Tengkulak -Syahbandar di Bali Utara zaman kolonial Belanda
DARI TENGKULAK KE SUBANDAR:
Perdagangan di Singaraja Kota Keresidenan Bali dan Lombok
Tahun 1850-1940.
ABSTRACT
From Tengkulak and Soebandar:
In The Trade of Local Commodities
in Singaraja Town the Dutch Colonialism
Era,
1850-1942.
By: I Made Pageh, 53 pages
The Bali and Lombok are dominated by political
history, the arrival of the Indonesian nation to the dutch economy to gain
advantage the trade in Bali and Lombok keresidenan a very important to be
researched. ThatThis study aimed at providing the answers to the
following problems chronologically:1) What kind of commodities were marketed in
the local region during this time?; 2) What was the structure of the trade
like?; 3) How were role of “Tengkulak” and Soebandar in the trade of local
commodities in Singaraja town the Dutch colonialism Era ?
The procedure of collecting the data
was historical method involving: heuristic, critic (external and internal),
interpretation (analysis), and historiography. In this case a quantitative
analysis was also used. The steps including arranging the members gained the
data collecting on tables, and presenting historiography social economic
history.
The North Bali region supported the
beach trading in 1850-1942 due to its openness to the traders from South East
Asia. Because of its dry land, the region was very conducive for such
plantation as coconut and coffee, and also for keeping such domestic animals as
pigs and cows to be marketed locally. Under
the Dutch administration (1850-1942), both domestic and foreign market could be
controlled very well and these period were supposed to be its golden years
until the center of the goods export and import was moved to Makasar in 1920s.
The market surplus took place in 1914-1919, approximately 23.11% per year. The structure of the market did not follow
the mono-mainstream whether it was in the market levels, the traders, the flow
of the goods internally or externally. “Tengkulak” and “Subandar” were actually
two market behavior important in trade chain. The “tengkulak” collected the
commodities from the famers who were running scale small production, while the
“subandar” organized the goods export and import in seaport, their co-operation
trade ran very well. The town was
collapsed because of the Dutch administration’s policy to centralize the export
and import the goods of East Indonesia in Makasar in 1920. Beside that there
was also an economy depression in 1927-1930s. Because of these the town was
then a “sleeping lion”, since it was occupied by the Japanese in 1942.
Keyword: Tengkulak, Syahbandar, Perdagangan Kolonial Belanda di Bali
1. Pendahuluan
Penulisan
sejarah sosial-ekonomi belakangan makin meningkat yang mulanya hanya didominasi oleh sejarah
politik. Kajian sejarah model ini berusaha melibatkan rakyat kecil sebagai salah satu
faktor penting dalam kajian. Sejak zaman kolonial sampai awal kemerdekaan tidak
banyak ditemukan karya yang mengambil tema sejarah sosial- ekonomi. Beberapa
tokoh perintis sejarah sosek antara
lain: Van Soest (1869), Pierson (1868), Collenbrander (1926), Gonggrijp (1928),
Clive Day (1966), van Leur (1955). Beberapa di antaranya merupakan sejarawan
Indonesia seperti: Sartono Kartodirdjo (1966) menulis pemberontakan Petani
Banten; Benda dan Castel (1969) mengenai gerakan Samin; Onghokham (1975)
menulis tentang Madiun; Kuntowijoyo
(1984) mengenai perubahan sosial di Madura; dan Djoko Suryo (1989) tentang
perubahan sosial di keresidenan Semarang (Cf. Pageh, 1998).
Selanjutnya
di tahun 1970-an sejarah perekonomian mendapat perhatian lebih banyak dalam
kajian para sejarawan, baik sejarawan dari dalam negeri maupun luar negeri. Di
antaranya Elson (1984) mengkaji Tanam
Paksa di Pasuruan; Fernando (1989) tentang Cirebon, Roger Knight (1983) tentang
Pekalongan, Soegijanto Padmo (1994) tentang Tembakau di Pasuruan dan Basuki,
Bambang Purwanto (1992) tentang Karet Rakyat di Sumatera Selatan, dan
sebagainya. Dalam karya sejarah sosial-eonomi
tersebut di atas banyak menemukan hal-hal baru yang sangat menarik. Misalnya
keyakinan selama ini bahwa Sistem Tanam Paksa dianggap penyebab terjadinya
kemiskinan massal di pulau Jawa, ternyata tidak terbukti demikian adanya. Hal
ini kaji oleh tokoh-tokoh dari negeri Belanda,
seperti: C. Fasseur, Th. Lindblad; Amerika Serikat Robert van Niel dan
dari Australia seperti, R.E. Elson dan G.R. Knight dalam pembahasannya.
Kajian
para sarja tersebut mengilhami penulis, di samping daerah Bali
tidak banyak diungkap dalam penelitian-penelitian tersebut. Penulis tertarik
pada perpindahan barang dari desa pedalaman atau hinterland ke kota atau daerah pesisir,
khususnya dalam hubungan dagang masyarakat desa dengan masyarakat kota di Singaraja. Petani
berperan sebagai juru produks
barang, sedangkan dalam pemasarannya lebih didominasi oleh pedagang yang bukan petani. Serplus dari hasil pertanian lebih sering
menguntungkan tengkulak dan soebandar.[1]
Tengkulak berperan sebagai rantai penghubung antara penghasil dan penjual ke
luar dalam memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat pedesaan. Tengkulak berperan sebagai rantai penghubung, di
pihak lain soebandar berperan sebagai eksportir dan importir. Jaringan di antara mereka inilah yang sangat
menarik untuk dikaji, karena peran mereka sangat menentukan kelancaran dan
perkembangan perdagangan di Bali Utara.[2]
Dari latar belakang tersebut di atas
dapat dirumuskan permasalahannya,
antara lain: apa sajakah komoditas yang diperdagangkan;
bagaimanakah volume dan struktur perdagangannya; bagaimanakah peranan tengkulak
dan soebandar dalam perdagangan di kota Singaraja yang ketika itu menjadi kota
Keresidenan Bali dan Lombok? Mari
kita diskusikan satu persatu dalam topik berikut.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
penulisan sejarah, yaitu heuristik (pengumpulan data), kritik (ekstern dan
intern), interpretasi (analisis), dan historiografi, atau penulisan, yang dalam
penulisannya diwarnai oleh teori sosial-ekonomi. Dengan perspektif
social-ekonomi ini dapat menghasilkan
renik-renik dan struktur peristiwa yang dikaji. Perdagangan dari tengkulak
sampai Soebandar memiliki struktur linier sebagai berikut.
Bagan/Design: Hubungan linier rantai perdagangan antara
Petani, Tengkulak, dan Soebandar.
(1)
Raja/Punggawa-----Soebandar (Penguasa Pelabuhan)
(2) Bandar---- Bandar
---- Bandar ----Bandar
(3)
Pedagang/Agen-agen (Broker/Perantara)
(4) Tengkulak (Penendak/Pengalu)
(5) Petani (Produsen)
Sumber: Diadaptasikan dari I Gde
Parimartha, “Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, Disertasi, Vrije Universiteit,
Amsterdam, 1995, hal. 242
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kondisi Geografis, Penduduk, dan Sarana
Pendukung Perdagangan di Ibu Kota Keresidenan Bali dan Lombok
(Singaraja).
Secara historis pada zaman kekuasaan
kolonial Belanda, Singaraja pernah menjadi kota keresidenan Bali
dan Lombok sejak tahun 1882-1942. Juga setelah
merdeka dijadikan ibu kota
Sunda Kecil, di tahun 1958 Nusa Tenggara di bagi menjadi tiga daerah
administratif yaitu: (1) Bali; (2) Nusa
Tengara Barat; dan (2) Nusa Tenggara Timur. Sehingga sejak itu, Bali menjadi sebuah propinsi tersendiri dengan ibu kota Denpasa, sedangkan Singaraja berstatus kota kabupaten, bagian
dari wilayah Propinsi Bali.[3]
Sejak itu sebenarnya Singaraja menjadi “singa ompong atau singa ompong tidur
nyenyak”.
Pegunungan yang membelah Bali menjadi dua bagian, sekaligus menjadi batas alam,
antara Bali Selatan dan Bali Utara (Den
Bukit).[4] Luas
seluruh swapraja Buleleng adalah 1.326 km2, sekitar (23,58%) dari
5.621,3 km2 seluruh luas Pulau Bali. Grader (1937-an) menggolongkan Bali Utara
menjadi tiga bagian yaitu Buleleng Barat, Buleleng Tengah, dan Buleleng Timur.
Dari ketiga itu, Buleleng Tengah yang memiliki kawasan paling subur dan sangat
potensial terhadap berbagai komoditas.
Perkembangan Penduduk: sensus penduduk
tahun1815 tahun 1905 dan 1920 hanya berlaku untuk Jawa. Oleh karena itulah maka
sensus penduduk Indonesia kecuali sensus penduduk tahun 1930,1920,1961 dan 1971
dan seterusnya zaman Orde Baru, tidak dapat disebut sensus penduduk di
Indonesia.[5] Beberapa penulis menuliskan data
kependudukan dalam sejarah Buleleng, di antaranya: Medhurst (1837) menyebutkan,
“Djambarana is included in the king of
Buleleng..., the two states contain a population of from 60 to 80.000 souls.”[6]
Sekitar dua dekade kemudian, muncul laporan Waanders (1859) yang menguraikan
tentang gambaran komposisi penduduk Buleleng
sebagai berikut.
Pemimpin (230
orang); Brahmana(210 orang); Satriya (240 orang); Wesya (300 orang); Sedahan
(41 orang); Keliyan Subak (120 orang); Mangku, Keliyan Desa, Kubayan, Bendesa,
Pekaseh (400 orang); Pengayah (3.300 orang); Budak (700 orang). Jumlah
seluruhnya 6.241 orang. Sedangkan Orang
Timur Asing, disebutkan Cina (40 orang), Arab (3 orang), Bugis dan Makasar (150
orang), seluruhnya berjumlah 6.434 orang.[7]
Sedangkan
tahun 1870-an, van Erck (1873) menyebutkan penduduk Buleleng sebanyak 63.111
orang. Terdiri dari; 57.866 orang Sudra, 359 orang Cina, 86 Arab, 2.400
orang asing lainnya. Dan taksiran
Hollander (l898) mencatat berjumlah 67.261 jiwa: brahmana 886 orang, ksatriya
1.205, dan 5.550 orang Wesya.[8]
Catatan penduduk tahun 1882 (dalam Regering Almanak,1882:5), menyebutkan
berdasarkan etnis; sekitar 65.303 orang Bali, 1.662 orang Bugis, 395 Cina, 138
orang Arab, dan 31 orang Eropa, sehingga menjadi berjumlah 67.519. Pemerintah
Belanda pada tahun 1889 mencatat bahwa penduduk Buleleng sebesar 79.763 orang.
Sedangkan hasil sensus penduduk tahun 1930, memberikan catatan jumlah penduduk
yang agak menggembirakan. C.J. Grader (1937-an) dalam memorialnya menyebutkan,
penduduk Buleleng terdiri atas empat golongan yaitu: golongan Pribumi (167.703
orang); golongan Eropa (197 orang); golongan Cina (2.255 orang); dan golongan
Timur Asing (483 orang), sehingga jumlah seluruhnya adalah 178.638 orang.[9]
Bukan jumlah dan ketepatan angka-angkanya yang menjadi perhatian di sini,
tetapi heterogitasnya, untuk menentukan kemetroplitannya, berdasar
meltingpotnya penduduk sebuah kota. Dengan melihat gambaran penduduk Buleleng
yang sangat heterogin itu, dari tahun ke tahun, maka dapat dikatakan kota
Singaraja telah berkembang menjadi kota dagang penting di nusantara saat itu.
Potensi kota Singaraja sebagai
kota Dagang keresidenan Bali Lombok, didukung oleh Pelabuhan Laut:
Pabean Buleleng, Sangsit, dan Temukus, di samping jalan darat sebagai sarana
pendukung perdagangan di Singaraja. Sedangkan bandar-bandar kecil tersebar di
Pantai Utara Bali, seperti yang disebutkan oleh Bloemen Waanders, sedikitnya
ada tujuh bandar dagang di daerah ini, antara lain: “Pengastulan, Temukus,
Anturan, Buleleng, Sangsit, Kubu Kelod, dan Lirang”. Waanders (1859)
menyebutkan tujuh pelabuhan ini, disewa oleh Soebandar Cina, dengan pusat
perdagangannya di Pelabuhan Buleleng. Tiga pelabuhan yang disebut terdahulu
dapat disebut sebagai triangle seaport,
karena ketiga pelabuhan ini dalam kerjanya berupa kesatuan organisasi, terutama
sebelum datangnya Belanda.[10]
Di Bali Utara ditemukan segregasi
sosial sistem pemerintahan berdasarkan kelompok-kelompok etnis. Para
pemimpin etnis tersebut, antara lain. Pecinan dipimpin oleh Kapitein der Chineezen Tan Swie Tjhwan
(19 September 1899); tahun 1909 di Buleleng bernama The Kiem Ting, di Temukus
pimpinannya bernama The Kiem Hwat dan di Sangsit Oei Hok Sioe. Tahun 1914
diangkat Kapitein Lim Bing Soen
(17-2-1914).[11]
Pemimpin Islam di Pabean dan Islam Bali lainnya sampai Islam Tegalinggah
bernama Abdurrahman (18-1-1899), dan di daerah pengastulan bernama Hadji
Machmoed (27Juli 1901). Sedangkan kepala
Arab dan Keling di Pabean Buleleng bernama
Said Moeksin bin Hasan bin Smit (18 Mei 1901), Pemimpim Bugis dan Madura
di Buleleng dan Temukus tahun 1901 bernama Akib bin Hadji Djafar alias Rebo
(17-2-1901); pemimpin Bugis di Pabean Buleleng dan Temukus bernama Mohammad
Sech (27-9-1920) dan Sech Achmad bin Bakar Maasar (25-10-1925); tahun berikutnya
bernama Sjech Islam bin Salim Alhadjri (27-9-1920). Sedangkan dalam
pemerintahan, penduduk lokal banyak menempati posisi sebagai pekaseh, sedahan dan juru tulis residen
Buleleng.[12]
3.2 Struktur Perdagangan Komoditas Lokal di
Kota Singaraja
Geertz (1980) menyebutkan, ada empat
hal yang esensial yang harus diperhatikan dalam perdagangan di Bali pada abad
ke-19 yaitu, (1) pasar berputar secara periodik, (2) pasar yang muncul akibat
hubungan-hubungan pertukaran tradisional (3) pasar terisolasi secara politik
berupa perdagangan di pusat-pusat pelabuhan. Disebutkan juga pasar muncul
sebagai akibat dari suatu kebiasaan, bukan suatu keharusan. Sedangkan tempat
perdagangan yang penting bagi pedagang asing adalah pelabuhan-pelabuhan yang
ada di pinggir pantai, yang dikendalikan oleh “negara”.[13]
Di
Bali pasarana mengikuti struktur tiga (triwara)
yaitu Pasah, Beteng dan Kajeng. Seperti disebutkan oleh Bruyn
Kops (1909) pasar lokal dapat ditemukan hampir ada pada kecamatan, hari
pasarannya digilir berdasarkan triwara
yaitu beteng (wet vruchtbaar),
kajeng (hout) dan, pasah ( droog).[14]
Tingkatan pasar ini, sekaligus menggambarkan tingkatan pedagangnya. Nordholt
menggambarkan tingkat-tingkat perdagangan di Nusa Tenggara yaitu: (1)
perdagangan lokal Nusa Tenggara, dapat dipandang sebagai pedagang kecil, yang
dilakukan oleh penduduk pribumi, pedagang Arab, dan Cina; (2) perdagangan
antarpulau yang dilakukan oleh pedagang tingkat menengah, dilakukan oleh
pedagang Cina, Arab dan Bugis; (3) pedagang jarak jauh atau besar, terutama
dilakukan oleh orang-orang Eropa dengan kapal-kapal besar.[15]
Dari tingkat pasar dan tingkat
perdagangan terurai di atas, dapat dilihat pola-pola perdagangan di Nusa
Tenggara. Secara umum hal itu dapat dibedakan menjadi tiga pola utama, yaitu:
(1) pola perdagangan di dalam (binnenlandsche
handels), yakni perdagangan yang ada di Bali dan sekitarnya; (2) pola
perdagangan antarpulau (buitenlandsche
handels), yakni perdagangan yang berhubungan dengan daerah-daerah yang
lebih luas seperti hubungan dagang dengan Jawa, Singapura, Hongkong, Makasar,
Ambom dan pulau-pulau lainnya; (3) pola perdagangan ke luar negeri antarbenua
dengan kapal besar (de handels met de
schapen), yakni para pedagang Eropa yang telah menggunakan
kapal-kapal yang lebih besar, seperti misalnya NHM, KPM (Belanda) pedagang Eropa lainnya seperti
kapal Jerman, kapal Inggris yang telah melakukan kontak dagang dengan Bali
Utara pada awal abad ke-19.[16]
Perdagangan komoditas local: pada awal
kedatangan Belanda perdagangan ke Surabaya
tahun 1847, Buleleng masih mengimpor kopi. Total impor kopi dari Surabaya pada kwartal
pertama tahun itu sebesar 2,9 kwintal, tahun 1848 sebesar 24 kwintal. Kemudian
tahun 1849 sebesar 213,21 kwintal, dan tahun 1850 sebesar 1.265,40 kwintal.
Impor kopi selama empat tahun tersebut di atas, terus mengalami peningkatan
secara tajam.[17]
Sedangkan ekspor dan impor seluruh wilayah Bali Utara pada tahun 1850-an lihat
table berikut.
Tabel 01: Ekspor-Impor Beberapa
Komoditas Lokal Bali Utara Tahun 1850-an
Volume/nilai
ekspor (f)
|
Volume/nilai
impor (f)
|
||
30.000 pikul beras
|
100.000
|
300 peti candu, a 500 biji
|
450.000
|
4.000 pikul tembakau
|
31.000
|
700 pikul gambir
|
7.350
|
10.000 pikul
kedele
|
30.000
|
420 pikul besi
|
9.250
|
3.000 pikul kapas
|
19.000
|
80 peti kain katun
|
30.000
|
300 kelapa butiran
|
7.500
|
10 pikul benang sutera
|
7.500
|
1.500 pikul minyak
|
22.500
|
Klontong, emas
|
10.000
|
2.000 pikul kopi
|
36.000
|
-
|
-
|
1.000 ekor sapi
|
18.000
|
-
|
-
|
150 ekor kuda
|
4.500
|
-
|
-
|
600 ekor babi
|
3.600
|
-
|
-
|
Total nilai ekspor
|
275.600
|
Total nilai impor
|
514.100
|
Sumber: F.L.
van Bloemen Waanders, “Aanteekeningen
omtrent de Zeden en Gebruiken der Balinezen, inzonder-heit die van Boeleleng”,
TBG, DI. VIII, (1859), hal. 81
Tahun 1869 nilai impor sebesar f
1.112.723 dan nilai ekspor f 1.181.474, sehingga perdagangan luar negeri
mengalami surplus sebesar 16,63%. Dengan
rincian barang-barang ekspor dan impor seperti terlihat dalam tabel 03 berikut
di bawah ini.
Tabel 02: Perbandingan Ekspor dan Impor Bali Utara
Tahun 1869
Volume dan nilai ekspor (f)
|
Volume dan nilai impor (f)
|
||
Gula Aren
|
3.187
|
gambir
|
32.941
|
dendeng
|
18.639
|
kopi
|
11.633
|
kulit
|
14.301
|
kain
|
467.359
|
kedele
|
190.156
|
candu
|
581.259
|
kelapa
|
21.050
|
beras
|
19.531
|
minyak kelapa
|
87.480
|
||
kopi
|
315.623
|
||
kain
|
81.930
|
||
candu
|
75.121
|
||
sapi
|
213.925
|
||
tembakau
|
145.766
|
||
babi
|
14.297
|
||
Total
|
f 1.181.474
|
Total
|
f 1.112.723
|
Sumber: ANRI, “Laporan Keadaan Politik Tahunan Daerah
Buleleng dan Jambarana Tahun 1869”.
Hasil per
hektarnya sekitar 2,65 sampai 4 kwintal. Produksi kopi pertahunnya, untuk
seluruh Bali sekitar 8.198 ton yang terdiri
atas kopi robusta 7.131 ton dan arabika sebanyak 1.067 ton, demikian Waanders
(1859) menyebut.
Berbagai
ekspor komoditas lokal di Bali Utara awal aba XX, lihat tabel di bawah ini.
Tabel 02: Volume Ekspor Beberapa Komoditas
Lokal Bali Utara 1909-1918
(dalam Pikul)
Thn.
|
Kopra
|
Kopi
|
Kacang
Tanah
|
Bawang
|
Temba-kau
|
Beras
|
Katun
|
Minyak Kelapa
|
1909
|
1.268.885
|
682.020
|
152.554
|
43.262
|
8.529
|
-
|
-
|
-
|
1910
|
2.276.280
|
613.847
|
69.822
|
66.942
|
31.740
|
-
|
-
|
-
|
1911
|
2.830.840
|
1.317.132
|
217.121
|
133.045
|
65.881
|
-
|
-
|
-
|
1912
|
1.545.571
|
2.444.188
|
295.146
|
37.009
|
54.175
|
-
|
-
|
-
|
1913
|
1.824.984
|
1.164.128
|
230.866
|
50.400
|
41.140
|
-
|
-
|
-
|
1914
|
4.444.716
|
1.135.980
|
119.226
|
174.024
|
384.799
|
2.147.659
|
138.453
|
168.710
|
1915
|
2.419.016
|
3.299.434
|
64.299
|
222.313
|
446.181
|
2.569.746
|
166.637
|
286.229
|
1916
|
3.325.068
|
1.422.835
|
118.019
|
247.848
|
301.696
|
2.067.830
|
114.342
|
274.197
|
1917
|
4.738690
|
472.494
|
81.699
|
310.567
|
413.086
|
2.178.918
|
99.395
|
429.124
|
1918
|
3.035.849
|
642.279
|
146.400
|
224.674
|
548.520
|
2.045.337
|
140.885
|
365.346
|
Sumber:ANRI. H.W.
Veenhuyzen, Memorie van Overgave der Resident Bali en Lombok,
(Singaraja, November 1914), hal.66-67; dan Stenis, Memorie van Overgave der Resident Bali en Lombok, (Singaraja,
1919), hal. 41 dan hal.100
Besarnya kebutuhan daerah Buleleng
terhadap logam mulia (emas dan perak), dapat dijadikan bukti kemakmuran daerah
ini. Logam mulia dipergunakan sebagai
perhiasan dan perlengkapan upacara adapt dan keagamaan, baik dikonsumsi maupun
untuk dipergadangkan kembali. Berkembangnya kebutuhan akan emas dan perak dari
tahun 1909-1918, lihattabel berikut.
Tabel 04: Impor Emas Tahun 1909-1913
Tahun
|
Buleleng
|
Total: Keresidenan
Bali dan Lombok
|
Keterangan
|
||
Logam
|
Emas
|
Perak
|
Emas
|
Perak
|
%
|
1909
|
65632
|
688621
|
65682
|
741021
|
100% Emas dan 92,92% Perak
|
1910
|
24130
|
536100
|
24190
|
605375
|
99,75% Emas dan 88,57% Perak
|
1911
|
89650
|
253380
|
89650
|
536100
|
100% Emas dan 47,26%Perak
|
1912
|
162505
|
1138515
|
172505
|
1368603
|
94,20%Emas dan 83,18%Perak
|
1913
|
221365
|
276000
|
222565
|
425000
|
99,46% Emasan 64,94% Perak
|
Sumber: ANRI, H.W.
Veenhuyzen, Memorie van Overgave der
Resident Bali en Lombok, (Singaraja, November 1914), hal.67
Selama
lima tahun dalam tabel di atas, tampak rata-rata impor emas untuk daerah Bali
Utara sebesar 98,68% dari seluruh impor emas residen Bali dan Lombok, dan
sebesar 75,37% untuk perak. Bahkan pada tahun 1901 dan 1911, 100% impor emas
daerah ini untuk daerah Bali Utara.[18]
Neraca
Perdagangan Bali Utara, 1914-1918, dapat dilihat dari ekspor barang yang
dikirim dari pelabuhan Buleleng ke beberapa daerah lain dapat dilihat dalam
tabel di bawah ini.
Tabel 05: Total Ekspor 1914-1918
Tujuan
ekspor ke:
|
1914
|
1915
|
1916
|
1917
|
1918
|
Luar Ned. Indie
|
1.399.146
|
900.457
|
1093.871
|
960.314
|
540.735
|
Jawa dan Madura
|
1.332.724
|
1.206.603
|
1.612.036
|
2.536.999
|
3.017.753
|
Daerah
lain
|
26.285
|
32.202
|
43.446
|
42.491
|
25.248
|
Prop.
Lain di Bali
|
12955664
|
14012574
|
13026250
|
12256453
|
12750442
|
Total
|
15913819
|
16151836
|
15775603
|
15776257
|
16334178
|
Sumber: ANRI, L.U. van
Stenis, Memorie van Overgave het Gewest
Bali en Lombok, (Singaraja, April 1919), hal. 99
Sedang
angka-angka impor yang dapat ditemukan dari tahun 1914-1918, yaitu saat Perang Dunia I berkecamuk, sebagai berikut.
Tabel 06: Total Impor 1914-1918
Impor dari
daerah
|
1914
|
1915
|
1916
|
1917
|
1918
|
Luar Ned. Indie
|
187550
|
283757
|
161301
|
329852
|
322916
|
Jawa dan Madura
|
1216406
|
1203342
|
1814060
|
2479927
|
2293690
|
Daerah lain
|
48480
|
18356
|
35306
|
145298
|
98855
|
Prop. Lain di Bali
|
10245199
|
16763435
|
10418775
|
9609021
|
9504830
|
Total
|
11697635
|
18268890
|
12429442
|
12564098
|
12220291
|
Sumber: ANRI, L.U. van
Stenis, Memorie van Overdave het Gewest
Bali en Lombok, (Singaraja, April 1919), hal. 99
Dari perbandingan ekspor-impor dalam
tabel 14.a dan 14.b di atas, dapat dihitung surplus atau defisitnya suatu
perdagangan di Nusa Tenggara yang difokuskan lewat Pabean Buleleng. Pada tahun
1914 perdagangan Luar Negeri (dengan Bali Utara) mengalami surplus 26,49%; tahun
1915 perdagangan mengalami defisit ke poin 13,11%; tahun 1916 kembali
surplus 21,21%; tahun 1917 surplus lagi
20,46%; dan tahun 1918 mengalami surplus sebesar 25,19%. Jadi perdagangan luar
ngeri selama lima tahun (dari tahun 1909-1918 ) defisit hanya terjadi pada
tahun 1915 sebesar 13,11 %, tahun yang lain surplus rata-rata sebesar 23,33%.
3.3
Peranan Tengkulak dan Soebandar dalam Pergagangan di Bali Utara
3.3.1 Peranan Tengkulak: tengkulak
dapat dipandang sebagai salah satu pelaku dalam perdagangan pengumpul hasil
pertanian dan ternak yang ada di pedesaan, sedangkan di atasnya ada pedagang
perantara. Banyak istilah lain yang ada sehubungan dengan tengkulak ini, sangat
tergantung pada daerah masing-masing dan barang dagangan yang diperjual-belikan.
Seperti ada disebut penedak, pengalu,
calo, broker, pialang, saudagar dan
banyak sebutan lainnya lagi secara lokalitas diberikan penduduk.
Para tengkulak mengontrol
perdagangan komoditas pertanian di daerah pedesaan Bali Utara, dengan
menetapkan harga sesuai dengan kehendaknya. Atau menukar dengan berbagai
kebutuhan lain, seperti barang-barang manufaktur, beras, korek api, barang
makanan dari luar, uang perak dan emas yang dibawa dari luar.[19]
Setelah tahun 1920-an, perdagangan
antarpulau (ke luar Bali), hampir sepenuhnya
didominasi oleh penduduk asing. Dalam Surya Kanta disebutkan domonasi
penduduk asing itu sebagai berikut.
hampir segala
jang didjoeal dan di beli Boemipoetra, melaloei tangan bangsa asing. Karena
itoe bangsa asing itoe boleh menaikkan dan menoeroenkan harga barang-barang. Lain dari itoe Boemipoetra
itoe soeka berhoetang, sehingga termakan oleh lintah darat.[20]
Peranan pedagang
Cina itu berperan ganda yaitu, sebagai penghubung petani untuk menjual
komoditasnya kepada pembeli di pasar yang lebih tinggi dan menhubungkan
pedagang asing dengan pedagang lokal untuk mendapatkan barang-barang yang
dihasilkan oleh petani.
3.3.2 Peranan Soebandar: Purbatjaraka
menunjukkan istilah Soebandar (ditulis shahbandar)
itu dengan variasi penggunaannya, misalnya Kiyai Sahbandar di Banten, Datok
Bandar di Indragiri, Tuan Sahbandar di Malaka, Panglima Bandar di Aceh, Datuk
Bandar di Deli, Juru Bandar di Banjarmasin, Raja Sahbandar di Ende dll.[21]
Sedangkan di Timur Tengah (Parsi), yang dianggap asal kata itu, sebutannya
adalah shabandar, syahbandar.[22]
Orang barat menyebut xabandar, shahbandar
atau sabandar untuk pengertian yang
sama dengan port opicer, havenmeester,
king of the haven, harbour master.[23]
Encik Buang dalam keterangannya mengenai Bali (1805) menyebutkan bahwa pajak
ekspor dan impor yang dipunggut oleh raja adalah hasil keSoebandaran (sjabanderij).[24]
Dalam urusan perdagangan seperti di Malaka dan Aceh, Lombok, Kuta Badung
dikuasakan kepada penguasa pelabuhan yang disebut Soebandar. Bahkan di
pelabuhan yang ramai terdapat lebih dari satu Soebandar, seperti misalnya di
Malaka terdapat 4 Soebandar yaitu dari Gujarat, India, Cina dan Indonesia.
Mereka ditugasi untuk memunggut pajak perdagangan yang datang dari negara
mereka masing-masing.[25]
Nusa
Tenggara Barat dan Bali istilah syahbandar
disebut soebandar.[26]
Beberapa soebandar yang pernah ada di Nusa Tenggara misalnya: Soebandar Mads
Lange di Kuta; Sahbandar G.P.King di Lombok (Ampenan); dan Soebandar “Jero”
Cong Sing Kek di Tabanan. Di bawah soebandar ada bandar-bandar lagi, seperti di
lombok terdapat 6-7 bandar, dua bandar yang terpenting adalah Bandar Baba Jawa,
dan Bandar Barode, bahkan Goor menyebut sampai 18 bandar di Lombok. Bandar Baba
Jawa adalah bandar dari Ratu Banda (Queen’s
Banda) mungkin sekali adalah dari keturunan Cina, sedangkan yang kedua dari
orang Bugis.[27]
Soebandar dan bandar ini adalah seorang pemegang hak sewa (pachter) dari
raja lokal, atau bandingkan dengan revenue farmer menurut John Butcher.[28]
Pada saat kedatangan Belanda pertama
ke Buleleng, ditemukan ada tujuh pelabuhan yang disewa oleh Soebandar Cina,
dengan pusatnya adalah Pabean Buleleng. Bandar-bandar dagang itu disewa dengan
candu sebagai ukurannya. Pelabuhan-pelabuhan yang dimaksud adalah:
Pengastulan (20
bungkus), Temukus (50 bungkus), Anturan (8 bungkus), Buleleng (60 bungkus),
Sangsit (40 bungkus), Kubu Kelod (10 bungkus, dan Tanjung Lirang (5 bungkus),
jumlah seluruhnya 193 bungkus, diperkirakan sama dengan f. 4.824.[29]
Di sekitar daerah itu pula ditemukan Pasar
Pabean, toko-toko Cina, juga ditemukan perusahan-perusahan besar berbentuk
firma, seperti Firma Ngo Hok.[30]
Tahun 1920-an di Buleleng telah ada agen penjual Auto Merk Chevrolet yaitu Autohandel
Hwie Cwan Hoo.[31]
Begitu pula halnya Temukus berkembang menjadi pusat bisnis, terutama dalam
pembelian hasil-hasil bumi untuk diekspor. Perusahan-perusahan Cina yang
ditemukan di Temukus antara lain Tan Hok Ban, The Kien Jien, Ui Sing Liem, Cia
Kok Sun dan sebagainya.[32]
Dalam rangka pembelian hasil bumi dan ternak untuk diekspor, terutama kopra,
kopi, sapi dan babi, banyak pula di antara mereka yang bermukin di desa.
Contohnya di Pasar Tamblang ada pedagang Cina yang memiliki warung dan
mengumpulkan kelapa dan kopi, pedagang itu bernama Cek Ngi, Ham Lay, Kwam Lan
dll. Di desa Les terkenal seorang pedagang Cina bernama Babah The Book. Kota keresidenan Bali Lombok akhirnya
tenggelam setelah adanya kebijakan ekonomi Belanda yang memusatkan ekspor
daerah Indonesia Timur di Makasar tahun 1920-an, di samping, faktor depresi
ekonomi tahun 1927-1930-an yang memberikan dampak terhadap melemahnya aktivitas
perdagangan di daerah ini. Singaraja akhirnya menjadi “singa tidur nyenyak” setelah jatuh ke tangan
Jepang tahun 1942, kemerdekaan
hingga kini.
4. SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Perdagangan komoditas local di Bali
Utara mengalami perkembangan pesat sejak kedatangan Belanda daerah ini.
Sedangkan hasil pertanian yang diperdagangkan mengalami disvaritas yang sangat
tinggi. Surplus perdagangan dapat dilihat dari perbandingan ekspor-impor dari tahun
ke tahun meningkat. Sedangkan peranan tengkulak dan soebandar sangat penting
dalam struktur perdagangan di Bali Utara. Singaraja sebagai ibu kota Keresidenan Bali dan
Lombok menikmati hegomoni pemerintah Belanda.
Hal ini dapat dibuktikan dengan situasi dunia dlam keadaan Perang Dunia I
perdagangan di Singaraja tetap mengalami surplus, tetapi sebaliknya pada tahun
1920-an ketika ada restrukturisasi lokasi perdagangan, difokuskan perdagangan
ke luar negeri melalui Makasar, Kota Singaraja langsung kolap. Tengkulak
berperan sebagai pengumpul berbagai komoditas yang dihasilkan petani, sementara
soebandar menjadi pengumpul di sekitar pelabuhan. Dari dua tangan inilah
perdagangan berjalan dalam sistemnya walaupun dominasi dalam struktur itu
dipegang oleh orang-orang asing dan timur asing seperti Cina, Arab dan Belanda.
Singaraja dalam sejarahnya pernah
jaya mengungguli kota-kota lain di Nusa Tenggara (1882-1920-an), sedangkan
setelah kemerdekaan tahun 1958, setelah berstatus kabupaten, kota ini menjadi kota “singa tidur nyenyak’, kalau tidak mau
disebut “singa mati’.
4.2. Saran-saran
Kalau mau mengembangkan Singaraja
agar dapat hidup kembali menjadi kota
Singaraja yang perkasa, maka pemerintahnya harus mau belajar dari sejarah
Buleleng. Dengan melihat potensi wilayahnya berupa perkebunan dengan komoditas
yang pernah unggul, peternakan dan kerajinan yang pernah unggul, dengan
mengembangkan potensi laut sebagai sumber daya utamanya, baik sebagai sarana
transportasi maupun laut sebagai sumber eksploitasi. Kembalikan triangle seaport: Pelabuhan Buleleng,
Temukus, dan Sangsit, dengan mengembangkan jaringan kekuatan potensi lokal dan
internasionalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
1843. ”Lombok: Rice Port”, Nautical Magazine and Naval Chronicle. London, hal. 826
|
ANRI, 1933. Almanak Melajoe. Yogyakarta: N.V. Voorheen H. Buning
|
ANRI.
“Laporan Financial Kwartalan, 1789-1895”. Nomor Inv. 85
|
ANRI. 1905. Regering
Almanak, Yogyakarta: N.V. Voorheen
H. Buning,
hal. 254-255
|
ANRI. 1920. Malaische
Almanak No. XLIV. Yogyakarta: N.V. Voorheen H. Buning, hal.160
|
Bagus, Gusti Ngurah, 1981. Monografi Kota Singaraja. Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
|
Bali Adnjana,
III, No.30, (1926), hal.4; Bali Adnjana,
III, No.29, (1927), hal.6; Bali Adnjana,
III, No.30, (1926), hal.4
|
Boeke, J.H., 1953. Economie
van Indonesie. Haarlem : H.D.Tjeek Willing.
|
Coppel, Charles A., 1976. “Select Bibliography on the Indonesian Chinese”,
dalam The Chinese in Indonesia. J.A.C. Mackie (ed.). Honolulu: the University Press, Hawai and Institute of
International Affairs.
|
Eck, Van, 1878. “Schetsen van het Eiland Bali” dalam TNI, I .
|
Furnivall, J.S., 1944. Nederlands India: Astudi in Plural
Ekonomi. Cambrige: at the University Press.
|
Geertz, Clifford . 1980. Negara: The
Theatre State in Nineteeth-Century Bali. New Jersey: Princeton University Press.
|
Goor, Jurrien van, 1982. Kooplieden, Predikanten en Bestuurder Overzee:
beelvorming en plaatsbepaling in een andere wereld. H&G Hes Uitgevers/Utrecht.
|
Hiroshi Kano, 1986. “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu
Penafsiran Kemabali”, dalam Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang:
Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Beberapa Aspek Nasionalisme
Indonesia. Akira Nagazumi (Penyunting). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
|
Hollander, J.J., 1898. De Handleiding
Bij de Beoefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsche Oost-Indie. Breda: van
Broese Compagnie.
|
Jawatan Penerangan Sunda
Kecil,
t.t. Republik
Indonesia: Sunda Kecil. Jakarta: Kementrian
Penerangan.
|
Kops, G.F. de Bruyn, 1909. Nota van
Overgave van het Bestuur over de Resident Bali en Lombok. Singaraja: Gedong Kirtya, 1 April.
|
Lekkerkerker, 1926. “Bali 1800-1814”, dalam BKI, Nomor 82.
|
Lohanda, Mona. 1994. The Kapitan
Cina of Batavia, 1837-1942. Jakarta: Djabatan.
|
Medhurst, W.H.,1837. “Short
Account of the Island of Bali”, dalam J.H. Moor, Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Countries. Singapore.
|
Nordholt, H.G. Schulte,1981. “The
Mads Lange Conections and Political Change 1700-1940”, dalam Indoneia, 32 (October).
|
Parimartha, I Gde, 1995.“Perdagangan
dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915”, Disertasi S-3 de Vrije Universiteit,
Amsterdam.
|
Purbatjaraka, Purnadi, 1961. “Shahbandar in the
Archipelago”, JSEAH, 2. Tanggal 2 July.
|
Reid, Anthony. 1993. “The Origins of Revenue Farming in Southeast Asia”,
dalam J. Butcher and Howard Dick, The
Rise and Fall Revenue Farming. London: St. Martin’s Press.
|
Stenis, 1919. Memorie van
Overgave der Resident Bali en Lombok. Singaraja: Gedong Kirtya.
|
Surya Kanta,
III, no.6. tahun 1927. ”Koperasi (dipetik dari
Volksalmanak tahun 1923)” .
|
Veenhuyzen, H.W. 1914. Memorie van
Overgave der Resident Bali en Lombok. Singaraja: Gedong Kirtya.
|
Vlaming, J.R.,1988. Kongsi dan
Spekulasi Jaringan Bisnis Cina.
(Bob Widyahartono, penyadur). Jakarta:
Grafiti.
|
Waanders, P.L.van Bloemen, 1859. “Aanteekeningen Omtrent de Zeden en Gebruiken der
Balinezen, Inzonderheid die van Boeleleng”, BKI, deel VIII. Arnas.
|
[1]Lihat
J.H Boeke. Economie van Indonesie.
(Haarlem : H.D.Tjeek Willing,1953), hal.1; J.S. Furnivall. Nederlands India: Astudi in Plural Ekonomi. (Cambrige: at the
University Press,1944), hal. 9; Hiroshi Kano, “Sejarah Ekonomi Masyarakat
Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran Kemabali”, dalam Indonesia
dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan
Beberapa Aspek Nasionalisme Indonesia. Akira Nagazumi (Penyunting).
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986),hal.11.
[2]J.R.
Vlaming, Kongsi dan Spekulasi Jaringan
Bisnis Cina. (Bob Widyahartono, penyadur) (Jakarta: Grafiti, 1988); lihat
pula Charles A Coppel,“Select Bibliography on the Indonesian Chinese”,
dalam The Chinese in Indonesia. J.A.C. Mackie (ed.). Honolulu: the University Press, Hawai and Institute of
International Affairs, 1976), hal. 251.
[8] Van
Eck, “Schetsen van het Eiland Bali” dalam TNI,
I (1878), hal.108. Cf. J.J. De Hollander, Handleiding
Bij de Beoefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsche Oost-Indie, (Breda:
van Broese Compagnie.l898), hal. 57.
[18]
Hingga abad ini masyarakat Beratan masih memiliki tradisi mendulang limbah emas
dan perak jika ada masyarakat di daerah itu membongkar tembok kuna, yang
diperkirakan berisi sisa-sisa logam mulia itu.