SEMANGAT KEBANGSAAN MULTIKULTURALISME
Oleh:
I Made Pageh dan I
Gde Parimartha
Disampaikan dalam
pertemuan Ilmiah di IKIP Saraswati Tabanan
I. Pendahuluan
Multikulturalisme dapat diartikan sebagai suatu
paham yang menjunjung tinggi, atau menghormati keberagaman kultural. Paham ini
sesungguhnya muncul sebagai reaksi terhadap tekanan globalisasi yang cenderung
menyatukan dunia (budaya) menjadi satu di bawah pengaruh ideologi kapitalisme,
atau modernisme. Sebagai bangsa yang memiliki sejarahnya yang panjang, tampak
tidak dapat dihindarkan bahwa bangsa Indonesia berada dalam kehidupan
dengan aneka budaya di dalamnya. Di sini terdapat antara lain, kultur, atau
budaya etnis Jawa, Madura, Sumatra, Sunda, Makasar, Bugis, Bali, Sasak dan
lain-lain, yang hidup berdampingan, dan saling melengkapi satu sama lain.
Paling tidak – sebagai bangsa - keadaan hidup seperti itu telah dimulai pada
tahun 1945, sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia ,
dan dengan begitu merasa wajib hidup sebagai satu bangsa dengan berbagai
kekayaan budaya yang menjadi embriyo kebudayaan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Bersamaan dengan itu, maka dasar negara, falsafah hidup bangsa pun dirumuskan,
yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Namun keinginan untuk dapat hidup
bersatu dengan dasar negara Pancasila, tampak pula sebagai satu perjuangan
panjang dan terus menerus sejalan dinamika kehidupan bangsa Indonesia .
Bersamaan dengan cita-cita hidup dalam suasana
dinamika multikultural itu, bangsa Indonesia juga mendapat godaan baik
dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam maksudnya adalah bibit-bibit
budaya etnik yang tidak dapat hidup secara berimbang dengan etnik yang lainnya,
dan adanya tekanan pusat, dapat menimbulkan kecemburuan pada pihak yang
dikecewakan, sedang tantangan dari luar muncul akibat gelombang globalisasi
yang semakin dinamis menerobos masuk ke dalam kehidupan berbangsa Indonesia.
Tantangan semangat globalisasi yang dikenal sebagai “era modern”, budaya
modernitas, mendorong warga bangsa masuk dalam satu tatanan bertaraf dan
berstandar dunia internasional, dan mendorong merosotnya semangat kebangsaan.
Sampai di sana
setiap orang tergiring menjadi warga yang satu, warga dunia, dengan semangat
konsumerisme. Semua itu tampak telah menimbulkan suatu krisis kebangsaan yang
berkepanjangan, dan dapat mengancam keutuhan bangsa, apabila tidak diantisipasi
secara memadai. Semangat multikultural diharapkan mampu menyatu dengan semangat
kebangsaan, mengantisipasi kecenderungan yang tidak seimbang.
Dalam tulisan ini akan dicoba memaparkan secara
singkat betapa sesungguhnya keadaan bangsa Indonesia dilihat dari faktor
keanekaragaman budayanya, semangat kebangsaan, dan bibit-bibit krisis yang
melanda keutuhannya, dilihat dari segi historis, serta kemungkinan cara
mengatasinya ke depan, sejalan semangat zamannya.
II. Indonesia Menjadi Satu Bangsa
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak dapat disangkal telah merupakan satu
kenyataan dan sekaligus kejutan bagi dunia yang sebelumnya meremehkan kemampuan
dan cita-cita merdeka dari bangsa Indonesia . Cita-cita merdeka dan
membangun satu negara bersama telah tumbuh sejak jauh sebelum tahun 1945.
Paling tidak tahun 1908 dengan beridirinya perkumpulan Budi Utomo di bawah
Dr.Soetomo yang bercita-cita mecerdaskan bangsa, patut dijadikan tonggak
sejarah yang penting sebagai awal dari bangkitnya satu kesadaran akan
pentingnya harga diri manusia Indonesia ,
yang pada waktu itu ditekan, dinina bobokkan oleh penguasa kolonial.
Selanjutnya tahun 1912 dapat dilihat sebagai tonggak pemberi arah pada
orientasi politik menuju Indonesia Merdeka. Hal ini terutama diberi semangat
oleh tiga orang pemimpin Indische Partij yang bersemangat kebangsaan, yakni:
E.F.E.Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan R.M.Soewardi Soerjaningrat.[1]
Sementara itu, Sarikat Islam berharap dapat mempersatukan penduduk Indonesia
atas dasar-dasar Islam.
Dengan munculnya semangat dan kesadaran di atas,
maka secara berangsur-angsur semangat kebangsaan Indonesia meluas di kalangan
terpelajar, kemudian masuk ke kalangan yang lebih luas di masyarakat. Berbagai
perkumpulan pemuda, atau pemudi kemudian muncul sebagai sarana aktivitas kaum
muda merumuskan aspirasi mereka. Antara lain: Jong Java, Jong Sumatranen Bond,
Jong Selebes, Jong Ambon dan lain-lain. Awalnya diduga bahwa munculnya berbagai
organisasi kelompok pemuda kedaerahan pada masa itu, akan membawa perpecahan di
kalangan mereka. Akan tetapi dengan adanya satu pusat penggodokan pemikiran di
gedung STOVIA (kini, Gedung Kebangkitan Nasional), rasa kekhawatiran itu hilang,
karena ternyata semua perkumpulan mampu mewujudkan satu cita-cita bersama
yaitu, membangun negara Indonesia
merdeka dan bersatu. Demikian, dilangsungkan Kongres Pemuda Indonesia II pada
tanggal 28 Oktober 1928 (Kongres I tahun 1926), dapat mencetuskan satu
pemikiran besar berupa Sumpah Pemuda, yang mengakui “satu nusa, satu bangsa,
dan satu bahasa Indonesia ”.
Itu artinya, bahwa sejak itu kelompok-kelompok etnik yang merasakan derita
bersama dari tekanan penjajahan bersumpah setia akan membangun bangsa Indonesai
yang besar, bersatu, lepas dari penjajahan Belanda. Satu Nusa, Satu Bangsa yang
dimaksudkan di sini adalah membangun Negara dan Bangsa Indonesia yang
bersatu di atas bekas tanah jajahan Belanda yang bernama Nederlands Oost
Indiё. Cita-cita membangun bangsa itu, akhirnya terwujud dengan
diproklamasikannya kemerdekaan bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta . Itulah tonggak
terpenting dari berdirinya bangsa Indonesia yang bersatu,
berdaulat di bawah pimpinan anak bangsa
sendiri. Hakekatnya peristiwa proklamasi kemerdekaan itu adalah menumbangkan
kekuasaan dan sistem kolonial, dan sistem feodal di dalamnya, serta selanjutnya
di atas reruntuhan itu membangun bangsa yang berdaulat dengan sistem demokrasi,
berdasarkan paham kebangsaan yang dibangun bersama, dan menjunjung tinggi
kebudayaannya.
III. Integrasi Nasional di
Era Globalisasi Dan Multikultural
Dilihat secara makro suatu tantangan, atau fenomena
konflik antar etnis sesungguhnya sudah nampak sejak lama. Pada Perang Tiga Puluh
Tahun antara pemeluk Kristen Protestan dan Katolik abad ke-17 di Eropa
menunjukkan gejala konfik etnik tersebut. Perang Bubat pada zaman Majapahit
antara Majapahit (Jawa) dan Sunda (Jawa Barat) juga menandakan adanya konflik
antar kelompok etnik. Juga perang-perang antar suku yang lain di abad ke-18-19
di Kepulauan Nusantara memberikan petunjuk adanya konflik antar etnik yang
tidak dapat dihindarkan, karena pandangan yang sempit, menganggap kelompok suku
sendiri sebagai bangsa yang berhak di wilayahnya. Konflik-konflik itu pada
dasarnya dapat dilihat dari berbagai aspek seperti: aspek historis, ideologis,
politis, ekonomi, maupun sosial budaya. Oleh karena itu, suatu pemahaman yang
baik terhadap suatu fenomena tidak dapat ditangkap hanya melalui satu faktor
analisis. Kemudian isu-isu konflik antar etnis sepertinya tenggelam oleh
munculnya konflik ideologi seperti: Liberal dan Komunis, antara blok Amerika
dan blok Rusia. Konflik ideologi itu juga mempengaruhi percaturan politik antar
bangsa di dunia. Dalam perspektif konseptual, interaksi antar aktor hubungan
internasional pada periode ini didominasi oleh pendekatan realis tradisional
yang menekankan state centric.[2]
Pemerintah Indonesia yang menjalankan sistem
kenegaraan dengan paham kebangsaan berusaha keras agar dapat
mengintegrasikan seluruh komponen
bangsa, membangun satu sinergi untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang
sejahtera, adil makmur berdasarkan falsafah negara Pancasila. Dasar Negara
Pancasila, tidak hanya dilihat sebagai satu kerangka prikehidupan berbangsa,
tetapi juga satu cita-cita mulia, agar bangsa ini dapat hidup sejahtera secara
bersama-sama, tanpa mempersoalkan adanya perbedaan suku, agama, bahasa, budaya,
dan lain-lain yang telah hidup dan tumbuh subur di bumi Indonesia. Para tokoh pendiri bangsa sadar, bahwa bangsa ini hidup
dalam keadaan yang jamak, atau pluralis. Maka disadari bahwa bangsa ini adalah
bangsa yang multikultural, yang mau tidak mau patut hidup saling menghargai
satu dengan yang lain. Demikian sejak tahun 1945, ketika kemerdekaan
diproklamasikan, seluruh warga bangsa sadar atas keberagaman budayanya, dan
sepakat untuk membangun bangsa yang satu.
Dengan begitu, muncul sentimen kebangsaan yang dapat
dilihat memiliki dua dimensi yang saling terkait, yakni: dimensi internal dan
dimensi ekternal. Dimensi internal mengacu pada kemampuan domestik untuk
menciptakan iklim yang kondusif, memadai bagi pembangunan nasional yang perlu dinikmati
oleh setiap etnik yang menjadikan bangsa itu, sedangkan dimensi ekternal
menunjuk pada adanya kemampuan bangsa (nasional) dalam menjalankan hubungan
luar negerinya dengan aktor-aktor negara lainnya. Maka dengan paham kebangsaan
itu, orientasi nasional akan menjadi satu determinan penting dalam politik luar
negeri suatu negara.[3]
Sejak awal usaha menjaga integrasi bangsa telah dilakukan baik oleh pemerintah,
maupun masyarakat. Dengan menganut paham kebangsaan, Pemerintah Indonesia
berusaha menjalankan politik luar dan dalam negeri dengan mengutamakan
kepentingan bersama, bangsa.
Akan tetapi nampak pada bangsa Indonesia, bahwa
proses integrasi, atau pembentukan dan pembangunan paham kebangsaan cukup
tersendat-sendat, karena lemahnya ikatan kebangsaan, baik karena faktor
kontaknya dengan perkembangan global, maupun munculnya kembali sentimen sempit
etnis, kepentingan kelompok yang sering membawa konflik, bahkan menjadi apa
yang dirasakan sebagai krisis kebangsaan. Dilihat dari sisi sejarah, keadaan
semacam itu memang tidak tiba-tiba muncul. Kontak dengan dunia luar, paling
tidak kita dapat kembali melihat ke zaman yang lalu, yakni zaman datangnya
pengrauh Eropah (Barat) di kepulauan. Sejak abad ke-19, semakin gencar abad
ke-20, pengaruh modern (Barat) semakin meresap merasuk ke dalam darah daging
kehidupan bangsa Indonesia .
Berbagai prilaku, cara hidup, nilai-nilai kemasyarakatan negara maju semakin
lama semakin mempengaruhi cara hidup dan berpikir bangsa Indonesia .
Pada abad ke-20, pengaruh luar yang sering disebut
sebagai budaya modernitas, atau globalisasi, semakin leluasa masuk ke Indonesia .
Sistem teknologi yang canggih membuat hubungan manusia satu dengan yang lain,
menjadi tanpa batas. Hubungan itu dapat melampaui batas-batas ruang dan waktu.
Karena hubungan yang semakin menggelobal, dan semangat dengan konsumerisme,
keadaan itu nampak mengendorkan, melemahkan sikap-sikap primordial bangsa yang
umumnya memberi semangat pada kehidupan masyarakat. Semakin lemahnya rasa
nasional dari komponen bangsa Indonesia ,
selanjutnya membawa pula konflik-konflik antar kelompok di dalamnya.
Dalam era globalisasi, konflik-konflik yang muncul tidak hanya diakibatkan oleh
perbedaan kepentingan ideologi, atau ekonomi, tetapi juga sering karena adanya
perbedaan peradaban. Menurut Hutington, peradaban adalah sebuah ikatan kultural
yang terbentuk atas kelompok etnis, agama, dan bahasa dari suatu kelompok
masyarakat. Pecahnya konflik-konflik antar etnis yang terjadi di negeri-negeri
Afrika, adalah contoh dari adanya perbenturan peradaban (Hutington, 1968).
Dalam hubungan itu, tampak bahwa Hutington melihat bagaimana perbedaan
kebudayaan, atau keberagaman dalam kebudayaan dapat membawa konflik antar
kelompok. Sampai di sini nampak bahwa globalisasi, atau modernitas budaya, telah
membawa serta setidaknya suasana konflik, atau benturan antar peradaban.
Terjadi benturan antara peradaban Barat dan Timur, juga benturan antara
peradaban modern dan tradisional.
Selain itu, sifat pluralis bangsa Indonesia , yang dapat merupakan
bibit laten, juga sistem pemerintahan yang sentralistis di masa Orde Baru masih
menjadi contoh bagaimana keadaan menyimpang
terjadi. Garis-Garis Besar Haluan Negara masa itu, senantiasa memberi
gambaran yang baik mengenai arah pembangunan bangsa menuju cita-cita kehidupan
berbangsa berlandaskan demokrasi Pancasila. Namun di dalam pelaksanaanya, semua
nampak dapat diatur secara sentralistis, membawa berbagai kekecewaan di
kalangan warga di daerah. Beberapa kebijakan pemerintah yang berorientasi pada
stabilitas politik, tampak menjadi faktor penting dalam proses penyeragaman
budaya. Penyergaman sistem dan struktur pemerintahan desa, merupakan salah satu
bentuk pemaksaan atas masyarakat adat yang sebelumnya otonom (Abdon Nababan,
1995: 429). Secara lebih jelas Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa, telah memaksa sistem pemerintahan desa menjadi seragam di
seluruh Indonesia .
Hanya di Bali penyeragaman itu sulit dilakukan, sehingga tetap eksis dengan apa
yang dikenal sebagai desa adat dan desa dinas (Carol Warren, 2002; Parimartha,
2001). Keadaan penekanan, atau dominasi seperti di atas, juga menjadi sumber
munculnya krisis kebangsaan Indonesia .
Pada masa pemerintahan Orde Baru pembangunan bangsa Indonesia
berbalik 180 derajat. Sebelumnya, di masa yang dikenal sebagai Orde Lama,
pemerintahan lebih menekankan pada pembangunan mental dan keutuhan bangsa (character
building), mempersiapkan bangsa menuju era baru yang modern. Memasuki masa
Orde Baru arah pembangunan dirubah lebih berorientasi pada ekonomi, dengan
harapan dapat membangun bangsa secara cepat dalam bidang ekonomi
(kesejahteraan). Untuk dapat membangun ekonomi secara cepat, pemerintah
melangkah dengan membuat hutang yang besar kepada dunia luar, tidak hanya
besar, bahkan berlebihan – menurut ahli sejarah politik Roeslan Abdulgani.
Sejalan dengan semangat kapitalisme dunia, dan budaya modernitas, masyarakat Indonesia
terjebak ke dalam ideologi kapitalis dengan kebudayaan massanya. Kebudayaan massa dalam bentuk
barang-barang konsumsi adalah wujud dari kemakmuran yang dijanjikan ideologi
kapitalis, yang sekaligus memiliki watak konsumeris dalam meniknamti hidup.[4]
Akibatnya muncul krisis moneter pada tahun 1997. Mengatasi krisis
berkepanjangan, dilakukan usaha memperbaiki keadaan ekonomi, dengan istilah reformasi
ekonomi. Hal ini juga dilakukan dengan mengadakan pinjaman kepada dunia
luar. Kali ini pinjaman diminta kepada Dana Moneter Internasional (IMF), yang
memberikan persaratan sebagai imbalan bantuan sebesar 43 milyar dollar AS.
Persaratan itu adalah: (1) dihapuskannya politik monopoli pemerintah Indonesia yang
menyengsarakan rakyat kecil, (2) diadakan perombakan bentuk-bentuk perusahan
yang berwatak kerabat-isme (crony-ism). Sejauh ini, suatu perbaikan
ekonomi juga tidak mendekati harapan masyarakat. Kekuatan merombak dengan
semangat reformasi, akhirnya mampu menjatuhkan pemerintahan rezim Orde Baru,
dengan lengsernya Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998 (Roeslan
Abdulgani, Bali Post, 31-5-2002, hal.7).
Betapa pun semangat reformasi telah tumbuh dan
mencoba membawa perubahan untuk perbaikan kehidupan bangsa, namun masih selalu
muncul hambatan, ganjalan dalam pelaksanaannya. Banyak faktor yang dapat
dilihat sebagai penghambat, seperti: masih bercokol kuatnya unsur-unsur anti
reformasi, adanya kelompok kepentingan yang sulit dipertemukan, dikotomi
kepentingan pusat-daerah, dan lain-lain. Karena kompaknya unsur kriris itu,
maka muncul istilah, “krisis multidimensional”, atau di era ini disebut krisis
reformasi, yang pada hakekatnya dapat dilihat sebagai krisis kebudayaan
bangsa secara keseluruhan. Maka konflik-konflik etnik yang terjadi belakangan
ini, seperti: konflik Madura-Dayak, konflik etnik di Ambon, konflik di
Sulawesi, konflik di Jakarta ,
dan sebagainya, tentu dapat dilihat sebagai satu bentuk krisis peradaban yang
dapat mengancam keutuhan bangsa. Mungkin konflik-konflik itu muncul sebagai
satu fenomena konpensasi jiwa bangsa yang multikultural, yang sebelumnya
tertekan di bawah kekuasaan Orde Baru, dan kini tiba-tiba terlepas tanpa arah
yang jelas. Kondisi semacam ini dapat pula dilihat sebagai satu bentuk krisis
kebangsaan, dan krisis kebudayaan. Maka ketika para praktisi mengajukan
pemecahan dengan perbaikan ekonomi, atau dengan menegakkan supremasi hukum,
semuanya tidak mampu membawa bangsa keluar dari keadaan krisis.
Munculnya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah, yang diharap dapat memberikan keleluasaan pada daerah-daerah
untuk mengurus urusannya sendiri berdasarkan otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab, juga belum jelas arahnya. Nampak Undang-Undang itu masih
banyak menggunakan logika serta indikator ekonomi dalam merumuskan konsepnya.
Karena itu, konsep otonomi daerah ini menjadi sangat bias ekonomi, dan bukan
lagi dilihat sebagai sebuah keputusan politik. Contoh, bagi daerah yang tidak
mampu secara ekonomi melaksanakan otonomi, akan digabung dengan daerah yang
lain (Tim Lapera, 2000: xxiii). Maka undang-undang otonomi daerah ini pun
nampak belum memberikan solusi atas krisis yang sedang melanda bangsa, bahkan
cenderung memunculkan arogansi daerah dalam pelaksanaannya. Dalam hubungan ini,
bisa dimengerti pernyataan sebagai berikut:
“Reformasi sistem pemerintahan masih menjadi konsep
top-down, yang proses pembagian otoritas politik (political authority)
masih didasarkan pada konsepsi politik dan kemauan politik (political will)
pemerintah pusat. Otoritas lokal belum menjadi praktek aktual yang berlangsung
secara dialogis dalam hubungan pusat daerah”
Secara lebih gemas, Irwan Abdullah masih menyatakan:
“Proses penyatuan dan penyeragaman kebudayaan telah terjadi
pada masa Orde Baru, dan orde-orde sesudahnya belum juga melihat pentingnya
pengembangan kebudayaan lokal. Pada masa Orde Baru kita sibuk dengan upaya
pengembangan kebudayaan nasional yang tidak pernah ada,…...” (Irwan Abdullah,
2002: 1-4).
Dapat dimengerti, kalau Irwan Abdullah menyatakan,
bahwa kebudayaan nasional tidak pernah ada, karena ia selalu bergerak, dan
terus tumbuh dalam satu proses yang
dinamis. Mungkin juga Irwan ragu kalau simbol kebudayaan nasional akan mampu
membawa gerak perkembangan bangsa ke arah yang integratif. Yang nyata adalah
kelompok-kelompok pendukung kebudayaan daerah secara kompak telah menyatakan
siap membangun bangsa yang satu, Indonesia . Itulah yang terjadi pada
proklamasi kemerdekaan Indonesia
tahun 1945. Karena bangsa Indonesia
sedang tumbuh, dan tetap akan tumbuh, maka kebudayaannya pun sedang tumbuh dan
belum merupakan suatu yang bulat utuh, tetapi tetap tumbuh.
Maka dari segi akar budaya di Indonesia ,
unsur krisis itu dapat dikelompokkan atas dua yakni: faktor luar dan dalam.
Sebagai faktor luar dapat dilihat bahwa globalisasi budaya modernitas telah
melanda masyarakat Indonesia ,
membawa perubahan-perubahan di dalam cara, dan gaya hidup, mengarah pada ciri-ciri modern,
individual, konsumtif. Dapat dimengerti, bahwa globalisasi budaya modernitas
merupakan globalisasi dalam level budaya yang mengacu pada prinsip hidup
modern, tercermin dalam ideologi kultural konsumerisme (Lambang Trijono, 1996, hal.137). Adanya
sentuhan budaya global, menyebabkan semakin banyak warga bangsa Indonesia
terpengaruh, sehingga membuat mereka mudah berhubungan dengan dunia luar, dan
mengaburkan pandangannya terhadap identitas negara bangsa. Semangat nasional
mencair menjadi semangat dunia yang tanpa batas. Semua dipercepat dengan
majunya teknologi informasi, dan komunikasi, yang membawa seseorang dengan
mudah dapat berhubungan dengan orang lain, di luar wilayah negara sendiri.
Faktor kedua, adalah faktor dalam negeri sendiri. Sebagai bangsa yang plural,
dan multikultural, kini sentimen etnik semakin terpancing menampakkan sikap
anasional, kurang toleransi, tetapi mengutamakan kepentingan kelompok sempit
yang meresahkan. Terjadinya konflik-konflik dan benterok antar etnik yang
semakin runyam, seperti diungkapkan di atas, adalah contoh dari situasi krisis
kebangsaan, krisis kebudayaan yang sedang melanda bangsa.
IV. Pentingnya Pemahaman
Kebinekaan dan Multikulturalisme dalam Mengatasi Krisis Kebangsaan
Sejak awal tumbuhnya bangsa Indonesia , telah dikenal bahwa
bangsa ini terdiri atas berbagai suku bangsa dengan daerah/wilayahnya sendiri,
sehingga dikenal dengan bangsa yang plural, berdimensi jamak dalam segi etnik.
Munculnya satu bangsa dalam wujud plural itu, bukanlah sesuatu yang kebetulan,
tetapi melalui pengalaman sejarah yang panjang, setelah bergelut dengan pahit
getir perjuangan mengusir penjajahan.
Secara etnik dan geografis, jelas bahwa bangsa Indonesia
tidak hanya plural dalam arti etnik, tetapi juga multi dalam arti kultural.
Maka paham multikultur perlu dikembangkan, demi munculnya suatu situasi yang
saling menghargai antara sesama warga
bangsa, yang memiliki variasi budaya yang amat kaya. Munculnya pandangan multikultural, atau multikulturalisme,
sesungguhnya merupakan reaksi atas dominasi yang semakin luas dari budaya
modernitas yang menekan, mematikan kreatifitas budaya lokal. Parsudi Suparlan
menyatakan, konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara suku bangsa, atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan. Karena itu, uraian mengenai multikulturalisme,
mau tidak mau harus pula mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi
ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan
kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, dan
lain-lain (Parsudi Suparlan, 2002: 2-3). Sementara itu, D.T.Sparringa (2003)
menyatakan antara lain, bahwa sebagai sebuah pendekatan politik budaya,
multikulturalisme menawarkan hadirnya realitas ganda (dual reality), atau realitas ragam (multy-reality) sekaligus, seperti: keberbedaan-kemiripan,
keragaman-kesatuan, identitas-integrasi,
lokalitas/partikularitas-universalitas, nasionalitas-globalitas. Dalam
konstruksi seperti itu, multikulturalisme memfasilitasi pemahaman yang lebih
baik dan mengeliminasi ketegangan dikotomis tentang realitas ganda, atau ragam
di sekitar etnisitas dan budaya.[5]
Dari uraian di atas, nampak penting memahami perlunya
ditumbuhkan semacam sikap moral, atau etika berbangsa pada setiap warga
Indonesia, menjiwai nilai kepahlawanan bangsa untuk mampu meredam gejolak,
benturan yang dapat merusak rasa persatuan Indonesia. Semangat kepahlawanan
masa kini perlu ditancapkan pada usaha membangun rasa persatuan, kebersamaan
untuk membangun keadilan dan kesejahteraan bangsa. Dalam hubungan itu, pemikiran
Zulkifli Husin (2003), penting dimengerti. Ia menyatakan antara lain: Etika
multikulturalisme sungguh merupakan upaya menghindari atau mencegah perangkap
keniscayaan, antara hidup berdampingan secara stagnan dan perseteruan yang
membawa kehancuran untuk memusnahkan pihak lain dari Republik ini.[6] Pandangan
ini sejalan dengan semangat postmodernisme yang sedang berkembang, memberi
dukungan, pengakuan pada kebinekaan budaya yang tidak terikat pada dominasi
globalisasi. Dengan paham itu diharapkan akan terjadi pertemuan antara budaya
global dan budaya lokal, keduanya dapat hidup berinteraksi saling mendukung
satu dengan yang lain.[7]
Itulah Glokalisasi budaya.
Diterapkannya Undang-undang Otonomi Daerah (OTDA),
dapat dimengerti sebagai bagian dari kesadaran multikultural. Sebagai bangsa
yang sadar akan warisan budayanya, maka setiap warga negara patut memelihara
warisan dan nilai-nilainya, mengembangkan sikap toleransi yang tinggi terhadap
berbagai perbedaan yang ada, semangat demokrasi dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia .
Bhineka Tunggal Ika, dengan begitu, merupakan satu konsep mengenai toleransi,
hidup bersama dalam keberagaman, dan kesederajatan dalam satu wilayah tertentu
yang diakui bersama. Itu adalah satu konsepsi bangsa Indonesia yang sejalan dengan
pandangan multikulturalisme yang berkembang berhadapan dengan paham global yang
ingin menyeragamkan kehidupan dunia. Karena itu, konsep bhineka tunggal ika sejalan dengan multikulturalisme dapat dimengerti
sebagai ideologi, cita-cita bangsa yang mengakui perbedaan, keberagaman dalam
kesedarjatan, hidup terus menjadi landasan semangat kepahlawanan bangsa Indonesia,
dipelihara dan dikembangkan secara terus menerus, sehingga setiap generasi
mampu memberi makna kepada nilai-nilai kepahlawanan yang dinamis, sebagai satu
bangsa yang bhineka (berbeda, variasi itu), tetapi tunggal ika (satu itu).
Dengan semangat bhineka tunggal ika, nilai-nilai
kepahlawanan bangsa Indonesia akan hidup terus, beraktivitas mengatasi berbagai
krisis bangsa yang ditimbulkan oleh adanya pandangan sempit di tengah
peradaban, menuju masyarakat Indonesia yang damai, suatu masyarakat yang hidup
dalam suasana saling mengharagai, kesederajatan dalam keanekaragaman suku
bangsa dan budaya.
V. Simpulan.
Bahwa bangsa Indonesia telah lama hidup dengan
keberagaman dalam suku bangsa dan kebudayaan. Sehingga disepakati bersama
dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Falsafah negara Pancasila
digunakan sebagai landasan dalam mendasari hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Akan
tetapi sampai 73 tahun sampai sekarang merdeka,
bangsa ini juga belum mencapai sasaran yang diharapkan, masyarakat sejahtera,
adil dan makmur, berdasarkan Pancasila.
Namun sebaliknya, yang dirasakan adalah munculnya
krisis bangsa yang multidimensi, yang sulit dipecahkan. Berbagai upaya telah
ditempuh untuk mengatasi keadaan. Peminjaman modal uang ke luar negeri,
berbagai perangkat hukum dirumuskan, sistem politik diperbaharui, namun
masalahnya belum juga terpecahkan. Tampak ada gangguan, atau hambatan yang
muncul baik dari dalam maupun luar. Dari luar, terobosan ideologi global dengan
semangat modernisme dan konsumerisme melanda, mempengaruhi warga bangsa secara
terus menerus, melemahkan sendi-sendi kepribadian bangsa. Dari dalam, muncul
semangat etnik, kelompok sempit, dan kurang mengacu pada jalannya sejarah
tumbuhnya bangsa Indonesia .
Dalam hubungan dengan krisis yang muncul dalam diri
bangsa Indonesia, dapat dikatakan, bahwa keadaan itu tidak dapat dilihat hanya
dari satu faktor (ekonomi, atau hokum, atau satu elemen saja), tetapi dari
berbagai sisi, yang bersifat luas (kebudayaan). Maka satu pemecahan yang
mungkin mengatasi keadaan itu, adalah tetap terpeliharanya semangat kepahlawanan
bangsa yang dijiwai oleh nilai-nilai filosofi keberagaman, berkebudayaan dengan
ideologi bhineka tunggal ika, dan memahami semangat multikulturalisme.
Dengan semangat multikulturalisme, dalam era
postmodernisme, paham budaya lokal (nasional), dan global dapat berinteraksi
mewujudkan kehidupan bersama dalam kesederajatan. Demikian, studi-studi kebudayaan
menjadi penting artinya, sehingga mampu memberi semangat pada nilai-nilai
kehidupan, termasuk nilai kepahlawanan bangsa di dalamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan, 2002. Bali
Post (31-5), hal.7
Abdullah,
Irwan, 2002. Denpasar (Paper disampaikan dalam Simposium Internasional
Anthropogi).
Banyu
Perwita, A.A., 1996. “Konflik Antar Etnis dalam Masyarakat Global dan
Relevansinya Bagi Indonesia ”,
dalam Analisis CSIS (Maret-April, XXV, No.2), hal.149-159.
Featherstone,
Mike, 1993. Consumer Culture and Postmodernism. London/New Delhi : SAGE Publication.
Husni,
Zulkifli, 2003. “Etika Multikultural dan Tanggung Jawab Perguruan Tinggi.
Sebuah Catatan Pengantar”, dalam Forum Rektor Indonesia , Hidup Berbangsa Dan Etika Multikultural.
Surabaya :
Yayasan Bhakti Persatuan.
Hutington,
1968. Political Order in Changing Societies. New
Haven : Yale
University Press.
Muhammad
Fuad, 2000. “Kebudayaan dan Perubahan Sosial dalam Tinjauan Teori”, dalam Wacana
(Vol.2, 1, April), hal.18-30.
Nagazumi,
Akira, 1986. Indonesia
Dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia .
Parimartha,
I Gde, 2001. Desa Adat dan Desa Dinas di Bali: Sebuah Refleksi Kesejarahan.
Jakarta
(Makalah disampaikan pada Konfrensi Nasional Sejarah VII, 28-31 Oktober).
Parsudi
Suparlan, 2002. Menuju Masyarakat Indonesia
Yang Multikultural. Makalah dalam Simposium Internasional Jurnal
Antropologi Indonesia
ke-3. Membangun Kembali Indonesia
Yang Bhineka Tunggal Ika. Di Denpasar (16-19 Juli).
Sparringa,
Daniel T., 2003. “Multikulturalisme Dalam Multiperspektif Di Indonesia”, dalam
Forum Rektor Indonesia ,
Hidup Berbangsa Dan Etika Multikultural. Surabaya : Yayasan Bhakti Persatuan).
Trijono,
Lambang, 1996. “Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara Bangsa: Tantangan
Integrasi Nasional dalm Konteks Global”, dalam Analisis CSIS, XXV, No.2,
hal. 136-148.
Warren,
Carol A., 1990. Adat and Dinas: Village and State in Contemporary Bali . University
of Western Australia
(Dissertation of Dept.of Anthropology).
[1] Akira Nagazumi , Indonesia
Dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia
(1986), hal.137.
[2]
A.A.Banyu Perwita, “Konflik Antar Etnis Dalam Masyarakat Global…”, dalam Analisis
CSIS Th.XXV, No.2 (Maret-April, 1996), hal. 151.
[3] Banyu
Perwita, “Konflik Antar Etnik..”, hal.154.
[4] Muhammad
Fuad, “Kebudayaan dan Perubahan Sosial dalam Tinjauan Teori”, dalam Wacana,
Vol.2, 1 (April, 2000), hal.22.
[5]
D.T.Sparringa, “Multikulturalisme Dalam Multiperspektif di Indonesia”, dalam
Forum Rektor Indonesia , Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural
(Surabaya :
Yayasan Bhakti Persatuan, 2003), hal.20.
[6] Zulkifli
Husin, “Etika Multikultural dan Tanggung Jawab Perguruan Tinggi. Sebuah Catatan
Pengantar”, dalam Forum Rektor Indonesia ,
Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural
(Surabaya :
Yayasan Bhakti Persatuan, 2003), hal. xvi).
[7] Mike
Featerstone, Consumer Culture and Postmodernism (London/New Delhi:
1991), hal.3.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda