Selasa, 10 Juli 2018

DARI TAHTA BATU KE PADMASANA: RELASI KULTUS DEWA RAJA DALAM PERGESERAN SISTEM RELIGI DI BALI









Oleh:  Dr. I Made Pageh, M.Hum[1]
https://kajiansejarahbaliutara.blogspot.com

ABSTRACT

            Zaman pasejarah sampai zaman melinial ini, pemujaan terhadap roh leluhur masih tetap ajeg di Bali, dengan relasi kuasa di balik sistem religi itu maka sangat menarik untuk dikaji menggunakan pendektatan cultural studies (teori kritis).  Kajian ini bertujuan untuk mengkaji relasi kuasa dalam sistem religi di Bali sejak zaman megalitk sampai zaman melinial ini. Penulisan menggunakan prosedur penulisan sejarah, yaitu heuristik, kritik,interpretasi, dan historiografi. Dengan pendekatan kajian budaya (teori kritis). Konsep teori menggunakan teori strukturasi (Giddens, 2010) dan relasi kuasa (Foucoult, 2012).Hasilnya menemukan bahwa zaman megegalitikum Tahta Batu merupakan representasi dari pemujaan roh leluhur, sedangkan zaman Batur yaitu pemerintahan Jaya Pangus disebut Bebaturan abad ke-12, kemudian menjadi Padma Capah dan zaman pemerintahan berpusat di Gelgel terjadi penggelgelan dilakukan oleh Dalem Ngelesir sebagai agensinya, Ulu-apad Desa Bali Aga disusupi struktur pemerintahan turun-temurun (wakil Gelgel di desa pakaraman). Juga Dalem Ngelesir melakukan restrukturisasi dengan menanamkan konsep pura Dasar. Baru berubahn sistem religinya secara filosofis setelah munculnya Padmasana diageni oleh Dang Hyang Nirartha abad ke-16. Dengan demikian pergeseran pemujaan roh leluhur dapat dipahami dengan melihat agensinya dariwaktu ke waktu dalam sistem religi di Bali.


1.  PENDAHULUAN  
            Pulau Bali kata Miguel Covarrubias (2013) sangat kecil “bagaikan setitik air di Samudra Teduh”,  namun sangat unik dan menarik minat pengunjung. Mengapa pulau yang sangat kecil itu sangat unik dan tersohor di seluruh dunia. Apanya yang unik sehingga memikat banyak pengunjung ke Bali. Mengapa Bali tidak habis-habisnya dijadikan objek kajian akademik, baik dalam sistem sosial-budaya, sistem subak, desa pakaraman, sistem religi, maupun bidang ilmu sosial lainnya. Dapat dikatakan dalam “pulau kecil tersimpat masalah-masalah yang besar“ yang dapat dijadikan pusat kajian berbagai disiplin keilmuan. Bahkan makin hari makin menarik dan menantang untuk dijadikan objek kajian berbagai disiplin, seperti sejarah, sosial-budaya, humaniora, politik, termasuk sistem religinya.[2]
            Kajian ini tertarik pada perkembangan bentuk, fungsi dan makna dari Padmasana dalam sistem religi Bali, yang berkembang secara genealogis dari tahta batu (zaman prasejarah), sampai munculnya Padmasana penuh ukiran dewasa ini.[3] Perkembangan bentuk tempat pemujaan ini sangat menarik dikaji, karena merupakan tempat pemujaan inti dan menjadi hulu dalam sistem pemujaan di Bali. Orietasi, agen, dan struktur yang mengikuti sistem religi di Bali terus mengalami perubahan, dari zaman ke zaman. Unsur politik dan kekuasaan mewarnai sistem religi di Bali, terutama dalam aplikasi konsep kultus dewa raja dalam hegemoni pemujaan roh leluhur, raja resi dan Sang Catur Sanak yang berkembang dalam pemaknaan melalui upakara ritual (bebantenan) di Bali.[4]
            Dari uraian di atas menarik untuk dikaji beberapa masalah terkait dengan padmasana ini. Pertama, bagaimanakah perkembangan bentuk, fungsi, dan makna yang terkandung dalam padmasana di Bali ? Kedua, bagaimanakah relasi kuasa agen dalam adaptasi budaya itu? Ketiga, bagaimanakah struktur dan adaptasi budaya masyarakat dalam perkembangannya?
            Pemecahan masalah dilakukan dengan mengikuti prosedur penelitian ilmu sosial, yaitu: (1) pengumpulan data baik data lapangan (observasi, wawancara mendalam) maupun studi dokumen; (2) data yang terkumpul dikritik keasliannya, sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; (3) kemudian fakta dikonstruksi untuk menghasilkan  wacana sistem religi di Bali; (4) penulisan karya ilmiah. Penulisannya menggunakan pendekatan sejarah (diakronik) yaitu: mengaitkan waktu-agen- dan struktur (Giddens, 2010) dalam proses baik secara kontinuitas dan diskontinuitas.  Falsafah kearifan lokal Bali tetap dijadikan rujukan, seperti adanya konsep rwabhineda, trihita karana, konsep desa-kala-patra, kultus dewa raja  yang memberikan keluwesan dalam adaptasi budayanya, baik berbentuk mimikri atau hibridasi (H.K. Bhabha, dalam Martono, 2011), serta teori kajian budaya dan kritis lainnya.[5]

1.1  Kerangka Berpikir
            Berpikir historis tentu melihat sesuatu diawali dengan melihat asal-usul dari wacana yang ditemukan, dengan menempatkannya dalam konteks desa-kala-patra (genah-masa-kewentenan) sejalan dengan pandangan Giddens (2010) mengaitkan waktu-agen-dan struktur. Konteks waktu mewajibkan penulis menggunakan pemikirannya Weber (sosiolog German) yaitu verstehen, terutama dalam memberikan makna sebuah wacana. Sedangkan agen bukan hanya diartikan orang, tetapi juga kelompok, lembaga, dan organisasi, inilah yang mengantar ke dalam sosio-kultural. Sedangkan pemahaman struktur diarahkan pada teori posstruktural kritis. 

Hubungan dalam bagan ini dapat dijelaskan secara singkat, bahwa sebuah peristiwa pasti melibatkan agen, struktur yang meruang dan mewaktu. Manusia berbudaya (kultur) dalam berbagai dimensinya memiliki bentuk, fungsi, dan makna/pemahaman  yang terus bergulat (verstehen), bahkan terjadi pertarungan makna dan ideologi di masyarakat. Sebuah gagasan (ideologi agen) baru terus bertarung untuk dapat melakukan strurasi (struktur dan kultur) di masyarakat. Keberterimaan masyarakat terhadap wacana baru dapat mengubah bentuk ide, gagasan, prilaku, dan artefak yang dihasilkan dalam masyarakat, dalam perjalanan waktu secara kontinum terjadi saling mempengaruhi dan saling beradaptasi dalam bentuk mimikri atau hibridasi. Teori ini digunakan untuk melihat sebuah relasi artefak (Tahta Batu-Padmasana) dalam struktur dan kultur masyarakat Bali, terkait dengan konsep Kultus roh leluhur (Tahta Batu) sampai Dewa Raja (pemujaan roh Raja) dalam sistem religi masyarakat Bali.

3. PEMBAHASAN
3. 1 Tahta Batu Kultus Roh Leluhur Zaman Megalitik
            Jejak kepercayaan kekuatan gaib dan roh para leluhur bangsa Melayu Austronesia yang mendiami wilayah Asia Tenggara- Indonesia sampai  sampai Piji dan Madagaskar, jejaknya dapat ditemukan zaman prasejarah yaitu zaman batu besar (megalitikum). Jenisnya antara lain: sarkopagus, funden berundak, fondusha, dolmen/tahta batu, menhir, patung nenek moyang, silhouet, pipisan batu, dan sebagainya. Dalam sejarah Indonesia kepercayaan prasejarah ini lebih popular disebut kepercayaan animism dan dinamisme. Penulis lebih suka menyebutnya sebagai sistem religi bangsa Melayu Austronesia.[6]
            Pertama, fokus pembahasan sistem religi diutamakan pada Tahta Batu, untuk mengkaji genealogi dari Padmasana di Bali. Tahta batu bermakna sebagai stana/duduk roh suci, ketika melakukan ritual di Bali. Roh suci (para hyang, datu) dari kepala suku distanakan pada tahta batu/dolmen dari batu. Roh leluhur keluarga, kepala suku, raja, rsi, yang sudah wafat disebut Bhatara (pelindung), yang dalam hidupnya sangat berjasa pada masyarakat dan keluarganya.  Tahta batu dibuat didedikasikan pada roh suci tersebut, terutama yang dapat memberikan perlindungan (bhatara) pada manusia yang masih hidup. Sedangkan empat saudara bathinnya disebut sang Catur Sanak menjadi bhatara (pelindung) dari gangguan musuh secara niskala. Sistem religi lokal nyaga satru dapat diposisikan dalam struktur dan kultur masyarakat Bali, sebagai berikut:
(1)   Sang Mrajapati di Pura Mrajapati, di hulum setra/kuburan yang bertugas nyaga satru dengan batas kuasa wilayah atau spasialnya nyatur desa dengan batas-batas desa pakraman di Bali.
(2)   Sang Anggapati tugas menjaga pekarangan rumah, disebut tugun karang, spasial batas pekarangan pemilik rumah[7].
(3)   Sang Banaspati bertugas sebagai Panglurah Agung di pekarangan Sanggah (natar merajan).
(4)   Sang Banaspati Raja ada di mana-mana terutama di lebuh, pohon besar, barong, barang klenik dan sebagainya (ngider bhuwana).[8]

            Pemujaan dan mengagungkan roh leluhur diikuti dengan pemanfaatan catur sanak-nya disebut “kultus roh leluhur, serta saudara empatnya”. Dengan pemujaan roh dan saudara empat manusia dengan harapan agar tetap memiliki sakti seperti semasih hidupnya maka muncul berbagai upakara (teks simbolik harapan) dalam ritual di Bali. Bebantenan/jejahitan di Bali merupakan sarana/penerjemahan dari manusia Bali untuk mendapatkan perlindungan Ida Bhatara yang sudah dalam bentuk roh leluhur, dewa yang menjadi ciri khas sistem religi di Bali.[9]
            Jadi sejak zaman megalitik (waktu) sudah dikenal adanya tahta batu atau dolmen merupakan representasi dari stana roh leluhur (agensi), yang difungsikan sebagai pelindung suku/kelompok dengan batas (bantes jelasi) daerah kuasaannya di Bali.[10] Jadi pemujaan roh leluhur dengan empat saudara bathinnya dalam sistem religi di Bali, memunculkan sistem religi pada zaman prasejarah terutama sejak zaman batu besar, terpadu dalam struktur dan kultur masyarakat tradisional. Bahkan sistem religi Bali yang ada pada zaman melenial ini masih dapat diselusuri genealoginya ke zaman megalitikum.

3.2 Bebaturan Zaman Jaya Pangus
            Bebaturan berasal dari kata “batur” sebagai pusat politik/kekuasaan zaman Bali Kuno, terutama dalam kekuasaan hegemonik yang dikembangkan oleh Jaya Pangus, yang melakukan ekaspansi perluasan pada desa-desa pakraman dengan sistem Banwa pada saat itu. Jaya Pangus dianggap menyimpang dari konsep kultus dewa raja, karena beliau menikah dengan seorang budhis (cina) bernama Kang Ceng Wie, dengan demikian Jaya Pangus membangun simbol baru dengan memindahkan Ulun Danu Batur yang ada di Songan dibawak ke atas yaitu di Desa Batur. Kemudian batur berubah menjadi simbol kekuasaan raja Jaya Pangus dalam melakukan penguatan dirinya tetap sebagai raja yang pantas didewakan, sehingga melakukan hegemoni pada daerah-daerah kekuasaannya yang meluas hampir ke seluruh Bali. Setiap pemujaan yang ada di bawah kekuasaannya diwajibkan untuk membuat “bebaturan” yang didedikasikan pada kekuasaan batur ketika itu.
            Jadi perlu ditegaskan dengan wacana lain bahwa peristiwa pembaturan terjadi karena adanya konflik di kerajaan sebagai akibat dari raja Jaya Pangus mengambil istri seorang cina bernama Kang Ceng Wie. Kang Ceng Wie adalah gadis cantik anak dari seorang saudagar Piring Sutra asal cina yang bernama Ping-An. Menurut folklor msyarakat sekitar Pura Pucak Penulisan Ping-An pernah membuat pusat penjualan piring sutra (Pinggan) di Desa Pinggan Kintamani sekarang, sedangkan pusatnya ada di Pantai Utara Bali yaitu daerah Pegonjongan (Gretek). Di Pura Pegonjongan ini sekarang menjadi pusat “nyegara-gunung” desa-desa (banwa) yang ada di sekitar PucakPenulisan.
            Konflik masyarakat dalam kepercayaan atau konsep kultus Dewa Raja, mengartikan bahwa Jaya Pangus dan Kang Ceng Wie sudah ke luar dari konsep raja berasal dari keturunan Dewa Wisnu (cf. Prasasti Ciaruteum di Bogor Jwa Barat). Besar kemungkinan sistem pemerintahan ini diambil dari cerita Ramayana, kemudian diterjemahkan dijadikan pegangan dalam alih kekuasaan. Cerita Ramayana mengajarkan bahwa sebelum Sri Rama (Rama Dewa) dan Shinta meninggalkan kerajaan, kekuasaannya diserahkan pada adiknya Bharata untuk memerintah kerajaannya. Saat itu Rama mengajarkan “asta berata kepemimpinan Hindu”, dan menyerahkan sepasang sepatunya (dua tapak kaki) sebagai simbol kekuasaannya. Dalam konteks pemerintahan Jaya Pangus, karena Kang Ceng Wie adalah seorang bhudis maka anaknya tidak bisa menjadi raja, karena melanggar konsep kultus dewa raja yang dijadikan pegangan seorang yang pantas jadi raja pengganti pada zaman kerajaan abad ke-12.
            Konflik paling menonjol adalah antara Desa Songan yang menjadi lokasi dari Pura Ulun Danu untuk memuja Dewi Danuh, dengan desa Batur lokasi Pura Batur di Desa batur sekarang (Ulun Danu ke-2). Simbol paling menonjol membedakan dengan Ulun Danu Songan adalah adanya Palinggih Ratu Ayu Syah Bandar (Subandar) di Pura Ulun Danu Batur yang ada di desa Batur yang khusus didedikasikan pada Kang Ceng Wie sebagai legitimasi dirinya pada saat itu. Bukti lain dalam mengatasi konflik yang terjadi di masyarakat dilakukan penguatan kekuasaan Jaya Pangus dengan mengeluarkan sekitar 40 prasasti, yang diberikan pada Banwa-banwa yang ada di seluruh Bali.[11] Penguatan lainnya, Jaya Pangus dan Kang Ceng Wie mendewakan dirinya dalam bentuk Barong Landung, yang dijadikan pelindung bersanding dengan barong-barong lainnya di Bali. Penulis memadang bahwa barong sesungguhnya revitalisasi sistem religi prahindu yang berhibridasi dengan Hindusime di Bali,  seperti:
1.      Barong Ket/Ketet, representasi dari Banaspatiraja Pelindung dimana saja (Satpam Keliling) manusia Bali, orientasi ke bhuwana alit (kesaktian di Bali), manusa sakti, dengan peranan Catur Sanaknya.
2.      Barong Bangkung/Bangkal, representasi Awatara Wisnu ke dunia, yang memiliki anugrah “rante babi” tidak dapat dijelaskan oleh rasio manusia. 
3.      Barong Macan representasi dari Bhuda, diambil cerita “Bubuk Sah dan Gagak Aking” di Candi Sukuh, dua penganut Budha berbeda cara mendapatkan tujuannya (anugrah) dengan Ciwa-Bhuda turun ke dunia menjadi raja hutan (Singa/Harimau) ke dunia, dengan kemagisan Macan dengan Kumisnya dalam kenyataannya yang tidak terjelaskan oleh akal manusia.[12]
4.      Barong Wayang (Barong Lepas) 3 bentuk (Rahwana, Sangut, Delem) Vs. 6 plawaga/monyet pengikut Rama yaitu: Sugriwa, Anoman, Angada, Nilageni, Guak Sa, Meganada (simbol Ramanisme/ Waisnawa)--- hakikatnya memuja Rama Dewa (sekta Waisnawa).
5.      Barong Kijang representasi Tri Murti (hegmoni Kuturan)—ke Bali berkendaraan Kijang.
6.      Rangda dan Barong Nandi/Sapi representasi ciwaistik—cerita Rangdeng Dirah dan Nandi kendaraan Ciwa.
7.      Barong Gana (Berkepala Ganesha), representasi sekta Ganapati, dll.
8.      Barong Landung representasi raja Jaya Pangus dan Kang Ceng Wie (Ratu Ayu Syah Bandar) sebagai penguasa perdagangan antarpulau atau laut.

            Jadi dapat katakan pada saat kekuasaan Jaya Pangus dengan Kang Ceng Wie, ditolak oleh rakyat karena rajanya memiliki istri bukan seorang dewi dalam konsep hindu, tetapi seorang gadis bhudis, sehingga dipersoalkan oleh rakyatnya. Jaya Pangus sebagai agensi melakukan berbagai upaya untuk tetap legitimit dalam konteks kultus dewa raja itu, dengan “membaturkan” sistem religi rakyat Bali, dengan palinggih Bebaturan sebagai wujud representasinya.
            Palinggih Bebaturan lokasinya dihulu paling barat dengan orientasi Gunung Agung Raung Jawa Timur,lokasi Rsi Markandeya mendapatkan wahyu untuk menamcamkan Panca Datu di Batu Madeg. Dasar filosofisnya adalah tanda tambah dengan titik pertemuan tambahnya adalah posisi dari I (Iswara) dengan sisi nyatur tempat huruf modre Sa-Ba-Ta-A dan di tengah I (Iraga/Iswara). Panca Bhatara dengan di tengah Iraga, dan Panca Dewata dengan di tengah Iswara. Representasi perapatan agung diambil dari konsep mistik ini. Posisi I merupakan bertemunya Bapa Akasa dengan Ibu Pertiwi yang merupakan dasar konsep Rwabhineda yaitu memadukan konsep lokal genius (Bhatara) dengan Hinduisme India (Dewa). Bapa Akasa didedikasikan pada Dewa-dewa pujaannya yang dikenal dengan sectarian dalam sejarah di Bali sejak abad ke-8 sampai abad ke-11 dengan munculnya konsep sekta Trimurti di Bali sebagai hasil pesamuan agung di Samuan Tiga Gianyar. Sejak itu zaman raja Prabu Udayana sekta Trimurti menjadi Dharma Negara (Agama Negara).
            Lokasi pelinggih Bebaturan zaman sekta trimurti ada di bagian huluning hulu, dengan Gunung Agung Raung sebagai orientasi, sehingga berada di daerah Kaja di ujung Barat. Mengikuti konsep Desa-Kala-Patra, di Bali Utara beda dengan di Bali Selatan. Karena posisi Kaja (gunung) ditentukan oleh keberadaan desa pakraman tertentu. Contoh kaja di Bali utara ada di selatan, kaja di Bali selatan ada di Utara, kaja di negara ada di timur, kaja di Pinggan ada di Barat Laut dan sebagainya. Sedangkan Daksina di selatan, Utarayana ada di Utara, Wetan di Timur, dan Kulon di Barat, tetap mengikuti posisi geografis secara internasional. Dengan demikian kita bisa keliru memaknai sebuah pengideran Pancadewata atau Nawa Sanga di dalam lontar kalau tidak memahami konsep ini.
            Konsep sectarian mengikuti “penukup mantra” di dalam lontar-lontar, sehngga dapat dipahami sekta apa dan zaman kapan lontar itu dibuat, bahkan di Bali lokasi mana mantra/panugrahan itu dibuat. Dengan sistem religi sectarian sebelum abad ke-8, dapat dipahami sekta mana yang mendapat panugrahan (Bali Panugran) itu, tentu perhatian kita diarahkan pada panukub mantranya, sebagai dasar kritik sumber penulis dalam membahas lontar. Karena penyebutan atau penamaan Brahman di Bali mengikuti sekta yang dianut, terutama ketika sektarian mewarnai Bali sebelum Empu Kuturan menata sistem religi di Bali. Sehunungan dengan itu di dalam lontar-lontar di Bali ditemukan nama-nama pengganti Brahman (Wedha) dalam agama Hindu di Bali:
1. Sang Hyang Temuwuh--- sekta Waisnawa--- penyebab tumbuh
2. Sang Hyang Embang --- sekta Kala --- lowong
3. Sang Hyang Manik Galang/ Surya --- sekta Surya Candara Wintang Tranggana--- sinar
4. Sang Hyang Wikan --- Ganapati (Ganesha)--- kepintaran
5. Sang Hyang Manik Geni/Brahma --- sekta Brahmanisme--- api
6. Sang Hyang Widhi Wasa --- sekta Ciwaisme--- kekuasaan kematian
7. Sang Hyang Trimurti --- sekta Trimurti, dll.
           
Hibridasi Hindu dengan sistem religi lokal memunculkan berbagai ritual dan upakara yang sesungguhnya revitalisasi sistem religi lokal terkait dengan kekuasaan sistem religi hindu ke Bali.
            Dari uraian di atas konsekuensi logis yang harus dipahami adalah: (1) Bebaturan merupakan palinggih dalam konsep nyatur dengan Lingga-Yoni di tengah-tengah. (2) Padma Capah adalah sama dengan bebaturan hanya saja sudah ada angga di dasarnya dengan posisi teratasnya tetap untuk Dewa Nyatur. (3) Surya yaitu palinggih dengan konsep Singgasana tetap dasarnya nyatur, dengan Sura-Candra Wintang Trangana sektanya.
            Jadi perkembangan Pelinggih Bebaturan, padma Capah, dan Surya (posisi lurus) memberikan makna adanya perubahan bentuk pemujaan, tetapi masih dalam konsep yang sama. Yaitu konsep nyatur, napak dara, atau konsep perapatan agung untuk memadukan Bapa Akasa dengan Ibu Pertiwi, dengan penyangganya dewa nyatur/bhatara empat yang turun dari langit dengan di tengah-tengah posisi astralnya.[13] Sedangkan palinggih gedong sineb merupakan tempat roh leluhur yang dipuja di palinggih bersangkutan dengan pariasi rongnya, karena adanaya dasar filosofis bervariasi. Gedong sama dengan sarkopagus zaman megalitik, sedangkan meru funden berundak, dan tajuk atau paruman pemaknaannya seperti Bale Pesandekan. Umumnya terkait dengan wewiden (pemujaan dewa) yang juga menjadi bagian dalam sistem religi pura bersangkutan. Sedangkan bentuk tugu (dari tanah) representasi dari saudara empat raja/manusia yang distanakan sebagai dewa pada pura bersangkutan.
            Jadi klasifikasi palinggih dapat disederhanakan secara hahiki yaitu: Hanya Bebaturaan, Padma Capah, Surya dan di keluaraga disebut ‘Kemulan Sakti’ dari kayu dapdap tis sebagai pemujaan Dewa (Hinduisme India), sedangkan yang lainnya terkait dengan roh leluhur, raja, resi, catur sanak, dan wewiden (penyawangan/tajuk). Sedangkan hahikat pembedanya adalah ngeruwabhineda, terimurti, dewa nawa sanga. Kemudiaan dominasi sectarian di dalamnya ditentukan oleh agama kerajaan, apakah waisnawa, trimurti, dan atau ciwaistik dengan Agama Bhuda sebagai bagian yang tidak dapat diabaikan umumnya berbentuk hibridasi.

3.3 Penggelgelan Melalui Pura Dasar Bhuwana
            Pura Dasar Gelgel merupakan dasar penyautan sekta dan politik di Bali, terutama setelah terjadinya penundukan Majapait ke Bali. Keadaan Bali sangat kacau diwarnai oleh pergolakan menerima dan menolak kekuasaan Mojopahit. Pada awal penundukan Mojopahit ke Bali tahun 1343 demikian raja Bali Aga bernama Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten dikalahkan, kekuasaan diserahkan pada penguasa Gelgel yaitu penguasa Gelgel (Agung Gelgel), hanya saja Bali terus bergolak sehingga Pasek Gelgel (Agung Gelgel) ketika itu mengembalikan pada penguasa Majapahit, dengan mengutus Pasung Grigis ke Mojopahit, tetapi Gadjah Mada memberikan Patih Pasunggrigis sebagai penguasa sementara, sampai pengantinya akan didatangkan dari Jawa. Kemudian Gadjah Mada memberikan kekuasaan itu pada Cucu Empu Kepakisan dari Kediri bernama Sri Kresna Kepakisan dengan pusat pemerintahan di Samprangan Gianyar.[14]  Pusat pemerintahan di Gelgel diprakasai oleh Tumenggung Kubon Tubuh (turunan Kutawaringin) membuat pusat pemerintahan baru menggunakan rumahnya sebagai kerajaan untuk menggantikan Samprangan ketika diperintah oleh Agra Samprangan yang suka bersolek dan membahayakan dinasti Kresna Kepakisan. Sebagai raja pertama di Gelgel diduduki oleh adiknya terkecil yang suka berjudi tinggal di Pandak Gede bernama Ketut Ngelesir.
            Pada zaman pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir banyak terjadi pembrontakan dilakukan oleh desa-desa Bali Aga, disebutkan dalam buku “Sejarah Klungkung” ditulis oleh Ida Bagus Sidemen, dkk yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Klungkung, tahun 1983 di antaranya:
Desa Batur, Sempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munti, Pludu, Cintamani, Manikliu, Blonyoh, Tarobhaya, Sukawana, Culik, Tista, Gabhawana, Margatiga, Garinten, Lokasarana, Ulakan, Tulamben, Watudawa, Muntig, Juntal, Curucut, dan Bantas.[15]

Hasil penelitian penulis tentang “Revitalisasi Ideologi Desa Bali Aga” dapat diketahui bahwa pada zaman pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir terjadi hegemoni desa-desa Bali Aga dengan mengelgelkan Desa-desa Bali Aga, yaitu dengan menempatkan wakil gelgel di desa-esa Bali Aga, seperti Pasek Gelgel di Songan, Pasek Gelgel di Sukawana, Ngurah Watu Lepang di Gobleg dan sebagainya. Kekuasaan wakil Gelgel ini masuk dalam struktur kekuasaan Ulu-Apad di desa Bali Aga, hanya saja dia menjadi prebekel (bendesa) yang berlangsung turun-temurun dalam struktur ulu-apad desa Bali Aga. Demikian juga zaman Dalem Ketut Ngulesir terjadi penghukuman melalui pelepasan Kerbau/ Sapi di Taro, Tenganan Pegeringsingan, Selulung, Tampekan, Mengani, dan sebagainya. Dengan identitas sebagai kebo duwe (druwen puri) lama kelamaan dikaitkan dengan Pura Desa desa bersangkutan, akhirnya menjadi kebo/wadak/sapi duwe Pura Desa pakraman bersangkutan. Bahkan desa pakaraman basis waisnawa atau desa Bali Aga diwajibkan melakukan Balik Sumpah (setia pada Gelgel) dengan melakukan ritual balik sumpah dengan “mengelilingkan kerbau bertanduk emas dengan injakan kain putih mengelilingi desa”, simbolisasi “penyiwaan” kerbau sebagai Nandi kendaraan Ciwa. Bahkan untuk desa dianggap pusat dan penting diwajibkan “memayuh bumi” dengan kerbau 12 ekor di Sukawana dan Taro. Semuanya itu sesungguhnya politik kerajaan untuk melakukan hegemonik terhadap desa pakraman basis ideologi Bali Aga yang menjadi tandingan Gelgel sebagai wakil kerajaan Majapahit ketika itu.
            Jadi agensi dari Ketut Ngelesir pada zaman pemerintahannya selama 20 tahun dari tahun 1380-1400, melakukan hegemoni kekuasaan dalam struktur pemerintahan Ulu-apad di desa Bali aga, dengan melakukan kulturisasi penyiwaan pada desa-desa Bali Aga di Bali. Pertarungan ideologis ini menjadikan Gelgel sebagai pusat atau dasar penyatuan Bali.
            Strukturasi, hegemoni, dominasi, baik dalam politik, kekuasaan, ideology, sistem religi dilakukan oleh kerajaan Gelgel di seluruh pulau Bali. Sejajar dengan hegemoni yang dilakukan oleh agensi perubahan lainnya di Bali melalui sistem religi, di antaranya:
(1)   Kuturan dalam menerapkan sistem religi berdasarkan ideologi trimurti, yang mewajibkan pakraman dan pawongan membuat “palinggih Menjangan Seluang”, dengan penadanya Kepala  Kijang sebagai penyangga saka Tunggal di depan, kijang kendaraan Kuturan ke Bali. Dan mewajibkan menggunakan daging kijang (meboros kidang), kalau melakukan ritual di Pura Desa/Balai Agung.
(2)   Pembuatan pura Bebaturan relasi kuasa Batur dalam kemelut politik di Bali zaman Jaya Pangus dan Palinggih Ratu Ayu Syah Bandar di pura klan besar atau pusat persembahyangan umat Hindu Bali. Di besakih juga ditemukan tempat pemujaan ratu Ayu Syah Bandar (Bhuda-Kultus Individu istri raja), dan pelinggih Masora-Masori (Ma-Sula dan Ma-Suli) di Besakih, representasi anak kembar buncing, yang juga menjadi tradisi hokum manak salah di Bali karena dianggap memada-mada dengan raja, dianggap cuntaka ngeletihin pakraman, harus dibuang ke karang suung dekat kuburan/setra selama 42 hari.
(3)   Pembuatan Pura Dasar Gelgel untuk umat Hindu di Bali, dan pura Dasar di masing Pakraman dan Pawongan, upacara Balik Sumpah, agar setia pada kerajaan Gelgel (Ciwaisme) pengganti kerajaan Bali Aga.
(4)   Padmasana sebagai sarana penyiwa-bhudaan zaman Klungkung (Dang Hyang Nirartha) dasar filosopi Dewa Nawa Sanga sebagai perkembangan lebih lanjut dari konsep nyatur, akan dibahas lebih lanjut di bawah.

            Sistem religi dipusatkan di Gelgel, sehingga sejak zaman pemerintahan Ngelesir semua sekta yang ada di Bali disatukan dalam Pura Dasar Gelgel. Sedangkan untuk pakraman, dan pawongan diwajibkan membuat Palinggih Dasar yaitu penganti Bebaturan. Bentuk bangunannya adalah seperti Dasar Segi Empat dengan lobang empat di bawahnya. Isinya sama dengan bebaturan, dengan konsep kultus dewa raja dan catur sanak sebagai dasarnya. Pelinggih ini didedikasikan pada pura Dasar Bhuwana Gelgel, sehingga menyebut Pura Dasar akan teringat dan mengakui Gelgel sebagai yang dipertuannya (Kultus Dewa Rajanya). Jadi pura Dasar memiliki relasi dengan agen Ketut Ngelesir pada abad ke-14, dengan restrukrasi dan kulturisasi seluruh Bali, terutama desa Bali Aga yang memiliki ideologi kuat dan bertentangan dengan kerajaan Gelgel zaman Ketut Ngelesir. 
3.4  Padmasana
            Padmasana adalah palinggih utama dalam pemujaan dewa berbenduk Teratai/Singgasana dengan dasar: Bedawang Nala/ Kura-kura, Naga, dan di belakangnya ada Garuda Wisnu Kencana/Angsa. Dilihat dari simbolik menggunakan sekta sebagai dasar maka dapat dimaknai sebagai berikut:
(1)   Kura-kura adalah simbolik waisnawa dengan mitologi Kurma Awatara, wisu turun ke dunia ketika akan terjadi kiamat, maka beliau Wisnu turun menyelamatkan dunia dari banjir besar.
(2)   Naga (hijau) adalah simbol sungai sebagai lokasi mengalirnya air dari pegungan ke laut, dan memberikan kesuburan pada petani. Sehingga dijadikan simbol penjor di Bali yang sudah dilakukan pada zaman Galungan Bali Aga, yaitu simbol Sungai dengan daerah liminitasnya (soan) daerah kritis sehingga akhir penjor ada bebantenan. Dengan ritual Galungan dilakukan dengan “Perang Tipat-Bantal, Gobag-gobagan air, Memed-medan (simbol rwbhineda), dan Meguak-guakan (simbol ombak dan air mengalir). Termasuk orang Mekukung dalam endongan pada penjor aka nada ritul untuk guak (nguakin) biasanya diambil oleh pengangon di sekitar carik bersangkutan.[16]
(3)   Garuda Wisnu Kencana simbol waisnawa ketika rama dilarikan oleh Rahwana, maka diselamatkan oleh Paksi Jatayu.
(4)   Angsa simbol kendaraan dewa Brahma, cf. Candi Prambanan (Pageh, 2018)
            Sebagai sekta kalah zaman rancang bangun Padmasana dengan agennya Dang Hyang Nirartha pada abad ke-16 tentu memosisikan sekta kalah paling bawah (terdominasi). Kalau ditelisik siapa sesungguhnya tokoh Dang Hyang Nirartha sesungguhnya semasih di Jawa Timur beliau adalah seorang Bhudis, terbukti dari folklor bahwa ketika terjadi pergulatan kebahtinan (perang Bhatin) di Pulaki antara Siwer mas dengan Canting mas, konon beliau kalah dengan kelompok Waisnawa yang kuasa di Pulaki, sehingga seluruh keluarga dan penngkiutnya musnah dan menjadi makhluk halus (Gamang), dan menjadi penguasa yang disungsung di Melaning (menjadi Pura Indrapalaka/ ratun Gamang). Sementara beliau selamat karena masuk mulut naga (simbolisasi ikut waisnawa) dan akhirnya muncul di Taman Pule Gianyar sebagai lokasi perguruannya, diikuti oleh pengiring setianya dari Bendesa Mas.
            Kemudian beliau dapat menjadi Purohito kerajaan setalah kekuasaan raja Kelungkung bernama Dalem Waturengong, raja yang sangat berkuasa berkat bimbingan politik dan agama beliau. Tantangan zamannya adalah adanya Agama Islam yang mensinyalir Agama Hindu sebagai politheisme, memuja banyak Dewa, sehingga beliau mengonstruksi sistem religi di Bali dari Trimurti menjadi Ciwaisme yaitu dari AUM (OM) dijadikan Ciwa-Sadaciwa-Paramaciwa. Dengan demikian isi Surya Besakih yang mulanya berdasarkan konsep Nyatur- Trimurti (Catur Lawa dan Padma tiga), sedikit demi sedikit di arahkan ke ciwaistik, sehingga terjadi pertarungan ideologi di Besakih, terutama dalam memaknai Padma Tiga menjadi Padmasana Tiga, yaitu dari Agama Sekta Trimurti ke Agama Sekta Ciwaistik. Bukan hanya isi padma tiga yang dikonstruksi, bahkan sekta dan nama Brahman yang mulanya bervariasi dijadikan bersifat ciwaisme dengan kuasa dan politik sebagai panglimanya. Penguasa perdagangan atau ratun dagang pun diubah dari Ratu Ayu Sahbandar saudagar perdagangan laut diganti menjadi pasar darat (peken) Dewi Melanting (ratun gamang).
            Kalau dianalisis secara etimologis kata Ida Sang Hyang Widhi Wasa: Ida (beliau), Sang (terhormat), Widhi (nasib), Wasa (kuasa), jadi dapat dimaknai beliau yang terhormat berbendtuk hyang dan maha kuasa menentukan nasib kita, yang dimaknai Brahman yang di dalam Wedha. Konstruksi ISWD di Bali terkait dengan peran tokoh Dang Hyang Nirartha yang memberikan dasar yang kokoh dalam Agama Ciwa Sidanta di Bali, dengan penguatan ritual yang melakukan banyak kurban suci melakukan pemotongan hewan-hewan kurban di Bali. Dang Hyang Nirartha melakukan hegemoni pada seluruh sekta dan klan di Bali dengan memosisikan dirinya (Golongan Brahmana/Pedanta) berkedudukan tertinggi di Bali. Terjadi kutus Resi Dewa sebagai pengganti Kultus Dewa Raja, dengan melakukan konstruksi bahwa Pura-pura tua yang ada di dikaitkan dengan dirinya. Namanya pun dikultuskan dengan melakukan hegemoni pada sekta lainnya, sehingga kasta dan sekta brahmana memiliki kedudukan tertinggi di dunia ini.
            Pemaknaan lebih jelas dapat dipahami dari konsep yang disandang/disebutkan seorang Brahmana di Bali, antara lain:
1.      Menyebut Brahmana (“Brahma+ana”) seorang dwijati dari golongan Ida Bagus menyebut dirinya Brahma+ana, sebagai representasi hegemoni sekta Brahmanisme di Bali, sehingga sekta brahma dewa terhegemoni dengan menyebut dirinya sebagai brahma yang ada di dunia ini (kultus dewa brahma) dipersonifikasi dalam diri Ida Padanda.
2.      Menyebut Ida Bagus, hegemoni dari bhatara (pelindung) orang Bali, representasi sang catur sanak sering disebut Ngurah atau Dewa Bagus.
3.      Menyebut Surya (matahari), hegemoni dari sekta Surya-Candar Wintang Tranggana- sekta terbesar ketika itu yaitu penyungsung Pucak Penulisan-Penataran Sasih-Gua Gajah (poros inti kekuasaan zaman Bali Aga), wujud nyegara gunung-ngerwbhineda.
4.      Menyebut Ciwa, sebagai pengemban sekta Ciwa yang melakukan hegemoni setelah Dang Hyang Nirarta menjadi purohito kerajaan Klungkung.
5.      Guru-sisya dalam konsep pengembangan geriya yang memiliki sisia-dengan pengikutnya.
6.      Menyebut Raja, dengan menyebut panjak pada sisianya (pengikutnya).
7.      Menyebut Pedanda representasi hakim/pemutus segala sesuatu baik lahir maupun bathin (Pageh, 2018).

            Dari analisis filosofis kritis ini dapat dipahami mengapa kata Brahman dalam menentuan nama Tuhan di Bali tidak dipilih, tetapi justru digunakan Ida Sang Hyang WidhiWasa, yaitu kata bentukan yang di dalamnya mengandung Idia dan Bali (bhatara dan Dewa).[17]
            Dengan kekuasaan Klungkung di bawah purohita Dang Hyang Nirartha dengan asal-usul seorang Bhudis (inti Hinduisme) secara bulat palinggih Padamasana diwajibkan ada pada setiap peleban palinggih di Bali dan diposisikan di huluning hulu menyudut (dewa nawa sanga), termasuk di pawongan, sesungguhnya merupakan hegemoni kerajaan Klungkung, tetapi secara cerdik memosisikan klan Brahmana paling atas, bahkan di atas raja (penguasa) yang mendapat kedudukan sebagai dewa dalam kultus dewa raja sebelumnya.[18] Jadi dalam padmasana ada relasikuasa Klungkung dan sekta ciwasidanta yang agesinya  Dang Hyang Nirartha sebagai purohita kerajaan Klungkung zaman Dalem Waturengong. Dengan menyebutkan brahmana /pedanda sebagai golongan terpenting di Bali, yaitu sebagai raja, guru, hakim, ocial di dunia, ciwa, dan surya (mata hari). Ini menunjukkan peran besar Dang Hyang Nirartha dalam menjawab tantangan zaman ketika itu (Islam di Nusantara), dan tantangan di dalam kerajaan yang sectarian dengan memosisikan dirinya dan klan-nya sebagai klas teratas dalam struktur dan kultur masyarakat tradisional di Bali. Kedudukan status ocial yang bersifat politis inilah nampaknya menjadi pertimbangan Belanda menempatkan seorang Pedanda ikut dalam memutuskan berbagai perkara di pengadilan Raad van Kertha di Bali zaman Baliseering di tahun 1920-an. Sehingga diregenkan (pensiunkan) secara politik kepengikutannya dialihkan dari puri ke geriya oleh kolonial Belanda yang terpelajar dari “sekolah” di Gedong Kirtya Singaraja.
4. PENUTUP  
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan Tahta Batu zaman megalitik terus berkembang menjadi padmasana di Bali, tetapi dalam konteks kultus Dewa Raja agen politik menjadikan sistem religi sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mempertahankan kekuasaan di Bali. Tahta Batu terkait dengan kultus roh leluhur, bebaturan terkkait dengan legitimasi kekuasaan Jaya Pangus yang memiliki istri bhudis bernama Kang Ceng Wie, Surya, dan Padma Capah memiliki dasar ritual sectarian dengan Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi tetap dipertahankan, sampai akhirnya Dewa Trimurti dan Dewa Nawa Sanga dijadikan pegangan dalam keberagamaan di Bali. Semuanya memiliki relasikusa dengan pusat-pusat kekuasaan dengan memosisikan seorang suci (agamawan) seagai dasar legitimasinya.
            Jaya Pangus dan Dalem Ketut Ngelesir merupakan dua raja yang melakukan strukturasi paling luas di Bali, dan para purohito kerajaan seperti Rsi Markandya (abad -11), Kuturan (abad 11-16), dan Dang Hyang Nirartha abad 16 samapai sekarang, namun dalam tradisi yang ada di Bali terjadi hibridasi dan akulturasi antara sistem religi asing dengan lokal Bali.
            Disarankan agar dalam pemaknai sistem religi di Bali agar menggunakan genealogi dari sistem relegi bersangkutan, sehingga dominasi dab hegemoni yang mengembangkan manusa bheda apat dipahami dan melakukan pemilahan secara hati-hati antara Hinduisme dengan feodalisme berbasis kultus individu (dewa raja atau resi dewa) atau the other masyarakat Bali, dengan harapan kesetaraan (manusa pada) demokratisasi dapat terwujud lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA
Giddens, Anthony.2010. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Shastri, N.D Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa, Jilid I. Bhuwanan Saraswati; Denpasar.

Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonia. Raja Wali Pers: Jakarta.

Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial.  Prenada Media Group; Jakarta.

Pageh, I Made. 2010. Metodologi Sejarah: dalam Perspektif Pendidikan. Denpasar: Larasan.

Kanta, I Made. tt.  Babad Semarapura (Manuskrip), Kelunggkung (milik pribadi).

Kempers, Bernet. 1960. Petunjuk Tentang Peninggalan-peninggalan di Bali. R. Soemono (penerj.). Penerbit Ichtiar: Jakarta.

Atmodjo, R.M. Sukarto K. 1970. “Prasasti Sanding-Bulian Tamblingan (Prasasti Krobokan). Makalah  Seminar Sejarah II 26-29 di Jogjakarta.

Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali: Temuan yang Mentakjubkan.  Sunaryo Basuki (penerj.). Penerbit Udayana University Press: Denpasar.

Pageh, I Made. 2018. Model Revitalisasi IdeologiDesa PakramanBerbasis Kearifan Lokal.  Rajawali Pers: Jakarta.

Berg, C.C. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara.

Pageh, I Made. 2016. “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”.  Disertasi. S-3 Kajian Budaya, Unud Denpasar.





[1] Penulis adalah Dosen di Pascasarjana Jurusan IPS Undiksha  dan Pendidikan Sejarah Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Undiksha Singaraja, Alumnus S-2 Sastra Sejarah UGM Yogyakarta, tahun 1998, dan Alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar, tahun 2016.
[2] Miguel Covarrubias, 2013. Pulau Bali: Temuan yang Mentakjubkan.  Sunaryo Basuki (penerjemah) ( Penerbit Udayana University Press: Denpasar), hal.3.
[3] Bernet Kempers, 1960. Petunjuk Tentang Peninggalan-peninggalan di Bali. R. Soemono (penerj.), (Penerbit Ichtiar: Jakarta), hal. 6
[4] I Made Pageh, Metodologi Sejarah: dalam Perspektif Pendidikan, (Denpasar: Larasan: 2010).
[5] Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010). Cf. Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial (Raja Wali Pers: Jakarta, 2011), hal. 158; Cf. Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media Group, 2008).

[6] Sistem religi adalah percaya pada kekuatan gaib yang datang dari luar diri manusia, sedang animisme dan dinamisme adalah percaya pada kekuatan gaib yang ada di alam (super natural), yang diyakini ada pada pohon besar, batu besar, air terjun, dan sebagainya.
[7] Maknai ketika orang Bali Nyukat Karang, menentukan batas-batas pekarangan rumah, dengan tife idealnya disebut Asta Kosala (rumah-pekarangan) dan Asta Kosali (bangunan suci)
[8] Cf. Lontar Kanda Pat di Bali, dengan berbagai variasinya, seperti: kanda pat rare, kanda pat bhuta, kanda pat sari, kanda pat dewa, dll.
[9] Pemanfaatan roh gaib atau kekuatan gaib untuk kepentingan diri disebut Kebathinan, ngeliak (megic), dimana liak berasal dari genealogi lima aksara yaitu: Sa-Ba-Ta-A-I  (huruf Modere) dengan Perapatan Agung (Catus Pata) sebagai lokasi pemurtiannya. Agama Hindu telah menghegemoninya menjadi dewa nyatur.
[10] Pelanggaran dalam penggunaan batas/bantes dan lokasi secara sembarangan dapat menimbulkan gering/penyakit pamali (pamalik di Jawa). Sakitnya bisa disebut kepongor, tulah, kutukan, dan sebagainya. Umumnya diketahui melalui menurunkan roh bersangkutan melalui orang pintar (tapakan metuun). Hinduisme tidak dapat member  keterangan secara fundamental, sehingga agamawan berdasarkan Kitab Suci Wedha tidak sepenuhnya dapat menjelaskan.
[11] Cf. Pemerintahan Jaja Pangus yang terjadi dari tahun 1039-1103, banyak melakukan perubahan dalam sistem religi dan pemerintahan pada zamannya demi permaisuri Cinanya bernama Kang Ceng Wie. Cf. lebih lanjut dalam  N.D Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, Jilid I, (Denpasar, Bhuwanan Saraswati, 1963), hal. 71
[12] Hibridasi Hindu-Bhuda dapat dipahami dari makluk mitologis “Singaraja”, Singa bhudanya, dan sayap Jetayu/wismunya, sehingga menjadi binatang berciri Bhuda dan Wisnu.
[13] Dari Lingga-Yoni, ke Bebaturan, Padma Capah, ke Surya, ke Padma Trilingga, Padma Tiga, sesungguhnya tetap merupakan representasi Sang Catur Sanak menjadi didewanyaturkan, dengan Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi (Rwabhineda) menjadi basis sistem religinya.
[14] Ketika awal Gelgel menjadi pusat pemerintahan ada dua pusat pemerintahan saat itu yaitu: Gelgel dan Samprangan, karena Agra Samprangan (pengganti Kresna Kepakisan) kehilangan pengikut kerjaan maka dia menerima dengan tidak terjadi pertumpahan darah, dan kemudian Gelgel menjadi pusat kerajaan yang sangat berwibawa. Cf. C.C Berg. Penulisan Sejarah Jawa (Jakarta: Bhratara, 1974), hal. 146.
[15] Babad Semarapura (Manuskrip), milik I Made Kanta Kelunggkung.
[16] Simbol-simbol terkait dengan Waisnawa adalah: Air, Guak (hitam), Penjor, Burung Besar, Pohon Besar, Ombak, Babi Hitam, Kodok, Naga, semuanya simbolisasi dalam kosmologi Hindu untuk air. Karena kalau pohon besar tempat bertengger burung besar tentu akan menghasilkan air besar, kodok, ombak, embun hitan terkait dengan air hujan yang lebat, semuanya memiliki muara air yang besar dapat menyuburkan pertanian dan kesejahteraan dunia.
[17] Lihat I Made Pageh, Model Revitalisasi IdeologiDesa PakramanBerbasis Kearifan Lokal.  Rajawali Pers: Jakarta. Analisis ini sangat struktural, sehingga dapat memunculkan kontroversial kalau salah memaknainya.Hal ini dilakukan bukan hanya kehendak golongan Brahmana, kemungkinan juga kehendak kolonial Belanda pada zaman Baliseering (Balinisasi) yang digagas oleh T. Flierhaar tahun 1919. Cf. I Made Pageh, “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”, Disertasi. S-3 Kajian Budaya, Unud Denpasar, 2016.
[18] Telah terjadi hegemoni kerajaan sehingga berubah dari kultus dewa raja ke kultus resi dewa, negosiasi Brahmana pada Raja dan Bangsawan (Kerajaan) ini dapat dipahami karena leluhur dinasti Kresna Kepakisan, sama dengan leluhur Dang Hyang Nirartha seorang brahmana dari Pakis Blambangan Jawa Timur yang ada di bawah kekuasaan raja Kediri.  


























































































































0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda