Resensi Buku PROTEST MOVEMENTS IN RURAL JAVA A Study of Agrarian Unres in the Nineteeth and Early Twentienth Centuries
Resensi Buku
PROTEST MOVEMENTS IN RURAL JAVA
A Study of Agrarian Unres in the
Nineteeth and Early
Twentienth Centuries[1]
1.
Pengantar
Tulisan ini tergolong ke dalam jenis
sejarah sosial struktural, yang berbeda dengan sejarah konvensional yaitu
sejarah yang menceritakan perang dan tokoh-tokoh besar saja dalam penulisan
sejarah. Sedangkan sejarah struktural menampilkan peranan rakyat kecil (wong cilik) dalam panggung sejarah
Indonesia, yang beliau pelopori dalam penulisannya sejak tahun 1960-an. Dalam
penulisan sejarah jenis ini maka peranan Ilmu Sosial (sosio-kultural, ekonomi,
politik) tidak dapat diabaikan, pembahasan secara metodologis akan saya bahas
lebih lanjut tersendiri.
Topik
gerakan sosial ini (dapat dikatakan) merupakan lanjutan dari penelitian beliau
sebelumnya (yang sangat manumental) berupa studi kasus tentang pembrontakan
petani Banten 1888.[2]
Tujuan
kajian ini adalah ingin mendapatkan pengetahuan faktual tentang gerakan-gerakan
sosial yang muncul di daerah pedersaan Jawa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Pergerakan rakyat itu lazimnya dianggap arkheis sifatnya, oleh karena
organisasinya, programnya, strategi dan taktiknya masih terlalau sederhana
apabila dibandingkan dengan gerakan sosial modern. Pergerakan-pergerakan
semacam itu pada umumnya bersifat sangat pendekumurnya; bersifat lokal atau
regional dan tidak kordinatif satu dengan yang lainnya. Dengan demikian
kolonial belandamenggolongkan sebagai ”gangguan ketentraman” (rustvestoring), “huru-hara” (woelingen), “kerusuhan” (onlusten) atau “gerakan rohani” (geestverij). Pergolakan-pergolakan itu tidak termasuk pergolaka
besar seperti Perang Diponogoro, Perang Padri, atau Perang Aceh. Perlu juga
ditambahkan sifat tradisional-arkhaisme dari pergerakan ini, tidak adanya
tujuan yang jelas dan juga tidak ada perencanaan bagaimana seandainya gerakan
tu berhasil, juga hampir semuanya
memiliki sifat keagamaan.
2.
Metodologi dan Teori
Metodologi
sebenarnya berbeda dengan pengertian metode, kalau metode sebenarnya sebagai
sebuah alat bagi seorang tukang dalam membangun sebuah bangunan misalnya.
Sedangkan metodologi telah termasuk di
dalamnya cara kerja seorang insinyur dalam membangun seuabah gedung bertingkat
misalnya. Di samping alat masih perlu gambar dan beberapa perhitungan matang
supaya gedung itu tidak roboh.
Dari
uraian asosiatif tersebut di atas dapat dikatakan bahwa orientasi metodologis
di samping metode sejarah, masih diperlukan teori-teori pendukung dalam
menerapkan metode itu, sehingga pendirian teoretis terhadap metodologi
sebenarnya berhubungan erat dengan jenis sejarah yang mau dihasilkan.
Sartono
Kartodirdjo memandang bahwa untuk penggarapan sejarah struktural maka
pendekatan mutidimensional adalah pendekatan yang paling mampu untuk
mengungkapkan realitas historis. Sesuai dengan realitas sosial di masyarakat,
permasalahan sosial yang muncul itu bersifat kompleks, oleh karena itu tidak
cukup hanya didekati dengan (meminjam konsep) satu aspek ilmu sosial saja.
Pemilihan
model menurut beliau adalah hal yang sangat perlu untuk dilakukan, dalam tulisannya
ini beliau mengambil lima poin dari tujuh poin yang dikembangkan oleh H.A
Lansberger dalam bukunya, “The Role of Peasant Movement and Revolts in
Development: An Analytical Framework”, in H. A. Landsberger (ed.) Latin American Movements, Ithaca,1968.(lihat
hal.4 dan catatan bawah no.3). Berdasarkan ini maka framework penelitian beliau adalah: “(1) the political-economic structure of rural Java in the nineteeth and
twentienthcentureis; (b) the mass base of social movements; (c) the leidership
of social movements; (d) the ideologis of social movements; and (e) the
cultural conduciveness of the society in which these social movements are to
found.” (lihat uraian teori lebih jauh dari
masing-masing poin ini, hal.5-12).
Harapan
terkhir dari penggunaan metodologis ini adalah dapat menghasilkan karya sejarah
kritis-analitis, yang objektivitas dan kausalitasnya dapat diandalkan, sehingga
sejarah dapat berkembang sejajar dengan ilmu-ilmu sosial lainnya.
3. Pembahasan
Selama
abad ke-19 dan 20 di indonesia terus menerus tumbuh pembrontakan, kerusuhan,
kegaduhan, brandalan, dan sebagainya yang cukup menggoncangkan pemerintahan
kolonial Belanda di Indonesia pada waktu itu. Hampir terjadi sekali dalam
setiap tahun, gerakan itu ternyata meiliki potensi besar di daerah pedesaan
Jawa. Sikap rakyat mengambil gerakan radikal karena didasari oleh
keyakinan-keyakinan, harapan-harapan yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran
massianistis, atau milenaristis dan pandangan askatologis yang revolusioner.
Terdapat
fakta yang kuat, bahwa dominasi barat serta perobahan-perobahan sosial yang
mengikuti telah menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan rakyat untuk
cendrung untuk melakukan gerakana sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan
kultural yang terjadi pada masa kolonial telah mengakibatkan timbulnya
disorganisasi di kalangan masyarakat tradisional, beserta lembaga-lembaganya. Dengan
masuknya sistem ekonomi uang pada masyarakat pedesaan Jawa, mengakibatkan
terjadinya kesenjangan-kesenjangan sosial dan beban rakyat menjadi makin
meningkat. Sistem ekonomi uang ini telah memungkinkan terlaksananya sistem
perpajakan, peningkatan perdagangan hasil bumi, timbulnya buruh upahan, masalah
kepemilikan tanah garapan. Dengan subordinasi ekonomi ini pula, terjadi
pengerahan tenaga rakyat secara paksa, yang mengakibatkan rakyat makin
bergantung pada penguasa kolonial. Berkembangnya perdagangan dan makin meluasnya
sistem ekonomi uang ini telah menciptakan difrensiasi pekerjaan pada
masyarakat, dan memunculkan adanya peran-peran daru dalam struktur masyarakat,
yang berbeda dengan struktur masyarakat tradisional di pedesaan Jawa.
Dalam
bidang politik, dengan meluasnya sistem amdinistrasi legal nasional. banyak
timbul ketegangan dan ketidaksetabilan sebagai akibat dari adanya penetrasi
pemerintah kolonial terhadap sistem administrasi tradisional. Dengan
terawasinya birokrasi oleh pemerintah
kolonial. Sementara itu lembaga-lembaga politik tradisional terdesak adanya,
oleh nilai-nilai birokrasi barat.
Dalam
menghadapi pengaruh barat yang bersifat disintegratif itulah maka muncul
gerakan-gerakan sosial, sebagai reaksi dari pengaruh nilai-nilai barat yang
tidak semuanya dapat diterima oleh masyarakat tradisional di pedesaan Jawa. Di antarnya
ada yang menghidupkan nilai-nilai lama (revivalisme) mengharap kedatangan ratu
adil, keagamaan, saminisme dan sebagainya.
Dari
latar belakang keadaan seperti inilah Sartono Kartodirdjo menggolongkan
jenis-jenis gerakan sosial di pedesaan Jawa menjadi empat golongan antara lain:[3]
(1) Gerakan Anti-kerasan
Idiologi pokok yang mendasari adanya
gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap kondisi ekonomis yang kurang
memberi tempat yang bebas bagi kehidupan para pendukungnya. Terutama di daerah
tanah-tanah pertikelir (particuliere
landerijen). Umumnya terjadi karena adanya pungutan pajak dan tuntutan
pelayanan kerja yang sangat berat. Dengan demikian kerusuhan tersebut sering
pula disebut dengan kerusuhan Cuke di
samping kerusuhan yang bersifat megico-relegius.
Munculnya tanah partikelir karena adanya praktek jual-beli tanah pada abad XIX,
sehingga terjadi perubahan tuan pada mayarakat petani, yang sebelumnya raja sebagai
tuan mereka berubah ke tuan tanah asing. Pada tahun 1915 di Jawa terdapat
sekitar 582 tanah partikelir (1,3 juta bau, satu bau = 0,8 ha.),
dengan penduduk sekitar 1,8 juta jiwa, beberapa di antarnya ada yang emeliputi
penduduk 75.000-175.000 jiwa.[4]
Sebagian besar tanah partikelir ini dimiliki oleh orang Eropa dan orang Cina,
yang mengusahakan tanaman ekspor seperti kopi, teh atau coklat; tembakau dan
karet (untuk Sumatra ).
Perilaku
tuannya bertindak sewenang-wenang seperti misalnya, (a) memaksakan segala
kehendaknya, (b) menuntut penyerahan tenaga kerja, (c) mengusir para petani
jika tidak dapat membayar hutangnya, wajib kerja, membayar pajak sebagaimana
mestinya ( cuke, pajeg, contingent).
Belum lagi kewjiban lainnya, seperti menggarap tanah tuannya di daerah asalnya.
Beberapa
kerusuhan tipe satu ini misalnya digambarkan adanya kerusuhan Cibonas, dilatari
oleh adanya Cuke yang berat;
ketidakadilan, praktek perbudakan; kewjiban-kewajiban kerja rodi yang melampaui
batas; larangan ekspor padi dan kerbau; penyitaan tanah, rumah, kerbau atau
ternak lainnya; pelarangan penjualan rumput, kayu, penebangan pohon; wanita dan
anak-anak diwajibkan pula bekerja selama sembilan hari per bulannya.
Beratnya
hidup di daerah tanah partikelir mengibatkan banyak orang yang melarikan diri
dari daerah itu, dan akhirnya menghimpun kekuatan untuk mengadakan
pembrontakan. Pada bulan Pebruari 1886, ketika Camat Ciomas terbunuh maka Arpan
menolak menyerahkan diri kepada militer dan mundur ke daerah Pasir Paok.
Sedangkan sebelumnya juga Mohamad Idris telah mengundurkan diri ke Gunung
Salak. Pada tangga 19 Mei 1886, Idris dkk. mengadakan rencana untuk menduduki
Gunung Salak selatan, tidak menyerang orang pribumi, tujuan serangan mereka
adalah para tuan tanah (bukan kekayaannya). Besoknya diadakan upacara sedekahbumi dihadiri oleh semua pegawai
dan tuan tanah. Saat pesta ini berlangsung diakhiri oleh penyemblihan 40 orang
korban dan 70 orang lainnya luka-luka. Gerakan ini yang dianggap musuhnya
adalah pemerintah baik asing maupun pribumi.
Di
tempat lain Mei 1913 sekitar 400 orang petani mendatangi tempat Bupati
Purwakarta, untuk meminta keringanan pembayaran cuke. Tanggal 7 Juni sekitar 350 orang menuntut memcahkan masalah
yang mendesak, 23 Agustus segerombolan orang dari Babakansawah dan sekitarnya
di bawah pimpinan Bapa Eming untuk mengajukan protes akibat tanah sawah mereka
diukur kembali, dilanjutkan dengan mengadakan sekitar 230 menghadap Kontrolir
bertanggungjawab terhadap kekeliruannya. Sehari kemudian polisi datang dan
menangkap mereka, rumahnya digeledah dan didapatkan berbagai jimat-jimat.[5]
Kerusuhan-kerusuhan
semacam juga banyak terjadi di daerah lainnya seperti, peristiwa Tanah Abang
(Partikelir Slipi) 22 Juli 1913; di Surabaya terjadi pembrontakan di Condet; di
Batu Ampar dipimpin oleh Entong Gendut (mengaku Iman Mahdi) dan sebagainya.
Secara
umum gerakan-gerakan ini dapat dilihat
memiliki ciri-ciri Ratu Adil, di samping adanya konsep nativisme (semacam
kerinduan terhadap kembalinya kerajaan lama); Munculnya tokoh-tokoh sakti atau dukun dengan jimat-jimat-nya; ideologi melenaristis dan eskatologis.
(2) Gerakan Missianis
Gerakan
ini semacam gerakan ratu adil yang bersifat missianistis, yang memuat
harapan-harapan akan kedatangan seorang ratu adil atau iman mahdi sebagai juru
selamat rakyat.
Gerakan
jenis kedua ini umunya bersifat revolusioner, artinya menghendaki adanya
perubahan secara radikal dan datangnya zaman keemasan. Dalam gerakan jenis ini,
memang peranan seorang pemimpin sebagai penggerak pembrontakan adalah sangat
besar. Mereka menyebutkan dirinya sebagai seorang tokoh yang akan dapat
mengantarkan keadaan seperti yang dicita-citakan oleh pengikutnya. Gerakan
semacam ini, dapat ditemukan dalam sejarah Perang Diponogoro yang menyebut
dirinya sebagai Herucakra.
Kepercayaan seperti ini anehnya masih ada sampai tahun 1960-an, terjadi di
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur,[6]
Sedangkan di Jawa Barat dikenal adanya Gerakan Ratu Sunda.[7]
Praktek-praktek
Islam di pedesaan Jawa selalu dipenuhi oleh unsur-unsur nan-Islam seperti
mistik, kekuatan-kekuatan magis dan pola-pola kebiasaan lama seperti sedekah,
selamatan, berziarah ketempat-tempat keramat. Pesantren misalnya bukan hany
berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga berfungsi sebagai
pembentukan kader-kader pemimpin agama. Beberapa pesantren terkenal sejak abad
ke-19 antara lain Pesantren Lengkong (Ciremon), Krapyak (Yogyakarta ),
Tegalsari (Ponorogo) Sidacerma (Surabaya ).
Beberapa
gerakan yang digolong kedalan kategori ini adalah tahun 1903 Kasan Mukmin dari
Kabupaten Sidoarjo, mengaku kenerima wahyu dan mengajarkan ngelmu, dia banyak berkunjung ke Pesantren-pesantren yang ada di
Jawa, termasuk dapat naik Haji ke Mekah. Pembrontakan dilakukan tanggal 27 Mei
1903, bertepatan dengan hari Grebeg
Maulud. Dalam peristiwa ini meninggal 40 orang dan 20 orang lainnya
luka-luka.
Gerakan
Misisanis berikutnya muncul tahun 1907 di Desa Bendungan di Kabupaten Berbek,
Karesidenan Kediri. Pimpinannya bernama Dermadjaja, seorang petani kaya berumur
60 tahun. Mendaapat bimbingan dari guru-guru agama yang terkenal seperti Haji
Tuan Sanat, Haji Dulkamid, Kyai Bardogi, Haji Sajang, Haji Muhamad Umar dan
sebagainya. Di samping belajar mistik ia juga mengenal ramalan Joyoboyo,
mengharap akan kedatangan seorang Ratu Adil.
Setelah
terdengar berita tentang akan adanya pembrontakan tanggal 29 Januari 1907
Bupati Nganjuk beserta pasukannya bergerak ke daerah itu dan mengepung rumah
Dermadjaja, dan terjadi insiden, namun belum mengakibatkan terjadinya korban.
Bupati ini minta bantuan pada Residen Berbek sehingga terjadi pertempuran dalam
waktu singkat pengikut Dermadjaja ditahan sebanyak 49 orang dan 9 orang lainnya
luka-luka. Gerakan-gerakan missianis lainnya disebutkan adalah gerakan Nur
Hakim dan Malangjuda, Amadkosdi, Mohamad Sirad semua memproklamasikan diri
sebagai Imam Mahdi.[8]
Dari
gambaran secara di atas secara umum dapat dikatakann bahwa ada dalam lingkaran
budaya Jawa; kepemimpinnya berasal dari wahyu suci, wisik, wangsit, bersifat
magis, gaid dan sebagainya.Pemimpin missianis tersebut pada dasarnya memiliki
pribadi yang dinamis, memiliki jaringan komunikasi yang luas, tetapi ide-idenya
masih bersifat tradisional.
(3) Gerakan Sektarian dan Revivalisme
Di
luar adanya perkembangan gerakan missianisme atau Ratu Adil yang ada pada abad
ini, terdapat pula sekte-sekte keagamaan baru yang memuat perbedaan pandangan
baik pada Islam Artodoks maupun pada ide-ide baru yang berlawanan dengan Islam.
Lahirnya
gerakan milenarisme maupun sektarian memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang
karismatik yang diduduki oleh para guru, haji atau kyai dan memdapat tempat
untuk bersatu dalam ikatan keagamaan. Gerakan sekte memberikan tempat pelarian
pada orang-orang yang gagal menyesuaikan diri dalam masyarakat yang sedang
mengalami demoralisasi, melaui ajaran “kerahasiaan” dan mistissisme.
Kepercayaan ini menampilkan diri secara bulat lengkap dengan kepemimpinannya,
karena kehidupan tradisionalnya sedang tergoncang.
Gerakan
sektarian ini sebenarnya ada persamaan dan perbedaannya dengan gerakan
mesianisme. Persamaanya keduanya didukung oleh lapisan bawah dipimpin oleh elit
agama yang tidak masuk dalam unsur birokrasi kolonial. Memiliki ideologi
milenaristis, tujuannya diarahkan pada kehidupan dunia sekarang dan bukan
kehidupan di alam surga.
Tujuan
gerakan sektarian adalah adalah untuk menjawab persoalan kebendaan yang
dihadapi anggota-anggotanya, jadi mereka mencari kehidupan duniawi yang penuh
kebahagian dan ketentraman. Wujud ajaran mereka adalah bentuk masyarakat yang
murni, tidak dikotori oleh kafir dan bebas dari golongan yang lama berkuasa. Di
sinilah dalam masyarakat Jawa mengalami pertentangan ideologis, sehingga para
ahli akhirnya menggolongkan masyarakat Islam menjadi abangan, priyayi dan
santri.[9]
Yang pada akhirnya memunculkan konfliks sosial di, politik dan ekonomi
antaranya selanjutnya.
Latar
belakang agama pra-Islam nampaknya juga memberikan andil dalam disvaritas umat
beragama di pedesaan Jawa pada abad itu. Sehingga ada istilah “agama Jawa”
berupa sinkritisme. Priyayi yang bersifat sinkritis dan banyak yang mengabdi
kepada kepentingan birokrasi kolonial termasuk juga menjadi sasran yang
dimusuhi oleh masyarakat pada saat itu.
Beberapa
contoh gerakan kategori ini yang diangkat oleh beliau dalam tulisannya ini
adalah gerakan sekte Budiah yang didirikan oleh Haji Mohamad Rifangi, berupa
sekte pemurnian Islam. Yang secara umum dalam beberapa karya yang dibuatnya
mengatakan bahwa pada hakekatnya para penganut Islam dan para
pemimpin-pemimpinnya di Jawa telah banyak menyimpang dari ajaran Islam.
Contoh
lain diangkatnya adalah gerakan Igama Jawa Pasundan, bermaksud untuk
memperbaiki tradisi Jawa. Gerakan ini disebutkan merupakan reaksi dari gerakan
Islam artodoks, yang didirikan oleh Sadewa (Madrais). Gerakan ini tidak
mendapat tekanan dari pemerintah kolonial karena di dalam salah satu ajarannya
menyebutkan “...setia kepada Sri Maharaja Baginda Putri Ratu Goevernement
Belanda”, tunduk pada hukun Negara.
Sekte
Oah ada di Sukabumi dan Cianjur, disebutkan pada tahun 1921 ada sekitar 1.000
orang pengikutnya. Gerakan sekte ini antara lain dipimpin oleh Fadil, Bapa
Atna, Kosi, Arkam, Pak Tasik, dan Ibrahim. Selalu menyebarkan desas-desus akan
mengobarkan perang sabil, sehingga pemerintah melakukan pembersihan terhadap
sekte ini dapat menangkap Kasim serta 32 pengikutnya, ternyata ditemukan mereka
memiliki beberapa senjata yang berisi tulisan Arab yang dipercayai memiliki
kekuatan magis.
Gerakan
sektarian yang revivalisme ini (mau menegakkan nilai budaya lama) ternyata
merupaka reaksi masyarakat luas terhadap kemuakan yang diakibatkan olek
tekanan-tekanan kolonial dalam berbagai bidang kehidupan yang dibantu oleh elit
tradisional yang sebelumnya menjadi panutan mereka.
(4) Gerakan Sarikat Islam Lokal
Tidak
jauh berbeda dengan gerakan-gerakan petani lainnya, dalam pembahasannya ini
juga dimaksudkan untuk mengetahui munculnya Sarekat Islam lokal, yang masih
memiliki karakteristik tradisional dalam pergerakannya. Karena masih banyak
melaksanakan elemen-elemen yang berbau megis, mistik, missianisme dan
revivalisme dalam gerakannya.
Dalam
S.I. Lokal kadang-kadang belum termasuk gerakan yang modern, mungkin lebih
cocok dimasukkan ke dalam “proto nasionalisme’, sesuai dengan sifat-sifat yang
dimiliki di atas (hal.145). Namun gerakan S.I. Lokal itu bersifat kompleks
berfungsi sosial, politik, ekonomi keadalian dan sebagainya. Tujuan gerakan
mereka adalah bersifat anti-Cina;
bersifat agresif terhadap dalam melihat otoritas pemerintah; bersifat
revivalisme.
beberapa
contoh gerakan anti-Cina yang terjadi pada saat itu sisebutkan adalah di Sala,
Bangil (1913), Rembang (1913), Cirebon (1914), Kudus (1918), gerakan ant-judi
(1913), gerakan anti-prostitusi (1913), dalam hal ini antagonisme ekonomi
diperkuat oleh perbedaan agama. Dengan demikian Cina selalu dalam sejarah
bangsa ini akan menjadi “kambing hitam” dalam segala bentuk kerusuhan yang
timbul. Imige Cina selalu dikaitkan dengan Cuke,
tuan tanah, monopoli dalam bidang ekonomi dan “nasionalisme palsu” dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak zaman kolonial (masalah
ini masih memerlukan perhatian khusus).
Serentetan
pergolakan yang terjadi di bawah panji-panji S.I., namun semuanya itu terbatas
secara lokal. Tidaklah terjadi mobilisasi massal secara serentak yang mengarah
ke pergolakan besar-besaran yang bersekala nasional. Hal terakhir ini dapat
dicegah oleh pemerintah kolonial karena pemerintah kolonial melarang adanya
organisasi besar dengan pengurus pusat dan cabang-cabangnya yang terkordinasi
sebagai satu kesatuan. Semua S.I. Lokal diwajibkan berdiri sendiri, terlepas
dari S.I lainnya. Di sinilah usaha pemerintah kolonial untuk mengadakan
segmentasi S.I, mengisolasi organisasi S.I, satu dengan yang lainnya, sehingga
tidak terjadi proses integrasi. Dengan demikian S.I terpecah belah dan tidak
dapat berkembang menjadi gerakan massa
dan bersifat raksasa.
[2] Lihat
Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt
of Banten in 1888 ( Pembrontakan
Petani Banten1888. Hasan Basari (peterjemah) (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985)
cet. 1. Selanjutnya dalam menampilkan literatur atau sumber yang dipergunakan
dalam tulisan ini akan saya pilih-pilih, mana yang paling penting di antara
yang disebutkan karena demikian banyak sumber yang ditunjuk oleh Prof. Sartono
Kartodirdjo.
[3]Terlihat
dengan jelas dalam istematika penulisannya yaitu; -1. Gerakan anti-pemerasan;
2. Gerakan Misianis; 3. Gerakan Revivalisme dan Sektarian; 4. Gerakan Sarikat Islam Lokal.
[4]Dikutip
dari artikel tentang “Tanah Partikelir di dalam ENI”, III,
(1919), hal. 345-350, (hal.23).
[5]Diambil
dari Surat Resmi (Missive) dari
Residen Bogor
krpsds Gubernur Jendral tanggal 16 Pebruari 1919, 2105/4, dalam Mailreport
511.13.
[6]Pada
bulan April 1967 muncul berita tentang gerakan gerakan yang menamakan diri Herucakra. Gerakan tersebut berpusat pada seorang
penebus atau tokoh Ratu Adil yang yang mengambil nama Herucakra.
[7]Tentang
contoh-contoh gerakan Ratu Sunda, misalnya
tahun 1839, 1832, 1841, 1853, lihat Surat resmi Residen Priyangan , tanggal 20 Desember 1871,
La.A Geheim, contoh lain lihat pula “Ratu Sunda “ dalam Weekblad van Indie, II (1905-1906), hal.22.
[8]Diambil
dari Surat
resmi Residen Banyumas, tanggal 28 Januari 1920, no.18, dalam Mailreport no.135/20.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda