Yogyakarta: Penerbit Ampera Utama.
|
Maliki, Zainuddin. 2000. Birokrasi Militer dan Partai Politik dalam
Negara Transisi. Yogyakarta: Galang Press.
|
Maryanto, JP. Herman. 2009. Lima Penyakit Mematikan Profesi Guru:
Refleksi Proses Pembelajaran. Jakarta: Sentrajaya Utama.
|
Navis, A.A. 2000. “Tiga Ragam
Pendidikan Yang Dilupakan”, dalam 1000
Tahun Nusantara. Jakarta: Kompas.
|
Sirozi, M. 2005. Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik
Penyelengaraan Pendidikan: Politik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
|
Smith, Anthony D. 2002. Nasionalisme: Teori, Ideologi Sejarah.
Frans Kowa (penerjemah). Surabaya: Erlangga.
|
Widja, I Gde. 2012. Pendidikan Sebagai Ideologi Budaya:
Mengamati Permasalahan Pendidikan Melalui Pendekatan kajian Budaya.
Denpasar: Penerbit Kabud Unud dan Penerbit Krishna Abadi.
|
Biodata
Penulis:
I
Made Pageh adalah dosen di Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha, lahir di Desa
Gunung kangin Baturiti Tabanan Bedugul. Pendidikan S-1 di FKIP Unud selesai
tahun 1986, S-2 lulusan Sastra Sejarah UGM tahun 1998, dan kini (2012-kini)
sedang mengikuti program S-3 di Kajian Budaya Unud. Pernah menjabat sebagai
Kejur Pend. Sejarah 2 periode (1998-2002), PD III dua periode 2002-2010.
Sebagai Ketua Masyarakat Sejarawan Cabang Singaraja dua periode, dn kini jadi
anggota pimpinan pusat cabang Denpasar. Menulis beberapa buku ber ISSN: (1) Sejarah dan Kearifan Berbangsa dan Bernegara:
Bunga Rampai Perspektif Baru Pembelajaran Sejarah (Kenangan Purna Bhakti
Prof. Dr. I Gde Widja), tahun 2010; (2) Metodologi
Sejarah dalam Perspektif Pendidikan, (tahun 2010); Pahlawan dan Perjuangan Sejarah Sekitar Proklamasi Kemerdekaan NKRI: Konteks Lampah Mr. I Gusti Ketut Pudja,
1908-2010, tahun 2011; Model
Integrasi Masyarakat Multietnik: Nyama Bali- Nyama Islam (Belajar dari Enclave
Muslim di Bali), tahun 2014. Menyumbang beberapa artikel diterbitka dalam
kumpulan karangan, (1) “Jasmerah “Puputan” Margarana: Menyoal Aktualisasi
Nilai-nilai Sejarah di Era Globalisasi” (dalam
Anak Agung Gde Putra Agung:
Sejarawan dan Budayawan Bali, tahun 2013); (2) “Pendidikan Multikultural
Melalui RRI Singaraja” (dalam Merajut Asa
di Rumah Rakyat, tahun 2013. Dan beberapa hasil penelitian yang belum
diterbitkan. Kini sedang menggarap Disertasi dengan Judul “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi
Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”,
dibawah Promotor Prof. Dr A.A Anom Kumbara, dan Kopromotor Prof. Dr. A.A. Bagus
Wirawan S.U dan Dr. Putu Sukardja,
M.Si.; dalam pernikahan lahir 3 orang
Putri (dua dr. Umum) dan satu masih SD Klas 6.
[1]MAKALAH
ini telah disampaikan oleh Drs. I Made Pageh, M.Hum (sejarawan pendidik
Undiksha), dalam “ Sosialisasi Nilai-nilai Kepahlawanan, dengan Tema kegiatan
“Melalui Peringatan Puputan Margarana Kita Perkuat Jatidiri dan Karakter
Bangsa’, dilaksanakan oleh Balai Kajian
Nilai-nilai Sejarah dan Tradisi Bali-Lombok-NTT dan NTB. Di Monumen Margarana,
tanggal 19 November 2014. Dengan revisisi beberapa bagiannya kembali
disampaikan di FIP TP 30 Desember 2014.