Minggu, 15 Juli 2018

PRASASTI KEROBOKAN (PRASASTI BUYAN-SANDING-TABLINGAN


PRASASTI KEROBOKAN
(PRASASTI BUYAN-SANDING-TABLINGAN)[1]
I Made Pageh

                Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Jayapangus (Haji Jayapangus Arkajalancana), pada tahun 1181 Masehi (pinanggal 9 paro terang, mahulu, paing, hari Rabu Wuku Wayang, Caka 1103). Jayapanus  (ketrunan Matahari), beserta dua istrinya yaitu parmaisuri Indujakatana (Keturunan Bulan), dan Permaisuri Sri Maha Dewi Cacangkajacihna (juga keturunan Bulan).
                Mendengar keluhan penduduk yang sebagaian besar kehidupannya berdagang, sehingga pelaksanaan agama berdasarkan penghasilan berdagang itu, sementara penduduk tidak melaksanakan dharmanya (karmanya0 di desanya sehingga sering terjadi kekacauan. Hal ini tidak sesuai dengan isi yang terkandung dalam buku Manawa Kamandaka, yaitu senantiasa memperhatikan kesejahtraan penduduk yang dijadikan dasar kekuasaannya. Demikian besarnya pajak (drwyahaji) dipunggut pada penduduk daerah ini. Dari laporan itu pada raja Jayapangus, maka ada beberapa pajak selanjutnya dibebaskan pada penduduk Buyan-Sanding-Tamblingan melalui prasasti ini. Yang diberikan keringanan antara lain:
§  Paraambu.
§  Patusuk,
§  Pahatep
§  Pakirab
§  Pamapas pusek
§  Pangleye,
§  Palaris,
§  Pinta-patumbas (jual-beli)
§  Panisune (perak murni)
§  Kahulu kayu (pajak pada kepala kehutanan)
§  Sambasambaran
§  Ketesanya
§  Kyuran, juga
§  Bebas Saji-saji
§  Srangciciken(?)
§  Paradewinan (?)
§  Tidak dirampas hartanya orang Balu/Putung.
§  Pamapas saru ring cayatangen,
§  Pajak paluwang (kelagiran),
§  Bebas bepergian berdagang kemana saja,
§  Pupusana (Pajak beternak itik), oleh naayakanjaawa).
§  Pacadar (pajak tekstil)
§  Manila (indigo)
§  Boleh memeihara anjing tidak berekor dan bertelinga.
§  Boleh menyabung ayam, ( dipraduwan(,
§  Samprasara (perluasan lahan)
§  Tiris (metuakan pada bunga pohon kelapa),
§  Bebas upah taji dan wulang (pajak tajen),
§  Bebas laku-langkah (bebas rodi),
§  Ulat-ulatan (bebas klangsah, Jejahitan),
§  Pajak rotan, biji-bijian,
§  Pajak Ser kahyangan (pimpian kahyangan).
§  Bunga ksanika dan kalapitung
§  Danda sifat, dan biaya perjalanan
§  Hukuman ganaganan (hukuman semblih)
§  Sapi mati ditinggal maling di sekitarnya boleh diambil, tinggal lapor pada pejabat.
§  Boleh bela diri menggunakan senjata dadap, keris, tombak, dan tamen melawan botoh jaka Pemabuk/ botoh minun tuak).[2]
Inilah beberapa kebesam pajak dan kelonggaram kerja rodi dan ngayah di kahyangan tertnetu yang dibrikan kebebasan pada penduduk B-S-T dalam prasasti ini.
Catatan prasasti yang ditemukan sampai tahun 1970-an sebagai berikut.
A.      Raja jayasakti                     = 15 bh (ke-14 dan 15 ditemukan di Asah duren), menyebut Batur-Taruman-Nungnung dan Dayankayu/Denkayu?.
B.      Raga Jaya                             = 1 bh (ditemukan di Tejakula).
C.      Jayapangus                         = 35 bh
                Bandingan raja di jawa dengan Bali pada saat itu:
No
Jawa
Bali
1
Jayabhaya (cc. 1135-1157 AD)
Jayasakti  (cc.1133AD-1150 AD)

Saswweswara (cc. 1160-…..)
Ragajaya  (cc. 1155…)

Arryeswara (cc,1171 …..)
Jayapangus (cc1177-1181 AD)[3]

Kroncaryyadipa, Gandra (cc. 1181 AD…)


Kameswara (cc. 1185 … )

               
                Patung Ganesa local development (lokal genius) ditemukan  di Pura Telangu Bedahulu, tangan kanannya memegang Keris, seharusnya dalam mitologinya memegang Gadingnya yang patah. Pura Jogan Ciwa Agung Ketewel, ada patung Ciwa memotong Ayam. Juga Dewi Umanya juga memegang Ayam. Ragajaya dan Jayapangus adalah Bhuda Paksa (K. Atmodjo,1970:25), nama mengikuti namanya dalam prasasti terkadang Arkajalancana atau Arkajacihna (Arkaja =putra matahari), Planet Sturnus. Indujacacangkaja (Putri bulan) sama dengan melambangkan Planet Mercurius. Kata Lancana, ketana, cihna, ketu sama artinya lambang. Darma Ketu (lambang Dharma), sama dengan Dharma Kerti (lambang darma), Duma ketu (berhiaskan asap/Dewa Agni), Kapi ketu (benderanya Arjuna /bergambarkan kera). Ditafsir oleh K. Atmodjo jayapangus beristri kaka-beradik, diasosiasikan dengan raja Pendiri Majapakit Raden Wijaya beristri 4 bersaudara dari anak raja Kertanegara (a Kuren juanga). Buktinya adalah Prasasti G. Penanggungan (1218 C), Dyah Dewi Tribhuwaneswari (permaisuri).
                Raja Bali sebelum Jayapangus yang pernah menjadi raja Putri di Bali baernama:
Indu-kirana                         = cahaya bulan purnama
Guna-dharma                    = turunan dari Gunapriyadharmapatni, yakni Ibu Erlangga.
Hendak mengaku wijaya = turunan raja Palembang (Criwijaya)
Hendak mengaku Utungga, yakni= turunan raja Sendok dari Jawa-Timur.[4]
                 
Kemungkinan yang butuh pembuktian lebih lanjut, kembali ke kraman Buyan-Sanding Tamblingan (Bulian dekat tamblingan), kalau dikaitkan dengan Thanni Batur-Taruman (Tarunya?)-Nungnung. Nampaknya memang dua kekuasaan yang saling berbatasan, yaitu kawasan Bulian (sanding Tamblingan dan beratan) tiga danau di Bukit Beratan purba. Batas-batas Talimanuk (Blulang?/Bolangan? Di selatan), barat Batumangadeg (Batu Madeg), utara Batumarejan (batu Mejan). Batas timur berbatasan dengan kekuasaan Batur (Nungnung). Sedangkan Batur-Taruman-Nunung, tersimpan di Asahduren, menyebut patatahan (tagtag?, mungkin lebih dekat dengan Penatahan, bedekatan dengan Desa Bulang semuanya daerah barat (Sepang), sedangkan Pujung (Pujung tegalalang dekat Ked? Tapi mengapa tidak cari dekat penatahan, yaitu Pujungan sekarang, raja yang beristri Cina Juga zaman itu).
                Thani Batur-Taruman-Nungnung, batas-batasnya: selatan (utara) Padang Buraha (padang Buliha/ padang Bulia, sekarang ada?), Batas  tenggara  Bukit Pungsu (kulit Mungsu, ada), Taruman (Jika dimaksud Tarunyan, dekat dengan Batur).[5] Bertetangga dengan Songan, dan tradisinya cocok Songan bermusuhan dengan Batur. Sedangkan kata bencah (benyah), nama Pancasari adalah Benyah sebelumnya, yaitu daerah antara Bulian dan Beratan. Kata Sanding, bukanlah nama Desa, tetapi keterangan desa penyanding (tetangga berdampingan) yang juga sangat kokoh kekuasaanya pada saat itu, di bawah Dalem Tamblingan (Gusti Gobleg kemudia)[6]. Nama karaman Bulian-Tamblingan memang bertetangga, dengan sistem relegi yang hampir sama. Gangguan terhadap Bulian nampaknya mengakibatkan larinya penghuni Bulian ke Bali Utara (Desa Bulian dan tajun), yang terkait dengan Prasasti Bulian A dan Bulian B, tahunnya berdekatan, karena Desa Bulian terkait dengan Danaunya, Desa Tajun terkait dengan Pura Tajunnya (ada Bukit Sinunggal), sesuai dengan hancurnya kekuatan Bali mula baik di Tamblingan, Bulian, Beratan, dan juga Songan, Trunyan, Batur dan daerah pendukung Bali Aga lainnya, terkait dengan berkembangnya kekuasaan Baru (bisa Dinasti warmadewa (Sriwijaya), dan kemudian Mojopahit/ menambah kuat pengahncurannya). Sehingga pada abad 12/13 itu terjadi saling menguasai antara dinasti Warmadewa dengan dinasti Tunggawewa (Jatim dan Criwijaya). [7]
               


[1] Catatan Hasil Bacaan Prasasti Sambil Ngayal
[2] Batas desa Sading-bulian tamblingan:  Desa Tali Manuk, Batumadeg (di barat), Batumarejan (Utara). Hadir dalam pertemuan itu Bapa Kaba Ciwajnana, pejabat dari Bhuda: Mpu Anglawung, Mpu Singsih, Mpu Udasina, pemungut pajak Mada tan wring reh, mata-mata curigaraga, caksukarana pura walah arsa, punggung. Pejabat Ciwa: Mpu Hynagpadang bernama Dangacarya agraswara, D. Paradwija, D. Ariwangsa, D. mahendraa. Bhuda lagi: Mpu Ajrasilara, Dang-Uapadyaya  Widdatra, D-U Nagaraka, dan Samgat Mangi.
[3] Prasasti Jayapangus disimpan di Desa Subaya kintamani pada Meru tumpang 7 disebut Pelinggih Ida Batara Asmarajaya, dianggap kelanjutan (bagian terakhir) dari prasasti Rahajaya, yang tersimpan di Tejakula (Asmarajaya=ragajaya, dan kamajaya). Jayakasunu, ragajaya, jayaasmara, mungkin sama dengan Jayapangus?
[4] Perlu ditafsirkan dari adanya Prasasti Blanjong Sanur, yang menyebut raja Singhamandawa, (apakah ini sama dengan raja-raja Sriwijaya?, sehingga konflik raja selanjutnya antara mengakui raja Bali Mula dengan Raja Bali dari kekuasaan raja yang menaklukkannya kemudian).
[5] Kemungkinan penerjemah bingung menyebutkan Kaja dan Kelod, karen ada daerah terbalik pemakaiannya antara Batur dan Bulian Tamblingan. Jadi di timur bukit Mungsu cocok milik Batur, dan di selatan Padangbulia (Buleleng) cocok daerah Batas Batur Utara, dan batu Merejan cocok, juga Talimanuk (Belulang Cocok di selatan), dll. Masih butuh identifikasi spasial dalam penerjemahan itu, terytama penyebutan Utara-Selatan, terkait denga Kaja-Kelod antara daerah Batur (Utara jadi Kaja), dan dawerah Bulian Barat Daya jadi Kaja.
[6] Menurut pandangan saya tidak mungkin ikatan Desa itu terdiri dari daerah yang lepas, Bulian- (sanding di Bangli)- Tamblingan, sanding di sini keterangan sama dengan tetangga.
[7] Butuh dekonstruksi baru sehingga lebih jelas ceritanya, dapat dirunut dari kedatangan Kesariwarmadewa (abad 10), menghancurkan raja Bali turunan Jatim (Sindok) gejolak terjadi, kemudian Kang Ceng Wie (dapat membangun Bhuda lebih baik). Jayapangus memadukan pertentangan itu, sehingga 35 prasasti dikeluarkan untuk ide itu. Ada intrik Hindu-Bhuda sebelunya, Yete mantra, karena sebagai akibat, maka penyebabnya (hinduisme) jauh sudah ada sebelumnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda