Minggu, 15 Juli 2018

SEMANGAT KEBANGSAAN MULTIKULTURALISME   




Oleh:
I Made Pageh dan I Gde Parimartha
Disampaikan dalam pertemuan Ilmiah di IKIP Saraswati Tabanan


I. Pendahuluan


Multikulturalisme dapat diartikan sebagai suatu paham yang menjunjung tinggi, atau menghormati keberagaman kultural. Paham ini sesungguhnya muncul sebagai reaksi terhadap tekanan globalisasi yang cenderung menyatukan dunia (budaya) menjadi satu di bawah pengaruh ideologi kapitalisme, atau modernisme. Sebagai bangsa yang memiliki sejarahnya yang panjang, tampak tidak dapat dihindarkan bahwa bangsa Indonesia berada dalam kehidupan dengan aneka budaya di dalamnya. Di sini terdapat antara lain, kultur, atau budaya etnis Jawa, Madura, Sumatra, Sunda, Makasar, Bugis, Bali, Sasak dan lain-lain, yang hidup berdampingan, dan saling melengkapi satu sama lain. Paling tidak – sebagai bangsa - keadaan hidup seperti itu telah dimulai pada tahun 1945, sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan dengan begitu merasa wajib hidup sebagai satu bangsa dengan berbagai kekayaan budaya yang menjadi embriyo kebudayaan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Bersamaan dengan itu, maka dasar negara, falsafah hidup bangsa pun dirumuskan, yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Namun keinginan untuk dapat hidup bersatu dengan dasar negara Pancasila, tampak pula sebagai satu perjuangan panjang dan terus menerus sejalan dinamika kehidupan bangsa Indonesia.
Bersamaan dengan cita-cita hidup dalam suasana dinamika multikultural itu, bangsa Indonesia juga mendapat godaan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam maksudnya adalah bibit-bibit budaya etnik yang tidak dapat hidup secara berimbang dengan etnik yang lainnya, dan adanya tekanan pusat, dapat menimbulkan kecemburuan pada pihak yang dikecewakan, sedang tantangan dari luar muncul akibat gelombang globalisasi yang semakin dinamis menerobos masuk ke dalam kehidupan berbangsa Indonesia. Tantangan semangat globalisasi yang dikenal sebagai “era modern”, budaya modernitas, mendorong warga bangsa masuk dalam satu tatanan bertaraf dan berstandar dunia internasional, dan mendorong merosotnya semangat kebangsaan. Sampai di sana setiap orang tergiring menjadi warga yang satu, warga dunia, dengan semangat konsumerisme. Semua itu tampak telah menimbulkan suatu krisis kebangsaan yang berkepanjangan, dan dapat mengancam keutuhan bangsa, apabila tidak diantisipasi secara memadai. Semangat multikultural diharapkan mampu menyatu dengan semangat kebangsaan, mengantisipasi kecenderungan yang tidak seimbang.
Dalam tulisan ini akan dicoba memaparkan secara singkat betapa sesungguhnya keadaan bangsa Indonesia dilihat dari faktor keanekaragaman budayanya, semangat kebangsaan, dan bibit-bibit krisis yang melanda keutuhannya, dilihat dari segi historis, serta kemungkinan cara mengatasinya ke depan, sejalan semangat zamannya.

II. Indonesia Menjadi Satu Bangsa

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak dapat disangkal telah merupakan satu kenyataan dan sekaligus kejutan bagi dunia yang sebelumnya meremehkan kemampuan dan cita-cita merdeka dari bangsa Indonesia. Cita-cita merdeka dan membangun satu negara bersama telah tumbuh sejak jauh sebelum tahun 1945. Paling tidak tahun 1908 dengan beridirinya perkumpulan Budi Utomo di bawah Dr.Soetomo yang bercita-cita mecerdaskan bangsa, patut dijadikan tonggak sejarah yang penting sebagai awal dari bangkitnya satu kesadaran akan pentingnya harga diri manusia Indonesia, yang pada waktu itu ditekan, dinina bobokkan oleh penguasa kolonial. Selanjutnya tahun 1912 dapat dilihat sebagai tonggak pemberi arah pada orientasi politik menuju Indonesia Merdeka. Hal ini terutama diberi semangat oleh tiga orang pemimpin Indische Partij yang bersemangat kebangsaan, yakni: E.F.E.Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan R.M.Soewardi Soerjaningrat.[1] Sementara itu, Sarikat Islam berharap dapat mempersatukan penduduk Indonesia atas dasar-dasar Islam.
Dengan munculnya semangat dan kesadaran di atas, maka secara berangsur-angsur semangat kebangsaan Indonesia meluas di kalangan terpelajar, kemudian masuk ke kalangan yang lebih luas di masyarakat. Berbagai perkumpulan pemuda, atau pemudi kemudian muncul sebagai sarana aktivitas kaum muda merumuskan aspirasi mereka. Antara lain: Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Selebes, Jong Ambon dan lain-lain. Awalnya diduga bahwa munculnya berbagai organisasi kelompok pemuda kedaerahan pada masa itu, akan membawa perpecahan di kalangan mereka. Akan tetapi dengan adanya satu pusat penggodokan pemikiran di gedung STOVIA (kini, Gedung Kebangkitan Nasional), rasa kekhawatiran itu hilang, karena ternyata semua perkumpulan mampu mewujudkan satu cita-cita bersama yaitu, membangun negara Indonesia merdeka dan bersatu. Demikian, dilangsungkan Kongres Pemuda Indonesia II pada tanggal 28 Oktober 1928 (Kongres I tahun 1926), dapat mencetuskan satu pemikiran besar berupa Sumpah Pemuda, yang mengakui “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia”. Itu artinya, bahwa sejak itu kelompok-kelompok etnik yang merasakan derita bersama dari tekanan penjajahan bersumpah setia akan membangun bangsa Indonesai yang besar, bersatu, lepas dari penjajahan Belanda. Satu Nusa, Satu Bangsa yang dimaksudkan di sini adalah membangun Negara dan Bangsa Indonesia yang bersatu di atas bekas tanah jajahan Belanda yang bernama Nederlands Oost Indiё. Cita-cita membangun bangsa itu, akhirnya terwujud dengan diproklamasikannya kemerdekaan bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Itulah tonggak terpenting dari berdirinya bangsa Indonesia yang bersatu, berdaulat  di bawah pimpinan anak bangsa sendiri. Hakekatnya peristiwa proklamasi kemerdekaan itu adalah menumbangkan kekuasaan dan sistem kolonial, dan sistem feodal di dalamnya, serta selanjutnya di atas reruntuhan itu membangun bangsa yang berdaulat dengan sistem demokrasi, berdasarkan paham kebangsaan yang dibangun bersama, dan menjunjung tinggi kebudayaannya. 


III. Integrasi Nasional di Era Globalisasi Dan Multikultural
Dilihat secara makro suatu tantangan, atau fenomena konflik antar etnis sesungguhnya sudah nampak sejak lama. Pada Perang Tiga Puluh Tahun antara pemeluk Kristen Protestan dan Katolik abad ke-17 di Eropa menunjukkan gejala konfik etnik tersebut. Perang Bubat pada zaman Majapahit antara Majapahit (Jawa) dan Sunda (Jawa Barat) juga menandakan adanya konflik antar kelompok etnik. Juga perang-perang antar suku yang lain di abad ke-18-19 di Kepulauan Nusantara memberikan petunjuk adanya konflik antar etnik yang tidak dapat dihindarkan, karena pandangan yang sempit, menganggap kelompok suku sendiri sebagai bangsa yang berhak di wilayahnya. Konflik-konflik itu pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai aspek seperti: aspek historis, ideologis, politis, ekonomi, maupun sosial budaya. Oleh karena itu, suatu pemahaman yang baik terhadap suatu fenomena tidak dapat ditangkap hanya melalui satu faktor analisis. Kemudian isu-isu konflik antar etnis sepertinya tenggelam oleh munculnya konflik ideologi seperti: Liberal dan Komunis, antara blok Amerika dan blok Rusia. Konflik ideologi itu juga mempengaruhi percaturan politik antar bangsa di dunia. Dalam perspektif konseptual, interaksi antar aktor hubungan internasional pada periode ini didominasi oleh pendekatan realis tradisional yang menekankan state centric.[2]
Indonesia, sebagai satu negara bangsa mulai membangun setelah kemerdekaan, mengisi kemerdekaan baik pisik maupun mental. Secara pisik bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke bangkit, bersatu mewujudkan satu orde Indonesia yang lepas dari penjajahan. Kota Jakarta (sebelumnya, Batavia) ditetapkan sebagai ibu kota negara Indonesia. Disepakati bahwa Pancasila adalah dijadikan dasar dan falsafah negara yang baru dibangun. Dengan dasar Pancasila dimaksudkan, bahwa di bawah payung bangsa (kebangsaan), semua bagian dari bangsa (etnik, agama dan budaya), hidup berdampingan, berinteraksi demi kemajuan bersama.
Pemerintah Indonesia yang menjalankan sistem kenegaraan dengan paham kebangsaan berusaha keras agar dapat mengintegrasikan  seluruh komponen bangsa, membangun satu sinergi untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang sejahtera, adil makmur berdasarkan falsafah negara Pancasila. Dasar Negara Pancasila, tidak hanya dilihat sebagai satu kerangka prikehidupan berbangsa, tetapi juga satu cita-cita mulia, agar bangsa ini dapat hidup sejahtera secara bersama-sama, tanpa mempersoalkan adanya perbedaan suku, agama, bahasa, budaya, dan lain-lain yang telah hidup dan tumbuh subur di bumi Indonesia. Para tokoh pendiri bangsa sadar, bahwa bangsa ini hidup dalam keadaan yang jamak, atau pluralis. Maka disadari bahwa bangsa ini adalah bangsa yang multikultural, yang mau tidak mau patut hidup saling menghargai satu dengan yang lain. Demikian sejak tahun 1945, ketika kemerdekaan diproklamasikan, seluruh warga bangsa sadar atas keberagaman budayanya, dan sepakat untuk membangun bangsa yang satu.
Dengan begitu, muncul sentimen kebangsaan yang dapat dilihat memiliki dua dimensi yang saling terkait, yakni: dimensi internal dan dimensi ekternal. Dimensi internal mengacu pada kemampuan domestik untuk menciptakan iklim yang kondusif, memadai bagi pembangunan nasional yang perlu dinikmati oleh setiap etnik yang menjadikan bangsa itu, sedangkan dimensi ekternal menunjuk pada adanya kemampuan bangsa (nasional) dalam menjalankan hubungan luar negerinya dengan aktor-aktor negara lainnya. Maka dengan paham kebangsaan itu, orientasi nasional akan menjadi satu determinan penting dalam politik luar negeri suatu negara.[3] Sejak awal usaha menjaga integrasi bangsa telah dilakukan baik oleh pemerintah, maupun masyarakat. Dengan menganut paham kebangsaan, Pemerintah Indonesia berusaha menjalankan politik luar dan dalam negeri dengan mengutamakan kepentingan bersama, bangsa.
Akan tetapi nampak pada bangsa Indonesia, bahwa proses integrasi, atau pembentukan dan pembangunan paham kebangsaan cukup tersendat-sendat, karena lemahnya ikatan kebangsaan, baik karena faktor kontaknya dengan perkembangan global, maupun munculnya kembali sentimen sempit etnis, kepentingan kelompok yang sering membawa konflik, bahkan menjadi apa yang dirasakan sebagai krisis kebangsaan. Dilihat dari sisi sejarah, keadaan semacam itu memang tidak tiba-tiba muncul. Kontak dengan dunia luar, paling tidak kita dapat kembali melihat ke zaman yang lalu, yakni zaman datangnya pengrauh Eropah (Barat) di kepulauan. Sejak abad ke-19, semakin gencar abad ke-20, pengaruh modern (Barat) semakin meresap merasuk ke dalam darah daging kehidupan bangsa Indonesia. Berbagai prilaku, cara hidup, nilai-nilai kemasyarakatan negara maju semakin lama semakin mempengaruhi cara hidup dan berpikir bangsa Indonesia.
Pada abad ke-20, pengaruh luar yang sering disebut sebagai budaya modernitas, atau globalisasi, semakin leluasa masuk ke Indonesia. Sistem teknologi yang canggih membuat hubungan manusia satu dengan yang lain, menjadi tanpa batas. Hubungan itu dapat melampaui batas-batas ruang dan waktu. Karena hubungan yang semakin menggelobal, dan semangat dengan konsumerisme, keadaan itu nampak mengendorkan, melemahkan sikap-sikap primordial bangsa yang umumnya memberi semangat pada kehidupan masyarakat. Semakin lemahnya rasa nasional dari komponen bangsa Indonesia, selanjutnya membawa pula konflik-konflik antar kelompok di dalamnya.
Dalam era globalisasi, konflik-konflik  yang muncul tidak hanya diakibatkan oleh perbedaan kepentingan ideologi, atau ekonomi, tetapi juga sering karena adanya perbedaan peradaban. Menurut Hutington, peradaban adalah sebuah ikatan kultural yang terbentuk atas kelompok etnis, agama, dan bahasa dari suatu kelompok masyarakat. Pecahnya konflik-konflik antar etnis yang terjadi di negeri-negeri Afrika, adalah contoh dari adanya perbenturan peradaban (Hutington, 1968). Dalam hubungan itu, tampak bahwa Hutington melihat bagaimana perbedaan kebudayaan, atau keberagaman dalam kebudayaan dapat membawa konflik antar kelompok. Sampai di sini nampak bahwa globalisasi, atau modernitas budaya, telah membawa serta setidaknya suasana konflik, atau benturan antar peradaban. Terjadi benturan antara peradaban Barat dan Timur, juga benturan antara peradaban modern dan tradisional.
Selain itu, sifat pluralis bangsa Indonesia, yang dapat merupakan bibit laten, juga sistem pemerintahan yang sentralistis di masa Orde Baru masih menjadi contoh bagaimana keadaan menyimpang  terjadi. Garis-Garis Besar Haluan Negara masa itu, senantiasa memberi gambaran yang baik mengenai arah pembangunan bangsa menuju cita-cita kehidupan berbangsa berlandaskan demokrasi Pancasila. Namun di dalam pelaksanaanya, semua nampak dapat diatur secara sentralistis, membawa berbagai kekecewaan di kalangan warga di daerah. Beberapa kebijakan pemerintah yang berorientasi pada stabilitas politik, tampak menjadi faktor penting dalam proses penyeragaman budaya. Penyergaman sistem dan struktur pemerintahan desa, merupakan salah satu bentuk pemaksaan atas masyarakat adat yang sebelumnya otonom (Abdon Nababan, 1995: 429). Secara lebih jelas Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, telah memaksa sistem pemerintahan desa menjadi seragam di seluruh Indonesia. Hanya di Bali penyeragaman itu sulit dilakukan, sehingga tetap eksis dengan apa yang dikenal sebagai desa adat dan desa dinas (Carol Warren, 2002; Parimartha, 2001). Keadaan penekanan, atau dominasi seperti di atas, juga menjadi sumber munculnya krisis kebangsaan Indonesia.
Pada masa pemerintahan Orde Baru pembangunan bangsa Indonesia berbalik 180 derajat. Sebelumnya, di masa yang dikenal sebagai Orde Lama, pemerintahan lebih menekankan pada pembangunan mental dan keutuhan bangsa (character building), mempersiapkan bangsa menuju era baru yang modern. Memasuki masa Orde Baru arah pembangunan dirubah lebih berorientasi pada ekonomi, dengan harapan dapat membangun bangsa secara cepat dalam bidang ekonomi (kesejahteraan). Untuk dapat membangun ekonomi secara cepat, pemerintah melangkah dengan membuat hutang yang besar kepada dunia luar, tidak hanya besar, bahkan berlebihan – menurut ahli sejarah politik Roeslan Abdulgani. Sejalan dengan semangat kapitalisme dunia, dan budaya modernitas, masyarakat Indonesia terjebak ke dalam ideologi kapitalis dengan kebudayaan massanya. Kebudayaan massa dalam bentuk barang-barang konsumsi adalah wujud dari kemakmuran yang dijanjikan ideologi kapitalis, yang sekaligus memiliki watak konsumeris dalam meniknamti hidup.[4] Akibatnya muncul krisis moneter pada tahun 1997. Mengatasi krisis berkepanjangan, dilakukan usaha memperbaiki keadaan ekonomi, dengan istilah reformasi ekonomi. Hal ini juga dilakukan dengan mengadakan pinjaman kepada dunia luar. Kali ini pinjaman diminta kepada Dana Moneter Internasional (IMF), yang memberikan persaratan sebagai imbalan bantuan sebesar 43 milyar dollar AS. Persaratan itu adalah: (1) dihapuskannya politik monopoli pemerintah Indonesia yang menyengsarakan rakyat kecil, (2) diadakan perombakan bentuk-bentuk perusahan yang berwatak kerabat-isme (crony-ism). Sejauh ini, suatu perbaikan ekonomi juga tidak mendekati harapan masyarakat. Kekuatan merombak dengan semangat reformasi, akhirnya mampu menjatuhkan pemerintahan rezim Orde Baru, dengan lengsernya Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998 (Roeslan Abdulgani, Bali Post, 31-5-2002, hal.7).
Betapa pun semangat reformasi telah tumbuh dan mencoba membawa perubahan untuk perbaikan kehidupan bangsa, namun masih selalu muncul hambatan, ganjalan dalam pelaksanaannya. Banyak faktor yang dapat dilihat sebagai penghambat, seperti: masih bercokol kuatnya unsur-unsur anti reformasi, adanya kelompok kepentingan yang sulit dipertemukan, dikotomi kepentingan pusat-daerah, dan lain-lain. Karena kompaknya unsur kriris itu, maka muncul istilah, “krisis multidimensional”, atau di era ini disebut krisis reformasi, yang pada hakekatnya dapat dilihat sebagai krisis kebudayaan bangsa secara keseluruhan. Maka konflik-konflik etnik yang terjadi belakangan ini, seperti: konflik Madura-Dayak, konflik etnik di Ambon, konflik di Sulawesi, konflik di Jakarta, dan sebagainya, tentu dapat dilihat sebagai satu bentuk krisis peradaban yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Mungkin konflik-konflik itu muncul sebagai satu fenomena konpensasi jiwa bangsa yang multikultural, yang sebelumnya tertekan di bawah kekuasaan Orde Baru, dan kini tiba-tiba terlepas tanpa arah yang jelas. Kondisi semacam ini dapat pula dilihat sebagai satu bentuk krisis kebangsaan, dan krisis kebudayaan. Maka ketika para praktisi mengajukan pemecahan dengan perbaikan ekonomi, atau dengan menegakkan supremasi hukum, semuanya tidak mampu membawa bangsa keluar dari keadaan krisis.
Munculnya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang diharap dapat memberikan keleluasaan pada daerah-daerah untuk mengurus urusannya sendiri berdasarkan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, juga belum jelas arahnya. Nampak Undang-Undang itu masih banyak menggunakan logika serta indikator ekonomi dalam merumuskan konsepnya. Karena itu, konsep otonomi daerah ini menjadi sangat bias ekonomi, dan bukan lagi dilihat sebagai sebuah keputusan politik. Contoh, bagi daerah yang tidak mampu secara ekonomi melaksanakan otonomi, akan digabung dengan daerah yang lain (Tim Lapera, 2000: xxiii). Maka undang-undang otonomi daerah ini pun nampak belum memberikan solusi atas krisis yang sedang melanda bangsa, bahkan cenderung memunculkan arogansi daerah dalam pelaksanaannya. Dalam hubungan ini, bisa dimengerti pernyataan sebagai berikut:
“Reformasi sistem pemerintahan masih menjadi konsep top-down, yang proses pembagian otoritas politik (political authority) masih didasarkan pada konsepsi politik dan kemauan politik (political will) pemerintah pusat. Otoritas lokal belum menjadi praktek aktual yang berlangsung secara dialogis dalam hubungan pusat daerah”
Secara lebih gemas, Irwan Abdullah masih menyatakan:
“Proses penyatuan dan penyeragaman kebudayaan telah terjadi pada masa Orde Baru, dan orde-orde sesudahnya belum juga melihat pentingnya pengembangan kebudayaan lokal. Pada masa Orde Baru kita sibuk dengan upaya pengembangan kebudayaan nasional yang tidak pernah ada,…...” (Irwan Abdullah, 2002: 1-4).

Dapat dimengerti, kalau Irwan Abdullah menyatakan, bahwa kebudayaan nasional tidak pernah ada, karena ia selalu bergerak, dan terus tumbuh dalam satu  proses yang dinamis. Mungkin juga Irwan ragu kalau simbol kebudayaan nasional akan mampu membawa gerak perkembangan bangsa ke arah yang integratif. Yang nyata adalah kelompok-kelompok pendukung kebudayaan daerah secara kompak telah menyatakan siap membangun bangsa yang satu, Indonesia. Itulah yang terjadi pada proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Karena bangsa Indonesia sedang tumbuh, dan tetap akan tumbuh, maka kebudayaannya pun sedang tumbuh dan belum merupakan suatu yang bulat utuh, tetapi tetap tumbuh.
Maka dari segi akar budaya di Indonesia, unsur krisis itu dapat dikelompokkan atas dua yakni: faktor luar dan dalam. Sebagai faktor luar dapat dilihat bahwa globalisasi budaya modernitas telah melanda masyarakat Indonesia, membawa perubahan-perubahan di dalam cara, dan gaya hidup, mengarah pada ciri-ciri modern, individual, konsumtif. Dapat dimengerti, bahwa globalisasi budaya modernitas merupakan globalisasi dalam level budaya yang mengacu pada prinsip hidup modern, tercermin dalam ideologi kultural konsumerisme  (Lambang Trijono, 1996, hal.137). Adanya sentuhan budaya global, menyebabkan semakin banyak warga bangsa Indonesia terpengaruh, sehingga membuat mereka mudah berhubungan dengan dunia luar, dan mengaburkan pandangannya terhadap identitas negara bangsa. Semangat nasional mencair menjadi semangat dunia yang tanpa batas. Semua dipercepat dengan majunya teknologi informasi, dan komunikasi, yang membawa seseorang dengan mudah dapat berhubungan dengan orang lain, di luar wilayah negara sendiri. Faktor kedua, adalah faktor dalam negeri sendiri. Sebagai bangsa yang plural, dan multikultural, kini sentimen etnik semakin terpancing menampakkan sikap anasional, kurang toleransi, tetapi mengutamakan kepentingan kelompok sempit yang meresahkan. Terjadinya konflik-konflik dan benterok antar etnik yang semakin runyam, seperti diungkapkan di atas, adalah contoh dari situasi krisis kebangsaan, krisis kebudayaan yang sedang melanda bangsa.

IV. Pentingnya Pemahaman Kebinekaan dan Multikulturalisme dalam Mengatasi Krisis Kebangsaan
Sejak awal tumbuhnya bangsa Indonesia, telah dikenal bahwa bangsa ini terdiri atas berbagai suku bangsa dengan daerah/wilayahnya sendiri, sehingga dikenal dengan bangsa yang plural, berdimensi jamak dalam segi etnik. Munculnya satu bangsa dalam wujud plural itu, bukanlah sesuatu yang kebetulan, tetapi melalui pengalaman sejarah yang panjang, setelah bergelut dengan pahit getir perjuangan mengusir penjajahan.
Secara etnik dan geografis, jelas bahwa bangsa Indonesia tidak hanya plural dalam arti etnik, tetapi juga multi dalam arti kultural. Maka paham multikultur perlu dikembangkan, demi munculnya suatu situasi yang saling menghargai antara sesama warga  bangsa, yang memiliki variasi budaya yang amat kaya. Munculnya  pandangan multikultural, atau multikulturalisme, sesungguhnya merupakan reaksi atas dominasi yang semakin luas dari budaya modernitas yang menekan, mematikan kreatifitas budaya lokal. Parsudi Suparlan menyatakan, konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa, atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Karena itu, uraian mengenai multikulturalisme, mau tidak mau harus pula mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, dan lain-lain (Parsudi Suparlan, 2002: 2-3). Sementara itu, D.T.Sparringa (2003) menyatakan antara lain, bahwa sebagai sebuah pendekatan politik budaya, multikulturalisme menawarkan hadirnya realitas ganda (dual reality), atau realitas ragam (multy-reality) sekaligus, seperti: keberbedaan-kemiripan, keragaman-kesatuan, identitas-integrasi, lokalitas/partikularitas-universalitas, nasionalitas-globalitas. Dalam konstruksi seperti itu, multikulturalisme memfasilitasi pemahaman yang lebih baik dan mengeliminasi ketegangan dikotomis tentang realitas ganda, atau ragam di sekitar etnisitas dan budaya.[5]
Dari uraian di atas, nampak penting memahami perlunya ditumbuhkan semacam sikap moral, atau etika berbangsa pada setiap warga Indonesia, menjiwai nilai kepahlawanan bangsa untuk mampu meredam gejolak, benturan yang dapat merusak rasa persatuan Indonesia. Semangat kepahlawanan masa kini perlu ditancapkan pada usaha membangun rasa persatuan, kebersamaan untuk membangun keadilan dan kesejahteraan bangsa. Dalam hubungan itu, pemikiran Zulkifli Husin (2003), penting dimengerti. Ia menyatakan antara lain: Etika multikulturalisme sungguh merupakan upaya menghindari atau mencegah perangkap keniscayaan, antara hidup berdampingan secara stagnan dan perseteruan yang membawa kehancuran untuk memusnahkan pihak lain dari Republik ini.[6] Pandangan ini sejalan dengan semangat postmodernisme yang sedang berkembang, memberi dukungan, pengakuan pada kebinekaan budaya yang tidak terikat pada dominasi globalisasi. Dengan paham itu diharapkan akan terjadi pertemuan antara budaya global dan budaya lokal, keduanya dapat hidup berinteraksi saling mendukung satu dengan yang lain.[7] Itulah Glokalisasi budaya.
Diterapkannya Undang-undang Otonomi Daerah (OTDA), dapat dimengerti sebagai bagian dari kesadaran multikultural. Sebagai bangsa yang sadar akan warisan budayanya, maka setiap warga negara patut memelihara warisan dan nilai-nilainya, mengembangkan sikap toleransi yang tinggi terhadap berbagai perbedaan yang ada, semangat demokrasi dalam wadah Negara Kesatuan Indonesia. Bhineka Tunggal Ika, dengan begitu, merupakan satu konsep mengenai toleransi, hidup bersama dalam keberagaman, dan kesederajatan dalam satu wilayah tertentu yang diakui bersama. Itu adalah satu konsepsi bangsa Indonesia yang sejalan dengan pandangan multikulturalisme yang berkembang berhadapan dengan paham global yang ingin menyeragamkan kehidupan dunia. Karena itu, konsep bhineka tunggal ika sejalan dengan multikulturalisme dapat dimengerti sebagai ideologi, cita-cita bangsa yang mengakui perbedaan, keberagaman dalam kesedarjatan, hidup terus menjadi landasan semangat kepahlawanan bangsa Indonesia, dipelihara dan dikembangkan secara terus menerus, sehingga setiap generasi mampu memberi makna kepada nilai-nilai kepahlawanan yang dinamis, sebagai satu bangsa yang bhineka (berbeda, variasi itu), tetapi tunggal ika (satu itu).
Dengan semangat bhineka tunggal ika, nilai-nilai kepahlawanan bangsa Indonesia akan hidup terus, beraktivitas mengatasi berbagai krisis bangsa yang ditimbulkan oleh adanya pandangan sempit di tengah peradaban, menuju masyarakat Indonesia yang damai, suatu masyarakat yang hidup dalam suasana saling mengharagai, kesederajatan dalam keanekaragaman suku bangsa dan budaya.

V.  Simpulan.
Bahwa bangsa Indonesia telah lama hidup dengan keberagaman dalam suku bangsa dan kebudayaan. Sehingga disepakati bersama dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Falsafah negara Pancasila digunakan sebagai landasan dalam mendasari  hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Akan tetapi sampai 73  tahun sampai sekarang merdeka, bangsa ini juga belum mencapai sasaran yang diharapkan, masyarakat sejahtera, adil dan makmur, berdasarkan Pancasila.
Namun sebaliknya, yang dirasakan adalah munculnya krisis bangsa yang multidimensi, yang sulit dipecahkan. Berbagai upaya telah ditempuh untuk mengatasi keadaan. Peminjaman modal uang ke luar negeri, berbagai perangkat hukum dirumuskan, sistem politik diperbaharui, namun masalahnya belum juga terpecahkan. Tampak ada gangguan, atau hambatan yang muncul baik dari dalam maupun luar. Dari luar, terobosan ideologi global dengan semangat modernisme dan konsumerisme melanda, mempengaruhi warga bangsa secara terus menerus, melemahkan sendi-sendi kepribadian bangsa. Dari dalam, muncul semangat etnik, kelompok sempit, dan kurang mengacu pada jalannya sejarah tumbuhnya  bangsa Indonesia.
Dalam hubungan dengan krisis yang muncul dalam diri bangsa Indonesia, dapat dikatakan, bahwa keadaan itu tidak dapat dilihat hanya dari satu faktor (ekonomi, atau hokum, atau satu elemen saja), tetapi dari berbagai sisi, yang bersifat luas (kebudayaan). Maka satu pemecahan yang mungkin mengatasi keadaan itu, adalah tetap terpeliharanya semangat kepahlawanan bangsa yang dijiwai oleh nilai-nilai filosofi keberagaman, berkebudayaan dengan ideologi bhineka tunggal ika, dan memahami semangat multikulturalisme.
Dengan semangat multikulturalisme, dalam era postmodernisme, paham budaya lokal (nasional), dan global dapat berinteraksi mewujudkan kehidupan bersama dalam kesederajatan. Demikian, studi-studi kebudayaan menjadi penting artinya, sehingga mampu memberi semangat pada nilai-nilai kehidupan, termasuk nilai kepahlawanan bangsa di dalamnya.  




DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan, 2002. Bali Post (31-5), hal.7
Abdullah, Irwan, 2002. Denpasar (Paper disampaikan dalam Simposium Internasional Anthropogi).
Banyu Perwita, A.A., 1996. “Konflik Antar Etnis dalam Masyarakat Global dan Relevansinya Bagi Indonesia”, dalam Analisis CSIS (Maret-April, XXV, No.2), hal.149-159.
Featherstone, Mike, 1993. Consumer Culture and Postmodernism. London/New Delhi: SAGE Publication.
Husni, Zulkifli, 2003. “Etika Multikultural dan Tanggung Jawab Perguruan Tinggi. Sebuah Catatan Pengantar”, dalam Forum Rektor Indonesia, Hidup Berbangsa Dan Etika Multikultural. Surabaya: Yayasan Bhakti Persatuan.
Hutington, 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press.
Muhammad Fuad, 2000. “Kebudayaan dan Perubahan Sosial dalam Tinjauan Teori”, dalam Wacana (Vol.2, 1, April), hal.18-30.
Nagazumi, Akira, 1986. Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Parimartha, I Gde, 2001. Desa Adat dan Desa Dinas di Bali: Sebuah Refleksi Kesejarahan. Jakarta (Makalah disampaikan pada Konfrensi Nasional Sejarah VII, 28-31 Oktober).
Parsudi Suparlan, 2002. Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural. Makalah dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3. Membangun Kembali Indonesia Yang Bhineka Tunggal Ika. Di Denpasar (16-19 Juli).
Sparringa, Daniel T., 2003. “Multikulturalisme Dalam Multiperspektif Di Indonesia”, dalam Forum Rektor Indonesia, Hidup Berbangsa Dan Etika Multikultural. Surabaya: Yayasan Bhakti Persatuan).
Trijono, Lambang, 1996. “Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara Bangsa: Tantangan Integrasi Nasional dalm Konteks Global”, dalam Analisis CSIS, XXV, No.2, hal. 136-148.
Warren, Carol A., 1990. Adat and Dinas: Village and State in Contemporary Bali. University of Western Australia (Dissertation of Dept.of Anthropology). 



























[1] Akira Nagazumi, Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (1986), hal.137.
[2] A.A.Banyu Perwita, “Konflik Antar Etnis Dalam Masyarakat Global…”, dalam Analisis CSIS Th.XXV, No.2 (Maret-April, 1996), hal. 151.
[3] Banyu Perwita, “Konflik Antar Etnik..”, hal.154.
[4] Muhammad Fuad, “Kebudayaan dan Perubahan Sosial dalam Tinjauan Teori”, dalam Wacana, Vol.2, 1 (April, 2000), hal.22.
[5] D.T.Sparringa, “Multikulturalisme Dalam Multiperspektif di Indonesia”, dalam Forum Rektor Indonesia, Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural (Surabaya: Yayasan Bhakti Persatuan, 2003), hal.20.
[6] Zulkifli Husin, “Etika Multikultural dan Tanggung Jawab Perguruan Tinggi. Sebuah Catatan Pengantar”, dalam Forum Rektor Indonesia, Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural (Surabaya: Yayasan Bhakti Persatuan, 2003), hal. xvi).
[7] Mike Featerstone, Consumer Culture and Postmodernism (London/New Delhi: 1991), hal.3.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda