MEMBONGKAR IDEOLOGI AJI PANGLIAKAN DI BALI (DALAM PERSPEKTIF CULTURE STUDIES
)
Oleh I Made Pageh[1]
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang penulisan
Ontologis, Liak (barak ngakak), teluh, trangjana banyak ditulis orang
belakangan. Penekunnya disebut ngiwa,
lawan dari tengen di Bali. Dikategorikan
black magic lawan dari whait magic, bercitra gender atau ilmu
yang dilekatkan dengan pradana lawan
dari purusa. Liak disebut ilmu yang buruk,
jelek, hitam, gelap, neraka. Dilawankan dengan whate magic yang ilmu baik, putih, kanan, dan “lokalitas kesadaran
palsunya adalah swarga (Bahasa
Sanskerta)/surga (Bahasa Arab) (Pageh,
2010). Penekun laki-lakinya disebut ngiwa,[2]
perempuannya disebut ngeliak,
efistimologinya lontar butaning laku/aji
pangliakan. Prosesinya berlokasi di kuburan/tunon/setra, pempatan, waktunya sandikala, jegjeg surya, tengah lemeng, dewanya Dewi Durga, puranya
Pura Dalem, Pura Dekat Kuburan. Pekerjaannya “membuat orang sakit”, bahkan “mati ngadeg”, se-olah-olah Liak dapat
membunuh orang sesuai kehendaknya. Dan segudang pengideologian, pencitraan,
pen-diskursus-an, keperempuan buruk, jahil,
ugig tidak pantas ditekuni.
Umum “meyakini”, termasuk orang
Bali sendiri, bahwa Liak yang “ngelarang aji
wegig” itu adalah ajaran Agama Hindu. Agama Hindu sebagai agama impor (dari
India), menerima begitu saja konstruksi diskursus yang berkembang di Bali, yang
menjadikan dirinya bercitra buruk bukan saja di Bali, tetapi juga sampai ke
luar Bali. Terutama di era globalisasi ini, penyebara-luasannya dipercepat oleh
teknologi telekomunikasi informatika.
Usaha untuk menepis citra negatif
ini menjadi gamang, karena ketidakmampuannya untuk membedakan ajaran agama
dengan trasdisi (adat) atau lokal genius.
Hal ini disebabkan oleh eksistensi pelaksaan adat dan agama telah menyatu,
bersikritis, berakulturasi antara Agama Hindu dan kepercayaan asli (lokal genius) bangsa Melayu Austronesia.[3]
Dari uraian di atas dapat
dirumuskan permasalahannya, sebagai berikut. (1) Bagaimana mewacanakan liak
yang tiada (niskala) menjadi “ada”
(sekala) atau (upper reality) di Bali?
(2) Apa ideologi kuasa yang mendominasi sehingga eksistensi Liak bercitra
buruk, kiwa?
Tulisan ini bertujuan untuk membongkar
ideologi kuasa yang menjadikan Liak bercitra negatif, menakutkan bahkan
dimusuhi, padahal di era kelaskaran ini
diburu oleh anggota laskar, body guard, freman,
bahkan anggota Dewan yang kesehariannya berhadapan dengan tantangan dan ancaman
dalam hidup dan profesinya.
Kemudian aksiologinya, untuk
dapat memberikan “pembelaan, keberpihakan” pada eksistensi penekun liak
(tentatif) dalam bentuk ide, gagasan, cita-cita, sehingga pembaca dapat
memahami secara kritis, berkonsep dalam menilai baik dan buruk, swarga/neraka akhir hidup seorang di
kelak kematian tiba. Dengan tujuan utama mencoba membongkar ideologi (jaringan
kuasa) yang ada di balik pencitraan buruk Liak di Bali, namun tetap diburu oleh
pejabat-pejabat tinggi dengan kata lain, liak dicemoh, dibenci, tetapi
ditakuti, dan dicari di era kesejagatan ini.
II
Efistimologis dan Kajian Teoretis
2.1
Metodologi Penulisan (Efistimologis)
Penulisan
ini menggunakan metode studi pustaka, dengan sudut pandang/ perspektif rwabhineda (benary oposition). Penulis langsung menjadi intrumen penulisa,
dengan analisis data berlanjut dari awal sampai akhir penulisan. Triangulasi
data dilakukan dengan menanyakan realitasnya pada beberapa orang yang dianggap
sakti mantra guna, manik sekecap. Dengan memanfaatkan
teori-teori sosial kritis di dalam proses penulisan ini. Dengan kata lain, di
sini akan menggunakan efistimologi kiri. Data dikumpulkan dari sumber sekunder
(buku-buku, majalah, koran), hasil penelitian, dan lontar butaning laku/aji pengliakan. Data dikategorisasi
untuk dapat merekontruksi budaya dan ideologi secara kontektual, untuk
mendapatkan Iikatan budaya dan jiwa
zaman yang melatarinya. Dengan kata lain, sedikit membutuhkan kajian
sejarah kritis.[4]
Hal ini dilakukan agar tidak membangun wacana dengan dasar yang salah atau “jaka
sembung bawa golok, tidak nyambung goblok”, hal ini berpotensi mendapatkan
eksistensi simpulan akhir yang slenkco
(nyaplir).
Tulisan
ini mencoba mengikuti metodologis yang digunakan oleh Pierre Bourdieu seperti
diuraikan oleh Cheleen Mahar,dkk. (1990:4)
”strukturalisme
generatif mendeskripsikan cara berpikir dan cara mengajukan pertanyaan,
sehingga dengan demikian dia berargumen, ia tengah mencoba mendeskripsikan, menganalisis, dan
memperhitungkan asal-usul seseorang dan
asal-usul struktur serta kelompok sosial (sejarah: dari Penulis)[5]
(Bourdieu, 1985).
Dapat
dipahami bahwa analisis praktis dalam kehidupan nyata, dilakukan dengan metode/jalan berpikir dialektik, dalam
menganalisis objek ontologis, dengan melihat
relasi-dialektis antara struktur dan agensi (kuasa aktor) dalam
menentukan objek yang dipikirkan/ dianalisis (bentuk), relasi-relasi/ jaringan
kuasa (fungsi) dan pemaknaanya. Jadi kenyataan yang dikaji berupa kenyataan
berupa praksis sosial, relasi dialektis jaringan sosial, relasi kuasa dari
aktor (agensi), serta makna yang ditampilkan dalam masyarakat. Untuk lebih
jelas hubungan bentuk, fungsi dan makna, liak itu sendiri. Perhatikan tabel 01
berikut.
Tabel 01: Bentuk, Fungsi, dan Makna
No.
|
Bentuk
|
Fungsi
|
Makna
|
1
|
Struktur
(Benary Opposition)
|
Koneksitas
antar unsur
|
Mencari
tersembunyi di balik realitas
|
2
|
Agensi
|
Relasi-relasi
kuasa
|
Dominasi
Ideologi
|
3
|
Praksis
sosial
|
Kontestasi
|
Hegemoni
|
4
|
Subjek
|
The
other/ yang lyan
|
Pertarungan
kuasa
|
5
|
Teks
(artefact kultural)
|
Produksi-konsumsi-
regulasi- representasi; sistem.
|
Politik
Identitas, pengideologian; koptasi, posisi
|
6
|
Liak,transendental
|
Representasi
kebalian, eksistensi identitas Bali Aga
|
Magik,
sakti, modal sosial/kontrol, hormat leluhur.
|
Lihat
Santoso,dkk. (2012; Kuntowijoyo (1999:5-15); Mudji Sutrisno (ed.) (2004); Ubed
Abdilah S. (2002); Hendar Putranto (tt: 2-26); Field (2012), Simon (2004:45);
Kurzweil, 2005:49).
Kajian budaya memandang, realitas itu adalah sebuah
realitas distorsif, simulakra, kesadaran palsu, imaging comunity/ komunitas terbayang, narasi agung, budaya
dominatif, rasionalisasi, koptasi makna, kontestasi, anomali, permainan dan
sebagainya. Mengikuti pandangan Bourdieu
dalam Cheelen (19904-5) inilah yang perlu dideskripsikan, dicari asal-usul
orang, kelompok sosial, ideologi dan sebagainya, dianalisis, sehingga didapat
makna yang sesunguhnya (makna otentik). Jadi
kebenaran dalam kajian budaya adalah kebenaran yang ada di balik kebenaran
narasi besar, koptasi ideologi kekuasaan, budaya dominan, dan mencari hakiki
kebenaran itu dengan model berpikir benary
oposition.
2.1 Kajian Teoretis
Untuk memahami liak dibutuhkan strukturalis
transenden, untuk itu lihat karya Kuntowijoyo, mengenai strukturalis
transenden, diuraikan kerja sebuah strukturalisme (F. De Saussure, dan
antropolog C. Levi-Straus), dapat dipahami melalui empat (4) hal, yaitu (1) struktur
baru dapat dimengerti jika dikaitkan dengan unsur-unsur yang lain (inter-conectedness); (2) strukturalisme
bukan mencari apa yang tampak di permukaan (teramati), tetapi yang ada di balik
realitas (innate structuring capacity);
(3) dalam tataran emperis keterkaitan antar unsur berupa binary opposition; (4) strukturalisme
memperhatikan unsur-unsur yang sinkronis (Kuntowijoyo,1999;7).
Pembahasan historis mengikuti langkah-langkah atau prosedur kerja seorang filolog
dan sejarawan, terutama sejarah struktural (Sejarah sosial), yaitu: heuristik,
kritik sumber, interpretasi, dan penulisan fakta yang ditemukan atau spakes by data (lihat Pageh, 2010).
Dengan demikian struktur dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu deskripsi kekuatan pembentuk struktur (ideologinya, aji wegig/butaning laku), struktur dalam
(efistimologi, ngeliak), dan struktur permukaan (teramati, realitas distorsif,
kontestasi). Di sinilah digambarkan, dianalisis, dan perwujudan makna, deologi
kuasa, dan relasi-relasi unsur pembentuknya. Agennya tidak menunjukkan diri
secara terang-terangan karena ada dominasi kuasa. Transenden berarti yang ke
atas, bersifat niskala, dan berhubungan dengan sistem keyakinan dan orientasi
masa depan setelah mati (Kuntowijoyo, 1999:4).
Eksistensi Liak dicoba untuk
dianalisis menggunakan kerangka pemikiran strukturalisme, sebagai lokasi
lahirnya geneologis aliran struktural kiri ini. Hermeneutik/kritik sumber
(kerja sejarawan dalam menulis sejarah sosial-kultural), mencari pola-pola
struktur, untuk mengambarkan suprastruktur). Tentu semiotika tidak dapat dilupakan
dalam karya ini, karena selalu berurusan dengan language, parole yang nampaknya hiteroklit
seperti memiliki makna yang tidak
saling keterkaitan, namun berusaha dihubungkan secara sinkronis (lihat Dapur
Makna, dalam Roland Bathers, 2007:264-265). Terutama sejarawan berutang budi
pada ilmuan William Dilthey, merupakan tokoh yang berusaha menafsir titik
singgung antara hermeniutika dan sejarah. Dia memberikan uraian masuk akal
terhadap dua kubu (hermiolog dengan sejarawan), yang satu menghargai sinkronis,
sedangkan yang dua menghargai diakronis. Dijelaskan pelecehan terhadap
historisisme oleh beberapa pihak disebabkan oleh perubahan fakta kebudayaan di
masyarakat, dan terjadi kecendrungan menghargai sistem berlebihan, dibandingkan
dengan keberanian untuk berubah (Kontinuitas dan diskontinuitas dalam sejarah).
Terutama dalam usahanya mendudukkan kesetaraan ilmu natural (explanation) dengan verstehen (memahami). Dia menggugat ke-masukakal-an (intelligibility) dua ilmu yang
disandingkan itu, yang digugat bukan pada aspek ontologisnya, tetapi pada aspek
efistimologisnya (lihat lebih lanjut (3). W. Dilthey, dalam Paul Ricofur, ”Hermeneutika Ilmu Sosial. Kreasi Wacana”:
Yogyakarta, 2009:64-71; Bandingkan dengan Peter Burke,”Sejarah dan Teori Sosial, YOI: Jakarta, 2011).
Filsafat etika, manusia memiliki nalar (sikap kritis
di otak), memiliki nurani (di hati), dan memiliki nafsu (3 N) dijadikan dasar
penilaian pembongkaran ideologi kuasa (niat baik cara salah gugur, niat baik
cara baik bangkit, pilihan kata-kata (diskursus), sangat menentukan, kedewasaan
pemamaparan ilmu yang dipinggirkan untuk menarik simpati pemikir berparadigma
lain, dengan demikian dekonstruksi akan mudah dalam rekonstruksi kembali hasil
kerjanya yang baru dibangun. Pembongkaran dilengkapi dengan menggunakan teori–teori
ilmu sosial kritis seperti karya Althusser,2010; Agger, 2003;Cxavallaro,2004;
Simon, 2004; Kurzweil,2004; baca lebih lanjut Listyono Santoso, “Seri Pemikiran Tokoh: Efistimologi Kiri”.
Ar-Ruzz Media: Yogyakarta.
Secara ideal bangunan teori baru yang dapat
dijadikan disaign pemikiran, berdasarkan kajian teori secara fungsional dalam
kesempatan ini, belum dapat dilakukan, karena keterbatasan waktu, dan banyaknya
bahan bacaan penunjang yang seharusnya dibaca dan dikompilasikan menjadi dasar
pembentukan teori baru. Namun dapat dilihat secara perspektif bahwa bangunan
dasarnya sudah dapat dibayangkan untuk dapat dijadikan bangunan yang disenangi
dan diburu pembaca aliran kiri maupun kanan.
Diagram: 01 Disaign Penulisan
DISKURS BLACK MAGIC
Diagram
di atas digunakan untuk menganalisis (1) interconectedness
of black magic vs white magic), (2) innate structuring capacity (mencari
apa yang ada di balik realitas yang diamati), (3) melihat struktur binary oposition; (4) struktur dalam
keadaan sinkronik (Kuntowijoyo, 1999; Piaget, 1995). Sebagai sebuah ideologi
maka dapat mempengaruhi berbagai aktivitas kehidupan di masyarakat Namun dia
berbentuk struktur totalitas, yang baian-bagiannya ada usnur dari struktur
luar. Seperti pandangan Piaget (1995) sebuah struktur memiliki 3 bentuk yaitu Totalitas, transformasi, dan pengaturan diri. Struktur tidak dapat
dipahami sendiri-sendiri, kadang kala terkait dengan sistem, seperti melihat
mata uang dari dua sisi yang berbeda. Contoh lain, melihat rumah Bali bertiang
beton, Bali disempurnakan dengan ditambah unsur eropa. Sejalan dengan pandangan
F. De Soussure, menjelaskan hubungan (relasi) sintagmatis dan asosiatis
digambarkan dalam karyanya “Cours de Linguistique Generale”, menyebut hubungan
sintagmatis adalah hubungan kombinasi (gabungan) antar unsur dari struktur yang
membentuk keutuhan (contoh arsitektur tadi) (Hoed, 1995:viii-ix). Asosiatif
berafiliasi secara saling tukar, dalam membantuk kesatuan yang diinginkan.
Kajian Liak (Black Magic), secara
teoretis telah diberikan makna sesuai dengan ideologi kuasa, karena ideologi
kuasa telah merambah ke seluruh diskursus yang terjadi di masyarakat, seperti
disebutkan Althusser bahwa kehendak dalam mengideologikan masyarakat
sebagaimana dikehendaki oleh ideologi-kuasa telah merambah seluruh aktivitas
masyarakat (Althusser, 2010). Semuanya ini terkait dengan menumbuhkembangkan
kesadaran palsu. Inilah yang hendak dibongkar ideologinya untuk dapat melakukan
pembelaan terhadap dominasi ideologi kuasa (Bourdieu, dalam Richard Harker,et al., 2009; Simon, 2004).
III. Pembahasan
3.1
Kedatangan
Culture Hero di Bali
Terjadi perubahan ideologi
sejak Rsi Markandeya, ke Mpu Kuturan dan akhirnya dominasi ideologi Ciwaisme
yang diajarkan oleh Dang Hynag Nirartha, melalui dominasi kekuasaan Mojopahit
(Mojopahitisasi) Bali.
Kedatangan Hindu ke Bali telah memperkaya Agama asli
Indonesia di Bali yang lumrah disebut kepercayaan asli (local genius) bangsa Melayu Austronesia. Akulturisasi dan sinkritisme terjadi sejak abad ke-8,
dengan datang Rsi Markandeya ke Bali membawa ajaran Hindu dari Gunung Raung.
Sejarah mencatat datang dua kali ke Bali, (1) datang dengan 400 orang, diserang
grubug dan (2) datang kedua kalinya,
setelah mendapat inspirasi di Gunung Raung Jatim, dengan menbawa pengiring dari
Wong Aga (penduduk sekitar Gunung Raung Jatim), sekitar 200 orang lagi,
demikian disebutkan dalam Babad Rsi Markandeya, seperti dikutif oleh Pageh
(2011).
Kedatangan culture hero hinduisme tahap I, Rsi Markandeya ke Bali diawali dengan “menanam Pancadatu di
Basukih/ mulai dari Gunung Toh Langkir”[6]
menjadi Pura Batu Madeg, mengahadap ke barat (Gunung Raung), melakukan
pembaharuan kepercayaan dengan memadukan ajaran Hindu dengan lokal genius,
dengan menerapkan ideologi struktur dua (rwa
bhineda). Kepercayaan kepada roh leluhur, dipadukan dengan ajaran India,
terutama Brahman-Atman Aekyam
(penunggalan Brahman denga Atman). Ideologi rwa
bhineda ini dijadikan dasar penyusunan masyarakat selanjutnya, seperti
ajaran Aji Sangkya (dualisme tunggal), yaitu purusha dan pradana saling
melengkapi secara harmonis, seperti disimbolkan dengan Phalus (lingga/purusha),
dengan Yoni (Vagina) perempuan. Bertemunya secara harmonis mengakibatkan
keseimbangan terjadi, itulah hidup yang betul-betul hidup.[7]
Penghayatannya agama di Bali didasari oleh
kepercayaan ajaran Kanda phat, dengan jenis-jenis dan tingakatan berbeda-beda. Penjelasan
sakti yang dimiliki oleh tetuanya, dijelaskan sebagai berikut: Roh memiliki yang
diyakini memiliki sanak catur (Mrajapati Anggapati, Banaspati dan Banaspati
Raja, berbeda fungsi dan kedudukan dari sejak rare, bhuta sampai menjadi
Dewa (dari Kanda Phat Rare, Bhuta, Bunga, sampai kanda Phat Dewa).
Munculnya sektarian di Bali, dilatari dengan kebebasan
pemujaan Dewa-dewa yang diajarkan dalam ajarah Hindu, maka Sinar suci (Dewa)
itu dipersonifikasikan memiliki sifat-sifat menonjol seperti yang ditemukan
dalam alam. Ini memunculkan adanya sekta-sekta (paksa) di Bali, pada awal
kedatangan Hindu dari Jawa Timur yaitu dari Gunung Raung. Orientasi pura dan
sanggah pun mengarah kaja (gunung),
Gunung Raung, Mata hari, sehingga menjadi intinya meulu ka tengah.[8]
Sistem relegi berkembang dari percaya pada roh
leluhur sakti (yang telah manunggal dengan Dewa yang dipuja), sampai membawa
Catur Sanak itu, sebagai jaga satru difungsikan untuk menjaga: (1) desa
pakraman berstana di Mrajapati (ulun Setra), (2) Anggapati (Pekarangan Rumah),
(3) Banaspati (di Sanggah/ Merajan) umum disebut Angrurah Agung), (4) Banaspati
Raja, berstana ngider bhuwana. Fungsi dari keseluruhannya itu, menghasilkan
sistem relegi yang tampak pada Desa-Desa Bali Aga.
Maraknya Desa Bali Aga dengan adanya sistem relegi
baru ini, maka banyak muncul penghayat kebatinan (sekta-sekta) diberi nama
sesuai dengan dewa yang dipuja. Munculah banyak sekta (sekitar 8 sekta), di
antaranya: sekta Wisnawa (raja dianggap Titisan Dewa Wisnu). Ini berkembang
dari Jawa Barat sampai ke Bali (banten =Wali/Bali). Prasasti Ciaruteum
menyebutkan: “inilah telapak kaki raja Purawarman menguasai dunia sebagai
telapak Wisnu...”, Tradisi ini dilanjutkan di Bali dengan menepatkan Gambar
Kaki dua buah (enjekan Kebo, pahatan
dua kaki melambangkan Wisnu Turun ke dunia) yang umum ditemukan di pura-pura
tua, yang menjadi warisan relegi sampai saat ini.
Geneologi palinggih awal di keluarga adalah (1)
istana Dewa sekta yang dianut (punyan Dapdap dua buah, di atasnya ada bentuk
segi empat meulu dari ijuk, (2) Palinggih rong dua didedikasikan untuk Ni Meme ngajak I Bapa (kiwa-tengen), (3)
penunggalan gezah (wibawa) orang tua (pelinggih Taksu), (4.a) Pangrurah (salah
satu dari empat sekawan), (4.b) Tugun Karang, (4.c) Lebuh rumah/ pintu masuk;
(4.d) di Setra. Inilah yang disebut Catur sanak di jawa disebut Ong Phat Kelimo Pancer. Kehidupan pada
abad ke-8 itu diwarnai oleh usaha untuk memohon kesaktian, kebathinan inilah
melahirkan tradisi bebantenan di Bali yang kalau di India fungsi ini dilakukan
oleh Dewa Kumara (bayi) dan Ganesha tolak Bala orang dewasa. Jadi tradisi
inilah yang membayangi hingga kini, dan menjadi se-olah-olah agama Hindu.[9]
Kondisi ini berlanjut sampai
pemerintahan raja Darmodayana yang memiliki suami dari Jawa Timur bersekta Ciwa
yaitu Mahendradatta. Usaha untuk menyatukan sekta yang ada. Literatur
Barat/Penelitian sarjana Belanda menyebutkan adanya 8 sekta di Bali). Hal ini
diasumsikan mengakibatkan sering terjadi perang sekta. Muncul usaha untuk
menyatukan menjadi sekta Tri Murti, muncul Palinggih “Padma Tiga, hingga kini
masih banyak ditemukan buktinya.
Ini dilakukan setelah datangnya culture hero tahap II, Mpu
Kuturan ke Bali sekitar tahun 1001. Kemudian, pelinggih diubah, ditambah rong
tiga, dan dibangun Bebaturan/menjadi Padma Capah, kemudian Surya, dan kemudian
Padma Sana. Dang Hyang Nirartha (abad ke-16) bebaturan diganti dengan Padmasana
(lihat Pageh, 2010). Rong Dua menjadi Meres-Mujung (Rambut Sedana). Diikuti
dengan penghormatan pahlawan klan dengan membangun pagoda-pagoda (Meru di
Bali), sebagai keberlanjutan dari Funden Berundak, pelinggih pahlawan lokal.
Kuatnya ideologi Bali Aga, terus akhirnya diideologikan dengan tradisi, dan
ritus pengideologian itu. Sate gede, sate
asem, berbagai jenis jajan (manca warna), segehan manca warna, dan sebagainya.
Kedatangan culture hero hinduisme tahap III, Dang Hyang Nirartha (Dang Hynag= Guru Besar)
tahun 1550-an, penekun kemanunggalan Brahman dengan Atman ini, disebut Ngeliak (efistologisnya) dan secara
ontologis disebut Liak, zaman kuasa ideologi Mojopahit. Dibuatlah
mitos-mitos dominatif, dan meminggirkan ke-Bali-Agaan-dalam memberikan tafsir ideologi,
terjadi terus-menerus dilakukan hingga era globalisasi diwakili oleh PHDI dalam
pembinaan Umat Hindu ke Desa Pakraman Bali Aga, yang isinya ideologi kuasa kuasa
Majapahit.[10]
3.2 Ontologi Efistimologi Liak
dan Dominasi Ideologi Kuasa Mojopahit
Di koran Bali Post (2011) diwacanakan master
Liak di Bali yang diakui kesaktiannya
adalah Jero Mangku Teja (berasal dari desa Bangbang, Kabupaten Bangli). Dia
adalah seorang seniman tari Calonarang yang biasa “memamerkan kemampuannya Negliak”, disebut tokoh
beraliran hitam berwujud Rangda. Calonarang
ini diadopsi dari cerita sejarah,
kerajaan Hindu zaman
Erlangga, Jawa Timur, yang sesungguhnya teks men-teatre-kan konsep rwa bhineda pada manusia Bali, setelah
berakulturasi budaya aslinya dengan hinduisme di Bali.[11]
Dalam sejarah Hindu di Bali, ajaran Rsi
Markandeya, diyakini hakikat hidup itu adalah harmonis antara
dua yang bertentangan, yang dikonsepkan menjadi ideologi rwa bhineda, dua sisi
kehidupan manusia yang tak terpisahkan. Teori oposisi biner (binary oposition) itu, sesungguhnya
telah dipentaskan, telah menjadi teks-teks kehidupan di Bali sejak abad ke-8 di
Bali, sementara di Eropah (Prancis) baru awal abad XIX. Seandainya ada ilmuan
Indonesia dapat mengungkap ini, saat itu maka gugur penemuan ahli barat itu
olehnya, karena telah menjadi ideologi di Bali, bukan hanya sebuah wacana saja
(bandingkan dengan Takwin, dalam Pengantar, 2009: xv-xxv; Chellen, et al.,
2009:4-5; Piaget, 1995:).[12]
Pentasnya dapat dilihat dalam mengideologikan, bahwa dharma vs adharma (Bali Aga vs Mojopahit), dharma
Mjopahit dan adharma Bali Aga. Kemudian juga berimplikasi perbuatan baik
dan buruk, laki-perempuan (gender), siang-malam, kangin-kauh,
kaja-kelod,Nyegara-Gunung di tengah Pura Pusat Desa, nyatur di tengah-tengah
daerah astral (Bali Aga). Oleh tarian Calonarang
misalnya sebagai contoh (Rangda Vs Barong) Raja Perempuan dengan manusia dengan
saktinya Barong Ket (Banaspati Raja) dipentaskan sama kuat (Bali Aga), menjadi
perbuatan baik dipersonifikasikan dalam wujud barong, melawan
perbuatan Rangda (Manusia Sakti), sesungguhnya sama kuat (harmoni),
sehingga sama-sama dijadikan Bhatara (pelindung) di Bali.[13]
Kembali ke soal Mangku Teja, seorang dukun
sakti di Bali, menjadi guru pentransfer ilmu pengliakan
kepada orang-orang yang belajar ilmu Liak. Namun, Mangku Teja bukanlah, atau
tidak menggunakan ilmu Liaknya untuk menyakiti orang, dia justru malah
sebaliknya seringkali menggunakan ilmu Liaknya untuk mengobati orang yang
menderita berbagai macam jenis penyakit, mulai dari penyakit ringan sampai yang
berat seperti kanker. Dari sana sebenarnya dapet dipahami. Whate magic dan atau black magic sesungguhnya batasnya sangat
tipis, bagaikan pisau dapat digunakan membunuh dan atau membuat sambel bawang
matah.
Terakhir sudah banyak buku-buku cetakan penerbit,
mempublikasikan tentang ilmu pengliakan, kanda phat, dan aji kanuragan yang
lain (lihat Majalah Kebudayaan Taksu Bali. Yang penulis jadikan bahan kajian,
kecuali ngambil di internet adalah:
(A) Majalah
Kebudayaan Bali: Taksu Bali, edisi
Januari 2012
1.
Taksu Bali, edisi Januari 2012:
membahas, musyawarah para liak dan siat peteng liak, ngundang liak, dan wacana
lain dengan mengandalkan informan dianggap penutur primer. Haraus dipahami, itu
adalah penyampaian ideologi yang mereka percayai, keberadaan leak tidak dapat
diwujudkan seperti pandangan Kantinian.
2.
Pertempuran, luka paran, musyawarah
wacana yang dibuat bukanlah dalam makna kantinian, tetapi adanya “ada pada
tataran ideologi liak”.
3.
Liak diartikan seperti meujud, padahal
ujudnya adalah pemujaan huruf-huruf, sebagaimana diyakini dan dihormati ujud
huruf itu seperti dewa saraswai, berwujud dan disakralkan, terutama huruf
modere bukan huruf Sanskerta (bukti lokal genius).
4.
Ngeliak dipandang sebagai puncak yoga
yang disalahkan oleh ideologi Mojopahitan, yang menurut Derrida dan Foucult
disebut logosentrisme. Leak pun dipandang memiliki komunitas, komunitasnya
dapat dirunut pada desa-desa pembangkang jaman Mojopahit, lawannya secara
ideologis dan kekuasaan.
5.
Ketut Tantra yang dikontruksi menjadi
guru spiritual Sruling Dewata, banyak dijadikan refrensi dalam pergulatan Ganda
Phat. 33 kanda phat merusak, dan hanya 3 membangun (kanda phat nyama
disebutkan). Membeberkan antologi, efistimologi, termasuk organisasi, dan
pembayarannya (esensi globalisasi). Orientasinya Gunung Batukaru, Perguruannya
menggunakan guru Swadiyaya, dengan
mengkontruksi guru spiritual seluruh dunia, jawa, Indonesia, bahkan Cina dan
Tibet, dengan pusat di kaki Gunung Batukaru dan Drs. Ketut Nantra, meyakini
dirinya medapatkan anugrah sebagai Sesepuh ke IX dalam perguruan itu (2012,
1-34). Lihat pula, Tuntunan Kanda Phat
Pemurtian.(Paramita: Surabaya, 2011) ini terbitan berseri. Dengan
efistimologi Meditasi Kluwung Geni, Meditasi Kluwung Toya, dan Meditasi Kluwung
Angin.
(B) Majalah
Kebudayaan Bali: Taksu Bali, Edisi
Maret 2012
1.
Memuat sajian utama ciri-ciri orang bisa
ngeliak, dengan tuduhan seperti umumnya bahwa liak kejam sadis dan sebagainya.
Dibandingkan dengan Sasak ada ilmu sokik, suanggi (k) untuk Flores. Pertanda
Budaya ini milik bangsa Melayu Asutronesia.
2.
Wajahnya ditunjukkan bahwa liak berwajah
Cinging, dukun diidentifikasi juga ngelarang ilmu hitam ini, disebut
pengliakan, penestian, pepasangan (buat sakit), sesirep (untuk maling), bebahi
(sakit). Mengutip lontar Aji Pangliakan,
milik Griya Sangket Karangasem. Isinya: (1) “Pasuryan Pangiwa”, (2) “Gni
Sambrawana/ pangiwa sari”, (3) “Cambra
Brag” (2012:14).
3.
Jenis Liak Panugrahan, seperti Kanda
Phat Tanpa Sanga Tanpa Sastra, Panugrahan Dalem Nusa (cocok daerah itu, daerah
pinggiran yang kuat menentang kekuasaan Mojopahit). Prokontra ada mengatakan
gosif, ada memperkenalkan dengan penuh semangat, simbolisasi dengan nasi
rangda, untuk membedah alam gaib, dan diikuti dengan efistimologi ngarad bhuta,
oleh Sesepuh Sruling Dewata (Nantra, 2011).
(C)
Majalah Kebudayaan Bali: Taksu
Bali, Edisi April 2012.
1.
Diawali dengan syair dan puisi leak dari
penyair Samag Gantang. Puisi mistik, dan memiliki daya magis yang sangat baik.
2.
Juga dilaksanakan pembahasan sastra
magis, dan mantra pengeresan (membikin orang takut), ini adalah niat-niat kuasa
dominatif yang tidak terwujud, diwujudkan lewat ilmu hitam (jika orang tak
terpengaruh niat jahatnya) dikatakan membawa penolak bala hebat (paica, sabuk,
mantra, ilmu, aeng, dan sebagainya).
3.
Wujud yang diasosiasikan dengan ngeliak,
semua binatang mitologis yang disakralkan dalam aliran Waisnawa dalam efos
maupun dalam tantri (Bojog asosiasikan dengan Anoman, Sugriwa, Imawan dll;
Bangkung (ingat Weraha Awatara, Tapih (angkeb Rai perempuan/gender), Jaka
Tunggul (tumbuhan tersayang, persiapan paceklik, tuak-arak, ijuk, sagu, dll.)
ada bentuk liak Jaka Tunggul. Pembunuhan karakter binatang, kera, pohon, dan
sebagainya yang dihormati pramojopahitisasi.
4.
Paling ideologis adalah dengan melepas
“Kebo Duwe” seperti di Taro, Tenganan, Selulung, Mengani, Tampekan (Pageh, “
Wadak Mengani: Hama yang Dilestarikan”, Fundamental, 2008. Melarang memakai
Kuda di Desa Bali Aga Songan, melaksanakan upacara potong Kerbau (12 Pemayuh
Gumi) di Sukawana/Penulisan. Manten mebulu Geles di Bulian, dan Kubutambahan,
dapat saya identifikasi sebagai hukuman yang kini disakralkan, karena
keberhasilan Mojopahit (Ketut Ngelesir) memberikan hukuman dengan legitimasi
agama (Ciwaisme).
(D)
Majalah Kebudayaan Bali: Taksu
Bali, Edisi Juli 2012.
1.
Editorial berkementar tentang liak,
mengkonstruksi ilmu liak itu sering membuat orang sekitar sakit, pengiwa
sembunyi tangan, juga Balian menutup rapat-rapat tentang Ilmu Hitam ini. Memang
sungguh-sungguh tidak tahu, dan tak mungkin tahu. Itu kaca mata sejarawan.
2.
Sajian utama menjelaskan dan
mengkarikaturkan efistimologi menstransfer ilmu liak dengan rerajahan (huruf
modre). Lidah meler, seperti lesbian menakutkan.
3.
Ditunjukan fakta (distorsif) ‘Si Ketut”
dapat jadi Bojog karena warisan. Sepertinya dengan mudah dapat turunan seperti
warisan uang kepeng di keben saja. Ini adalah wacana legitimasi, menakut-nakuti
orang, meyakinkan tahun dan tidak tahu sesunguhnya.
4.
Efistimologi ngeliak ada yang dilaksanakan
di rumah, dan ada yang dilaksanakan di Kuburan. Di rumah menggunakan
simbolisasi, brahma penciptaan (dapur/prapian), tempat tidur, sanggah, tugun
karang dengan astralnya ada di tengah-tengah natah, dan sebagainya. Dilengkapi
dengan berbagai bentuk jadiannya (diskursus dibayangkan).
5.
Ada menonton dadong mgeliak (gender),
dan gambar, patung, foto imajinatif yang sepertinya leak serem. Diakhiri dengan
efistimologi Pustaka Jati oleh Sesepuh IX Guru Nantra.(hal 1-32).
(E) Taksu, edisi Agustus 2012.
1.
Paling menarik telah terjadi globalisasi
perdukunan, dengan nama Klinik Gaib Dokter Niskala. Ditanggapi secara kritis
oleh Dra. Ida Ayu Gde Yadnyawati, MPd-UNHI. Dengan menganatakan praktek/promosi
Balian dan Testimoni Menyesatkan. Kita dapat katakan pembentukan Hiper Rialitas
menyesatkan terjadi memang di TV Bali TV, sering dan memuakkan. Dengan tudingan
dokter ilmua Kantinian, menambah sakit dan alternatif menyehatkan. Ini dapat
menyesatkan masyarakat banyak yang tidak mengerti politik media, Bali TV dengan
media mengunduh kapital lewat tayangannya, tentu tidak dapat dituntut. Hanya
saja menggunakan semboyan “Matahari dari Bali”, dapat dikatakan Matahari saat gulem/mendung/kelabu, karena ditudungi
oleh uang pengguna TV yang siarannya terkadang menyesatkan. Berbagai cara untuk
melegitimasi keinginan dipercaya orang memiliki sumber daya “dukun dan
niskala”, ada dengan jalan praktek sepertinya menggunakan laboratorium ala
modern, ada dengan kerauhan, dan sebagainya. Muncul istilah Ter-Kun (dokter-dukun), dan sebagainya.
Secara efistimologi, yaitu cara untuk mendapatkan ilmu liak (ngelmu) membutuhkan ilmu/guru khusus (ada panugrahan). Prosesi ngeliak, tata laku memiliki prosedur
tersendiri, tidak dapat ditemukan struktur
terdalamnya atau isinya jika disampaikan oleh orang sedang studi, Dosen
Pesakitan di kajian Budaya Unud, butuh waktu khusus, perlengkapan khusus, tempat
khusus (bisa di setra dan atau di sanggah kemulan sendiri (di rumah). Lihat dan
baca Teks/simbolisasi berikut ini, dalam tontonan dan relegi di Bali.
Sumber: diunduh dari internet, 4 Oktober 2012.
Ideologisasi dari kekuasaan Mojopahit, telah
meminggirkan, mengucilkan, menjelekkan, menegatifkan bahkan melalarang ilmu itu
ditemuni. Jika ada orang laki belajar ngelmu
babi mgepet (Jawa), ngeliak di
Bali disebut “ngiwa”, ngelarang aji
wegig, aji bhutaning laku. Sedang jika ilmu Dukun lawan dari Ilmu Leak itu,
disebut Ilmu Putih, baik, dilindungi. Padahal dia juga yang mengeluarkan ilmu
negatif (liak?), seperti membuat penangkeb,
guna-guna, kekebalan, pengijeng, dan sebagainya.
Pada prinsipnya, ilmu Liak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan ke luar tubuhnya, melalui ngelekas atau ngerogo sukmo. Kata ngelekas artinya kontaksi batin agar badan astral kita bisa ke luar. Ini pula alasannya orang ngeliak. Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut angeregep pengelekasan. Sampai di sini roh diyakini bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum di sebut “ndihan” bola cahaya melesat dengan cepat, bahkan mengambil bentuk binatang atau benda lain ideologi yang melecehkan ilmu itu dari lawannya dari belahan ilmu lain.
Kode etik pengliakan sangat ketat, dan sangat
baik untuk pengendalian diri manusia yang serakah dan keraksasan. Hanya saja
karena ada pertarungan ideologi, kuasa dan dominasi maka semuanya diasosiasikan
dengan jelek, hitam dan tidak boleh. Bahkan kalau salah bisa digebug massa,
sampai-sampai ada yang terbunuh.
Setiap
tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut Liak sering kecele,
ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi
dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya
seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat
penting, dan di sini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.
Selama ini Liak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber
penyakit, atau aji wegig bagi
sebagian orang Bali.
Ada pun
caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah
emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian.
Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji
pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri). Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik
kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri, sesungguhnya gender,
dan dominasi mojopahit (Ciwaisme).
IV.
Penutup
4.1 Simpulan
Liak
dapat dipahami sebagai Upper reality (adanya dari tidak ada) lawan dari hipper reality (dari ada menjadi
terbayang ada), sudah dikenal dalam sejarah sejak abad ke-8, adanya tidak
teramati, ada di balik wacana dominasi kekuasaan Mojopahit. Sebagai
sebuah wacana, dalam Culture Studies
tidak ada ajaran yang hitam atau putih, karena sangat bergantung siapa yang menggunakan
dan memperkenalkannya. Dalam hal ini pertarungan ideologi wong Bali Aga dengan wong Mojopahit (Ridwan,
2002). Dalam membangun ideologis logosentrime, dilakukan berlanjut hingga era
ini (Simon, 2004; Albert, 2004:161). Secara efistemologi, ilmu liak memiliki
etika/ tata sumpah, tidak ada mengajarkan yang negatif. Citra, diskursus, dan
juga melihat efistimologi ngeliak, sangat padat dengan etika moral dalam
ngeliak, membutuhkan seorang sesepuh yang memiliki konpetensi untuk mentransfer
ilmu liak itu.
Jadi
selama berabad-abad ideologi kuasa Mojopahit (sejak abad ke-16) terus membangun
wacana, menurunkan kredibelitas Bali Aga dengan ilmunya, dan melarang,
meminggirkan, bahkan menjijikan, dengan bentuk ritual, tarian, wacana, bangunan
dan sebagainya, namun tetap saja muncul dari belakang. Masuk dari sumsum tulang
belakang (tulang giingnya sendiri). Gender, banatang simbolik, makanan bangkai,
black magic (wegig) dan sebagainya,
namun justru makin dimusuhi, makin kuat resistensinya, bahkan sekarang dimusuhi
dan di buru oleh kelompok subatern di masyarakat.
4.2
Saran dan rekomendasi
Secara
aksiologis, direkomendasikan untuk membongkar ideologi yang memburukan aji
kewisesan Budaya Melayu Austronesia itu, yang disebut pengeliakan, karena itu
merupakan budaya adi luhung Lokal Genius Melayu Austronesia, menjadi tradisi di
Bali yang melekat pada adat Bali. Bahkan menjadikannya seperti dibawa Hindu
Impor India itu. Di samping itu, juga disarankan agar liak dipahami secara
seimbang dengan ilmu Putih, karena citra negatif ini dapat mengakibatkan orang
Bali enggan mempelajari Ngeliak itu, padahal itu adalah miliki ilmu kanuragan/
kawisesan Melayu Austronesia, Bali Aga, dan wong mojopahit. kuasa Mojopahit telah mengubah citranya
menjadi buruk, dan sangat mulia zaman Bali Aga sejak abad ke-8 di Bali. Citra
gender mengakibatkan para dadong menjadi selalu dituding naif, tidak seperti
Balian yang sesungguhnya secara terbuka dapat membuat keburukan dan pembohongan
publik, dengan promosi perdukunan lewat media elektronik dan koran. Gerakan
feminisme liak direkomendasikan untuk dibangun dan difasilitasi melalui
pendirian organisasi resmi. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Mahendra, I Gede. 2004.” Media Anak Muda Bal (proses ngeLiak)”.
http:// www. IloveBlue.com/2008/08/18 diunduh,
4 Oktober 2012.
|
Yulian. 2007.” Ilmu Hitam di Bali”. http:// www. peperonity.com/, diunduh,
Tanggal 5
Oktober 2012.
|
Suprapto, Adang. 2009.” Filosofi Liak Ngendih di Bali”. http:// www. Paris sweet home.com,
diunduh tanggal 4
Oktober 2012.
|
Pageh, I Made.
2008. Wadak Mengani: Hama Yang Dilestarikan (Kasus Wadag Mengani, Kintamani
Bangli). Hasil Penelitian. Undiksha: Singaraja.
|
Ridwan, Nur
Khalik. 2002. Pluralisme Borjuasi:
Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur. Galang Press: Yogyakarta.
|
Majalah
Kebudayaan Bali: Taksu Bali, edisi Januari (2012); Edisi Maret ( 2012); Edisi
April (2012); Edisi Juli (2012); dan Edisi Agustus (2012).
|
Nantra, Drs. I
Ketut. 2011. Seri XI Kanda Pat,
Tuntunan Meditasi kanda Pat Pemurtian: Meditasi Kluwung Geni, Meditasi
Kluwung Toya, Meditasi Kluwung Angin. Paramita: Surabaya.
|
Buda, Jero
Mangku Made. 2011. Kanda Sanga Tanpa
Sastra, Panugrahan Dalem Nusa. Paramita: Surabaya.
|
Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
|
Wiasti, Ni
Made. 2012. Penerapan Teori Gender dan Feminisme. Bahan Matrikulasi S-3 Unud
Dps.
|
Kuntowijoyo.
“Strukturalisme Transenden”, dalam Journal Akademika: Kajian Masalah Sosial dan Keagamaan: Peradaban Dalam
Paradigma Transendental. No. 01/Th.XVII/1999 (hal.05-15).
|
Takwin, Bagus.
2009. “Pengantar, Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul
Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial”, dalam Pengantar Paling Komprehensif kepada
Pemikiran Pierre Boudieu, Richard Harker, et al. (editor). Jalasutra: Yogyakarta.
|
Mahar, Cheleen
(et al.). Posisi Teoretis Dasar (Cheleen Mahar,dkk. et al.). dalam, Pengantar
Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Boudieu, Richard Harker, et al. (editor). Jalasutra:
Yogyakarta.
|
Burke, Peter.
2011. Sejarah dan Teori Sosial.
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
|
Agger, Ben.
2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya.
Kreasi Wacana: Yogyakarta.
|
Hoed, H. Benny.
1995. “Pengantar”, dalam Jean Piaget:
Strukturalisme. Yayasan Obor Indonesia (penerjemah). YOI: Jakarta.
|
Piaget, Jean.
1995. Strukturalisme. Yayasan Obor
Indonesia (penerjemah). YOI: Jakarta.
|
Althusser,
Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme
Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Olsy Vinoli Arnof
(penerjemah). Jalasutra: Yogyakarta.
|
Barthes,
Roland. 2007. Petualangan Semiotika.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
|
Ricoeur, Paul.
2009. Hermeniutika Ilmu Sosial.
Muhamad Zukri (penerjemah). Kreasi Wacana: Yogyakarta.
|
Kurzweil,
Edith. 2004. Dari Levi-Straus sampai
Foucoult: Jaring Kuasa Strukturalisme. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
|
Pageh, I Made.
2010. Metodologi Sejarah: dalam
Perspektif Pendidikan. Larasan: Denpasar.
|
Field, John.
2010. Modal Sosial. Nurhadi
(penerjemah). Kreasi Wacana: Yogyakarta.
|
Albert, Hans.
2004. Risalah Pemikiran Kritis.
Joseph Wagiman dan Moh, Hasan Bisri (penerjemah). Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
|
[1] Tugas, dalam Mata
Kuliah Manusia dan Kebudayaan Kontem Porer, diasuh oleh Dr. Ni Ketut Wiasti,
dkk, 2012 di S-3 Kajian Budaya Unud Denpasar.
[2] Belajar ilmu kiri (black
magic), terpinggirkan di masyarakat,
sehingga penekunnya sembunyi-sembunyi, tidak berani menunjukkan diri sebagai
penekun pengeliak.
[3] Saya mengatakan “Animisme dan Dinamisme” wacana orang luar
Hindu menyebut, deskripsinya kepercayaan terhadap sakti/kekuatan gaib datang
dari luar diri manusia dan
penghormatan/perlindungan ruh leluhur.
[4] Sartono Kartodirdjo menyebut dalam Bahasa
Belanda dengan Cuultuurgebudenheid untuk
ikatan budaya zaman dan Zeitgeist
untuk Jiwa Zaman (1992).
[5] Sejarah
dimaksudkan dilaksanakan dengan prosedur kerja sejarawan: (1) heuristik/
mencari sumber, (2( kritik (intern/ekstern), (3) interpretasi, dan (4) Penulisan
(fakta terbangun).
[6] Tempat ini menjadi
Pura Batu Madeg (Lingga-Yoni) berdasar empat pripih simbolisasi kanda phat
dewa, yaitu Dewa Iswara (Timur) pripih slaka, warana Putih; Dewa Brahma
selatan, tembaga , warna merah; Dewa Mahadewa di barat, warna kuning, pripih
emas; Dewa Wisnu di Utara, pripih besi, warna hitam; dan Dewa sami di
tengah-tengah, manca warna. Manca warna
(manunggaling kaula-gusti, Brahman-atman
aekyam beserta seluruh saudara caturnya). Di-Ciwa-an zaman kuasa Mojopahit,
setelah Dang Hynag Nirartha datang sekitar abad XIV.
[7] Ajaran rwa bhuneda mengajarkan harmoni dari
hakikat dalam kehidupan (benay oposition)
, seperti pendapat Kuntowijoyo di atas, mengatakan realitas ini merupakan
binary oposition (1999).
[8] Pura epemedal empat,
ada balai pegat, ada titi ugal-agil, Balai Dawa kembar (simbolisasi
pemerintahan pakraman) contoh Pura Agung Raung Taro, ritual Bhu Kakak (Sangsit
Bll), Ngusaba Guling Bugbud, Ngusaba Dodol, Ngusaba Nini, Perang Ketopat.
Ngaben Bikul prosesi mengingatkan Ganesha (sekta Ganapati?), dll. Resistensi
Ideologi Ganaesha, di bawah bayang-bayang dominasi Ciwa Mojopahit, sehingga
disembunyikan dengan acara nagluk merana di Tabanan (Disertasinya Dr Pande..),
dan ada juga di Julah Buleleng (Atmadja).
[9] Sakti
pun didapat, dengan sektarian ini, karena masyarakat masih menggunakan sisa
tradisi sebelumnya (“animisme dinamisme(?)” yaitu “setengah hukum rimba”, siapa
yang kuat dia yang berkuasa “primes inter
peres”.
[10] Disinilah kuasa
ideologi dari penguasa bermain dan menekan idepologi Bali Aga, dalam berbagai
aspek kehidupan. Hanya tersisa beresistensi di beberapa desa Bali Aga yang kuat
pengidiologiannya.
[11] Belum saya temukan
tulisan yang menggunakan sudut pandang ini, sehingga penelitian saya tahun 2011
mendapatkan Hibah Strategis Nasional, dari DIPA Dikti 2010.
[12] Ini butuh ilmuan beken yang melakukan caunter terhadapt
teori binary oposition itu, sehingga kekayaan intelektual bangsa ini
terpublikasikan.
[13] Simbolnya berhala
(kata teman saya), sedangkan yang disimbolkan (hermeneutika modern), bukan.
Jika diskusinya dikulitnya maka persoalan diskusi tak pernah selesai, jika
diisinya maka tuntas dapat dipahami oleh siapa saja, secara rasional dan
relegius.