Minggu, 15 Juli 2018

PERANAN TENGKULAK DALAM POLA PERDAGANGAN ANGGUR DI KECAMATAN BANJAR BULELENG BALI


     Artikel Penelitian

Oleh
I Made Pageh.

Abstak

Tengkulak di pedesaan sangat buruk, karena selalu memeras petani, sehingga terkategori sebagai salah satu ”setan desa” tahun 1965-an, dan diasosiasikan sebagai pemelihara ”brerong” atau tuyul. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah (1) sistem produksi anggur di kecamatan Banjar?, (2) pola perdagangan anggur di kecamatan Banjar?; dan (3) Peranan tengkulak dalam pola perdagangan anggur di Kecamatan Banjar dan sekitarnya? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sistem produksi anggur, mengetahui pola perdagangannya dan melihat peranan tengkulak dalam perdagangan itu. Untuk mendapatkan manfaat dalam membantu petani anggur dalam mengatasi permasalahannya terkait dengan perdagangan anggur dan mengurangi ketergantungannya dengan tengkulak. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan studi dokumen di kancah, di kantor statistik Buleleng, kemudian data dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif- kualitatif.
Hasil penilitian, setelah dianalisis bahwa alam di daerah Banjar sangat potensial untuk usaha anggur, terutama anggur hitam yang umum ditemukan di kecamatan Banjar, sampai saat ini belum ada usaha mencari alternatif penanaman anggur jenis lain di daerah ini.  Pekerja wanita masih menjadi pekerja kelas dua. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya struktur upah buruh wanita lebih rendah dari pekerja laki-laki. Walaupun dalam bekerja perempuan tidak jauh berbeda perannya dibandingkan dengan laki-laki. Khususnya pada saat sortasi, dan membawa anggur ke jalan raya dari pematang tanaman anggur, pekerjaan perempuan sangat dipentingkan.
Struktur pola perdagangan anggur, menempatkan posisi petani pada daerah paling bawah, sehingga tidak menguntungkan petani, karena ada pada dominasi tengkulak dan pengepul. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan petani dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi pasar, jaringan perdagangan, modal, dan keberanian mengambil resiko. Dalam kondisi itu tengkulak menempati posisi stategis dalam perdagangan anggur itu, khususnya dalam perdagangan anggur dalam jumlah besar. Diharapkan pemerintah memberikan perhatian pada nasib petani anggur, kalau mungkin memfasilitasi petani sehingga aliran finansial mengalir lebih besar ke tangan petani.



Kata Kunci: Peranan Tengkulak, Pola Perdangan Anggur. 



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tengkulak dalam masyarakat memiliki konotasi negatif, di pedesaan bahkan sering dikonotasikan sebagai pedagang yang memelihara ”brerong”, karena peranannya sering terlalu besar dalam menekan petani. Dalam sejarahnya di tahun 1965 ketika tejadi aksi sepihak dari gerakan Komunis di Indonesia, dalam usahanya mengusir ”setan desa” yang dikategorikan sangat merugikan wong ciliki pedesaan, tengkulak merupakan salah satu ”setan” dari ”setan desa” yang diberantas.
Pedagang perantara sangat berperan jika komoditas perdagangan yang dihasilkan dalam lokasi terpencar, melihat perannya sebagai pengumpul komoditas yang tersebar itu untuk diperdagangkan dalam jumlah besar. Namun usaha tani anggur diusahakan secara berkelompok untuk menghasilkan dalam jumlah besar, tetapi peran tengkulak tidak dapat diabaikan. Lahan pertanian di Banjar sangat cocok dengan tanaman anggur. Anggur memerlukan daerah panas dan dekat pantai, dengan ketinggian beberapa meter dari permukaan laut, seperti daerah pantai Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, dan daerah pantai Utara Bali daerah Seririt hingga Banyupoh di Singaraja Bali (Setiadi, 2006,iii). Banyaknya petani menanam anggur memunculkan masalah pemasaran. Sementara keadaan petani dalam serba keterbatasan, yaitu keterbatasan dalam modal, pengetahuan dan teknologi, jaringan pemasaran, dan informasi terbaru  terhadap tanaman budidayanya.
            Variasi tanaman anggur sangat ditentukan oleh informasi dan pengetahuan petani, makin bervariasi dan cepat mengikuti pasaran maka petani itu semakin maju, sedangkan di daerah Banjar sampai saat ini tidak ada perubahan dari budi daya anggur hitam ke anggur yang lain. Walaupun kondisi komoditas anggur di pasaran telah kalah kompetitif dengan produk anggur luar yaitu anggur merah, hijau dan sebagainya.
            Jika musim panen tiba bersamaan dengan musim turun  hujan, petani menjadi kehabisan akal, sehingga menjual anggurnya kepada tengkulak dengan harga miring. Sedangkan tengkulak memanfaatkan kondisi seperti itu, dengan memborong anggur masih di pohon dan mempekerjakan tenaga lebih banyak termasuk sortasi perempuan, sehingga upahnya lebih rendah. Sedangkan konsumen di lapangan  tidak tahu apakah musim hujan atau panas, sehingga harga anggur tetap mengikuti harga pasar.
Kotak kayu pengepakannya sudah diantisipasi dengan mempersiapkannya jauh sebelum musim penen tiba (lihat Suryo,1989;49). Masalah tengkulak, pekerja perempuan di pusat pengepakan dan sortasi sangat menarik, karena didominasi oleh kaum perempuan, terutama di lokasi sortasi dan pengepakan anggur, di daerah  Dencarik.
Buah anggur hitam itu, sepertinya telah menjadi “trade mark” daerah Buleleng, karena secara riil memiliki kontribusi terhadap peningkatan pendapatan asli daerah Buleleng. Dalam kenyataan tidak dapat mengantar petani anggur sejahtra. Anggur termasuk komuditas yang banyak dikendalikan oleh para tengkulak, saudagar, dan penganyar yang ada di daerah Banjar dan sekitarnya. Mengapa kesejahtraan petani tidak terjadi, ini merupakan masalah klasik yang menarik untuk dikaji (lihat Nash, 1971; Vink, 1984;67). Peranan tengkulak salah satu bagian dari perdagangan anggur di Buleleng perlu dikaji secara khusus untuk melihat pola perdagangan dan kelompok yang mendapat aliran dana terbesar dari perdagangan anggur itu. Beberapa permasalahan yang menjadi tujuan untuk dijawab dalam penelitian ini untuk dikaji adalah, bagaimanakah (1) sistem produksi anggur itu?, (2) pola perdagangan komoditas anggur di kecamatan Banjar?; (3) Peranan tengkulak dalam pola perdagangan anggur yang ada di daerah Banjar dan sekitarnya? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sistem produksi anggur, mengetahui pola perdagangannya dan melihat peranan tengkulak dalam perdagangan itu. Untuk mendapatkan manfaat dalam membantu petani anggur dalam mengatasi permasalahannya terkait dengan perdagangan anggur dan mengurangi ketergantungannya dengan tengkulak.

2. Metode Penlitian
            Penelitian ini dilaksanakan di daerah produksi anggur yang ada di daerah Banjar dan sekitarnya. Informan dalam penelitian ini terdiri dari tokoh petani anggur. Para tengkulak, saudagar, pengepul, dan penganyar yang mengambil aktivitas di Banjar dan sekitarnya. Informan dipilih menggunakan teknik snow ball. Setelah data terkumpul melalui studi dokumenter, observasi, wawancara mendalam. Data kemudian dianalisis menggunakan teknik deskriptif kualitatif-interpretif, dapat dikatakan berlangsung sejak pengumpulan data sampai akhir penelitian. Strategi yang ditempuh dari data emperis, atau sebaliknya diklasifikasikan, dibandingkan, dikategorisasi sifatnya, serta verifiasi-verivikasi awal. Dengan cara ini akan terwujud deskripsi emperik, sekaligus teori, pada penjelasan terhadap gejala sosial-ekonomi yang diteliti. Dalam rangkaian itu, kritik (ekstern maupun intern terhadap sumber data), serta interpretasi tidaklah diabaikan. Penyajian laporan penelitian akan berbentuk deskripsi kuantitatif –interpretif, mengacu pada Geertz (1973, 1983) dan Suparlan (1991).
            Dengan kerangka berpikir sederhana yang digunakan adalah sebuah ekosistem usaha tani dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi antara lain: faktor alam, faktor modal termasuk alat produksi, dan faktor tenaga kerja. Tiga faktor ini sangat menentukan sebuah produk yang dihasilkan. (Vink, 1984:46;Purwanto, 1992). Dalam pemasaran pedagang perantara mengambil keuntungan membubung tinggi, sehingga menekan harga hasil usaha tani. Sehingga aliran keuntungan terbesar ada pada para tengkulak ( pedagang perantara),  pengepul dan atau pada eksportir (Laanen, 1988:57, Vleming, 1988:24; Linblad, 1993:16).
           Hal ini terjadi karena masyarakat petani jarang tahu tentang seluk-beluk jaringan pemasaran (Vleming, 1988:43; Dewey, 1962:36). Apalagi para penghasil usaha tani partai kecil yang tidak bermodal uang tunai maka kedudukannya sangat lemah, kalau dihadapkan pada mata rantai “tengkulak” dalam perdagangan (Dick, 1998; Kartodirdjo, 1991:31). Terutama berhadapan dengann sistem rentenir, sistem ijon, sistem kartel, sistem monopoli dan sebagainya (Furnivall,1944:32; Purwanto, 1992:218; Boeke, 1992:33). Bagan ekosistem keterkaitan komponen yang terlibat dalam pola perdagangan, dengan melihat tengkulak di dalamnya .
Bagan 01. Ekosistem Keterkaitan Komponen yang Terlibat dama Perdagangan Hasil Usaha Tani
 













Sumber: Diadaptasi dari beberapa sumber di antaranya Vink (1984), Pageh (1998). Inilah yang dipergunakan mendeskripsikan perdagangan anggur di Banjar Bali.

3. Hasil Penelitian
3.1 Identifikasi Wilayah, Penduduk dan Sarana Pendukungnya
            Kecamatan Banjar sebuah kecamatan di Bueleng memiliki 17 kedesaan diperintah oleh prebekel, 15 desa adat diperintah oleh bendesa adat, 70 dusun/banjar diperintah oleh kelian dusun/banjar (BPS Buleleng, 2006:42). Dengan luas wilayah sekitar 172,60 km2 dengan land use sawah (576,0 Ha), tegalan (4.330,0 Ha), perkebunan (8.280,0), dan pekarangan (446,0 Ha), berhadapan dengan laut yang luas. Dominasi sawah dan tegalam, daerahnya sangat subur, di samping laut. Sawah masuk ke pedalaman ke daerah pegunungan tinggi dan miring sampai di daerah Gobleg.
            Jumlah penduduk kecamatan Banjar berjumlah 67.397 jiwa tahun 2002 menjadi 70.354 jiwa tahun 2006 (1,7 % per tahun). Mata pencaharian penduduknya bervariasi. Di desa Banjar, Dencarik, Temukus, dan Kaliasem memiliki tipe perikanan sama dan pertanian tanah basah. Sedangkan daerah bagian atasnya bertani dan berkebun, penghasil beras, cengkeh, kopi, dan hasil bumi lainnya seperti bawang merah, bawang putih, gula aren dan durian (BPS Singaraja, 2006:16).
            Lokasi jalan aspal terbanyak ada di Kaliasem, karena ada pada jalur Singaraja-Gilimanuk (2 Km), sedangkan daerah lainnya rata-rata memiliki jalan aspal 0,5 Km, berstatus aspal negara (Propinsi) (BPS Singaraja, 2006:29). Jalan tanah ditemukan di daerah Banjar bagian atas, di antaranya: di Desa  Gesing (3 Km), Gobleg (2 Km), Pedawa (2,5 Km), Tigawasa (4 Km), dan Banjar (3 Km) (BPS Singaraja, 2006:31).
            Sedangkan sarana pasar, dengan berbagai status ditemukan di Kecamatan Banjar, di antaranya: (1) Pasar Kabupaten ada di Munduk, Banyuiatis, dan Banjar (3 buah). (2) Pasar Desa ditemukan di Banyuatis, Munduk, Kayu Putih, Banjar Tegaha (4 buah). (3) Tenten tersebar ada di Banyuatis, Gesing, Gobleg, Pedawa, Tigawasa, Cempaga, Sidatapa, dan Dencarik (8 buah). Dilihat dari jumlah pasar di suatu desa, maka Desa Banyuatis merupakan Desa yang paling maju di antaranya, karena jumlah pasar semuatingkatan ada, sehingga daerah itu adalah sebuah kota desa ada di dataran tinggi Kecamatan Banjar (BPS Singaraja, 2006:26). Bahkan daerah ini menjadi ikon kopi bubuk bubuk di Bali, yaitu kopi bubuk Banyuatis Singaraja.
3.2 Sistem Produksi Usaha Tani Anggur di Kecamatan Banjar
            Lahan dekat pantai merupakan daerah yang paling ideal untuk penanaman anggur adalah daerah panas dan dekat pantai, karena tanaman ini tidak berani dengan daerah yang memiliki curah hujan padat. Di daerah Banjar lokasi penghasil anggur adalah desa yang ada di dataran rendah, yaitu daerah yang mendekati daerah pantai.            Sistem produksi anggur mengikuti pola yang telah biasa dilakukan oleh petani, yaitu pertama lubang dibuat dengan jarak 2:3 meter (jarak tiga meter untuk parit perantara 0,5 m). Sebelum anggur ditanam, terlebih dahulu diisi pupuk kandang. Kemudian dibuatkan tiang penyangga (juga dengan jarak yang sama dengan anggur) menggunakan kayu santen dan kawat, dengan besar sesuai kebutuhan. Setelah cukup umur ketika pemetikan pohon sudah kokoh diadakan pemangkasan daun, agar keluar bunga dan buah. Pupuk dan obat-obatan sangat dibutuhkan agar anggur cepat dapat produktif. Penyiangan dan pemupukan dan penyemprotan dilakukan secara periodik, sesuai dengan keadaan di lapangan. Jenis tiang rambatan sebenarnya ada beberapa macam, seperti rambatan bentuk segi tiga, bentuk “T”, dan bentuk khiffin. Yang umum dipergunakan di Banjar adalah bentuk kniffin (lihat Setiadi, 2006).
            Pemotongan daun melihat keadaan musim/cuaca. Stek daun dilakukan 30 hari setelah petik buah habis. Umur pemotongan sampai pemetikan berumur 90-120 hari. Selama itu ada dua kali pemupukan dan 3 kali menyemprot. Diperkirakan 35 ore tanah diperkirakan menghabiskan dana 2,5 juta, dari petik sampai obat dan berbuah (Nengah Landep, 51 th. dan Wyn. Sadra, 53 th.).  
            Produksi Anggur per hektar mengalami pluktuasi, pada saat musim bagus bisa 15 tom per Ha. Sedang tahun ini, buah anggur sangat jarang sekali, bahkan per petaknya radius 4x4 m2 tidak lebih dari 10 tandan saat peneliti terjun ke lapangan. Faktor penyebabnya dikatakan oleh petani karena lahannya sudah tidak subur lagi, dan banyak pupuk urea dan NPK yang dibeli dipasaran palsu. Di samping air irigasi yang mulanya cukup bagus untuk menyiraminya menjadi mengecil, sehingga periode mendapatkan air jaraknya bertambah panjang dan lamanya berkurang, sehingga berpengaruh terhadap produksi pohon anggur (Berata, 60 th.). Usaha penanaman anngur selain anggur hitam tidak ditemukan di daerah banjar secara besar-besaran, masih umum ditemukan anggur warnna hitam saja.
            Dari 17 Desa hanya 6 desa yang menghasilkan anggur, di antaranya: Tampekan (88,0 ton/ tahun), Banjar Tegeha (79 to/th.), Banjar (2.053 ton/th.), Dencarik (1.885 ton/th.), Temukus (465 ton/th.), dan Kaliasem (180 ton/th.). Banjar adalah penghasil terbesar, dan terkecil di Banjar Tegeha, dengan total 4.750 ton/tahun 2006. Rata-rata hasil pertahun ini mengalami pluktuasi, pada tahun 1980-an mengalami booming dan tahun 2002 juga terjadi panen raya dengan total 6.696 ton di tahun itu (BPS Singaraja, 2006:5). Empat tahun belakangan berpluktuasi hasil ton per tahunnya (4.750 ton tahun 2006, 4391 ton tahun 2005, dan 4.282 ton tahun 2004, 3.305 tahun 2003, dan 6.696 ton tahun 2002). Sampai saat ini belum pernah lagi melebihi produksi tahun 2002.
            Buruh yang suami-istri, ada diskrinminasi perlakuan buruh laki-laki dengan perempuan dengan membedakan pekerjaan dan upah laki-laki dengan perempuan. Kalau menyiang dan memupuk, laki-lakinya membersihkan batang anggur, perempuannya memupuk. Kalau pemangkasa maka laki-lakinya menggunting batang anggur sedangkan perempuannya menempatkan daunnya pada tempat ditentukan di sekitar batang anggur. Kalau pemetikan laki-lakinya memetik sedangkan perempuannya memasukkan ke keranjang, dan laki-lakinya menaikkan ke kendaraan pik up atau mengangkutnya ke pinggir jalan bersama-sama (Makali dan Sri Hartoyo, 1978:35).
            Sedangkan pada gudang sortasi, laki-lakinya menimbang, menyiapkan peti termasuk membuat kotaknya, dan menaikkan ke armada pekerjaan laki-laki. Sedangkan perempuannya menyortir memilah yang super, baik sedang dan membersihkan yang rusak. Pekerjaan laki dan perempuan apapun pekerjaan yang diambilnya baik di kebun maupun di gugang sortasi upah buruh perempuan selalu lebih rendah dari laki-laki. Perempuan dewasa rata-rata Rp 25.000,00 sedangkan laki-laki Rp 35.000,--40.000,- per hari ( lihat Baserop, 1970).
3.5 Peranan Tengkulak dalam Pola Perdagangan Anggur di Banjar
            Para tengkulak anggur sering juga disebut penyotek, kelompok broker ini merupakan tangan kanan dari para pengepul. Pengepul memiliki lebih dari satu orang penyotek. Penyotek membeli anggur masih di pohon, terkadang mereka jual-kembali dengan harga lebih tinggi, dan terkadang juga mereka petik sendiri, kemudian hasil petikannya itu langsung di bawa ke pengepul dijual kuwintalan, untuk konsumsi sendiri tidak diperhitungkan, karena telah bosan dengan anggur. Spekulasi berdasarkan keahlian menafsir kemungkinan pikul anggur dapat dipanen yang mereka beli di pohon (ijon) (lihat Vlaming, 1988), juga nasib mereka juga dihadang oleh musim hujan. Keuntungan yang mereka dapat memang cukup tinggi, jika benar menafsir dan tidak hujan ketika anggur masih di pohon. Tapi sekarang sulit mendapat untung banyak seperti awal anggur jaya, karena sebagian besar tengkulaknya telah menjadi pengepul dan pintar menafsir dan sangat tahu kemungkinan untung dan ruginya, bahkan lebih pintar dari penyotek, hanya karena waktu dan tidak dapat ke lapangan jasa tengkulak dibutuhkan. Tetapi biasanya paling tidak porsentase keuntungan diberikan, kecuali tengkulak punya modal untuk membeli dan memetik sendiri, baru kemungkinan dapat untung lebih banyak (Ibu Sri 30 th, Hok 45 th.).
            Para petani anggur ada juga memetik sendiri anggurnya, membawa sendiri ke pengepul, ke pedagang lokal (dijual di pinggir jalan dan pasar), dan dijual sendiri di pasar tradisional. Tetapi menurutnya sering modal tidak dapat terkumpul untuk membayar pupuk dan ongkos buruh, karena habis di jalan. Sehingga lebih baik ”majegang’, sehingga dapat uang kontan, tidak pusing dan bertanggung jawab jika hujan dan harga turun, karena itu menjadi tanggung jawab tengkulak dan pengepul. Apalagi mereka banyak yang tidak tahu tempat pemasaran di kota selain di pengepul yang ada di wilayah mereka.
            Pola perdagangan dari petani sampai ke konsumen mengalami rantai-rantai perdagangan (ritail) yang sangat panjang. Makin panjang ritail dari petani ke konsumen harga anggur manjadi makin mahal (Hidayat, 1987:6). Ritail anggur sangat bervariasi bergantung jaringan dimilikinya. Anggur daerah Banjar banyak dikirim ke luar daerah oleh para pengepul yang ada di daerah gerokgak, patas, dan Kalapaksa/ Lokapaksa. Anggur di kirim ke kota-kota besar baik di Bali maupun luar Bali. Di antaranya ke Denpasar dan Gianyar dan Kelungkung sebagian ke swalayan, dan sebagian lagi ke pengecer di pasar-pasar buah di pasar tradisional, misalnya Gusti Biang Triadnya dengan PT. Super Balinya mengirim ke PT Huku di Denpasar. Dan  Wyn. Sujatri, Jero Semi, mengirim ke pengecer di pasar tradisional. Sedangkan yang ke luar Bali dikirim ke Blitar, Surabaya, Semarang, Solo, Yogya, Jakarta, Bandung.

            Sebagian besar dari mereka adalah berasal dari tengkulak, dan sebagiannya lagi memang menyediakan modal untuk usaha perdagangan anggur, karena melihat peluang bisnis jual-beli anggur itu sangat menguntungkan.
            Para pengepul banyak juga berfungsi ganda, bukan hanya sebagai pembeli anggur produksi petani, tetapi juga menjual berbagai kebutuhan terkait dengan petani anggur, seperti pupuk, obat-obatan, alat pertanian, alat semprot dan sebagainya. Bahkan ada juga sebagai rentenir, yang bisa dibayar dengan hasil anggur mereka kemudian, dengan catatan dia mau menjual hasil anggurnya ketika panen.
            Cerita petani anggur tidak telalu menyenangkan, mulai dari perhatian pemerintah terhadap kelompoknya, kesulitan mendapatkan kredit, kesulitan air untuk menyirami anggurnya, pemalsuan obat dan pupuk, rentenir, calo (penyotek), sampai biaya hidup tinggi tidak dapat hidup sebagai petani. Suka duka mereka lebih banyak dirundung malang, terutama ketika panen raya terjadi harga anggur menjadi anjlok, demikian sebaliknya kalau buah anggur jarang, baru anggur mahal. Sepertinya mereka tidak mengerti hukum pasar, hubungan antara  permintaan dan penawaran, sehingga mereka mencita-citakan ada pabrik anggur yang dapat membeli hasil pertaniannya  dengan harga mahal, sehingga dua dapat tersenyum dan juga mendapatkan sudsidi obat dan pupuk, serta dibuatkan pasar khusus untuk anggur yang memberikan peluang petani menjual sendiri anggurnya dengan harga mahal.
            Pengiriman anggur ke luar Bali ditangani oleh broker truk yang menyediakan jasa angkutan ke luar daerah, misalnya Parto, 37 th. asal Klaten telah bertahun-tahun berprofesi sebagai broker jasa angkutan truk. Truk ke jawa pulangnya ke Bali umumnya membawa barang dangan (klontong) ke toko-toko grosir di Bali (lihat Lindblad, 1993).
Dari hasil penelitian ini dapat dibuatkan pola sebagai berikut.

            Peranan Tengkulak dalam perdagangan ini sangat strategis, dalam meningkatkan kesejahtraan petani, demikian pula para pengepul. Untuk meningkatkan kesejahtraan para petani jaringan dan hubungan antara petani, tengkulak dan pengepul harus dijembatani agar tidak diperas oleh para tengkulak dan pengepul. Petani harus difasilitasi untuk mendapatkan kredit murah, sediakan koperasi serba guna, sehingga tidak terjerat oleh rentenir yang menjeratnya saat panen yang seharusnya lebih banyak mereka nikmati (Bandingkan dengan Chandler, 1984:111-137).
            Petani juga kalau memungkinkan diberikan penyuluhan atau pelatihan yang diprakarsai oleh dinas perkebunan dan pertanian agar mereka mengetahui cara-cara yang benar dalam memilih bibit yang baik, pupuk yang tidak palsu, obat yang tidak palsu, ddan cara penggunaannya yang sesuai dengan aturan yang benar dalam menanam dan memlihara anggur dengan demikian akan menghasilkan anggur yang berkualitas. Demikian pula varietas anggur baru sangat perlu dianjurkan dan pemerintah menyediakan tenaga ahli dan penyuluh yang prodesional sehingga dapat meningkatkan kualitas produksinya dan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahtraan petani anggur dan masyarakat sekitarnya.

4. Penutup
 4.1  Simpulan
Daerah Banjar sangat cocok untuk penanaman anggur hitam, perlu dicobakan jenis anggur lainnya untuk mendapatkan keunggulan kompetitif produk di pasaran, karena banyak saingan buah anggur dari luar. Terjadi  dominasi laki-laki dalam penanaman anggur.
Pola perdagangan anggur menempatkan petani pada posisi yang tidak menguntungkan, karena ada pada dominasi tengkulak dan pengepul. Hal ini terjadi karena keterbatasan petani dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi pasar, jaringan perdagangan, modal, dan keberanian mengambil resiko. Perlu difasilitasi agar petani bisa mendapatkan dana cepat dan murah, obat dan pupuk yang tidak palsu, juga penyuluh profesional sehingga dapat mengembangkan tanaman anggurnya dan juga dapat melakukan disversivikasi tanaman anggur lain seperti anggur merah dan anggur hijau yang lebih laku di pasaran. Dan akalu memungkinkan dibangun pabrik anggur untuk menyerap semua hasil yang ada baik pada musim hujan maupun musim panen raya. Dengan demikian akan petani anggur akan dapat meningkatkan kesejahtraannya, sehingga nantinya gengsi sebagai petani anggur sama wibawanya dengan pegawai negeri, bahkan harapannya generasi muda ke depan lebih memilih sebagai petani dibandingkan dengan sebagai buruh pabrik, garmen, hotel, PNS dan sebagainya. Dengan demikian Indonesia tidak akan bergantung dengan produk anggur dan buah-buahan lainnya di masa depan.

4.2 Saran-saran
Disarankan agar pemerintah melindungi petani dari jeratan tengkulak, pengepul, dengan memberikan penyuluhan yang benar melalui  Penyuluh Pertanian di Lapangan (PPL Pertaniannya), memberikan kredit ringan, memvariasikan tanaman anggur, memberikan subsidi pupuk dan obat-obatan, beserta mengadakan pengawasan obat dan pupuk agar tidak palsu. Memutus ritail panjang pemasarannya dengan membuatkan pasar buah anggur di daerah sentra anggur di Banjar, dan membuatkan pabrik anggur untuk menyangga saat panen raya terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Bambang Purwanto. 1992. From Dusun to the Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra 1890-1940. London: University of London.

Baserop,Ester. 1970. Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Boeke, J.H. 1942. The Structure of Nederland Indian Economiy. New York: Institute of Pasific.

Dewey A.G. 1962. Peasant Marketing in Java. New York: The Pree Press. 

Dick, Howard W. 1988. “Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu Perekonomian Nasional”, dalam, Sejarah Ekonomi Indonesia. Anne Booth. (et al.) (penyunting).  Jakarta: LP3ES, hal. 399-434.

Furnivall, J.S. 1944. Nederlands India: A Studi in Plural Ekonomi. Cambrige: at the University Press.

Geertz, Clifford. 1973. Peddler and Princes: Sosial Change and Economic Modernization in Two Indonetion Towns. Chicago: University of Chicago Press.

Geertz, Clliford. 1983. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologis di Indonesia. S. Soepomo (penerjemah). Jakarta: Bhratara.

Hidayat, 1987.”Peranan dan Profil Serta Prospek Perdagangan Eceran (Formal dan Informal) dalam Pembangunan”, dalam Prisma No.7, Th XVI Juli 1987. hal. 3-41.

Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo, 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi.Yogyakarta:Aditya Media.

Laanen, Jan T.M.van. 1988. “Di Antara Javasche Bank dan Ceti-ceti Cina: Perbankan dan Kredit di Indonesia pada Zaman Kolonial”, dalam Sejarah Ekonomi Indonesia. Anne Booth et al. (Penyunting). Jakarta: LP3ES, hal.332.

Lindblad, J. Thomas.  1993. “Economic Growth in the Outer Islands”, 1910-1940, dalam New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia. Leiden: Programme of  Indonesian Studies. pp.233-263.

Makali dan Sri Hartoyo, 1978. ”Perkembangan Tingkat Upah dan Kesempatan Kerja di Pedesaan Jawa”, dalam Prisma, No.3, Th.VII April 1978I. Hal. 35-45.

Setiadi, 2006. Pertanian Anggur. Jakarta: Swadaya.

Nash, Manning (1967), 1971. “Market and Indian Peasant Economies”  dalam, Peasant and Peasant Societies,  Selected Readings Teodor Shanin (ed.). Harmonddsworth: Penguin Books Ltd., pp.161.

Pageh, I Made. 1998. “Dari Tengkulak sampai Subandar; Perdagangan Komoditas Lokal di Bali Utara Zaman Kolonial Belanda, 1950-1942”, Tesis UGM: Jogjakarta.

Suparlan, Parsudi, 1991. “Antropologi Untuk Indonesia”, dalam Membangun Martabat Manusia Peranan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan. Sofian Effendi dkk. (ed.). Yogyakarta: UGM Press

Suryo, Djoko. 1989. Sejarah Sosial Pedesaan Keresidenan Semarang 1830-1900. Yogyakarta: PAU Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.

Vink, G.J. 1984. Usaha Tani Indonesia (Terjemahan). Jakarta: YIIS.

Vlaming, J.R. 1988. Kongsi dan Spekulasi Jaringan Bisnis Cina. Bob Widyahartono, penyadur). Jakarta: Grafiti.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda