ANALISIS KEPEMIMPINAN RAJA LEGENDARIS I GUSTI NGURAH PANJI SAKTI: AKTUALISASI VISI KEPEMINPINANNYA DI ERA GLOBALISASI
ANALISIS
KEPEMIMPINAN RAJA LEGENDARIS
I
GUSTI NGURAH PANJI SAKTI:
AKTUALISASI
VISI KEPEMINPINANNYA DI ERA GLOBALISASI
Oleh
Drs.
I Made Pageh, M.Hum.[1]
1.
Pengantar
Kebanyakan tragedi dalam sejarah umat
manusia tidak begitu saja terjadi oleh perbuatan maksiat kaum penjahat, teroris
dan koruptor, melainkan juga karena kegagalan orang-orang yang bercita-cita
tinggi, berbakat unggul dan berkepribadian baik, namun enggan untuk berbuat
sesuatu. Manusia-manusia inilah yang membiarkan bakat-bakat idealis mereka
tidak produktif, dan kepribadian mereka tetap kering dari jasa bagi sesamanya.
Mereka tidak mampu memimpin diri mereka sendiri bahkan hanya untuk menggapai
apa yang sebenarnya bisa mereka raih. Oleh kesalahan orang-orang semacam inilah
dunia dibiarkan bergerak di bawah pengaruh pemimpin-pemimpin yang yang tidak
bermutu, tidak cakap, bermental bobrok, yang memanfaatkan situasi kacau demi
keuntungan mereka sendiri.
Sebaliknya,
kehancuran dunia dapat disebabkan oleh pemimpin yang jenius, bliliant dalam berpendapat, terbuka,
semangat dalam bekerja, namun haus akan kekuasaan. Mereka mampu berbuat apa
saja demi mewujudkan apa yang mereka kehendaki. Dalam sebuah buku yang berjudul
“The MASS Killers of the Twentieth
Century” (Pembunuh-Pembunuh Massal Abad XX) yang diterjemahkan oleh Tim
Narasi dari buku luar negeri, diceritakanlah kisah-kisah sadis yang disebabkan
oleh penguasa-penguasa psikopat yang gila kekuasaan pada abad ke-20.
Disebutkan: (1) Mao Tze Tong di Cina dengan paham komunisnya menelan korban
14-20 juta nyawa manusia. (2) Hitler, dengan rasisnya menelan sekitar 60 juta
jiwa. (3) Soeharto, dengan develomentalism-nya
memakan korban ribuan orang, ini memimpim mendapat gelar The MASS Killers tersebut. Terlihat jelas bahwa nasib sebuah
negara sangatlah bergantung pada pemimpin negaranya.
Kalau direnungkan ternyata ada
kekuatan yang lebih besar yang dapat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan
suatu bangsa. Kekuatan yang mampu meneruskan cita-cita perjuangan bangsa serta
menjaga kelangsungan sejarah dan budaya bangsanya. Pemimpin daerahlah
jawabannya, terutama generasi mudanya. Di Indonesia, pembicaraan tentang
pemimpin menjadi penting bukan karena pemimpin tidak ada sekolahnya, tetapi
karena latar belakang sosio-kulturalnya, nilai-nilai dasar negara-bangsa, seperti nilai-nailai
kepahlawanan, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Pancasila dan UUD 1945
(Darmansyah, 1986:83).
Pembahasan
mengenai arti dari kepemimpinan sangatlah penting guna memberikan pemahaman
yang lebih mendalam makna dan cara pengembangan kepemimpinan Bali Utara. Secara
etimologis “pemimpin” dan “kepemimpinan” itu berasal dari kata “pimpin”
(Inggris to lead) yang memiliki
pengertian “memelopori berjalan di muka, menuntun, membimbing, mendorong,
mengambil langkah/prakasa pertama, menggerakkan orang lain melalui pengaruh”
dan sebagainya. Kemudian berubah menjadi “pemimpin” (leader) dan “kepemimpinan” (leadership)
(Permadi, 1992:9).
Ada lebih
dari 350 definisi kata “leadership”
dalam literatur akademik dalam bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan betapa
sulitnya mengartikan subyek ini dan kompleksitasnya. Namun definisi yang mampu
memberikan sentuhan secara akal sehat dan praktis disusun oleh seorang dokter
medis Lord Moran merumuskan arti leadership
sebagai kemampuan membuat kerangka
rencana yang akan membawa ke tangga sukses dan kemampuan untuk mengajak orang
lain melaksanakan-nya dalam segala kesulitan yang dihadapi bahkan berhadapan
dengan kematian sekalipun[2]
(lihat Darmansyah, 1986:94).
Pemimpin Panji Sakti menjadi sangat strategis untuk
dilihat dewasa ini untuk dapat evaluasi tindakan historisnya, dan juga untuk
dapat diteladani oleh pemimpim yang hidup di era global ini (Buleleng).
Terutama jika dikaji secara teori kepemimpinan mutakhir yang dikembangkan oleh
para teoretisi kepemimpinan dewasa ini. Terutama terkait dengan masala-masalah:
(1) Bagaimana kiprah Panji Sakti dalam membangun kerajaan Buleleng di Den
Bukit? (2) Mengapa Panji Sakti melaksanakan penyerangan terhadap Blambangan
(Jawa Timur), apakah karena beliau haus kekuasaan? (3) Bagaimanakah visi kepemimpinan I Gusti Ngurah
Panji Sakti? (4) Apa yang dapat diteladani dari tokoh pemimpin legendaris (Bhatara Sinuhun) I Gusti Ngurah Panji Sakti dewasa ini?
Inilah
beberapa persoalan yang akan dibahas dalam seminar yang diselenggarakan tanggal
11 November 2010, oleh lembaga Perguruan Tinggi Panji Sakti yang menggunakan
nama pahlawan besar Buleleng, terutama
sebagai funding father Buleleng yang
kita cintai bersama.
Dalam
pembahasan setiap persoalan yang dirumuskan, teori akan dipaparkan sebagai
catatan bawah (fote notes), untuk
memberikan pemahaman faktual yang membutuhkan penjelasan secara konseptual atau
teoretis, sehingga secara akademik dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian sifat emosional berlebihan
dan emosi membabi buta (subjektivitas) tidak menggelapkan mata kita sebagai
orang dalam (pewaris) kerajaan Panji Sakti, lebih-lebih trah langsungnya. Kita
hidup zaman kerajaan, sehingga kita tidak mau membuat “babad baru”, yaitu babad
dilabeli sejarah. Dan juga kita tidak mau negara ini kembali menjadi negara
tradisional, di bawah sifat kepemimpinan otoritarianisme, apalagi
dikdatorianisme. Demokrasi, dan kepemimpinan rakyat adalah pilihan rasional negara-negara
bangsa, yang telah menjadi kesepakatan seluruh dunia, apapun label
pengiringnya.[3]
2. Kiprah I Gusti
Ngurah Panji Sakti dalam Membangun Kerajaan Buleleng di Den Bukit.
Tokoh Panji Sakti merupakan anak yang lahir dari Luh
Pasek Gobleg dengan raja Kelungkung Dalem Sagening, secara biologis beliau
adalah campuran trah Gusti Agung Pasek Gobleg dengan trah Dalem Sagening.[4]
Panji Sakti semasih dalam kandungan dihadiahkan pada Rakyan Patih Jelantik (ayah
Kriyan Jelantik Bogol, disebut juga I Gusti Jelantik Tenganan), namun karena
telah ada anak yang lahir dari perkawainannya Patih Jelantik, maka Ki Barak
Panji setelah dewasa dikembalikan sebagai abdi dalem pada kerajaan Gelgel,
sehingga dia dapat bermain, bergaul, dan belajar menjadi bagian kehidupan kerajaan
pada saat itu, bahkan termasuk anak raja dari putri penawing sangat cerdas dan mengkhawatirkan putra mahkota kerajaan
Gelgel karena kecerdasannya.[5]
Panji Sakti dipulangkan ke Den Bukit, diiringi oleh 40
pengawal, tercatat nama tokoh punakawan (pengiring setia) bernama Kedosot dan
Kedumpiung. Banyak cerita motologis yang dibuat dalam Babad Buleleng, karena
kita tahun babad itu ditulis kemudian oleh purohito kerajaan, terutama dalam
legitimasi daerah yang dicita-citakan oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti saat
babad itu ditulis. Terutama legitimasi sebuah pemimpin zaman kepemimpinan
tradisional, sangat dibutuhkan sebuah cerita mitologis yang menggambarkan bahwa
Panji Sakti bukanlah manusia biasa atau sembarangan, bahkan manusia setengah
dewa dan patut dipuja dan didewakan di dunia ini (Dewa Nyalantara).[6]
Perlu
disampaikan pada pembaca bahwa tokoh sejarah adalah tokoh manusia biasa, tokoh
punya rasa dan punya rasio, dan terbatas seperti pemimpin dewasa ini. Dengan
demikian mitos Keris ditancapkan di tanah mengeluarkan air Yeh Ketupat, terbang
ke langit (disongsong oleh Panji Landung),
Keris Ki Baru Semang dapat bicara, bukanlah kejadian sejarah, dan itu adalah
mitologis. Karena sejarah bukanlah kepercayaan maka itu bukan as an actuality but that is as a mythologist.[7]
Perjalanan
Panji Sakti ke Den Bukit dijelaskan
dalam babad Buleleng “dari Gelgel-singgah di pemukiamnnya Rakyan Jelantik
(Jerantik dalam Babad) bersembahyang, layaknya seorang akan melakukan
perjalanan jauh, lalu berbelok ke barat daerah Samparangan (sih di Kelungkung),
kemudian ke Kawisunya (Menguwi?),
lalu masuk ke daerah Bandanegara
(Tabanan), terus ke utara menuju Danau Beratan, lalu sampai di Watusaga (Batumejan), istirahat di Banyu Anyaman (Yeh Ketupat) mungkin itu
adalah semacam bulakan penduduk lokal
di sana, untuk menampung rembesan air dari simpanan pohon karena daerah itu
hutan lebat.[8]
Terus ke barat di gigir danau Buyan-Tamblingan. Ketemu tokoh mitologis bernama
Panji landung. Terjadi legitimasi perluasan kekuasaan, agar didukung rakyatnya
menunjuk daerah di barat Gunung Banger (Blambangan), di Utara Laut, di Timur
Karangasem. Juga legitimasi untuk melakukan pembunuhan secara tidak setria
(dengan jalan sembunyi) menyelinap di balik pohon, dengan menikam Pungakan
Gendis, dengan mengucapkan “Tar Semang” sering juga disebut Ki Baru Semang,
sehingga Pungakan Gendis mati kaku dengan tidak ada orang yang tahu.
Meninggalkan dua anak satu perempuan, dan laki-laki, kekuasaan diwakili oleh
Bendesa Gendis. Kemudian anak perempuannya yang tertua ini dinikahinya, lalu
terjadi pengambil-alihan kekuasaan oleh Panji Sakti dari Bendesa Gendis, nota
bena pada keturunannya Gendis yang diwakilinya.
Dibangunlah kerajaannya di Panji pada tahun nora –menga-sagara-bumi (1490 caka, (+78) sama dengan tahun 1568
Masehi. Beliau diangkat menjadi raja Panji tahun 1565. Perkawinannya dengan
Dewa Ayu Juruh nampaknya dilakukan setelah mengambil istri lain sebelumnya
(Permaisuri) yang melahirkan dua anak laki dan perempuan, yang laki inilah yang
disebutkan di atas bernama I Gusti Ngurah Danurestha. Sedangkan perkawinannya
dengan selir Dewa Ayu Juruh anak Ngakan Gendis adalah: (1) Ki Gusti Ngurah
Panji Gede, (2) Ki Gusti Ngurah Made, dan Ki Gusti Ngurah Panji Wala.[9]
Ketidakenakan
ini nampaknya mengakibatkan beliau memindahkan pusat kekuasaannya dari Puri di
Panji ke Puri Sukasada, tahun 1584 Masehi. Panji Sakti menjadi sangat terkenal
kehebatannya setelah dapat membebaskan tenggelamnya kapal Cina milik San Fo
Kong (Ki Dompu Awang), kira-kira seorang saudagar cina yang berdomisili di
Dompu Bima. Ini adalah wujud tawan karang dalam bentuk lain (dihaluskan),
sehingga kekayaannya itulah dapat dipergunakan untuk memindahkan Puri dari
Panji ke Sukasada itu. Demikian juga digunakan untuk membuat pasukan elit
Taruna Goak dipimpin oleh Ki Tamblang (berasal dari Desa Tamblang?) yang sangat
kuat dan berpengaruh. Mengapa dapat diduga Ki Tamblang adalah berasal dari Desa
Tamblang sekarang, dalam mitologi masyarakat Desa Bulian (asal Danau Bulian)
dan Menyali (Menyali sama dengan
pemberani), karena pusat kerajaan dibuat mendekat dengan basisnya di Desa Kuno
yang memang terkanal memiliki keistimewaan dalam sejarahnya.[10]
Menyali, Bulian, Depaha, Tajun adalah ikatan Catur Desa (Banwa) yang memiliki
ikatan kuat dengan Bukit Sinunggal sebagai pusatnya.[11]
Keistimewaan Desa Menyali sehingga dia dihadiahi Gong Sekar Gadung dan
Kemongnya yang sangat terkenal dalam “pergongan” di Buleleng. Sedangkan Bulian
dihadiahi Tatakan Kemongnya saja, ini
sebenarnya mitologis jika ditilik kemong yang ada di Desa Bulian, bukanlah Tatakan Kemong seperti dimitoskan tetapi
tanda-tanda benda bersifat “kebudaan”.
Dengan
demikian jika apa yang ditafsirkan itu benar maka wajarlah Panji Sakti dapat
melakukan pertolongan pada kapal yang kandas di dekat Pura Penimbangan (mungkin
disitu terjadi pembicaraan antara Beliau dengan pemilik Kapal yang kandas).
Terutama bantuan dari masyarakat Panji, Tamblang, Menyali, Bebetin, Bengkala,
Bilatua, Bulian, serta desa-desa lainnya sebagai pendukung kekuasaan Tokoh Panji
Sakti itu. Seperti Sepang, Bantiran, Kalapaksa, Patemon, Ularan; Gobleg,
Gesing, Munduk, Umejero; Desa Cempaga, Pedawa, Tigawasa, dan Sidatapa, dll.
Mengapa desa-desa ini dijadikan basis karena desa-desa ini sangat kental dekat
dengan Gobleg sebagai alat Panji Sakti untuk mencari dukungan di desa-desa kuno
sebagai trah Desa Bali Age Gobleh (Pasek Gobleg). Yang terkenal dengan keris
pusaka dibikin oleh Pande Bang Tamblingan, yang kemudian disebut Pande
Tamblingan yang hilang jejaknya.
Orang-orang
sakti Desa Tua inilah yang menjadi inti pasukan (pasukan taruna Goak) Panji
sakti, sehingga benda-benda alam (Agama Melayu Austronesia/ Animisme dan
Dinamisme) dijadikan kekhasan dalam berperang menaklukkan musuh-musuhnya. Panji
Sakti karena kecerdasannya sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya baik di Bali
maupun di luar Bali.
Sejak keberhasilannya menolong kapal cina itu,
Ki Barak Panji namanya mulai termasyur, yang lebih dikenal dengan nama Ki Gusti
Ngurah Panji Sakti. Setelah menguasai Blambangan, diikuti gugurnya anak
kesayangannya yuwa raja Ki Gusti Ngurah Nyoman Danuresta. Beliau sangat terpukul dan bersedih atas
gugurnya anak kesayangannya itu, beliau selalu mengasingkan diri, dan
merenungkan kematian anaknya.
Dari Sukasada, beliau sehari-harinya
mengasingkan diri ke daerah Utara Sukasada, di sebelah Timur Laut “Pura Ibu (yang) Leleng”, di situ beliau menenangkan diri dalam
sebuah “kubu/pondok indah/villa kecil” yang kemudian pengikutnya diperintahkan
membangun istana baru, dikenal dengan nama Buleleng. Nama Buleleng secara
mitologis (folklor) dan dihubungkan secara kontekstual dengan kenyataan yang
ada, dapat dilogikakan dan masuk akal. Buleleng diambil dari Pura Ibu yang leleng (hampir jatuh), yaitu Pura
Ulun Carik yang umum ditemukan di pematang sawah di Bali (makna diambil
dari Folklor, Pageh, 2009), jaraknya sekitar 2 km di sebelah utara istana
Sukasada, yaitu di daerah alang-alang
bernama Tegal Belalak, tempat orang menanam Jagung dan palawija lainnya,
yang kemudian nama ibu leleng ini, dijadikan
nama Buleleng ( I+bu+leleng, suku
kata “I” tidak
disebutkan dalam sebutan cepat/disingkat). Jadi menurut pandangan saya, bukan dari jagung “gembal”.[12] Analisis sejarah ini menggunakan
folklor (mantifact) sebagai bahan
rekonstruksinya, dan bersifat konteketual dalam membangun faktanya.
Penduduk lokal bercerita bahwa di hulun carik tempat menanam jagung (jagung
biasa yang subur, bukan jagung gembal, karena
tidak ada bukti ditemukan) dan padi, serta tanaman lainnya di
sawah itu, dijadikan petunjuk (pinget)
para pengikutnya untuk menemui tempat Sinuhun
Panji Sakti mengasingkan diri. Pertanyaan pengikut pada orang istana
Sukasada, diceritakan sebagai berikut:
Dimana
Tuanku Raja I Gusti Ngurah Panji Sakti tinggal?, jawabannya, ditunjukkan jalan
ke sebelah Utara, “silahkan sisir jalan ke utara sampai bertemu pematang sawah
berisi sebuah Pura Ibu Leleng (leleng karena digerus air pematang (pemetengan) sawah, kemudian sedikut ke
timur laut, engkau akan menemukan Bagindamu di sana”. Di tempat ini kemudian
dibangun Puri Kanginan, di daerah Pasar Buleleng sekarang. Sedangkan di pura ulun carik berisi ‘Ibu Leleng itu”, dibangun dan dikembangkan menjadi tempat
persembahyangan kerajaan yang sekarang disebut Pura Bale Agung, tepat di hulu
Puri Buleleng. Sejak itu konon bentuk bangunan pelinggih tugu (Jero Gede) di Buleleng memiliki sayap,
diartikan dengan simbolik agar saudara empatnya I Gusti Ngurah Panji Sakti
dapat terbang ke Jawa Timur menemui rokh anaknya, model bangunan tugu Buleleng
berisi tambahan sayap yang tidak ditemukan di daerah Bali lainnya.
Perjalanan sejarahnya kemudian, kita ketahui
bahwa Istana Buleleng dibangun lengkap dengan permandian, pasar, lapangan, dan
perlengkapan istana lainnya menyerupai sistem macapat (ada perempatan agung)
sebagaimana layaknya istana raja-raja Hindu yang ada di daerah lain. Kota
Singaraja kelahirannya dikatakan dibangun tahun 1604 (?), ditandai dengan
pembangunan Monumen Patung Singa (catatan
sejarah dibangunnya Singa Ambara Raja,
tahun 1950-an)[13], yang menjadi lambang
Kota Singaraja.[14] Kekuasaannya meluas
sampai ke daerah Belambangan di Jawa Timur. Cerita pendudukan daerah
Belambangan, erat kaitannya dengan kisah Tari
Goak-goakan. Dalam tari itu “dikisahkan sebelum menyerang Belambangan
diawali dengan Tari Goak-goakan ini”, kemudian pasukan elitnya ini diberi nama Taruna Goak. Menurut cerita rakyat
pasukan elit itu merupakan orang-orang sakti dari seluruh desa tua di Buleleng,
seperti Pasek Menyali, Pasek Bulian, Pasek Bebetin, Pasek Tajum, Pasek Depaha,
Pasek Bale Agung, Pasek Gusung Magelung, Pasek Mayong dan Pasek Tartar, Pasek
Kayu Selem, dll. Pasek diartikan Pacek/paku/hamengku daerah (Bhuwono di Jawa).
Ini jadi pasukan elit memiliki Jimat
dan kesaktian (ilmu gaib) tersendiri.
Khusus Pasek Menyali dan Pasek Bulian merupakan dua pasukan punya kesaktian
(ilmu gaib) berfungsi sama, yaitu dapat ngurip
atau menghidupkan orang yang sudah mati (bersifat mitologis), dijelaskan
dengan ilmu Manik Sakecap dan Jimat
Juwuk Linglang (nampaknya pengembangan dan penguatan ideologi sakala
dan niskala). Kalau dikaji secara
ideologis betapa kuatnya ideologis pasukan Panji Sakti dalam melakukan
peperangan, di bawah komando pasukan Taruna Goak itu.
Istana Buleleng dibangun lengkap dengan
permandian, pasar, lapangan, dan perlengkapan istana lainnya menyerupai sistem macapat sebagaimana layaknya Istana
Raja-raja Hindu yang ada di daerah lain. Kota Singaraja dibangun tahun 1604
ditandai dengan pembangunan Monumen Patung Singa, yang menjadi lambang Kota
Singaraja.[15] Pendirian kerajaan
Buleleng 30 Maret tahun 1604 nampaknya membutuhkan kajian lebih jauh, karena
jika tahun itu pendirian Buleleng, maka penyerangan Blambangan I tahun1590,
penyerangan II tahun 1598, dan ke III tahun 1600. Dan membangun istana tahun
1604, jika benar mengapa penyerangan itu disebut penyerangan Buleleng,
seharusnya disebut Den Bukit, dan serangan itu dilakukan ketika kedudukan
kerajaan Panji Sakti ada di Puri Sukasada. Panji Sakti jadi raja Panji umur 20
tahun, di tahun 1565. Maka tahun 1604 beliau telah berumur 59 tahun. Tetapi
pendudukannya terhadap Blambangan I disebutkan tahun 1691 Masehi.[16]
3. Visi Kepemimpinan I Gusti Panji Sakti
(Perluasan Kekuasaan Penyerangan Bangli dan Blambangan)
Pada
tahun 1630 terjadilah pertempuran hebat antara Bali melawan Makasar di Lombok,
tentara Bali dipimpin oleh I Gusti Agung Widya, Bali mendapatkan kemenangan,
oleh karena itu Lombok dan Bima menjadi kekuasaan Bali. Perang dengan
Blambangan ketika Dalem Juru diminta untuk mempersembahkan anaknya (dilamar oleh Dalem Sagening tidak diindahkan
lamarannya), maka karena lamaran ditolak maka dikirimlah Patih Ularan untuk
menyerang Balmbangan, sehingga kepala raja Blambangan bernama Dalem Juru itu
dapat dipersembahkan pada Raja Dalem Sagening.[17]
Tahun 1640 Lombok direbut kembali oleh
Kerajaan Makasar, pada saat itu Belambangan juga melepaskan diri dari Pasuruan,
tidak mau tunduk pada kerajaan Bali di bawah pemerintahan Dalem Segening Bali. [18]
Namun dalam catatan sejarah, setelah penyerangan Belambangan, kerajaan di bawah
pemerintahan Dalem Sagening terus bertambah lemah, namun Maha Patihnya sangat
kuat dan setia dalam mendampinginya. Diutuslah patih setianya bernama Rakyan
Jelantik dikirim menyerang Blambangan dengan 20.000 tentaranya. Pasuruan sangat
kuat karena mendapat bantuan dari Mataran ketika itu, maka Rakyan Jelantik
gugur, dia meninggalkan anak laki-laki satu-satunya bernama Jelantik Bogol (saudara paperasan Panji Sakti).[19]
Pada tahun ini Panji Sakti belum menjadi kerajaan merdeka, karena masih dibawah
kekuasaan Kelungkung (Dalem Sagening).
Tercatat penyerangannya pada Blambangan dan
dapat mengalahkannya tahun 1691 dan Panji menguasai daerah perdagangan pantai
di Pantai Utara Bali dari Barat sampai ke timur/ Karangasem. Kekuasaan Bangli
dari Bukti ke Timur sampai daerah perbatasan dengan Karangasem diambil alih
untuk menjadikan kerajaannya menguasai daerah Pantai Utara Bali, mencontoh
kerajaan Bali Age pada zaman pemerintahan Jayapangus terkenal dengan Istri
Cinanya Kang Ceng We anak Syahbandar Cina kaya yang punya pusat perdagangan
keramik di Desa Pinggan dan pusat perdagangannya di Pantai di Pegonjongan.[20]
Setelah menguasai daerh pantai utara Bali, milik kerajaan Bangli perluasan
daerahnya dilanjutkan ke daerah Blambangan.[21]
Kekuasaannya diarahkan sampai ke daerah Belambangan di Jawa
Timur, sebenarnya visi utamanya adalah daerah segi tiga emas yaitu pelabuhan
yang digunakan oleh Kapal-kapal Madura, Jawa, dan Bali yaitu Tanjung Perak di
Jatim. Cerita pendudukan daerah Belambangan, dikaitkan dengan kisah Tari Goak-goakan. Dikisahkan sebelum
menyerang Belambangan diawali dengan Tari Goak-goakan ini, semuanya pasukannya
dibikin setuju untuk bersama-sama menyerang Belambangan, pasukan elit ini
kemudian diberinama Taruna Goak.
Publikasi, penggalangan dukungan rakyat dilakukan secara ilegan dan cerdas oleh
Panji Sakti.
Perjalanan
penyerangan melalui Gilimanuk-segara rupek-batu sondol-berlabuh di Candi Gading
(Tirtharum)- Banyuwangi. Penyerangan langsung di bawah kepemimpinan I Gusti
Ngurah Panji Sakti tahun 1697 (1669 Nasehi (?) Simpen Ab 1989). Raja Blambangan Pangeran Mas Tawang Alun
gugur ditikam oleh Panji Sakti. Dua putranya laki-laki bernama Ki Dewa Mas
Sedah dan Ki Dewa Mas Pahit menyingkir ke Solo, demikian versi Babad Buleleng
(Simpen, 1989).[22]
Sedangkan
dalam karya sejarawan Sujana (2001) menyebutkan, serangan terhadap Blambangan
dilakukan oleh laskar Buleleng pertama pada tahun 1697. Pada waktu itu terjadi
perebutan tahta di kerajaan Blambangan antara Putra Tawangalun II bernama
Pangeran Macanapura melawan Mas Pati I. Mas Pati I berhasil menang dan
memindahkan pusat kerajaannya ke Kuta Lateng (25 Km dari Banyuwangi). Ketika
itulah saat daerah nagari tidak lagi
menjadi ibu kota dan tidak mendapat perhatian dari Mas Pati I maka dengan mudah
laskar Buleleng di bawah pimpinan I Gusti Made Batan dan Ki Tamblang Sampun,
mereka dengan mudah menawan sekitar 800 orang Blambangan dari pantai timur
Banyuwangi dan membawanya ke Buleleng. Raja Buleleng dan Menguwi berebut untuk
dapat mengusai Blambangan, Blambangan memilih bersahabat dengan Menguwi karena
tahun 1697 Blambangan telah diserang oleh Laskar Buleleng. Perebutan itu mereda
setelah VOC ikut menengahi dalam perebutan itu, sehingga untuk sementara waktu
Blambangan aman. Namun kerajaan Mas Pati I sudah terlampau lemah dari militer
karena sisa tenaganya terakhir dipergunakan untuk memindahkan kerajaan ke
daerah pedalaman. [23]
Orang Muslim jarahan Panji Sakti di bawah pimpinan I Gusti Made Batan tahun
1697, ditempatkan di Pegatepan di sebelah tenggara kerajaan Panji Sakti, kini
dikenal dengan nama Pegayaman.[24]
Dalam Babad Buleleng disebutkan pendudukan pertama itu terjadi tahun 1691 (5
tahun lebih awal). Perang Baambangan terjadi tiga kali, disebutkan beliau
selalu ikut dalam peperangan itu.
Masyarakat
meyakini Babad Buleleng sebagai kejadian historis padahal banyak yang ahistoris
perlu dikritisi dengan baik. Jadi kelahiran Buleleng dengan Ibu Kotanya
Singaraja kalau dikaitkan dengan Panji Sakti ketuaan pemilihan angka tahun
(jika ditambah 78 tahun lagi), mungkin tahun saka dikira tahun masehi, maka
menjadi lahir 30 Maret 1604 saka, menjadi 30 Maret 1682 Masehi, akan menjadi
masuk akal.
Tahun
1750 Blambangan sudah jatuh ke tangan Menguwi, saudaranya Ki Gusti Ngurah Panji
Gede bernama Ki Gusti Ayu Panji diambil istri oleh Raja Menguwi, Blambangan dan
Negara selanjutnya diperintah oleh raja keturunan mengawi trah Tekmung bergelar
Cokorde Sakti Blambangan.
Dari
uraian di atas dapat dipahami (mengerti) bahwa karya babad terkadang memang
tidak masuk akal, dan kadang-kadang tidak manusiawi (lebih bersifat surgawi),
sehingga perlu dikaji secara kritis menggunakan ilmu-ilmu sosial (kemanusiaan).
Karena banyak kejadian, tahun, dan peristiwa mengacu pada kebesaran seorang
tokoh saja, tanpa mempertimbangkan manusiawi atau bukan. Panji Sakti sebagai
tokoh legendaris bukanlah tokoh haus kekuasaan, tetapi merupakan pemimpin yang
memiliki wawasan jauh ke depan menembus era global ini.
Wawasan
sangat cemerlang, dalam dalam
memperkuat pasukannya, dia membawa orang-orang Islam Belambangan ke Bali dijadikan pasukan
khusus kerajaan, ditempatkan pada sebuah enclave
di sebelah timur laut kerajaan Buleleng, suatu daerah bernama desa
Pegayaman. Pada zamannya ada dua orang Belanda yang membelot kepadanya, dua
orang ini banyak mengajarkan teknik dan taktik perang modern. Di pihak Belanda
dua orang pembelot ini merupakan pengalaman yang paling buruk dalam perjalanan
sejarah Belanda di Indonesia.[25]
Karena pada saat itu, Belanda memandang Panji Sakti merupakan musuh yang sangat
berbahaya dari luar Jawa. Termasuk kerajaan Solo memandang bahaya pasukan Panji
Sakti, sehingga raja Susuhan (Sunan)
Solo membuat pendekatan melalui penghadiahan seekor Gajah pada Panji Sakti,
sebagai tanda persahabatan.[26]
Dalam
pembangunan di bidang eknomi Panji Sakti ingin menguasai daerah segitiga emas,
yaitu: Bali Barat-Surabaya-Madura,
merupakan daerah pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial saat itu. Ini
harus dipandang sebagai usaha untuk mewujudkan cita-cita, visi,
gagasan, dan gambaran masa depan (tokoh Mitologis Panji Landung), untuk
mengantarkan kerajaannya memiliki lebensrum
i(ruang hidup) secara ekonomis, terutama menguasai daerah perdagangan
pantai Utara Bali (menguasai daerah Bangli), dan daerah segitiga emas di antara
Jawa-Bali-dan Madura (tanjung Perak Surabaya), sehingga Blambangan harus
dikuasainya, untuk mewujudkan visinya, dengan misi menguasai Belambangan.[27]
Pada
abad ke-17, setelah raja Buleleng yang beristana di Sukasada yaitu Ki Gusti
Panji Sakti wafat, maka yang menggantikannya adalah puteranya bernama I Gusti
Ngurah Panji Gede dan diwakili oleh adiknya, bernama I Gusti Ngurah Panji Made,
keduanya bertempat tinggal di Puri Sukasada. Setelah wafatnya kedua tokoh ini,
kerajaan diperintah oleh putera sulung I Gusti Ngurah Panji Made, yang bernama
I Gusti Ngurah Panji Bali, juga tinggal di Sukasada.[28]
Beliau berputera dua orang. Setelah I Gusti Panji Bali wafat kerajaan dibagi
dua, yaitu sebagian diperintah oleh I Gusti Ngurah Panji yang berkedudukan di
Sukasada, dan sebagiannya lagi diperintah oleh I Gusti Ngurah Jelantik yang
bertempat tinggal di Singaraja (di Puri Buleleng).[29]
Beberapa tahun kemudian kedua putera pewaris kerajaan ini
berselisih paham, dan berakibat munculnya perang saudara, pada tahun 1804.
Dalam perang saudara itu, I Gusti Ngurah Jelantik (dari Puri Buleleng) meminta
bantuan kepada raja Karangasem ketika itu bernama I Gusti Ngurah Gede
Karangasem, dengan perjanjian kalau mereka menang dalam perang saudara itu,
setiap tahun dia akan menyerahkan setengah hasil pajaknya pada raja Karangasem,
dan pemerintahan akan dipegang berdua (kondonium).[30]
Akhirnya dalam perang saudara itu raja Sukasada yang bernama I Gusti Ngurah
Panji dapat dikalahkan. Sehingga sejak itu, raja dari Karangasem ikut memegang
tampuk pemerintahan di Puri Buleleng dengan bertempat tinggal di Puri Buleleng.
Setelah I Gusti Ngurah Jelantik wafat, pemerintahan
dipegang sendiri oleh I Gusti Gede Karangasem, raja dari Karangasem. I Gusti
Bagus Jelantik Banjar, yaitu putera sulung I Gusti Ngurah Jelantik (almarhum)
hanya diangkat menjadi patih di
Singaraja, ditempatkan di Puri Bangkang. Tak berapa lama setelah I Gusti Gede
Karangasem menjadi Raja di Buleleng, dipecat oleh raja Karangasem, digantikan
oleh I Gusti Ngurah Agung, dari Karangasem juga. Raja pengganti ini terbunuh di
Jembrana karena tidak disukai oleh rakyatnya, lalu beliau digantikan oleh I
Gusti Agung Pahang dari Karangasem.
Sehingga dinasti karangasem mulai berkuasa di Buleleng, awal abad ke-19 itu.
Penguasa Buleleng selanjutnya baik dari dinasti
karangasem maupun keturunan langsung beliau lebih banyak melakukan konsolidasi
ke dalam, dan perang perebutan tahta dan tidak bertambah kuat apalagi
mengembangkan sayap ke luar Bali, di Bali saja terus melorot, dan juga zaman
kemerdekaan tambah melorot lagi dari kota keresidenan sampai ke kota kabupaten,
dari daerah sampai Jatim hanya di Buleleng saja. Mungkin ke depan jika tidak
mengubah visi Buleleng akan menjadi kota kecamatan (Desa Adat Buleleng saja),
jika aktivitas ekonomi kota
berpindah ke Bedugul (basis
pariwisata), atau ke gerokgak (basis IT dan atau Transportasi Udara).
4. Keteladanan
Kepemimpinan Tokoh Legendaris (Bhatara
Sinuhun) I Gusti Ngurah Panji Sakti
di Era Kesejagatan
Sebelumnya
marilah kita melihat apa saja persoalan Buleleng yang dihadapi Buleleng dilihat
dari kaca mata sejarah. Dan Bagaimana kira-kira kalau dilihat dari perspektif
Kepeminpinan Kang Sinuhun Panji
Sakti.
4.1 Analisis Masalah Bleleng (dalam Perspektif Historis)
Secara Struktural
masyarakat Buleleng yang memiliki kondisi rawan munculnya konflik di era
reformasi dan globalisasi ini, dapat berwujud aneka bentuk.
Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk
kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu
dengan yang lain. Misalnya orang Arab mengembangkan subkultur tersendiri, Cina
tersendiri, Bali tersendiri, Jawa tersendiri, Eropa dan sebagainya secara
terpisah-pisah (pahami masyarakat sekitar Pelabuhan Buleleng). Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi yang bersifat nonkomplementer. Struktursosial
terbagi-bagi yang tidak saling melengkapi, bahkan terkadang struktur sosial
yang disepakati bersama (mewujudkan masyarakat yang berpancasila) dipungkiri,
dengan berbagai alasan. Ini sangat berbahaya terhadap sistem sosial yang
disepakati bersama. Terutama jika golongan mayoritas mengkoptasi golongan
minoritas (pahami Bali Mayoritas yang minoritas di Indonesia).
Kurang mengembangkan konsensus di antara para
anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar dan terkadang ditumbuhkan
dalam nuansa persaingan, sehingga konflik laten menjadi bom waktu (pahami
konsep Nyama Islam dan Nyama Bali,
berubah menjadi Jelema Islam dan Jelema
Bali, Jelema Dauh Tukad, dadngin Tukad, dll). Datangnya ideologi
kemasyarakatan baru yang mengkoyak kekeluargaan yang lama dirintis di Bali oleh
Panji Sakti.
Secara relatif sering mengalami
konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan yang lainnya, baik terbuka
maupun laten. Sebagai contoh konflik laten antara masyarakat enclave Islam dan enclave Hindu misalnya (kasus Pegayaman-Silangjana- Kampung Baru-
Tegal Mawar- dll) menjadi berbau Agama dan Etnis.
Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas
paksaan (coercion) dan saling di
dalam bidang ekonomi, sedangkan dalam
kebudayaan diproteksi oleh Negara. Ada dominasi politik oleh suatu
kelompok atas kelompok yang lain, misalnya menjelang Pilkada, dan Pemilu rakyat
sangat mudah diadu-domba demi kepentingan sesaat.
Pandangan penganut
strukturalisme fungsional mengatakan setidaknya ada dua faktor yang dapat
mengitegrasikan suatu sistem sosial antara lain: (1) konsensus nasional; (2)
menjadi anggota lebih dari satu kesatuan sosial (cross-cutting affiliations), karena kemungkinan konflik yang timbul
dapat diantisifasi oleh adanya coss-cutting
loyalities, karena satu anggota masyarakat menjadi lebih dari satu anggota
kesatuan sosial dalam sistem sosial tersebut.
Dalam hal ini ada dua tingkatan konflik yang
terjadi yaitu (1) konflik yang bersifat idiologis, dan (2) konflik dalam
tingkatan politis. Yang pertama, pada tingkat bersifat ideologis, konflik
tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut serta
menjadi ideologi dari berbagai-bagai kesatuan sosial. Dan kedua, yang bersifat
politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian
setatus, kekuasaan, dan sumber-sumber daya yang tersedia, seperti sumber daya
fisik, sosial, ekonomi dan politik, dan lain-lain, yang adanya terbatas di
masyarakat.
Zaman kolonial Belanda memanfaatkan dengan
menciptakan segregasi sosial dan konflik ke dalam melalui kaplingisasi
perkampungan khusus yang berbau etnis di Bali Utara dan daerah sentral ekonomi
lainnya. Contoh Kampung Arab, Kampung Islam, Kampung Bali, Kampung Jawa, Bugis
dan sebagainya di sekitar pusat ekonomi ketika itu adalah Pabean Buleleng.
Sudah tentu dia juga memasukkan sisten kekuasaannya agar sistem sosial dapat
berfungsi. Dalam hal inilah kepastian hukum, atau hukum yang tidak memihak
sangat dibutuhkan (lihat Pageh, 1998).
Suatu integrasi
sistem sosial yang tangguh akan terwujud
apabila (1) sebagian besar dari anggota masyarakat bersepakat tentang
batas-batas teritorial suatu kelompok sosial dimana mereka merasa menjadi
anggota warganya. Misalnya batas yang jelas warga yang mana masuk adat atau
desa adat mana; (2) apabila sebagian besar anggota masyarakat sepakat mengenai
struktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik yang
berlaku bagi wilayah tersebut, sehingga apa yang dibuat menjadi legitimit untuk
dilaksanakan dalam mewujudkan kontrol, sanksi pelanggaran. Sedangkan tradisi
Buleleng hubungan nyama selam dengan nyama Bali Hindu telah secara tradisi
dilaksanakan sejak zaman kerajaan (Kampung Buleleng dan Kampung Pegatepan,
Tegallinggah), yand dirusak oleh pengembang agama kemudian. Sehingga integrasi tidak
dapat dipertahankan. Atau mereka tidak belajar dari sejarah sehingga tidak tahu,
sehingga dia mengembangkan idiologis dan trend politik yang mengakibatkan
terjadinya disintegrasi masyarakat Buleleng. Konflik ideologis dan politik yang
memang telah kita ketahui ada jangan sampai dimanfaatkan oleh pihak-pihak
berkepentingan. Terutama pada saat krisis, politik dagang sapi dapat masuk,
sehingga yang Buleleng ludes sendiri (kasus Buleleng Kelabu).
4.2 Potensi Bali Utara Untuk Dikembangkan
(dalam Perspektif Historis)
Pembangunan Bali Utara (Buleleng) dapat memanfaatkan
pemikiran Panji Sakti dalam pembangunannya. Potensi Bali Utara di era global
dapat dikembangkan, jika otonomi daerah sampai ke tingkat dua betul-betul
dilaksanakan. Secara historis saya akan menunjukkan potensi dasar/keistimewaan
yang dimiliki oleh Buleleng, yang berbeda dengan daerah Bali lainnya. Dalam
kesempatan yang sangat istimewa ini saya sampaikan kepada peserta Diskusi
Ilmiah saat ini, saya sampaikan agar dalam membangun Buleleng, dapat menyikapi
pembangunan di masa datang ikut memikirkan strategi dan perencanaan serta
kebijakan untuk membangunkan kota Singara raja dari tidurnya, sehingga “singa
tidur” berubah menjadi “Singaraja” yang betul-betul Rajanya Singa, bukan
penyakit Raja Singa (spilis).
Gusti Ngurah Panji Sakti Raja Buleleng telah berpikir untuk
mengantarkan Singaraja menjadi raja ekonomi di kawasan timur, beliau telah
berusahamewujudkan visinya dengan misi penguasaan Pantai Utara Bali dan
Blambangan (Jatim) untuk menguasai daerah segitiga emas yang ada di hadapannya,
yaitu pelabuhan Tanjung Perak dan sekitarnya, sehingga Blambangan dikuasai.
Dengan demikian Panji Sakti bukan saja seorang politikus yang ulung, tetapi
juga sebagai seorang ekonom yang luar biasa, karena beliau memiliki ciuman
ekonomis yang sangat tajam. Sayang, umur manusia memang tidak panjang tetapi
idenya sangat relevan hingga kini, walaupun telah digagas beberapa puluh abad
yang lalu. Dan juga sangat sayang pemimpin selanjutnya tidak ada yang memiliki
kaliber berpikir sehebat Panji Sakti, Lebih banyak pemimpin yang tumbuh
kemudian bersifat primordial.
Daerah Bali Utara yang potensial “ditumbuhkembangkan,
dibudidayakan, diupayakan,
digali, dijual, disulap” untuk kemakmuran rakyatnya.
Seharusnya, kembalikan Kota Singaraja menjadi kota dagang
dan kota pelabuhan, caranya adalah dengan merelokasi kembali Pelabuhan Buleleng
agar berfungsi menjadi pelabuhan bongkar-muat barang, seperti dulu kala,
seperti pelabuhan Benoa sekarang, karena pelabuhan ini pada dasarnya adalah
pelabuhan alam, pengerukannya tidak terlalu berat kalau dilihat dari data sejarah
kondisi lautnya.[31]
Dengan demikian ekonomi Buleleng dan rakyat Buleleng akan menjadi berkembang.
Sementara ini Singaraja adalah bagaikan pemilik sapi kita tidak hanya akan
mendapatkan kotorannya saja tetapi bisa dapat susunya. Logikanya, di samping
belajar dari sejarah, secara rasional di dalam perspektif global, pantai Utara
Bali berhadapan dengan ekonomi macan Asia yang dapat disangga dengan
menyediakan pelabuhan bebas, sehingga kapal-kapal asing dapat masuk ke daerah
Bali Utara.
Dengan demikian distribusi dan perdagangan akan dapat
tumbuh. Sebagai contoh kalau pemerintah kita tidak bergantung dengan keputusan
pusat, mengapa kita tidak membuka dermaga di Pelabuhan Buleleng, sehingga
ketika di Gilimanuk bebel saat tahun baru, naik haji dll. kapal-kapal penyebrangan
dapat masuk ke Buleleng, pelancong juga otomatis masuk Buleleng. Belanda dalam
melakukan studi kelayakan tidak menemukan daerah lain di Bali yang lebih
fisibel dari Pabean Buleleng untuk dikembangkan menjadi sebuah pelabuhan
terbuka. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena di pantai utara Bali banyak
ada pelabuhan alam yang dalam sekejap dapat disulap menjadi pelabuhan. Pelabuhannya tersebar di panti
Utara Bali, yang dulu disewa oleh syahbandar-syahbandar Cina. Potensi laut itu
harus dikembangkan, dengan mengembalikan status kota Singaraja sebagai Kota
Pelabuhan dan kota dagang jangan diubah
dengan citra lain karena tidak mungkin kita mungkir dari kebenaran faktual yang
ada (lihat Pageh, 1998).
Buleleng adalah kota tua dan kota bersejarah yang sangat tua
dalam konteks birokrasi barat, sehingga seharusnya Singaraja dapat belajar
secara birokrasi apa yang dilakukan Belanda di masa lalu dalam mengembangkan
Singaraja sampai dapat berstatus sebagai Kota Keresidenan Bali dan Lombok. Seperti
ada usaha sengaja (secara politis) menjadi Buleleng sebagai daerah pinggiran/
feriperi.
Buleleng dapat
mengundang investor asing dalam memanfaatkan alam yang terbuka seperti
tersebut di atas, sehingga pabrik-pabrik besar, perumahan, dan kegiatan
industri lainnya dapat dibangun di lahan kering (bukan sawahnya yang seperti
sekarang, karena daerah Buleleng hanya (sedikit) di Buleleng Tengah memiliki
potensi lahan basah), yang kini habis dikapling untuk investasi jangka panjang
oleh bos berduit, bukan dalam artian dikapling karena kebutuhan akan
pembangunan proyek properti yang tidak ada pilihan lain kecuali sawah-sawah
yang ada seperti di Badung dan Gianyar.
Kembangkan Buleleng secara sungguh-sungguh agar menjadi kota
pendidikan. Jangan sebatas wacana, tetapi tidak ada tindakan nyata.[32] Pembangunan yang berwawasan lingkungan agar
pembangunan dapat sustainable dalam
jangka panjang di Buleleng terjadi. Jadi pembangunan di arahkan ke hadapannya
yaitu Negara-negara raksasa ekonomi di hadapan Buleleng, dengan Pantai Buleleng
sebagai daerah Muka bukan seperti sekarang menjadi Teba (tebennya). Kepalanya menghadap ke laut, jangan ngekor dengan
Bali Selatan.
Sejak dulu Bali Utara terkenal sebagai penghasil kopi,
jeruk, kelapa, sapi, babi dan kambing, belakangan anggur dan mangga yang luar
biasa. Potensi ini perlu digarap yang sejak lama terpendam karena mengikuti
arus pusat, pembangunannya tidak belajar dari potensi daerah. Kita sangat
potensial dapat berkembang pesat jika memanfaatkan potensi pantai terluas di
Bali, dan daerah Belakang juga terluas untuk dilola secara baik. Panji Sakti
memandang sebagai daerah belakangnya (hinterland)
pendukungnya.
5. Simpulan
Panji
Sakti adalah tokoh besar bukan hanya karena sebagai pendiri kerajaan Buleleng,
yang telah dihancurkan oleh generasinya terakhir karena berpindah ke Agama
Kristen, tetapi karena kecerdasan, keberanian, dan kehebatan visinya ke depan
menguasai daerah pusat-pusat perdagangan laut dan menguasai daerah segi tiga
mas Tanjung Perak di Jatim. Kekaguman padanya bukan hanya lawan-lawan di Bali,
juga Jawa Blambangan, Solo bahkan ke Belanda VOC keder dengannya. Dukungan
basis desa Bali Kuno sangat potensial, karena trahnya menjadi dibela sampai
mati oleh masyarakat Bali Aga. Pendukung tidak cukup hanya orang Bali yang
Hindu, dibikin enclave Islam yang panatik sebagai alat negaranya. Beda Agama
dan Suku adalah potensi dan peluang
bukan halangan dan tantangan. Secara teori dia menganut tife
kepemimpinan yang visioner yang transformational, bukan transaction (serba upah dan koropsi) seperti sebagaian pemimpin
daerah sekarang. Tumben jadi raja (raja-raja kecil).
Panji
Sakti memiliki pandangan muka negaranya adalah laut, dan pusat-pusat
perdagangan di pantai Bali sampai ke Jawa. Pertanian dan perkebunan adalah
daerah Belakangnya (hinterland-nya).
Niat ada tapi dalam pelaksanaannya karena tife kepemimpinannya transactional
menjadi mentok dan bersifat se-olah-olah the
same as.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardhana, I Ketut. 1994. “
|
Ardika, I Wayan. “Memperkuat Jatidiri
Masyarakat Buleleng Melalui Kajian Arkeologi”, Makalah. Disampaikan dalam Seminar Kesejarahan Program Studi
Sejarah, 22 Desember 1996.
|
Couteau, Jean. 1995. “Transformasi
Struktural Masyarakat Bali”, dalam
|
Furnivall, J.S. 1944.
|
Habermas, Juergen. 1988. “Dunia
Kehidupan dan Sistem”, dalam Teori
Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern. Yayasan Obor
|
Hobsbawn, E.J.1992. Nasionalisme Menjelang Abad XXI,
Hartian Silawati (pen.). Tiara Wacana Yogyakarta.
|
Huntington, Samuel P..1983. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah.
Suryatin B.A (pen.). Rajawali:
|
Ismawan, Bambang. 1985. “Pendidikan
yang Diperlukan untuk Pengembangan Pedesaan”, dalam Peter Hagul (editor) Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya
Masyarakat. Yayasan Dian Desa:
|
Kuntowijoyo. 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia.A.E
Priyono dan Lukman Hakiem (peny.). Pustaka Pelajar:
|
Mohtar Masoed. 1994. Negara, Kapital, dan Demokrasi.
Pustaka Pelajar:
|
____________. 1994a. Politik, Birokrasi dan Pembangunan.
Pustaka Pelajar:
|
Nasikun. 1995. Sistem Sosial
|
Pageh, I Made. 1998. “Dari Tengkulak
Sampai Subandar: Perdagangan Komoditas Lokal
|
Wiradi, Gunawan. 1995. “Demokrasi
Ekonomi: Sebuah Renungan Ulang”, dalam Menyingkap
Retorika dan Realita: Refleksi dan Visi Jejak 50 Tahun
|
[1]
Made Pageh adalah alumnus Jurusan Sastra Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun
1998, kini menjadi Pembantu Dekan III
FIS(akhir masa jabatan kali ke-2), termasuk funding father Unipas (dosen Pendidikan sejarah Unipas,
1986-1989). Tulisan ini disampaikan
dalam diskusi ilmiah dengan tema Aktualisasi
Kepemimpinan Ki Barak Panji Sakti dalam Pelaksanaan Pembangunan di Kabupaten
Buleleng yang diselenggarakan di Aula Universitas Panji Sakti.
[2]
Lord Moran merupakan staf medis dalam satuan batalyon infantry Inggris selama
PD I (1914-1918) yang juga pernah
diangkat menjadi dokter pribadi Sir Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris
pada masa perang. Kapasitas tugasnya itu, memiliki tempat duduk terdepan untuk
menyelidiki pimpinan kelas bawah maupun atas.
[3]
Label pengiring yang dimaksud adalah negara monarkhi (Inggris, Malaysia,
Belanda, dll.), tapi sistem pemerintahannya adalah melaksanakan mandak kehendak
rakyat melalui perwakilannya. Demikian juga komonis, negara Pancasilais, dan
sebagainya.
[4]
Lihat Babad Kerajaan Buleleng (Wayan
Simpen AB, alih bahasa), (Percetakan Cempaka 2, Denpasar, tahun 1989), hal.
5-6.
[5]
Ayah Jelantik Bogol adalah Kryan Jelantik yang gugur dalam penaklukan
Belambangan, dia menyisakan seorang anak bernama Jelantik Bogol, juga nantinya
menjadi tentara yang selalu berperang memegol,
tidak mau membawa senjata karena merasa dirinya sudah teguh wat kawat balung besi (istilah Bali).
[6]
Legitimasi kepemimpinan tradisional masih tetap dalam konteks kultus dewa raja,
legitimasi utamanya adalah bersifat niskala.
Tokoh mitologis Panji Landung adalah perwujudan dari teori ini.
[7]
Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah
(Tiara Wacana, 1995), hal.7; Pageh, Metodologi
Sejarah (Larasan, 2010).
[8]
Dibikin mitos Yeh Ketupat, untuk dapat air tak perlu gali sumur, cukup
menancapkan kerisnya.
[9] Babad
Buleleng”, Koleksi Musium Bali Kitab
No. 453; Lihat pula, Babad Kerajaan Buleleng. Alih Bahasa oleh
Wayan Simpen A.B., (Denpasar, 1989), hal. 13
[10]
Konon dua Desa Menyali dan Bulian adalah dua desa Kuno yang Kubayannya adalah
bersaudara, dan sama-sama memiliki kekuatan khusus karena Menyali memiliki Ilmu
Kebathinan bernama Ilmu Manik Sekecap, sedangkan Desa Bulian memiliki Juwuk
Linglang. Semuanya dapat menghidukan orang yang telah mati. Tradisi yang ada di
sana disebutkan dalam mitos rakyat (folklor)
setiap Tilem Kesanga mengadakan Tajen Manusia (Mesiat Jelema) kalangannya di
Tanah Polo dekat Jagaraga. Panji Sakti lama belajar Ilmu Manik Sekecap itu di Menyali, dan Mohon Juwuk Linglang itu di
Desa Bulian, namun belum Mumpuni (Nasak
Kanda Phatnya), karena dimitoskan
kalau berlamjut tidak dapat beranak laki-laki, beliau berhenti. Namun
menjadikan orang-orang kuat bekas tentara Bali Age itu (Pusat di Indra
Pura/Depaha) sebagai inti pasukan Teruna Guak.
[11]
Visi ideologis persembahyangan telah dilakukan oleh pemerintahan Buleleng
dengan pelaksanaan berbagai upacara yang dilakukan, namun apakah isinya telah
diketahui atau bukan, mengapa Panji Sakti memuja Pura Bukit Sinunggal tidak
terpublikasikan.
[12] ”Babad Buleleng”, Koleksi Musium Bali Kitab No. 453; Lihat pula,
Babad Kerajaan Buleleng. Alih Bahasa oleh Wayan Simpen A.B.,
(Denpasar, 1989), hal. 16
[13]
Informasi dari Jero mangku Suwarsana, S.St yang kini menjadi Kepala UPTD Gedong
Kirtya.
[14] I
Ketut Ginarsa, Sejarah Lahirnya Kota Singaraja, (Singaraja: Indra Djaya,
1986), hal. 14-21. Menurut saya itu belum kritis, masih membutuhkan penafsiran
lebih kritis dan aktual. Ada irasional antara umur tokoh Panji Sakti dengan
pembangunan Puri Buleleng, hampir setengah abad selisihnya. Butuh penelitian
dan rasionalisasi antara umur tokoh dengan pembangunan puri Buleleng yang
disebutkan Ginarsa di atas. Demikian juga jagung seperti dikenal di Buleleng
ditambahkan Gembal, sehingga diasosiasikan dengan nama Buleleng sama dengan
Jagung Gembal, padahal tidak ada
tercatat jagung gembal itu dalam dokumen, akan lebih kontekstual dan lebih ‘as actuality’ kalau jagung tetap jagung,
pura ibu leleng tetap leleng, seperti folklor di atas,
walaupun masih berupa fakta lunak (Pageh, 2009).
[15] I
Ketut Ginarsa, Sejarah Lahirnya Kota Singaraja, (Singaraja: Indra Djaya,
1986), hal. 14-21. Ini nampaknya terjadi akronologis, sehingga perlu kajian
lebih khusus tentang kelahiran kota Singaraja. Demikian juga jagung Gembal
diasosiasikan dengan berdirinya kota Singaraja adalah bersifat ahistoris, tidak
kontekstual, dan tidak ada asosiasi sama sekali dengan keadaan daerah dan
zamannya. Patung Singaraja di maksud bukanlah Patung di muka Kantor Bupati
sekarang, tetapi patung di tengah kerajaannya, karena Patung Singaraja sekarang
di pertigaan itu baru dibangun sekitar tahun 1950-an.
[16]
Ini lebih tua lagi umur Panji Sakti, sekitar 146 tahun (?).
[17]
Dalam sumber babad, kemenangan ini tidak direspons positif karena Dalem Juru
masih ada hubungan keluarga, sehingga patih Ularan dianggap melanggar perintah.
[18]
Nyoka. Sejarah Bali (Denpasar: Toko
Buku Ria), hal. 26.
[19]
Secara biologis tidak ada hubungannya, tetapi secara adat dipersaudarakan (anak
angkat), sehingga secara klan, dimasukkan ke dalam keluarganya ikut sebagai
rajeg sentana. Konsep inilah yang digunakan di daerah Bali Selatan untuk kawin
nyentana, meras, ngangkat anak, konversi klan dan sebagainya.
[20]
Kekuasaan Raja Jayapangus mengelilingi kekuasaan Gelgel yaitu dengan membangun
kekuasaan dari pantai Timur Bali Utara ke barat dan melingkar ke bantiran,
Pujungan, Batungsel, Angsri, Nusadua. Semunya mengikuti konsep
Nyegara-Gunungnya.
[21]
Periksa Prasasti Bulian A dan Bulian B.
[22] Babad Buleleng Terjemahan, Simpen AB. 1989. Mengalami kerancuan, tahun 1580-1605 adalah pemerintahan Dalem
Sagening, sedangkan ditulis kelahiran Panji Sakti sekitar tahun 1550. Pulang ke
Den Bukit sekitar umur 13 tahun (1563). Jadi Panji Sakti lahir ketika dia belum
menjadi raja di Gelgel. Oleh karena itu kita lebih condong memilih tahun 1697
sebagai tahun penyerangan Blambangan pertama. Berarti pendudukan Blambangan
tahun 1691 (hal.16) berarti Panji Sakti telah berumur 141 tahun (?), bahkan 152
tahun kalau dikaitkan dengan karya Sujana (2001). Sementara inilah tidak
dianalisis oleh Ginarsa dalam menyelusuri lahirnya kota Singaraja.
[23] I
Made Sujana. Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII.(Kuta
Bali, 2001), hal.29.
[24]
Di sinilah perlu dijadikan bahan untuk mengkritisi tahun pendirian Kota
Singaraja. Kita tahun kota Singaraja merupakan perkembangan kemudian, yang
dikembangkan dari Puri Sukasada, Dalem Sagening memerintah Gelgel sampai 1665
(Karya Nyoka,1990). Jika Buleleng lahir tahun 1604, maka saat kota singaraja lahir
Dalem Sagening sudah berumur 61 tahun. Dan jika penyerangan Blambangan
dilaksanakan tahun 1697 berarti panjisakti telah berumur 93 tahun (?). Jika
tahun 1600 sebagai serangan ketiga Panji Sakti telah berumur sekitar 59 tahun.
Sementara kemenangan Panji Sakti terhadap Blambangan tahun 1691 (141 umur panji
Sakti?).
[25]
H.J. de Graaf, “Gusti Pandji Sakti Vorst van Boeleleng”, dalam TBG, deel LXXXII- Aflevering I
(Koningsplein W.12- Batavia-C, 1949), hal. 76
[26]
Gajah itu dibawa oleh orang Probolingo (pantai Lingga), ada Banjar Jawa
(pekatik Gajahnya tinggal di Br. Jawa hanya tersisa makamnya saja di desa ini,
Desa Peguyangan (tempat) berguyangnya/ kubangan Gajah, dll.
[27]
Tokoh Panji Landung, merupakan tokoh simbolik yang berarti kebesaran Panji,
Landung artinya tinggi, dan Panji tempat kekuasaannya pertama. Jadi dapat
disimpulkan justru Babad Buleleng itu dibikin oleh Purohito, saat kerajaan
Panji berdiri, dengan berbagai kisah kedewaan dan kebesar Panji Sakti, justru
setelah kegagalamnya menguasai daerah Tabanan. Serangan Tawon diartikan
rakyat/laskar Tabanan terutama Kubayan di Kaki Gunung Batukaru.
[28] Mulai terjadi bibit Prahara Kerajaan Panji Sakti, karena seharusnya yang diangkat
menjadi raja adalah putra dari keturunan
I Gusti Ngurah Panji Gede, karena haknya di
[29]
Tentang Ki Gusti Panji Sakti, ditulis dengan baik oleh Dr. H.J.de Graff :”
Gusti Panji Sakti, Vorst van Buleleng”, dalam TBG, th,1949, hal.59 dst; lihat pula Ketut Ginarsa, ”Sejarah
Buleleng”, dalam Bahasa dan Budaya,
Th III No.6, (Jogjakarta :
1955).
[30] Condonium adalah konsep kekuasaan
bersama antara wakil kerajaan Karangasem dan Kerajaan Buleleng yang
berkedudukan di Puri Buleleng. Lama berlangsung sampai meninggalnya I Gusti
Ngurah Jelantik, yang kemudian diambil-alaih oleh dinasti Karangasem.
[31]Menurut
beberapa sumber yang saya pernah baca pelabuhan Buleleng dapat menampung hampir
60 kapal perang, saat terjadi perang Jagaraga dan Perang Banjar, karena
pelabuhan tersebut dibatasi oleh dimding karang di timurnya dan di bagian barat
daerah tajung alam juga ada karang melintang yang mengamankan kapal-kapal dari
arus laut dalam (Gregory, 1853:18).
[32]
Gagasan Undiksha membikin Fakultas Kedokteran pemkab harus mendukungnya secara oll out, demikian juga gagasan pendirian
Bali Art Media Cender di Bali Utara, bekerja sama dengan Sam Yung
University Korea adalah bukti laut jadi muka, dan negara maju di depan kita
sebagai mitra.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda