PERANAN TENGKULAK DALAM POLA PERDAGANGAN ANGGUR DI KECAMATAN BANJAR BULELENG BALI
Artikel Penelitian
Oleh
I Made Pageh.
Abstak
Tengkulak di pedesaan sangat buruk, karena selalu
memeras petani, sehingga terkategori sebagai salah satu ”setan desa” tahun
1965-an, dan diasosiasikan sebagai pemelihara ”brerong” atau tuyul. Permasalahan
yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah (1) sistem produksi anggur
di kecamatan Banjar?, (2) pola perdagangan anggur di kecamatan Banjar?; dan (3)
Peranan tengkulak dalam pola perdagangan anggur di Kecamatan Banjar dan
sekitarnya? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sistem produksi anggur,
mengetahui pola perdagangannya dan melihat peranan tengkulak dalam perdagangan
itu. Untuk mendapatkan manfaat dalam membantu petani anggur dalam mengatasi
permasalahannya terkait dengan perdagangan anggur dan mengurangi
ketergantungannya dengan tengkulak. Pengumpulan data menggunakan teknik
observasi, wawancara dan studi dokumen di kancah, di kantor statistik Buleleng,
kemudian data dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif- kualitatif.
Hasil penilitian, setelah
dianalisis bahwa alam di daerah Banjar sangat potensial untuk usaha anggur,
terutama anggur hitam yang umum ditemukan di kecamatan Banjar, sampai saat ini
belum ada usaha mencari alternatif penanaman anggur jenis lain di daerah ini. Pekerja wanita masih menjadi pekerja kelas
dua. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya struktur upah buruh wanita lebih
rendah dari pekerja laki-laki. Walaupun dalam bekerja perempuan tidak jauh
berbeda perannya dibandingkan dengan laki-laki. Khususnya pada saat sortasi,
dan membawa anggur ke jalan raya dari pematang tanaman anggur, pekerjaan
perempuan sangat dipentingkan.
Struktur pola perdagangan
anggur, menempatkan posisi petani pada daerah paling bawah, sehingga tidak
menguntungkan petani, karena ada pada dominasi tengkulak dan pengepul. Hal ini disebabkan
oleh keterbatasan petani dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi pasar,
jaringan perdagangan, modal, dan keberanian mengambil resiko. Dalam kondisi itu
tengkulak menempati posisi stategis dalam perdagangan anggur itu, khususnya
dalam perdagangan anggur dalam jumlah besar. Diharapkan pemerintah memberikan
perhatian pada nasib petani anggur, kalau mungkin memfasilitasi petani sehingga
aliran finansial mengalir lebih besar ke tangan petani.
Kata
Kunci: Peranan Tengkulak, Pola Perdangan Anggur.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tengkulak dalam masyarakat
memiliki konotasi negatif, di pedesaan bahkan sering dikonotasikan sebagai
pedagang yang memelihara ”brerong”, karena peranannya sering terlalu besar
dalam menekan petani. Dalam sejarahnya di tahun 1965 ketika tejadi aksi sepihak
dari gerakan Komunis di Indonesia, dalam usahanya mengusir ”setan desa” yang
dikategorikan sangat merugikan wong ciliki pedesaan, tengkulak merupakan
salah satu ”setan” dari ”setan desa” yang diberantas.
Pedagang perantara sangat
berperan jika komoditas perdagangan yang dihasilkan dalam lokasi terpencar,
melihat perannya sebagai pengumpul komoditas yang tersebar itu untuk
diperdagangkan dalam jumlah besar. Namun usaha tani anggur diusahakan secara
berkelompok untuk menghasilkan dalam jumlah besar, tetapi peran tengkulak tidak
dapat diabaikan. Lahan pertanian di Banjar sangat cocok dengan tanaman anggur. Anggur
memerlukan daerah panas dan dekat pantai, dengan ketinggian beberapa meter dari
permukaan laut, seperti daerah pantai Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, dan
daerah pantai Utara Bali daerah Seririt hingga Banyupoh di Singaraja Bali
(Setiadi, 2006,iii). Banyaknya petani menanam anggur memunculkan masalah pemasaran.
Sementara keadaan petani dalam serba keterbatasan, yaitu keterbatasan dalam modal,
pengetahuan dan teknologi, jaringan pemasaran, dan informasi terbaru terhadap tanaman budidayanya.
Variasi
tanaman anggur sangat ditentukan oleh informasi dan pengetahuan petani, makin
bervariasi dan cepat mengikuti pasaran maka petani itu semakin maju, sedangkan
di daerah Banjar sampai saat ini tidak ada perubahan dari budi daya anggur
hitam ke anggur yang lain. Walaupun kondisi komoditas anggur di pasaran telah
kalah kompetitif dengan produk anggur luar yaitu anggur merah, hijau dan
sebagainya.
Jika
musim panen tiba bersamaan dengan musim turun hujan, petani menjadi kehabisan akal, sehingga
menjual anggurnya kepada tengkulak dengan harga miring. Sedangkan tengkulak
memanfaatkan kondisi seperti itu, dengan memborong anggur masih di pohon dan
mempekerjakan tenaga lebih banyak termasuk sortasi perempuan, sehingga upahnya
lebih rendah. Sedangkan konsumen di lapangan
tidak tahu apakah musim hujan atau panas, sehingga harga anggur tetap
mengikuti harga pasar.
Kotak kayu pengepakannya sudah
diantisipasi dengan mempersiapkannya jauh sebelum musim penen tiba (lihat
Suryo,1989;49). Masalah tengkulak, pekerja perempuan di pusat pengepakan dan
sortasi sangat menarik, karena didominasi oleh kaum perempuan, terutama di
lokasi sortasi dan pengepakan anggur, di daerah
Dencarik.
Buah anggur hitam itu,
sepertinya telah menjadi “trade mark” daerah Buleleng, karena secara
riil memiliki kontribusi terhadap peningkatan pendapatan asli daerah Buleleng.
Dalam kenyataan tidak dapat mengantar petani anggur sejahtra. Anggur termasuk
komuditas yang banyak dikendalikan oleh para tengkulak, saudagar, dan penganyar
yang ada di daerah Banjar dan sekitarnya. Mengapa kesejahtraan petani tidak terjadi,
ini merupakan masalah klasik yang menarik untuk dikaji (lihat Nash, 1971; Vink,
1984;67). Peranan tengkulak salah satu bagian dari perdagangan anggur di
Buleleng perlu dikaji secara khusus untuk melihat pola perdagangan dan kelompok
yang mendapat aliran dana terbesar dari perdagangan anggur itu. Beberapa
permasalahan yang menjadi tujuan untuk dijawab dalam penelitian ini untuk
dikaji adalah, bagaimanakah (1) sistem produksi anggur itu?, (2) pola perdagangan
komoditas anggur di kecamatan Banjar?; (3) Peranan tengkulak dalam pola
perdagangan anggur yang ada di daerah Banjar dan sekitarnya? Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui sistem produksi anggur, mengetahui pola perdagangannya dan
melihat peranan tengkulak dalam perdagangan itu. Untuk mendapatkan manfaat
dalam membantu petani anggur dalam mengatasi permasalahannya terkait dengan
perdagangan anggur dan mengurangi ketergantungannya dengan tengkulak.
2. Metode Penlitian
Penelitian
ini dilaksanakan di daerah produksi anggur yang ada di daerah Banjar dan
sekitarnya. Informan dalam penelitian ini terdiri dari tokoh petani anggur.
Para tengkulak, saudagar, pengepul, dan penganyar yang mengambil aktivitas di
Banjar dan sekitarnya. Informan dipilih menggunakan teknik snow ball. Setelah
data terkumpul melalui studi dokumenter, observasi, wawancara mendalam. Data kemudian
dianalisis menggunakan teknik deskriptif kualitatif-interpretif, dapat
dikatakan berlangsung sejak pengumpulan data sampai akhir penelitian. Strategi
yang ditempuh dari data emperis, atau sebaliknya diklasifikasikan,
dibandingkan, dikategorisasi sifatnya, serta verifiasi-verivikasi awal. Dengan
cara ini akan terwujud deskripsi emperik, sekaligus teori, pada penjelasan
terhadap gejala sosial-ekonomi yang diteliti. Dalam rangkaian itu, kritik
(ekstern maupun intern terhadap sumber data), serta interpretasi tidaklah
diabaikan. Penyajian laporan penelitian akan berbentuk deskripsi kuantitatif –interpretif,
mengacu pada Geertz (1973, 1983) dan Suparlan (1991).
Dengan
kerangka berpikir sederhana yang digunakan adalah sebuah ekosistem usaha tani
dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi antara lain: faktor alam, faktor modal
termasuk alat produksi, dan faktor tenaga kerja. Tiga faktor ini sangat
menentukan sebuah produk yang dihasilkan. (Vink, 1984:46;Purwanto, 1992). Dalam
pemasaran pedagang perantara mengambil keuntungan membubung tinggi, sehingga
menekan harga hasil usaha tani. Sehingga aliran keuntungan terbesar ada pada para tengkulak ( pedagang
perantara), pengepul dan atau pada
eksportir (Laanen, 1988:57, Vleming, 1988:24; Linblad, 1993:16).
Hal ini terjadi karena masyarakat petani jarang
tahu tentang seluk-beluk jaringan pemasaran (Vleming, 1988:43; Dewey, 1962:36).
Apalagi para penghasil usaha tani partai kecil yang tidak bermodal uang tunai
maka kedudukannya sangat lemah, kalau dihadapkan pada mata rantai “tengkulak”
dalam perdagangan (Dick, 1998; Kartodirdjo, 1991:31). Terutama berhadapan
dengann sistem rentenir, sistem ijon, sistem kartel, sistem monopoli dan
sebagainya (Furnivall,1944:32; Purwanto, 1992:218; Boeke, 1992:33). Bagan
ekosistem keterkaitan komponen yang terlibat dalam pola perdagangan, dengan
melihat tengkulak di dalamnya .
Bagan 01. Ekosistem Keterkaitan Komponen yang Terlibat dama
Perdagangan Hasil Usaha Tani
Sumber: Diadaptasi
dari beberapa sumber di antaranya Vink (1984), Pageh (1998). Inilah yang
dipergunakan mendeskripsikan perdagangan anggur di Banjar Bali.
3.
Hasil Penelitian
3.1
Identifikasi Wilayah, Penduduk dan Sarana Pendukungnya
Kecamatan Banjar
sebuah kecamatan di Bueleng memiliki 17 kedesaan diperintah oleh prebekel, 15
desa adat diperintah oleh bendesa adat, 70 dusun/banjar diperintah oleh
kelian dusun/banjar (BPS Buleleng, 2006:42). Dengan luas wilayah sekitar 172,60
km2 dengan land use sawah (576,0 Ha), tegalan (4.330,0 Ha),
perkebunan (8.280,0), dan pekarangan (446,0 Ha), berhadapan dengan laut yang
luas. Dominasi sawah dan tegalam, daerahnya sangat subur, di samping laut.
Sawah masuk ke pedalaman ke daerah pegunungan tinggi dan miring sampai di
daerah Gobleg.
Jumlah penduduk kecamatan Banjar
berjumlah 67.397 jiwa tahun 2002 menjadi 70.354 jiwa tahun 2006 (1,7 % per
tahun). Mata pencaharian penduduknya bervariasi. Di desa Banjar, Dencarik,
Temukus, dan Kaliasem memiliki tipe perikanan sama dan pertanian tanah basah.
Sedangkan daerah bagian atasnya bertani dan berkebun, penghasil beras, cengkeh,
kopi, dan hasil bumi lainnya seperti bawang merah, bawang putih, gula aren dan
durian (BPS Singaraja, 2006:16).
Lokasi jalan aspal terbanyak ada di
Kaliasem, karena ada pada jalur Singaraja-Gilimanuk (2 Km), sedangkan daerah
lainnya rata-rata memiliki jalan aspal 0,5 Km, berstatus aspal negara
(Propinsi) (BPS Singaraja, 2006:29). Jalan tanah ditemukan di daerah Banjar
bagian atas, di antaranya: di Desa
Gesing (3 Km), Gobleg (2 Km), Pedawa (2,5 Km), Tigawasa (4 Km), dan
Banjar (3 Km) (BPS Singaraja, 2006:31).
Sedangkan sarana pasar, dengan
berbagai status ditemukan di Kecamatan Banjar, di antaranya: (1) Pasar
Kabupaten ada di Munduk, Banyuiatis, dan Banjar (3 buah). (2) Pasar Desa
ditemukan di Banyuatis, Munduk, Kayu Putih, Banjar Tegaha (4 buah). (3) Tenten
tersebar ada di Banyuatis, Gesing, Gobleg, Pedawa, Tigawasa, Cempaga, Sidatapa,
dan Dencarik (8 buah). Dilihat dari jumlah pasar di suatu desa, maka Desa
Banyuatis merupakan Desa yang paling maju di antaranya, karena jumlah pasar
semuatingkatan ada, sehingga daerah itu adalah sebuah kota desa ada di dataran
tinggi Kecamatan Banjar (BPS Singaraja, 2006:26). Bahkan daerah ini menjadi ikon
kopi bubuk bubuk di Bali, yaitu kopi bubuk Banyuatis Singaraja.
3.2 Sistem
Produksi Usaha Tani Anggur di Kecamatan Banjar
Lahan dekat pantai merupakan daerah
yang paling ideal untuk penanaman anggur adalah daerah panas dan dekat pantai,
karena tanaman ini tidak berani dengan daerah yang memiliki curah hujan padat.
Di daerah Banjar lokasi penghasil anggur adalah desa yang ada di dataran
rendah, yaitu daerah yang mendekati daerah pantai. Sistem produksi anggur mengikuti pola yang telah biasa
dilakukan oleh petani, yaitu pertama lubang dibuat dengan jarak 2:3 meter
(jarak tiga meter untuk parit perantara 0,5 m). Sebelum anggur ditanam,
terlebih dahulu diisi pupuk kandang. Kemudian dibuatkan tiang penyangga (juga
dengan jarak yang sama dengan anggur) menggunakan kayu santen dan kawat,
dengan besar sesuai kebutuhan. Setelah cukup umur ketika pemetikan pohon sudah
kokoh diadakan pemangkasan daun, agar keluar bunga dan buah. Pupuk dan
obat-obatan sangat dibutuhkan agar anggur cepat dapat produktif. Penyiangan dan
pemupukan dan penyemprotan dilakukan secara periodik, sesuai dengan keadaan di
lapangan. Jenis tiang rambatan sebenarnya ada beberapa macam, seperti rambatan
bentuk segi tiga, bentuk “T”, dan bentuk khiffin. Yang umum dipergunakan
di Banjar adalah bentuk kniffin (lihat Setiadi, 2006).
Pemotongan daun melihat keadaan
musim/cuaca. Stek daun dilakukan 30 hari setelah petik buah habis. Umur
pemotongan sampai pemetikan berumur 90-120 hari. Selama itu ada dua kali
pemupukan dan 3 kali menyemprot. Diperkirakan 35 ore tanah diperkirakan
menghabiskan dana 2,5 juta, dari petik sampai obat dan berbuah (Nengah Landep,
51 th. dan Wyn. Sadra, 53 th.).
Produksi Anggur per hektar mengalami
pluktuasi, pada saat musim bagus bisa 15 tom per Ha. Sedang tahun ini, buah
anggur sangat jarang sekali, bahkan per petaknya radius 4x4 m2 tidak
lebih dari 10 tandan saat peneliti terjun ke lapangan. Faktor penyebabnya
dikatakan oleh petani karena lahannya sudah tidak subur lagi, dan banyak pupuk
urea dan NPK yang dibeli dipasaran palsu. Di samping air irigasi yang mulanya
cukup bagus untuk menyiraminya menjadi mengecil, sehingga periode mendapatkan
air jaraknya bertambah panjang dan lamanya berkurang, sehingga berpengaruh
terhadap produksi pohon anggur (Berata, 60 th.). Usaha penanaman anngur selain
anggur hitam tidak ditemukan di daerah banjar secara besar-besaran, masih umum
ditemukan anggur warnna hitam saja.
Dari 17 Desa hanya 6 desa yang
menghasilkan anggur, di antaranya: Tampekan (88,0 ton/ tahun), Banjar Tegeha
(79 to/th.), Banjar (2.053 ton/th.), Dencarik (1.885 ton/th.), Temukus (465
ton/th.), dan Kaliasem (180 ton/th.). Banjar adalah penghasil terbesar, dan
terkecil di Banjar Tegeha, dengan total 4.750 ton/tahun 2006. Rata-rata hasil
pertahun ini mengalami pluktuasi, pada tahun 1980-an mengalami booming dan
tahun 2002 juga terjadi panen raya dengan total 6.696 ton di tahun itu (BPS
Singaraja, 2006:5). Empat tahun belakangan berpluktuasi hasil ton per tahunnya
(4.750 ton tahun 2006, 4391 ton tahun 2005, dan 4.282 ton tahun 2004, 3.305
tahun 2003, dan 6.696 ton tahun 2002). Sampai saat ini belum pernah lagi
melebihi produksi tahun 2002.
Buruh yang suami-istri, ada
diskrinminasi perlakuan buruh laki-laki dengan perempuan dengan membedakan
pekerjaan dan upah laki-laki dengan perempuan. Kalau menyiang dan memupuk,
laki-lakinya membersihkan batang anggur, perempuannya memupuk. Kalau pemangkasa
maka laki-lakinya menggunting batang anggur sedangkan perempuannya menempatkan
daunnya pada tempat ditentukan di sekitar batang anggur. Kalau pemetikan
laki-lakinya memetik sedangkan perempuannya memasukkan ke keranjang, dan
laki-lakinya menaikkan ke kendaraan pik up atau mengangkutnya ke pinggir
jalan bersama-sama (Makali dan Sri Hartoyo, 1978:35).
Sedangkan pada gudang sortasi,
laki-lakinya menimbang, menyiapkan peti termasuk membuat kotaknya, dan
menaikkan ke armada pekerjaan laki-laki. Sedangkan perempuannya menyortir
memilah yang super, baik sedang dan membersihkan yang rusak. Pekerjaan laki dan
perempuan apapun pekerjaan yang diambilnya baik di kebun maupun di gugang
sortasi upah buruh perempuan selalu lebih rendah dari laki-laki. Perempuan
dewasa rata-rata Rp 25.000,00 sedangkan laki-laki Rp 35.000,--40.000,- per hari
( lihat Baserop, 1970).
3.5 Peranan
Tengkulak dalam Pola Perdagangan Anggur di Banjar
Para tengkulak anggur sering juga
disebut penyotek, kelompok broker ini merupakan tangan kanan dari para
pengepul. Pengepul memiliki lebih dari satu orang penyotek. Penyotek
membeli anggur masih di pohon, terkadang mereka jual-kembali dengan harga lebih
tinggi, dan terkadang juga mereka petik sendiri, kemudian hasil petikannya itu
langsung di bawa ke pengepul dijual kuwintalan, untuk konsumsi sendiri tidak
diperhitungkan, karena telah bosan dengan anggur. Spekulasi berdasarkan
keahlian menafsir kemungkinan pikul anggur dapat dipanen yang mereka beli di
pohon (ijon) (lihat Vlaming, 1988), juga nasib mereka juga dihadang oleh musim hujan.
Keuntungan yang mereka dapat memang cukup tinggi, jika benar menafsir dan tidak
hujan ketika anggur masih di pohon. Tapi sekarang sulit mendapat untung banyak
seperti awal anggur jaya, karena sebagian besar tengkulaknya telah menjadi
pengepul dan pintar menafsir dan sangat tahu kemungkinan untung dan ruginya,
bahkan lebih pintar dari penyotek, hanya karena waktu dan tidak dapat ke
lapangan jasa tengkulak dibutuhkan. Tetapi biasanya paling tidak porsentase
keuntungan diberikan, kecuali tengkulak punya modal untuk membeli dan memetik
sendiri, baru kemungkinan dapat untung lebih banyak (Ibu Sri 30 th, Hok 45 th.).
Para petani anggur ada juga memetik
sendiri anggurnya, membawa sendiri ke pengepul, ke pedagang lokal (dijual di
pinggir jalan dan pasar), dan dijual sendiri di pasar tradisional. Tetapi
menurutnya sering modal tidak dapat terkumpul untuk membayar pupuk dan ongkos
buruh, karena habis di jalan. Sehingga lebih baik ”majegang’, sehingga
dapat uang kontan, tidak pusing dan bertanggung jawab jika hujan dan harga
turun, karena itu menjadi tanggung jawab tengkulak dan pengepul. Apalagi mereka
banyak yang tidak tahu tempat pemasaran di kota selain di pengepul yang ada di
wilayah mereka.
Pola perdagangan dari petani sampai
ke konsumen mengalami rantai-rantai perdagangan (ritail) yang sangat panjang.
Makin panjang ritail dari petani ke konsumen harga anggur manjadi makin mahal
(Hidayat, 1987:6). Ritail anggur sangat bervariasi bergantung jaringan dimilikinya.
Anggur daerah Banjar banyak dikirim ke luar daerah oleh para pengepul yang ada
di daerah gerokgak, patas, dan Kalapaksa/ Lokapaksa. Anggur di kirim ke
kota-kota besar baik di Bali maupun luar Bali. Di antaranya ke Denpasar dan
Gianyar dan Kelungkung sebagian ke swalayan, dan sebagian lagi ke pengecer di
pasar-pasar buah di pasar tradisional, misalnya Gusti Biang Triadnya dengan PT.
Super Balinya mengirim ke PT Huku di Denpasar. Dan Wyn. Sujatri, Jero Semi, mengirim ke pengecer
di pasar tradisional. Sedangkan yang ke luar Bali dikirim ke Blitar, Surabaya,
Semarang, Solo, Yogya, Jakarta, Bandung.
Sebagian besar dari mereka adalah berasal
dari tengkulak, dan sebagiannya lagi memang menyediakan modal untuk usaha
perdagangan anggur, karena melihat peluang bisnis jual-beli anggur itu sangat
menguntungkan.
Para pengepul banyak juga berfungsi
ganda, bukan hanya sebagai pembeli anggur produksi petani, tetapi juga menjual
berbagai kebutuhan terkait dengan petani anggur, seperti pupuk, obat-obatan,
alat pertanian, alat semprot dan sebagainya. Bahkan ada juga sebagai rentenir,
yang bisa dibayar dengan hasil anggur mereka kemudian, dengan catatan dia mau
menjual hasil anggurnya ketika panen.
Cerita petani anggur tidak telalu
menyenangkan, mulai dari perhatian pemerintah terhadap kelompoknya, kesulitan
mendapatkan kredit, kesulitan air untuk menyirami anggurnya, pemalsuan obat dan
pupuk, rentenir, calo (penyotek), sampai biaya hidup tinggi tidak dapat hidup
sebagai petani. Suka duka mereka lebih banyak dirundung malang, terutama ketika
panen raya terjadi harga anggur menjadi anjlok, demikian sebaliknya kalau buah
anggur jarang, baru anggur mahal. Sepertinya mereka tidak mengerti hukum pasar,
hubungan antara permintaan dan
penawaran, sehingga mereka mencita-citakan ada pabrik anggur yang dapat membeli
hasil pertaniannya dengan harga mahal,
sehingga dua dapat tersenyum dan juga mendapatkan sudsidi obat dan pupuk, serta
dibuatkan pasar khusus untuk anggur yang memberikan peluang petani menjual
sendiri anggurnya dengan harga mahal.
Pengiriman anggur ke luar Bali
ditangani oleh broker truk yang menyediakan jasa angkutan ke luar
daerah, misalnya Parto, 37 th. asal Klaten telah bertahun-tahun berprofesi
sebagai broker jasa angkutan truk. Truk ke jawa pulangnya ke Bali umumnya
membawa barang dangan (klontong) ke toko-toko grosir di Bali (lihat Lindblad,
1993).
Dari hasil penelitian ini dapat dibuatkan pola sebagai
berikut.
Peranan
Tengkulak dalam perdagangan ini sangat strategis, dalam meningkatkan
kesejahtraan petani, demikian pula para pengepul. Untuk meningkatkan
kesejahtraan para petani jaringan dan hubungan antara petani,
tengkulak dan pengepul harus dijembatani agar tidak diperas oleh para tengkulak
dan pengepul. Petani harus difasilitasi untuk mendapatkan kredit murah,
sediakan koperasi serba guna, sehingga tidak terjerat oleh rentenir yang
menjeratnya saat panen yang seharusnya lebih banyak mereka nikmati (Bandingkan dengan
Chandler, 1984:111-137).
Petani juga kalau memungkinkan
diberikan penyuluhan atau pelatihan yang diprakarsai oleh dinas perkebunan dan
pertanian agar mereka mengetahui cara-cara yang benar dalam memilih bibit yang
baik, pupuk yang tidak palsu, obat yang tidak palsu, ddan cara penggunaannya
yang sesuai dengan aturan yang benar dalam menanam dan memlihara anggur dengan
demikian akan menghasilkan anggur yang berkualitas. Demikian pula varietas
anggur baru sangat perlu dianjurkan dan pemerintah menyediakan tenaga ahli dan
penyuluh yang prodesional sehingga dapat meningkatkan kualitas produksinya dan
pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahtraan petani anggur dan masyarakat
sekitarnya.
4.
Penutup
4.1
Simpulan
Daerah Banjar sangat cocok untuk penanaman anggur
hitam, perlu dicobakan jenis anggur lainnya untuk mendapatkan keunggulan
kompetitif produk di pasaran, karena banyak saingan buah anggur dari luar.
Terjadi dominasi laki-laki dalam
penanaman anggur.
Pola perdagangan anggur menempatkan petani pada posisi
yang tidak menguntungkan, karena ada pada dominasi tengkulak dan pengepul. Hal
ini terjadi karena keterbatasan petani dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,
informasi pasar, jaringan perdagangan, modal, dan keberanian mengambil resiko.
Perlu difasilitasi agar petani bisa mendapatkan dana cepat dan murah, obat dan
pupuk yang tidak palsu, juga penyuluh profesional sehingga dapat mengembangkan
tanaman anggurnya dan juga dapat melakukan disversivikasi tanaman anggur lain
seperti anggur merah dan anggur hijau yang lebih laku di pasaran. Dan akalu
memungkinkan dibangun pabrik anggur untuk menyerap semua hasil yang ada baik
pada musim hujan maupun musim panen raya. Dengan demikian akan petani anggur
akan dapat meningkatkan kesejahtraannya, sehingga nantinya gengsi sebagai
petani anggur sama wibawanya dengan pegawai negeri, bahkan harapannya generasi
muda ke depan lebih memilih sebagai petani dibandingkan dengan sebagai buruh
pabrik, garmen, hotel, PNS dan sebagainya. Dengan demikian Indonesia tidak akan
bergantung dengan produk anggur dan buah-buahan lainnya di masa depan.
4.2
Saran-saran
Disarankan agar pemerintah melindungi petani dari
jeratan tengkulak, pengepul, dengan memberikan penyuluhan yang benar
melalui Penyuluh Pertanian di Lapangan
(PPL Pertaniannya), memberikan kredit ringan, memvariasikan tanaman anggur,
memberikan subsidi pupuk dan obat-obatan, beserta mengadakan pengawasan obat
dan pupuk agar tidak palsu. Memutus ritail panjang pemasarannya dengan
membuatkan pasar buah anggur di daerah sentra anggur di Banjar, dan membuatkan
pabrik anggur untuk menyangga saat panen raya terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang
Purwanto. 1992. From Dusun to the Market: Native Rubber Cultivation in
Southern Sumatra 1890-1940. London: University of London.
|
Baserop,Ester. 1970. Peranan Wanita dalam
Perkembangan Ekonomi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
|
Boeke,
J.H. 1942. The Structure of Nederland Indian Economiy. New
York: Institute of Pasific.
|
Dewey A.G. 1962. Peasant Marketing in Java. New York: The Pree
Press.
|
Dick,
Howard W. 1988. “Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan
Timbulnya Suatu Perekonomian Nasional”, dalam, Sejarah Ekonomi Indonesia.
Anne Booth. (et al.) (penyunting).
Jakarta: LP3ES, hal. 399-434.
|
Furnivall, J.S. 1944. Nederlands India: A Studi in
Plural Ekonomi. Cambrige: at the
University Press.
|
Geertz,
Clifford. 1973. Peddler and Princes: Sosial Change and Economic
Modernization in Two Indonetion Towns. Chicago: University of Chicago
Press.
|
Geertz, Clliford. 1983. Involusi Pertanian Proses
Perubahan Ekologis di Indonesia. S. Soepomo (penerjemah). Jakarta:
Bhratara.
|
Hidayat, 1987.”Peranan
dan Profil Serta Prospek Perdagangan Eceran (Formal dan Informal) dalam
Pembangunan”, dalam Prisma No.7, Th XVI Juli 1987. hal. 3-41.
|
Kartodirdjo, Sartono dan
Djoko Suryo, 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi.Yogyakarta:Aditya
Media.
|
Laanen, Jan T.M.van. 1988. “Di Antara Javasche Bank dan Ceti-ceti Cina:
Perbankan dan Kredit di Indonesia pada Zaman Kolonial”, dalam Sejarah Ekonomi
Indonesia. Anne Booth et al.
(Penyunting). Jakarta: LP3ES, hal.332.
|
Lindblad, J. Thomas. 1993. “Economic Growth in the Outer
Islands”, 1910-1940, dalam New Challenges in the Modern Economic History
of Indonesia. Leiden: Programme of
Indonesian Studies. pp.233-263.
|
Makali
dan Sri Hartoyo, 1978. ”Perkembangan Tingkat Upah dan Kesempatan Kerja di
Pedesaan Jawa”, dalam Prisma, No.3, Th.VII April 1978I. Hal. 35-45.
|
Setiadi, 2006. Pertanian Anggur. Jakarta: Swadaya.
|
Nash, Manning (1967),
1971. “Market and Indian Peasant Economies”
dalam, Peasant and Peasant Societies, Selected Readings Teodor Shanin (ed.).
Harmonddsworth: Penguin Books Ltd., pp.161.
|
Pageh, I Made. 1998.
“Dari Tengkulak sampai Subandar; Perdagangan Komoditas Lokal di Bali Utara
Zaman Kolonial Belanda, 1950-1942”, Tesis UGM: Jogjakarta.
|
Suparlan, Parsudi, 1991.
“Antropologi Untuk Indonesia”, dalam Membangun Martabat Manusia Peranan
Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan. Sofian Effendi dkk. (ed.).
Yogyakarta: UGM Press
|
Suryo, Djoko. 1989. Sejarah Sosial Pedesaan Keresidenan Semarang
1830-1900. Yogyakarta: PAU Studi
Sosial Universitas Gadjah Mada.
|
Vink, G.J. 1984. Usaha Tani Indonesia (Terjemahan). Jakarta:
YIIS.
|
Vlaming, J.R. 1988. Kongsi dan Spekulasi Jaringan Bisnis Cina.
Bob Widyahartono, penyadur). Jakarta: Grafiti.
|
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda