Minggu, 15 Juli 2018

Resensi Buku PROTEST MOVEMENTS IN RURAL JAVA A Study of Agrarian Unres in the Nineteeth and Early  Twentienth Centuries


Resensi Buku
PROTEST MOVEMENTS IN RURAL JAVA
A Study of Agrarian Unres in the Nineteeth and Early
 Twentienth Centuries[1]

1.      Pengantar
            Tulisan ini tergolong ke dalam jenis sejarah sosial struktural, yang berbeda dengan sejarah konvensional yaitu sejarah yang menceritakan perang dan tokoh-tokoh besar saja dalam penulisan sejarah. Sedangkan sejarah struktural menampilkan peranan rakyat kecil (wong cilik) dalam panggung sejarah Indonesia, yang beliau pelopori dalam penulisannya sejak tahun 1960-an. Dalam penulisan sejarah jenis ini maka peranan Ilmu Sosial (sosio-kultural, ekonomi, politik) tidak dapat diabaikan, pembahasan secara metodologis akan saya bahas lebih lanjut tersendiri.
            Topik gerakan sosial ini (dapat dikatakan) merupakan lanjutan dari penelitian beliau sebelumnya (yang sangat manumental) berupa studi kasus tentang pembrontakan petani Banten 1888.[2]
            Tujuan kajian ini adalah ingin mendapatkan pengetahuan faktual tentang gerakan-gerakan sosial yang muncul di daerah pedersaan Jawa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pergerakan rakyat itu lazimnya dianggap arkheis sifatnya, oleh karena organisasinya, programnya, strategi dan taktiknya masih terlalau sederhana apabila dibandingkan dengan gerakan sosial modern. Pergerakan-pergerakan semacam itu pada umumnya bersifat sangat pendekumurnya; bersifat lokal atau regional dan tidak kordinatif satu dengan yang lainnya. Dengan demikian kolonial belandamenggolongkan sebagai ”gangguan ketentraman” (rustvestoring), “huru-hara” (woelingen),  “kerusuhan” (onlusten) atau “gerakan rohani” (geestverij). Pergolakan-pergolakan itu tidak termasuk pergolaka besar seperti Perang Diponogoro, Perang Padri, atau Perang Aceh. Perlu juga ditambahkan sifat tradisional-arkhaisme dari pergerakan ini, tidak adanya tujuan yang jelas dan juga tidak ada perencanaan bagaimana seandainya gerakan tu  berhasil, juga hampir semuanya memiliki sifat keagamaan.

2.      Metodologi dan Teori
            Metodologi sebenarnya berbeda dengan pengertian metode, kalau metode sebenarnya sebagai sebuah alat bagi seorang tukang dalam membangun sebuah bangunan misalnya. Sedangkan  metodologi telah termasuk di dalamnya cara kerja seorang insinyur dalam membangun seuabah gedung bertingkat misalnya. Di samping alat masih perlu gambar dan beberapa perhitungan matang supaya gedung itu tidak roboh.
            Dari uraian asosiatif tersebut di atas dapat dikatakan bahwa orientasi metodologis di samping metode sejarah, masih diperlukan teori-teori pendukung dalam menerapkan metode itu, sehingga pendirian teoretis terhadap metodologi sebenarnya berhubungan erat dengan jenis sejarah yang mau dihasilkan.
            Sartono Kartodirdjo memandang bahwa untuk penggarapan sejarah struktural maka pendekatan mutidimensional adalah pendekatan yang paling mampu untuk mengungkapkan realitas historis. Sesuai dengan realitas sosial di masyarakat, permasalahan sosial yang muncul itu bersifat kompleks, oleh karena itu tidak cukup hanya didekati dengan (meminjam konsep) satu aspek ilmu sosial saja.
            Pemilihan model menurut beliau adalah hal yang sangat perlu untuk dilakukan, dalam tulisannya ini beliau mengambil lima poin dari tujuh poin yang dikembangkan oleh H.A Lansberger dalam bukunya, “The Role of Peasant Movement and Revolts in Development: An Analytical Framework”, in H. A. Landsberger (ed.) Latin American Movements, Ithaca,1968.(lihat hal.4 dan catatan bawah no.3). Berdasarkan ini maka framework penelitian beliau adalah: “(1) the political-economic structure of rural Java in the nineteeth and twentienthcentureis; (b) the mass base of social movements; (c) the leidership of social movements; (d) the ideologis of social movements; and (e) the cultural conduciveness of the society in which these social movements are to found.” (lihat uraian teori lebih jauh dari  masing-masing poin ini, hal.5-12).
            Harapan terkhir dari penggunaan metodologis ini adalah dapat menghasilkan karya sejarah kritis-analitis, yang objektivitas dan kausalitasnya dapat diandalkan, sehingga sejarah dapat berkembang sejajar dengan ilmu-ilmu sosial lainnya.

3. Pembahasan
            Selama abad ke-19 dan 20 di indonesia terus menerus tumbuh pembrontakan, kerusuhan, kegaduhan, brandalan, dan sebagainya yang cukup menggoncangkan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pada waktu itu. Hampir terjadi sekali dalam setiap tahun, gerakan itu ternyata meiliki potensi besar di daerah pedesaan Jawa. Sikap rakyat mengambil gerakan radikal karena didasari oleh keyakinan-keyakinan, harapan-harapan yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran massianistis, atau milenaristis dan pandangan askatologis yang revolusioner.
            Terdapat fakta yang kuat, bahwa dominasi barat serta perobahan-perobahan sosial yang mengikuti telah menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan rakyat untuk cendrung untuk melakukan gerakana sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan kultural yang terjadi pada masa kolonial telah mengakibatkan timbulnya disorganisasi di kalangan masyarakat tradisional, beserta lembaga-lembaganya. Dengan masuknya sistem ekonomi uang pada masyarakat pedesaan Jawa, mengakibatkan terjadinya kesenjangan-kesenjangan sosial dan beban rakyat menjadi makin meningkat. Sistem ekonomi uang ini telah memungkinkan terlaksananya sistem perpajakan, peningkatan perdagangan hasil bumi, timbulnya buruh upahan, masalah kepemilikan tanah garapan. Dengan subordinasi ekonomi ini pula, terjadi pengerahan tenaga rakyat secara paksa, yang mengakibatkan rakyat makin bergantung pada penguasa kolonial. Berkembangnya perdagangan dan makin meluasnya sistem ekonomi uang ini telah menciptakan difrensiasi pekerjaan pada masyarakat, dan memunculkan adanya peran-peran daru dalam struktur masyarakat, yang berbeda dengan struktur masyarakat tradisional di pedesaan Jawa.
            Dalam bidang politik, dengan meluasnya sistem amdinistrasi legal nasional. banyak timbul ketegangan dan ketidaksetabilan sebagai akibat dari adanya penetrasi pemerintah kolonial terhadap sistem administrasi tradisional. Dengan terawasinya  birokrasi oleh pemerintah kolonial. Sementara itu lembaga-lembaga politik tradisional terdesak adanya, oleh nilai-nilai birokrasi barat.
            Dalam menghadapi pengaruh barat yang bersifat disintegratif itulah maka muncul gerakan-gerakan sosial, sebagai reaksi dari pengaruh nilai-nilai barat yang tidak semuanya dapat diterima oleh masyarakat tradisional di pedesaan Jawa. Di antarnya ada yang menghidupkan nilai-nilai lama (revivalisme) mengharap kedatangan ratu adil, keagamaan, saminisme dan sebagainya.
            Dari latar belakang keadaan seperti inilah Sartono Kartodirdjo menggolongkan jenis-jenis gerakan sosial di pedesaan Jawa menjadi empat golongan antara lain:[3]

(1) Gerakan Anti-kerasan
            Idiologi pokok yang mendasari adanya gerakan ini adalah adanya rasa dendam terhadap kondisi ekonomis yang kurang memberi tempat yang bebas bagi kehidupan para pendukungnya. Terutama di daerah tanah-tanah pertikelir (particuliere landerijen). Umumnya terjadi karena adanya pungutan pajak dan tuntutan pelayanan kerja yang sangat berat. Dengan demikian kerusuhan tersebut sering pula disebut dengan kerusuhan Cuke di samping kerusuhan yang bersifat megico-relegius. Munculnya tanah partikelir karena adanya praktek jual-beli tanah pada abad XIX, sehingga terjadi perubahan tuan pada mayarakat petani, yang sebelumnya raja sebagai tuan mereka berubah ke tuan tanah asing. Pada tahun 1915 di Jawa terdapat sekitar 582 tanah partikelir (1,3 juta bau, satu bau = 0,8 ha.), dengan penduduk sekitar 1,8 juta jiwa, beberapa di antarnya ada yang emeliputi penduduk 75.000-175.000 jiwa.[4] Sebagian besar tanah partikelir ini dimiliki oleh orang Eropa dan orang Cina, yang mengusahakan tanaman ekspor seperti kopi, teh atau coklat; tembakau dan karet (untuk Sumatra).
            Perilaku tuannya bertindak sewenang-wenang seperti misalnya, (a) memaksakan segala kehendaknya, (b) menuntut penyerahan tenaga kerja, (c) mengusir para petani jika tidak dapat membayar hutangnya, wajib kerja, membayar pajak sebagaimana mestinya ( cuke, pajeg, contingent). Belum lagi kewjiban lainnya, seperti menggarap tanah tuannya di daerah asalnya.
            Beberapa kerusuhan tipe satu ini misalnya digambarkan adanya kerusuhan Cibonas, dilatari oleh adanya Cuke yang berat; ketidakadilan, praktek perbudakan; kewjiban-kewajiban kerja rodi yang melampaui batas; larangan ekspor padi dan kerbau; penyitaan tanah, rumah, kerbau atau ternak lainnya; pelarangan penjualan rumput, kayu, penebangan pohon; wanita dan anak-anak diwajibkan pula bekerja selama sembilan hari per bulannya.
            Beratnya hidup di daerah tanah partikelir mengibatkan banyak orang yang melarikan diri dari daerah itu, dan akhirnya menghimpun kekuatan untuk mengadakan pembrontakan. Pada bulan Pebruari 1886, ketika Camat Ciomas terbunuh maka Arpan menolak menyerahkan diri kepada militer dan mundur ke daerah Pasir Paok. Sedangkan sebelumnya juga Mohamad Idris telah mengundurkan diri ke Gunung Salak. Pada tangga 19 Mei 1886, Idris dkk. mengadakan rencana untuk menduduki Gunung Salak selatan, tidak menyerang orang pribumi, tujuan serangan mereka adalah para tuan tanah (bukan kekayaannya). Besoknya diadakan upacara sedekahbumi dihadiri oleh semua pegawai dan tuan tanah. Saat pesta ini berlangsung diakhiri oleh penyemblihan 40 orang korban dan 70 orang lainnya luka-luka. Gerakan ini yang dianggap musuhnya adalah pemerintah baik asing maupun pribumi.
            Di tempat lain Mei 1913 sekitar 400 orang petani mendatangi tempat Bupati Purwakarta, untuk meminta keringanan pembayaran cuke. Tanggal 7 Juni sekitar 350 orang menuntut memcahkan masalah yang mendesak, 23 Agustus segerombolan orang dari Babakansawah dan sekitarnya di bawah pimpinan Bapa Eming untuk mengajukan protes akibat tanah sawah mereka diukur kembali, dilanjutkan dengan mengadakan sekitar 230 menghadap Kontrolir bertanggungjawab terhadap kekeliruannya. Sehari kemudian polisi datang dan menangkap mereka, rumahnya digeledah dan didapatkan berbagai jimat-jimat.[5]
            Kerusuhan-kerusuhan semacam juga banyak terjadi di daerah lainnya seperti, peristiwa Tanah Abang (Partikelir Slipi) 22 Juli 1913; di Surabaya terjadi pembrontakan di Condet; di Batu Ampar dipimpin oleh Entong Gendut (mengaku Iman Mahdi) dan sebagainya.
            Secara umum  gerakan-gerakan ini dapat dilihat memiliki ciri-ciri Ratu Adil, di samping adanya konsep nativisme (semacam kerinduan terhadap kembalinya kerajaan lama); Munculnya tokoh-tokoh sakti atau dukun dengan jimat-jimat-nya; ideologi melenaristis dan eskatologis.

(2) Gerakan Missianis
            Gerakan ini semacam gerakan ratu adil yang bersifat missianistis, yang memuat harapan-harapan akan kedatangan seorang ratu adil atau iman mahdi sebagai juru selamat rakyat.
            Gerakan jenis kedua ini umunya bersifat revolusioner, artinya menghendaki adanya perubahan secara radikal dan datangnya zaman keemasan. Dalam gerakan jenis ini, memang peranan seorang pemimpin sebagai penggerak pembrontakan adalah sangat besar. Mereka menyebutkan dirinya sebagai seorang tokoh yang akan dapat mengantarkan keadaan seperti yang dicita-citakan oleh pengikutnya. Gerakan semacam ini, dapat ditemukan dalam sejarah Perang Diponogoro yang menyebut dirinya sebagai Herucakra. Kepercayaan seperti ini anehnya masih ada sampai tahun 1960-an, terjadi di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur,[6] Sedangkan di Jawa Barat dikenal adanya Gerakan Ratu Sunda.[7]
            Praktek-praktek Islam di pedesaan Jawa selalu dipenuhi oleh unsur-unsur nan-Islam seperti mistik, kekuatan-kekuatan magis dan pola-pola kebiasaan lama seperti sedekah, selamatan, berziarah ketempat-tempat keramat. Pesantren misalnya bukan hany berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga berfungsi sebagai pembentukan kader-kader pemimpin agama. Beberapa pesantren terkenal sejak abad ke-19 antara lain Pesantren Lengkong (Ciremon), Krapyak (Yogyakarta), Tegalsari (Ponorogo) Sidacerma (Surabaya).
            Beberapa gerakan yang digolong kedalan kategori ini adalah tahun 1903 Kasan Mukmin dari Kabupaten Sidoarjo, mengaku kenerima wahyu dan mengajarkan ngelmu, dia banyak berkunjung ke Pesantren-pesantren yang ada di Jawa, termasuk dapat naik Haji ke Mekah. Pembrontakan dilakukan tanggal 27 Mei 1903, bertepatan dengan hari Grebeg Maulud. Dalam peristiwa ini meninggal 40 orang dan 20 orang lainnya luka-luka.
            Gerakan Misisanis berikutnya muncul tahun 1907 di Desa Bendungan di Kabupaten Berbek, Karesidenan Kediri. Pimpinannya bernama Dermadjaja, seorang petani kaya berumur 60 tahun. Mendaapat bimbingan dari guru-guru agama yang terkenal seperti Haji Tuan Sanat, Haji Dulkamid, Kyai Bardogi, Haji Sajang, Haji Muhamad Umar dan sebagainya. Di samping belajar mistik ia juga mengenal ramalan Joyoboyo, mengharap akan kedatangan seorang Ratu Adil.
            Setelah terdengar berita tentang akan adanya pembrontakan tanggal 29 Januari 1907 Bupati Nganjuk beserta pasukannya bergerak ke daerah itu dan mengepung rumah Dermadjaja, dan terjadi insiden, namun belum mengakibatkan terjadinya korban. Bupati ini minta bantuan pada Residen Berbek sehingga terjadi pertempuran dalam waktu singkat pengikut Dermadjaja ditahan sebanyak 49 orang dan 9 orang lainnya luka-luka. Gerakan-gerakan missianis lainnya disebutkan adalah gerakan Nur Hakim dan Malangjuda, Amadkosdi, Mohamad Sirad semua memproklamasikan diri sebagai Imam Mahdi.[8]
            Dari gambaran secara di atas secara umum dapat dikatakann bahwa ada dalam lingkaran budaya Jawa; kepemimpinnya berasal dari wahyu suci, wisik, wangsit, bersifat magis, gaid dan sebagainya.Pemimpin missianis tersebut pada dasarnya memiliki pribadi yang dinamis, memiliki jaringan komunikasi yang luas, tetapi ide-idenya masih bersifat tradisional.

(3) Gerakan Sektarian dan Revivalisme
            Di luar adanya perkembangan gerakan missianisme atau Ratu Adil yang ada pada abad ini, terdapat pula sekte-sekte keagamaan baru yang memuat perbedaan pandangan baik pada Islam Artodoks maupun pada ide-ide baru yang berlawanan dengan Islam.
            Lahirnya gerakan milenarisme maupun sektarian memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang karismatik yang diduduki oleh para guru, haji atau kyai dan memdapat tempat untuk bersatu dalam ikatan keagamaan. Gerakan sekte memberikan tempat pelarian pada orang-orang yang gagal menyesuaikan diri dalam masyarakat yang sedang mengalami demoralisasi, melaui ajaran “kerahasiaan” dan mistissisme. Kepercayaan ini menampilkan diri secara bulat lengkap dengan kepemimpinannya, karena kehidupan tradisionalnya sedang tergoncang.
            Gerakan sektarian ini sebenarnya ada persamaan dan perbedaannya dengan gerakan mesianisme. Persamaanya keduanya didukung oleh lapisan bawah dipimpin oleh elit agama yang tidak masuk dalam unsur birokrasi kolonial. Memiliki ideologi milenaristis, tujuannya diarahkan pada kehidupan dunia sekarang dan bukan kehidupan di alam surga.
            Tujuan gerakan sektarian adalah adalah untuk menjawab persoalan kebendaan yang dihadapi anggota-anggotanya, jadi mereka mencari kehidupan duniawi yang penuh kebahagian dan ketentraman. Wujud ajaran mereka adalah bentuk masyarakat yang murni, tidak dikotori oleh kafir dan bebas dari golongan yang lama berkuasa. Di sinilah dalam masyarakat Jawa mengalami pertentangan ideologis, sehingga para ahli akhirnya menggolongkan masyarakat Islam menjadi abangan, priyayi dan santri.[9] Yang pada akhirnya memunculkan konfliks sosial di, politik dan ekonomi antaranya selanjutnya.
            Latar belakang agama pra-Islam nampaknya juga memberikan andil dalam disvaritas umat beragama di pedesaan Jawa pada abad itu. Sehingga ada istilah “agama Jawa” berupa sinkritisme. Priyayi yang bersifat sinkritis dan banyak yang mengabdi kepada kepentingan birokrasi kolonial termasuk juga menjadi sasran yang dimusuhi oleh masyarakat pada saat itu.
            Beberapa contoh gerakan kategori ini yang diangkat oleh beliau dalam tulisannya ini adalah gerakan sekte Budiah yang didirikan oleh Haji Mohamad Rifangi, berupa sekte pemurnian Islam. Yang secara umum dalam beberapa karya yang dibuatnya mengatakan bahwa pada hakekatnya para penganut Islam dan para pemimpin-pemimpinnya di Jawa telah banyak menyimpang dari ajaran Islam.
            Contoh lain diangkatnya adalah gerakan Igama Jawa Pasundan, bermaksud untuk memperbaiki tradisi Jawa. Gerakan ini disebutkan merupakan reaksi dari gerakan Islam artodoks, yang didirikan oleh Sadewa (Madrais). Gerakan ini tidak mendapat tekanan dari pemerintah kolonial karena di dalam salah satu ajarannya menyebutkan “...setia kepada Sri Maharaja Baginda Putri Ratu Goevernement Belanda”, tunduk pada hukun Negara.
            Sekte Oah ada di Sukabumi dan Cianjur, disebutkan pada tahun 1921 ada sekitar 1.000 orang pengikutnya. Gerakan sekte ini antara lain dipimpin oleh Fadil, Bapa Atna, Kosi, Arkam, Pak Tasik, dan Ibrahim. Selalu menyebarkan desas-desus akan mengobarkan perang sabil, sehingga pemerintah melakukan pembersihan terhadap sekte ini dapat menangkap Kasim serta 32 pengikutnya, ternyata ditemukan mereka memiliki beberapa senjata yang berisi tulisan Arab yang dipercayai memiliki kekuatan magis.
            Gerakan sektarian yang revivalisme ini (mau menegakkan nilai budaya lama) ternyata merupaka reaksi masyarakat luas terhadap kemuakan yang diakibatkan olek tekanan-tekanan kolonial dalam berbagai bidang kehidupan yang dibantu oleh elit tradisional yang sebelumnya menjadi panutan mereka.

(4) Gerakan Sarikat Islam Lokal
            Tidak jauh berbeda dengan gerakan-gerakan petani lainnya, dalam pembahasannya ini juga dimaksudkan untuk mengetahui munculnya Sarekat Islam lokal, yang masih memiliki karakteristik tradisional dalam pergerakannya. Karena masih banyak melaksanakan elemen-elemen yang berbau megis, mistik, missianisme dan revivalisme dalam gerakannya.
            Dalam S.I. Lokal kadang-kadang belum termasuk gerakan yang modern, mungkin lebih cocok dimasukkan ke dalam “proto nasionalisme’, sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki di atas (hal.145). Namun gerakan S.I. Lokal itu bersifat kompleks berfungsi sosial, politik, ekonomi keadalian dan sebagainya. Tujuan gerakan mereka adalah  bersifat anti-Cina; bersifat agresif terhadap dalam melihat otoritas pemerintah; bersifat revivalisme.
            beberapa contoh gerakan anti-Cina yang terjadi pada saat itu sisebutkan adalah di Sala, Bangil (1913), Rembang (1913), Cirebon (1914), Kudus (1918), gerakan ant-judi (1913), gerakan anti-prostitusi (1913), dalam hal ini antagonisme ekonomi diperkuat oleh perbedaan agama. Dengan demikian Cina selalu dalam sejarah bangsa ini akan menjadi “kambing hitam” dalam segala bentuk kerusuhan yang timbul. Imige Cina selalu dikaitkan dengan Cuke, tuan tanah, monopoli dalam bidang ekonomi dan “nasionalisme palsu” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak zaman kolonial (masalah ini masih memerlukan perhatian khusus). 
            Serentetan pergolakan yang terjadi di bawah panji-panji S.I., namun semuanya itu terbatas secara lokal. Tidaklah terjadi mobilisasi massal secara serentak yang mengarah ke pergolakan besar-besaran yang bersekala nasional. Hal terakhir ini dapat dicegah oleh pemerintah kolonial karena pemerintah kolonial melarang adanya organisasi besar dengan pengurus pusat dan cabang-cabangnya yang terkordinasi sebagai satu kesatuan. Semua S.I. Lokal diwajibkan berdiri sendiri, terlepas dari S.I lainnya. Di sinilah usaha pemerintah kolonial untuk mengadakan segmentasi S.I, mengisolasi organisasi S.I, satu dengan yang lainnya, sehingga tidak terjadi proses integrasi. Dengan demikian S.I terpecah belah dan tidak dapat berkembang menjadi gerakan massa dan bersifat raksasa. 
           


       [1]Sartono Kartodirdjo,  Protest Movements in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and early Tweentienth Centuries. (Singapore Kuala Limpur Jakarta: Oxford University Press/ P.T. Indira,1973).
       [2] Lihat Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888 ( Pembrontakan Petani Banten1888. Hasan Basari (peterjemah) (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985) cet. 1. Selanjutnya dalam menampilkan literatur atau sumber yang dipergunakan dalam tulisan ini akan saya pilih-pilih, mana yang paling penting di antara yang disebutkan karena demikian banyak sumber yang ditunjuk oleh Prof. Sartono Kartodirdjo.
   
    [3]Terlihat dengan jelas dalam istematika penulisannya yaitu; -1. Gerakan anti-pemerasan; 2. Gerakan Misianis; 3. Gerakan Revivalisme dan Sektarian; 4. Gerakan  Sarikat Islam Lokal. 

    [4]Dikutip dari artikel  tentang “Tanah Partikelir di dalam ENI”, III, (1919), hal. 345-350, (hal.23).

    [5]Diambil dari Surat Resmi (Missive) dari Residen Bogor krpsds Gubernur Jendral tanggal 16 Pebruari 1919, 2105/4, dalam Mailreport 511.13.
   
    [6]Pada bulan April 1967 muncul berita tentang gerakan gerakan yang menamakan diri Herucakra.  Gerakan tersebut berpusat pada seorang penebus atau tokoh Ratu Adil yang yang mengambil nama Herucakra.

    [7]Tentang contoh-contoh gerakan Ratu Sunda, misalnya  tahun 1839, 1832, 1841, 1853, lihat Surat resmi  Residen Priyangan , tanggal 20 Desember 1871, La.A Geheim, contoh lain lihat pula “Ratu Sunda “ dalam Weekblad van Indie, II (1905-1906), hal.22.
   
    [8]Diambil dari Surat resmi Residen Banyumas, tanggal 28 Januari 1920, no.18, dalam  Mailreport no.135/20.
    [9]Konsep ini pertama-tama dikembangkan oleh Zoetmulder,P.J., Pantheisme en Monisme in de Javaasche Literatuur, Nijmegen, 1935. dan Geertz, Clifford, Relegion in Java, Glencoe, Illinois,1960.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda