PRASASTI KEROBOKAN (PRASASTI BUYAN-SANDING-TABLINGAN
PRASASTI KEROBOKAN
(PRASASTI BUYAN-SANDING-TABLINGAN)[1]
I Made Pageh
Prasasti
ini dikeluarkan oleh Raja Jayapangus (Haji
Jayapangus Arkajalancana), pada tahun 1181 Masehi (pinanggal 9 paro terang,
mahulu, paing, hari Rabu Wuku Wayang, Caka 1103). Jayapanus (ketrunan Matahari), beserta dua istrinya
yaitu parmaisuri Indujakatana
(Keturunan Bulan), dan Permaisuri Sri
Maha Dewi Cacangkajacihna (juga keturunan Bulan).
Mendengar
keluhan penduduk yang sebagaian besar kehidupannya berdagang, sehingga
pelaksanaan agama berdasarkan penghasilan berdagang itu, sementara penduduk
tidak melaksanakan dharmanya (karmanya0 di desanya sehingga sering terjadi
kekacauan. Hal ini tidak sesuai dengan isi yang terkandung dalam buku Manawa
Kamandaka, yaitu senantiasa memperhatikan kesejahtraan penduduk yang dijadikan
dasar kekuasaannya. Demikian besarnya pajak (drwyahaji) dipunggut pada penduduk daerah ini. Dari laporan itu
pada raja Jayapangus, maka ada beberapa pajak selanjutnya dibebaskan pada
penduduk Buyan-Sanding-Tamblingan melalui prasasti ini. Yang diberikan
keringanan antara lain:
§
Paraambu.
§
Patusuk,
§
Pahatep
§
Pakirab
§
Pamapas pusek
§
Pangleye,
§
Palaris,
§
Pinta-patumbas (jual-beli)
§
Panisune (perak murni)
§
Kahulu kayu (pajak pada kepala kehutanan)
§
Sambasambaran
§
Ketesanya
§
Kyuran, juga
§
Bebas Saji-saji
§
Srangciciken(?)
§
Paradewinan (?)
§
Tidak dirampas hartanya orang Balu/Putung.
§
Pamapas saru ring cayatangen,
§
Pajak paluwang (kelagiran),
§
Bebas bepergian berdagang kemana saja,
§
Pupusana (Pajak beternak itik), oleh naayakanjaawa).
§
Pacadar (pajak tekstil)
§
Manila (indigo)
§
Boleh memeihara anjing tidak berekor dan
bertelinga.
§
Boleh menyabung ayam, ( dipraduwan(,
§
Samprasara (perluasan lahan)
§
Tiris (metuakan pada bunga pohon kelapa),
§
Bebas upah taji dan wulang (pajak tajen),
§
Bebas laku-langkah (bebas rodi),
§
Ulat-ulatan (bebas klangsah, Jejahitan),
§
Pajak rotan, biji-bijian,
§
Pajak Ser kahyangan (pimpian kahyangan).
§
Bunga ksanika dan kalapitung
§
Danda sifat, dan biaya perjalanan
§
Hukuman ganaganan (hukuman semblih)
§
Sapi mati ditinggal maling di sekitarnya boleh
diambil, tinggal lapor pada pejabat.
§
Boleh bela diri menggunakan senjata dadap,
keris, tombak, dan tamen melawan botoh
jaka Pemabuk/ botoh minun tuak).[2]
Inilah beberapa
kebesam pajak dan kelonggaram kerja rodi dan ngayah di kahyangan tertnetu yang
dibrikan kebebasan pada penduduk B-S-T dalam prasasti ini.
Catatan prasasti
yang ditemukan sampai tahun 1970-an sebagai berikut.
A.
Raja jayasakti =
15 bh (ke-14 dan 15 ditemukan di Asah duren), menyebut Batur-Taruman-Nungnung
dan Dayankayu/Denkayu?.
B.
Raga Jaya =
1 bh (ditemukan di Tejakula).
C.
Jayapangus =
35 bh
Bandingan
raja di jawa dengan Bali pada saat itu:
No
|
Jawa
|
Bali
|
1
|
Jayabhaya (cc. 1135-1157 AD)
|
Jayasakti (cc.1133AD-1150 AD)
|
|
Saswweswara (cc. 1160-…..)
|
Ragajaya (cc. 1155…)
|
|
Arryeswara (cc,1171 …..)
|
Jayapangus (cc1177-1181 AD)[3]
|
|
Kroncaryyadipa, Gandra (cc. 1181
AD…)
|
|
|
Kameswara (cc. 1185 … )
|
|
Patung
Ganesa local development (lokal
genius) ditemukan di Pura
Telangu Bedahulu, tangan kanannya memegang Keris, seharusnya dalam
mitologinya memegang Gadingnya yang patah. Pura Jogan Ciwa Agung Ketewel, ada
patung Ciwa memotong Ayam. Juga Dewi Umanya juga memegang Ayam. Ragajaya dan
Jayapangus adalah Bhuda Paksa (K. Atmodjo,1970:25), nama mengikuti namanya
dalam prasasti terkadang Arkajalancana atau Arkajacihna (Arkaja =putra
matahari), Planet Sturnus. Indujacacangkaja (Putri bulan) sama dengan
melambangkan Planet Mercurius. Kata Lancana, ketana, cihna, ketu sama artinya
lambang. Darma Ketu (lambang Dharma), sama dengan Dharma Kerti (lambang darma),
Duma ketu (berhiaskan asap/Dewa Agni), Kapi ketu (benderanya Arjuna
/bergambarkan kera). Ditafsir oleh K. Atmodjo jayapangus beristri kaka-beradik,
diasosiasikan dengan raja Pendiri Majapakit Raden Wijaya beristri 4 bersaudara
dari anak raja Kertanegara (a Kuren
juanga). Buktinya adalah Prasasti G. Penanggungan (1218 C), Dyah Dewi
Tribhuwaneswari (permaisuri).
Raja
Bali sebelum Jayapangus yang pernah menjadi raja Putri di Bali baernama:
Indu-kirana = cahaya bulan purnama
Guna-dharma = turunan dari
Gunapriyadharmapatni, yakni Ibu Erlangga.
Hendak mengaku
wijaya = turunan raja Palembang (Criwijaya)
Hendak mengaku
Utungga, yakni= turunan raja Sendok dari Jawa-Timur.[4]
Kemungkinan yang
butuh pembuktian lebih lanjut, kembali ke kraman Buyan-Sanding Tamblingan
(Bulian dekat tamblingan), kalau dikaitkan dengan Thanni Batur-Taruman
(Tarunya?)-Nungnung. Nampaknya memang dua kekuasaan yang saling berbatasan,
yaitu kawasan Bulian (sanding Tamblingan dan beratan) tiga danau di Bukit
Beratan purba. Batas-batas Talimanuk (Blulang?/Bolangan? Di selatan), barat
Batumangadeg (Batu Madeg), utara Batumarejan (batu Mejan). Batas timur
berbatasan dengan kekuasaan Batur (Nungnung). Sedangkan Batur-Taruman-Nunung, tersimpan
di Asahduren, menyebut patatahan (tagtag?, mungkin lebih dekat dengan
Penatahan, bedekatan dengan Desa Bulang semuanya daerah barat (Sepang),
sedangkan Pujung (Pujung tegalalang dekat Ked? Tapi mengapa tidak cari dekat
penatahan, yaitu Pujungan sekarang, raja yang beristri Cina Juga zaman itu).
Thani
Batur-Taruman-Nungnung, batas-batasnya: selatan (utara) Padang Buraha (padang
Buliha/ padang Bulia, sekarang ada?), Batas
tenggara Bukit Pungsu (kulit
Mungsu, ada), Taruman (Jika dimaksud Tarunyan, dekat dengan Batur).[5] Bertetangga
dengan Songan, dan tradisinya cocok Songan bermusuhan dengan Batur. Sedangkan
kata bencah (benyah), nama Pancasari adalah Benyah sebelumnya, yaitu daerah
antara Bulian dan Beratan. Kata Sanding, bukanlah nama Desa, tetapi keterangan
desa penyanding (tetangga
berdampingan) yang juga sangat kokoh kekuasaanya pada saat itu, di bawah Dalem
Tamblingan (Gusti Gobleg kemudia)[6]. Nama
karaman Bulian-Tamblingan memang bertetangga, dengan sistem relegi yang hampir
sama. Gangguan terhadap Bulian nampaknya mengakibatkan larinya penghuni Bulian
ke Bali Utara (Desa Bulian dan tajun), yang terkait dengan Prasasti Bulian A
dan Bulian B, tahunnya berdekatan, karena Desa Bulian terkait dengan Danaunya,
Desa Tajun terkait dengan Pura Tajunnya (ada Bukit Sinunggal), sesuai dengan
hancurnya kekuatan Bali mula baik di Tamblingan, Bulian, Beratan, dan juga
Songan, Trunyan, Batur dan daerah pendukung Bali Aga lainnya, terkait dengan
berkembangnya kekuasaan Baru (bisa Dinasti warmadewa (Sriwijaya), dan kemudian
Mojopahit/ menambah kuat pengahncurannya). Sehingga pada abad 12/13 itu terjadi
saling menguasai antara dinasti Warmadewa dengan dinasti Tunggawewa (Jatim dan
Criwijaya). [7]
[1]
Catatan Hasil Bacaan Prasasti Sambil Ngayal
[2]
Batas desa Sading-bulian tamblingan:
Desa Tali Manuk, Batumadeg (di barat), Batumarejan (Utara). Hadir dalam
pertemuan itu Bapa Kaba Ciwajnana, pejabat dari Bhuda: Mpu Anglawung, Mpu
Singsih, Mpu Udasina, pemungut pajak Mada tan wring reh, mata-mata curigaraga,
caksukarana pura walah arsa, punggung. Pejabat Ciwa: Mpu Hynagpadang bernama
Dangacarya agraswara, D. Paradwija, D. Ariwangsa, D. mahendraa. Bhuda lagi: Mpu
Ajrasilara, Dang-Uapadyaya Widdatra, D-U
Nagaraka, dan Samgat Mangi.
[3]
Prasasti Jayapangus disimpan di Desa Subaya kintamani pada Meru tumpang 7
disebut Pelinggih Ida Batara Asmarajaya, dianggap kelanjutan (bagian terakhir)
dari prasasti Rahajaya, yang tersimpan di Tejakula (Asmarajaya=ragajaya, dan
kamajaya). Jayakasunu, ragajaya, jayaasmara, mungkin sama dengan Jayapangus?
[4]
Perlu ditafsirkan dari adanya Prasasti Blanjong Sanur, yang menyebut raja
Singhamandawa, (apakah ini sama dengan raja-raja Sriwijaya?, sehingga konflik
raja selanjutnya antara mengakui raja Bali Mula dengan Raja Bali dari kekuasaan
raja yang menaklukkannya kemudian).
[5]
Kemungkinan penerjemah bingung menyebutkan Kaja dan Kelod, karen ada daerah
terbalik pemakaiannya antara Batur dan Bulian Tamblingan. Jadi di timur bukit
Mungsu cocok milik Batur, dan di selatan Padangbulia (Buleleng) cocok daerah
Batas Batur Utara, dan batu Merejan cocok, juga Talimanuk (Belulang Cocok di
selatan), dll. Masih butuh identifikasi spasial dalam penerjemahan itu,
terytama penyebutan Utara-Selatan, terkait denga Kaja-Kelod antara daerah Batur
(Utara jadi Kaja), dan dawerah Bulian Barat Daya jadi Kaja.
[6]
Menurut pandangan saya tidak mungkin ikatan Desa itu terdiri dari daerah yang
lepas, Bulian- (sanding di Bangli)- Tamblingan, sanding di sini keterangan sama
dengan tetangga.
[7]
Butuh dekonstruksi baru sehingga lebih jelas ceritanya, dapat dirunut dari
kedatangan Kesariwarmadewa (abad 10), menghancurkan raja Bali turunan Jatim
(Sindok) gejolak terjadi, kemudian Kang Ceng Wie (dapat membangun Bhuda lebih baik).
Jayapangus memadukan pertentangan itu, sehingga 35 prasasti dikeluarkan untuk
ide itu. Ada intrik Hindu-Bhuda sebelunya, Yete mantra, karena sebagai akibat,
maka penyebabnya (hinduisme) jauh sudah ada sebelumnya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda