Minggu, 15 Juli 2018

ANALISIS KEPEMIMPINAN RAJA LEGENDARIS I GUSTI NGURAH PANJI SAKTI: AKTUALISASI VISI KEPEMINPINANNYA DI ERA GLOBALISASI


ANALISIS KEPEMIMPINAN RAJA LEGENDARIS
I GUSTI NGURAH PANJI SAKTI:
AKTUALISASI VISI KEPEMINPINANNYA DI ERA GLOBALISASI

Oleh
Drs. I Made Pageh, M.Hum.[1]

1. Pengantar
Kebanyakan tragedi dalam sejarah umat manusia tidak begitu saja terjadi oleh perbuatan maksiat kaum penjahat, teroris dan koruptor, melainkan juga karena kegagalan orang-orang yang bercita-cita tinggi, berbakat unggul dan berkepribadian baik, namun enggan untuk berbuat sesuatu. Manusia-manusia inilah yang membiarkan bakat-bakat idealis mereka tidak produktif, dan kepribadian mereka tetap kering dari jasa bagi sesamanya. Mereka tidak mampu memimpin diri mereka sendiri bahkan hanya untuk menggapai apa yang sebenarnya bisa mereka raih. Oleh kesalahan orang-orang semacam inilah dunia dibiarkan bergerak di bawah pengaruh pemimpin-pemimpin yang yang tidak bermutu, tidak cakap, bermental bobrok, yang memanfaatkan situasi kacau demi keuntungan mereka sendiri.
            Sebaliknya, kehancuran dunia dapat disebabkan oleh pemimpin yang jenius, bliliant dalam berpendapat, terbuka, semangat dalam bekerja, namun haus akan kekuasaan. Mereka mampu berbuat apa saja demi mewujudkan apa yang mereka kehendaki. Dalam sebuah buku yang berjudul “The MASS Killers of the Twentieth Century” (Pembunuh-Pembunuh Massal Abad XX) yang diterjemahkan oleh Tim Narasi dari buku luar negeri, diceritakanlah kisah-kisah sadis yang disebabkan oleh penguasa-penguasa psikopat yang gila kekuasaan pada abad ke-20. Disebutkan: (1) Mao Tze Tong di Cina dengan paham komunisnya menelan korban 14-20 juta nyawa manusia. (2) Hitler, dengan rasisnya menelan sekitar 60 juta jiwa. (3) Soeharto, dengan develomentalism-nya memakan korban ribuan orang, ini memimpim mendapat gelar The MASS Killers tersebut. Terlihat jelas bahwa nasib sebuah negara sangatlah bergantung pada pemimpin negaranya.
Kalau direnungkan ternyata ada kekuatan yang lebih besar yang dapat menentukan tercapai atau tidaknya tujuan suatu bangsa. Kekuatan yang mampu meneruskan cita-cita perjuangan bangsa serta menjaga kelangsungan sejarah dan budaya bangsanya. Pemimpin daerahlah jawabannya, terutama generasi mudanya. Di Indonesia, pembicaraan tentang pemimpin menjadi penting bukan karena pemimpin tidak ada sekolahnya, tetapi karena latar belakang sosio-kulturalnya, nilai-nilai dasar  negara-bangsa, seperti nilai-nailai kepahlawanan, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Pancasila dan UUD 1945 (Darmansyah, 1986:83).
            Pembahasan mengenai arti dari kepemimpinan sangatlah penting guna memberikan pemahaman yang lebih mendalam makna dan cara pengembangan kepemimpinan Bali Utara. Secara etimologis “pemimpin” dan “kepemimpinan” itu berasal dari kata “pimpin” (Inggris to lead) yang memiliki pengertian “memelopori berjalan di muka, menuntun, membimbing, mendorong, mengambil langkah/prakasa pertama, menggerakkan orang lain melalui pengaruh” dan sebagainya. Kemudian berubah menjadi “pemimpin” (leader) dan “kepemimpinan” (leadership) (Permadi, 1992:9).
            Ada lebih dari 350 definisi kata “leadership” dalam literatur akademik dalam bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya mengartikan subyek ini dan kompleksitasnya. Namun definisi yang mampu memberikan sentuhan secara akal sehat dan praktis disusun oleh seorang dokter medis Lord Moran merumuskan arti leadership sebagai kemampuan membuat kerangka rencana yang akan membawa ke tangga sukses dan kemampuan untuk mengajak orang lain melaksanakan-nya dalam segala kesulitan yang dihadapi bahkan berhadapan dengan kematian sekalipun[2] (lihat Darmansyah, 1986:94).
             Pemimpin Panji Sakti menjadi sangat strategis untuk dilihat dewasa ini untuk dapat evaluasi tindakan historisnya, dan juga untuk dapat diteladani oleh pemimpim yang hidup di era global ini (Buleleng). Terutama jika dikaji secara teori kepemimpinan mutakhir yang dikembangkan oleh para teoretisi kepemimpinan dewasa ini. Terutama terkait dengan masala-masalah: (1) Bagaimana kiprah Panji Sakti dalam membangun kerajaan Buleleng di Den Bukit? (2) Mengapa Panji Sakti melaksanakan penyerangan terhadap Blambangan (Jawa Timur), apakah karena beliau haus kekuasaan? (3)  Bagaimanakah visi kepemimpinan I Gusti Ngurah Panji Sakti? (4) Apa yang dapat diteladani dari tokoh pemimpin legendaris (Bhatara Sinuhun)  I Gusti Ngurah Panji Sakti dewasa ini?
            Inilah beberapa persoalan yang akan dibahas dalam seminar yang diselenggarakan tanggal 11 November 2010, oleh lembaga Perguruan Tinggi Panji Sakti yang menggunakan nama pahlawan  besar Buleleng, terutama sebagai funding father Buleleng yang kita cintai bersama.
            Dalam pembahasan setiap persoalan yang dirumuskan, teori akan dipaparkan sebagai catatan bawah (fote notes), untuk memberikan pemahaman faktual yang membutuhkan penjelasan secara konseptual atau teoretis, sehingga secara akademik dapat dipertanggungjawabkan.  Dengan demikian sifat emosional berlebihan dan emosi membabi buta (subjektivitas) tidak menggelapkan mata kita sebagai orang dalam (pewaris) kerajaan Panji Sakti, lebih-lebih trah langsungnya. Kita hidup zaman kerajaan, sehingga kita tidak mau membuat “babad baru”, yaitu babad dilabeli sejarah. Dan juga kita tidak mau negara ini kembali menjadi negara tradisional, di bawah sifat kepemimpinan otoritarianisme, apalagi dikdatorianisme. Demokrasi, dan kepemimpinan rakyat adalah pilihan rasional negara-negara bangsa, yang telah menjadi kesepakatan seluruh dunia, apapun label pengiringnya.[3]

2. Kiprah I Gusti Ngurah Panji Sakti dalam Membangun Kerajaan Buleleng di Den Bukit.
            Tokoh Panji Sakti merupakan anak yang lahir dari Luh Pasek Gobleg dengan raja Kelungkung Dalem Sagening, secara biologis beliau adalah campuran trah Gusti Agung Pasek Gobleg dengan trah Dalem Sagening.[4] Panji Sakti semasih dalam kandungan dihadiahkan pada Rakyan Patih Jelantik (ayah Kriyan Jelantik Bogol, disebut juga I Gusti Jelantik Tenganan), namun karena telah ada anak yang lahir dari perkawainannya Patih Jelantik, maka Ki Barak Panji setelah dewasa dikembalikan sebagai abdi dalem pada kerajaan Gelgel, sehingga dia dapat bermain, bergaul, dan belajar menjadi bagian kehidupan kerajaan pada saat itu, bahkan termasuk anak raja dari putri penawing sangat cerdas dan mengkhawatirkan putra mahkota kerajaan Gelgel karena kecerdasannya.[5]
            Panji Sakti dipulangkan ke Den Bukit, diiringi oleh 40 pengawal, tercatat nama tokoh punakawan (pengiring setia) bernama Kedosot dan Kedumpiung. Banyak cerita motologis yang dibuat dalam Babad Buleleng, karena kita tahun babad itu ditulis kemudian oleh purohito kerajaan, terutama dalam legitimasi daerah yang dicita-citakan oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti saat babad itu ditulis. Terutama legitimasi sebuah pemimpin zaman kepemimpinan tradisional, sangat dibutuhkan sebuah cerita mitologis yang menggambarkan bahwa Panji Sakti bukanlah manusia biasa atau sembarangan, bahkan manusia setengah dewa dan patut dipuja dan didewakan di dunia ini (Dewa Nyalantara).[6]
Perlu disampaikan pada pembaca bahwa tokoh sejarah adalah tokoh manusia biasa, tokoh punya rasa dan punya rasio, dan terbatas seperti pemimpin dewasa ini. Dengan demikian mitos Keris ditancapkan di tanah mengeluarkan air Yeh Ketupat, terbang ke langit (disongsong oleh Panji Landung), Keris Ki Baru Semang dapat bicara, bukanlah kejadian sejarah, dan itu adalah mitologis. Karena sejarah bukanlah kepercayaan maka itu bukan as an actuality but that is as a mythologist.[7]
Perjalanan Panji Sakti ke Den Bukit dijelaskan dalam babad Buleleng “dari Gelgel-singgah di pemukiamnnya Rakyan Jelantik (Jerantik dalam Babad) bersembahyang, layaknya seorang akan melakukan perjalanan jauh, lalu berbelok ke barat daerah Samparangan (sih di Kelungkung), kemudian ke Kawisunya (Menguwi?), lalu masuk ke daerah Bandanegara (Tabanan), terus ke utara menuju Danau Beratan, lalu sampai di Watusaga (Batumejan), istirahat di Banyu Anyaman (Yeh Ketupat) mungkin itu adalah semacam bulakan penduduk lokal di sana, untuk menampung rembesan air dari simpanan pohon karena daerah itu hutan lebat.[8] Terus ke barat di gigir danau Buyan-Tamblingan. Ketemu tokoh mitologis bernama Panji landung. Terjadi legitimasi perluasan kekuasaan, agar didukung rakyatnya menunjuk daerah di barat Gunung Banger (Blambangan), di Utara Laut, di Timur Karangasem. Juga legitimasi untuk melakukan pembunuhan secara tidak setria (dengan jalan sembunyi) menyelinap di balik pohon, dengan menikam Pungakan Gendis, dengan mengucapkan “Tar Semang” sering juga disebut Ki Baru Semang, sehingga Pungakan Gendis mati kaku dengan tidak ada orang yang tahu. Meninggalkan dua anak satu perempuan, dan laki-laki, kekuasaan diwakili oleh Bendesa Gendis. Kemudian anak perempuannya yang tertua ini dinikahinya, lalu terjadi pengambil-alihan kekuasaan oleh Panji Sakti dari Bendesa Gendis, nota bena pada keturunannya Gendis yang diwakilinya.  Dibangunlah kerajaannya di Panji pada tahun nora –menga-sagara-bumi (1490 caka, (+78) sama dengan tahun 1568 Masehi. Beliau diangkat menjadi raja Panji tahun 1565. Perkawinannya dengan Dewa Ayu Juruh nampaknya dilakukan setelah mengambil istri lain sebelumnya (Permaisuri) yang melahirkan dua anak laki dan perempuan, yang laki inilah yang disebutkan di atas bernama I Gusti Ngurah Danurestha. Sedangkan perkawinannya dengan selir Dewa Ayu Juruh anak Ngakan Gendis adalah: (1) Ki Gusti Ngurah Panji Gede, (2) Ki Gusti Ngurah Made, dan Ki Gusti Ngurah Panji Wala.[9]
Ketidakenakan ini nampaknya mengakibatkan beliau memindahkan pusat kekuasaannya dari Puri di Panji ke Puri Sukasada, tahun 1584 Masehi. Panji Sakti menjadi sangat terkenal kehebatannya setelah dapat membebaskan tenggelamnya kapal Cina milik San Fo Kong (Ki Dompu Awang), kira-kira seorang saudagar cina yang berdomisili di Dompu Bima. Ini adalah wujud tawan karang dalam bentuk lain (dihaluskan), sehingga kekayaannya itulah dapat dipergunakan untuk memindahkan Puri dari Panji ke Sukasada itu. Demikian juga digunakan untuk membuat pasukan elit Taruna Goak dipimpin oleh Ki Tamblang (berasal dari Desa Tamblang?) yang sangat kuat dan berpengaruh. Mengapa dapat diduga Ki Tamblang adalah berasal dari Desa Tamblang sekarang, dalam mitologi masyarakat Desa Bulian (asal Danau Bulian) dan Menyali (Menyali sama dengan pemberani), karena pusat kerajaan dibuat mendekat dengan basisnya di Desa Kuno yang memang terkanal memiliki keistimewaan dalam sejarahnya.[10] Menyali, Bulian, Depaha, Tajun adalah ikatan Catur Desa (Banwa) yang memiliki ikatan kuat dengan Bukit Sinunggal sebagai pusatnya.[11] Keistimewaan Desa Menyali sehingga dia dihadiahi Gong Sekar Gadung dan Kemongnya yang sangat terkenal dalam “pergongan” di Buleleng. Sedangkan Bulian dihadiahi Tatakan Kemongnya saja, ini sebenarnya mitologis jika ditilik kemong yang ada di Desa Bulian, bukanlah Tatakan Kemong seperti dimitoskan tetapi tanda-tanda benda bersifat “kebudaan”.
Dengan demikian jika apa yang ditafsirkan itu benar maka wajarlah Panji Sakti dapat melakukan pertolongan pada kapal yang kandas di dekat Pura Penimbangan (mungkin disitu terjadi pembicaraan antara Beliau dengan pemilik Kapal yang kandas). Terutama bantuan dari masyarakat Panji, Tamblang, Menyali, Bebetin, Bengkala, Bilatua, Bulian, serta desa-desa lainnya sebagai pendukung kekuasaan Tokoh Panji Sakti itu. Seperti Sepang, Bantiran, Kalapaksa, Patemon, Ularan; Gobleg, Gesing, Munduk, Umejero; Desa Cempaga, Pedawa, Tigawasa, dan Sidatapa, dll. Mengapa desa-desa ini dijadikan basis karena desa-desa ini sangat kental dekat dengan Gobleg sebagai alat Panji Sakti untuk mencari dukungan di desa-desa kuno sebagai trah Desa Bali Age Gobleh (Pasek Gobleg). Yang terkenal dengan keris pusaka dibikin oleh Pande Bang Tamblingan, yang kemudian disebut Pande Tamblingan yang hilang jejaknya.
Orang-orang sakti Desa Tua inilah yang menjadi inti pasukan (pasukan taruna Goak) Panji sakti, sehingga benda-benda alam (Agama Melayu Austronesia/ Animisme dan Dinamisme) dijadikan kekhasan dalam berperang menaklukkan musuh-musuhnya. Panji Sakti karena kecerdasannya sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya baik di Bali maupun di luar Bali.
Sejak keberhasilannya menolong kapal cina itu, Ki Barak Panji namanya mulai termasyur, yang lebih dikenal dengan nama Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Setelah menguasai Blambangan, diikuti gugurnya anak kesayangannya yuwa raja  Ki Gusti Ngurah Nyoman Danuresta.  Beliau sangat terpukul dan bersedih atas gugurnya anak kesayangannya itu, beliau selalu mengasingkan diri, dan merenungkan kematian anaknya.
Dari Sukasada, beliau sehari-harinya mengasingkan diri ke daerah Utara Sukasada, di sebelah Timur Laut “Pura Ibu (yang) Leleng”, di situ beliau menenangkan diri dalam sebuah “kubu/pondok indah/villa kecil” yang kemudian pengikutnya diperintahkan membangun istana baru, dikenal dengan nama Buleleng. Nama Buleleng secara mitologis (folklor) dan dihubungkan secara kontekstual dengan kenyataan yang ada, dapat dilogikakan dan masuk akal. Buleleng diambil dari Pura Ibu yang leleng (hampir jatuh), yaitu Pura Ulun Carik yang umum ditemukan di pematang sawah di Bali (makna diambil dari Folklor, Pageh, 2009), jaraknya sekitar 2 km di sebelah utara istana Sukasada, yaitu di daerah alang-alang  bernama Tegal Belalak, tempat orang menanam Jagung dan palawija lainnya, yang kemudian nama ibu leleng ini, dijadikan nama Buleleng ( I+bu+leleng, suku kata “I tidak disebutkan dalam sebutan cepat/disingkat). Jadi menurut pandangan saya, bukan dari jagung “gembal”.[12]  Analisis sejarah ini menggunakan folklor (mantifact) sebagai bahan rekonstruksinya, dan bersifat konteketual dalam membangun faktanya.
Penduduk lokal bercerita bahwa di hulun carik tempat menanam jagung (jagung biasa yang subur, bukan jagung gembal, karena tidak ada bukti ditemukan) dan padi, serta tanaman lainnya di sawah itu, dijadikan petunjuk (pinget) para pengikutnya untuk menemui tempat Sinuhun Panji Sakti mengasingkan diri. Pertanyaan pengikut pada orang istana Sukasada, diceritakan sebagai berikut:
Dimana Tuanku Raja I Gusti Ngurah Panji Sakti tinggal?, jawabannya, ditunjukkan jalan ke sebelah Utara, “silahkan sisir jalan ke utara sampai bertemu pematang sawah berisi sebuah Pura Ibu Leleng (leleng karena digerus air pematang (pemetengan) sawah, kemudian sedikut ke timur laut, engkau akan menemukan Bagindamu di sana”. Di tempat ini kemudian dibangun Puri Kanginan, di daerah Pasar Buleleng sekarang. Sedangkan di pura ulun carik berisi ‘Ibu Leleng itu”, dibangun dan dikembangkan menjadi tempat persembahyangan kerajaan yang sekarang disebut Pura Bale Agung, tepat di hulu Puri Buleleng. Sejak itu konon bentuk bangunan pelinggih tugu (Jero Gede) di Buleleng memiliki sayap, diartikan dengan simbolik agar saudara empatnya I Gusti Ngurah Panji Sakti dapat terbang ke Jawa Timur menemui rokh anaknya, model bangunan tugu Buleleng berisi tambahan sayap yang tidak ditemukan di daerah Bali lainnya.

Perjalanan sejarahnya kemudian, kita ketahui bahwa Istana Buleleng dibangun lengkap dengan permandian, pasar, lapangan, dan perlengkapan istana lainnya menyerupai sistem macapat (ada perempatan agung) sebagaimana layaknya istana raja-raja Hindu yang ada di daerah lain. Kota Singaraja kelahirannya dikatakan dibangun tahun 1604 (?), ditandai dengan pembangunan Monumen Patung Singa (catatan sejarah dibangunnya Singa Ambara Raja,  tahun 1950-an)[13], yang menjadi lambang Kota Singaraja.[14] Kekuasaannya meluas sampai ke daerah Belambangan di Jawa Timur. Cerita pendudukan daerah Belambangan, erat kaitannya dengan kisah Tari Goak-goakan. Dalam tari itu “dikisahkan sebelum menyerang Belambangan diawali dengan Tari Goak-goakan ini”, kemudian pasukan elitnya ini diberi nama Taruna Goak. Menurut cerita rakyat pasukan elit itu merupakan orang-orang sakti dari seluruh desa tua di Buleleng, seperti Pasek Menyali, Pasek Bulian, Pasek Bebetin, Pasek Tajum, Pasek Depaha, Pasek Bale Agung, Pasek Gusung Magelung, Pasek Mayong dan Pasek Tartar, Pasek Kayu Selem, dll. Pasek diartikan Pacek/paku/hamengku daerah (Bhuwono di Jawa). Ini jadi pasukan elit memiliki Jimat dan kesaktian (ilmu gaib) tersendiri. Khusus Pasek Menyali dan Pasek Bulian merupakan dua pasukan punya kesaktian (ilmu gaib) berfungsi sama, yaitu dapat ngurip atau menghidupkan orang yang sudah mati (bersifat mitologis), dijelaskan dengan ilmu Manik Sakecap  dan Jimat Juwuk Linglang (nampaknya pengembangan dan penguatan  ideologi sakala dan niskala). Kalau dikaji secara ideologis betapa kuatnya ideologis pasukan Panji Sakti dalam melakukan peperangan, di bawah komando pasukan Taruna Goak itu. 
Istana Buleleng dibangun lengkap dengan permandian, pasar, lapangan, dan perlengkapan istana lainnya menyerupai sistem macapat sebagaimana layaknya Istana Raja-raja Hindu yang ada di daerah lain. Kota Singaraja dibangun tahun 1604 ditandai dengan pembangunan Monumen Patung Singa, yang menjadi lambang Kota Singaraja.[15] Pendirian kerajaan Buleleng 30 Maret tahun 1604 nampaknya membutuhkan kajian lebih jauh, karena jika tahun itu pendirian Buleleng, maka penyerangan Blambangan I tahun1590, penyerangan II tahun 1598, dan ke III tahun 1600. Dan membangun istana tahun 1604, jika benar mengapa penyerangan itu disebut penyerangan Buleleng, seharusnya disebut Den Bukit, dan serangan itu dilakukan ketika kedudukan kerajaan Panji Sakti ada di Puri Sukasada. Panji Sakti jadi raja Panji umur 20 tahun, di tahun 1565. Maka tahun 1604 beliau telah berumur 59 tahun. Tetapi pendudukannya terhadap Blambangan I disebutkan tahun 1691 Masehi.[16]

3. Visi Kepemimpinan I Gusti Panji Sakti (Perluasan Kekuasaan Penyerangan Bangli dan Blambangan)
Pada tahun 1630 terjadilah pertempuran hebat antara Bali melawan Makasar di Lombok, tentara Bali dipimpin oleh I Gusti Agung Widya, Bali mendapatkan kemenangan, oleh karena itu Lombok dan Bima menjadi kekuasaan Bali. Perang dengan Blambangan ketika Dalem Juru diminta untuk mempersembahkan anaknya  (dilamar oleh Dalem Sagening tidak diindahkan lamarannya), maka karena lamaran ditolak maka dikirimlah Patih Ularan untuk menyerang Balmbangan, sehingga kepala raja Blambangan bernama Dalem Juru itu dapat dipersembahkan pada Raja Dalem Sagening.[17]
 Tahun 1640 Lombok direbut kembali oleh Kerajaan Makasar, pada saat itu Belambangan juga melepaskan diri dari Pasuruan, tidak mau tunduk pada kerajaan Bali di bawah pemerintahan Dalem Segening Bali. [18] Namun dalam catatan sejarah, setelah penyerangan Belambangan, kerajaan di bawah pemerintahan Dalem Sagening terus bertambah lemah, namun Maha Patihnya sangat kuat dan setia dalam mendampinginya. Diutuslah patih setianya bernama Rakyan Jelantik dikirim menyerang Blambangan dengan 20.000 tentaranya. Pasuruan sangat kuat karena mendapat bantuan dari Mataran ketika itu, maka Rakyan Jelantik gugur, dia meninggalkan anak laki-laki satu-satunya bernama Jelantik Bogol (saudara paperasan Panji Sakti).[19] Pada tahun ini Panji Sakti belum menjadi kerajaan merdeka, karena masih dibawah kekuasaan Kelungkung (Dalem Sagening).
Tercatat penyerangannya pada Blambangan dan dapat mengalahkannya tahun 1691 dan Panji menguasai daerah perdagangan pantai di Pantai Utara Bali dari Barat sampai ke timur/ Karangasem. Kekuasaan Bangli dari Bukti ke Timur sampai daerah perbatasan dengan Karangasem diambil alih untuk menjadikan kerajaannya menguasai daerah Pantai Utara Bali, mencontoh kerajaan Bali Age pada zaman pemerintahan Jayapangus terkenal dengan Istri Cinanya Kang Ceng We anak Syahbandar Cina kaya yang punya pusat perdagangan keramik di Desa Pinggan dan pusat perdagangannya di Pantai di Pegonjongan.[20] Setelah menguasai daerh pantai utara Bali, milik kerajaan Bangli perluasan daerahnya dilanjutkan ke daerah Blambangan.[21]
Kekuasaannya  diarahkan sampai ke daerah Belambangan di Jawa Timur, sebenarnya visi utamanya adalah daerah segi tiga emas yaitu pelabuhan yang digunakan oleh Kapal-kapal Madura, Jawa, dan Bali yaitu Tanjung Perak di Jatim. Cerita pendudukan daerah Belambangan, dikaitkan dengan kisah Tari Goak-goakan. Dikisahkan sebelum menyerang Belambangan diawali dengan Tari Goak-goakan ini, semuanya pasukannya dibikin setuju untuk bersama-sama menyerang Belambangan, pasukan elit ini kemudian diberinama Taruna Goak. Publikasi, penggalangan dukungan rakyat dilakukan secara ilegan dan cerdas oleh Panji Sakti.
Perjalanan penyerangan melalui Gilimanuk-segara rupek-batu sondol-berlabuh di Candi Gading (Tirtharum)- Banyuwangi. Penyerangan langsung di bawah kepemimpinan I Gusti Ngurah Panji Sakti tahun 1697 (1669 Nasehi (?) Simpen Ab 1989).  Raja Blambangan Pangeran Mas Tawang Alun gugur ditikam oleh Panji Sakti. Dua putranya laki-laki bernama Ki Dewa Mas Sedah dan Ki Dewa Mas Pahit menyingkir ke Solo, demikian versi Babad Buleleng (Simpen, 1989).[22]
Sedangkan dalam karya sejarawan Sujana (2001) menyebutkan, serangan terhadap Blambangan dilakukan oleh laskar Buleleng pertama pada tahun 1697. Pada waktu itu terjadi perebutan tahta di kerajaan Blambangan antara Putra Tawangalun II bernama Pangeran Macanapura melawan Mas Pati I. Mas Pati I berhasil menang dan memindahkan pusat kerajaannya ke Kuta Lateng (25 Km dari Banyuwangi). Ketika itulah saat daerah nagari tidak lagi menjadi ibu kota dan tidak mendapat perhatian dari Mas Pati I maka dengan mudah laskar Buleleng di bawah pimpinan I Gusti Made Batan dan Ki Tamblang Sampun, mereka dengan mudah menawan sekitar 800 orang Blambangan dari pantai timur Banyuwangi dan membawanya ke Buleleng. Raja Buleleng dan Menguwi berebut untuk dapat mengusai Blambangan, Blambangan memilih bersahabat dengan Menguwi karena tahun 1697 Blambangan telah diserang oleh Laskar Buleleng. Perebutan itu mereda setelah VOC ikut menengahi dalam perebutan itu, sehingga untuk sementara waktu Blambangan aman. Namun kerajaan Mas Pati I sudah terlampau lemah dari militer karena sisa tenaganya terakhir dipergunakan untuk memindahkan kerajaan ke daerah pedalaman. [23] Orang Muslim jarahan Panji Sakti di bawah pimpinan I Gusti Made Batan tahun 1697, ditempatkan di Pegatepan di sebelah tenggara kerajaan Panji Sakti, kini dikenal dengan nama Pegayaman.[24] Dalam Babad Buleleng disebutkan pendudukan pertama itu terjadi tahun 1691 (5 tahun lebih awal). Perang Baambangan terjadi tiga kali, disebutkan beliau selalu ikut dalam peperangan itu.
Masyarakat meyakini Babad Buleleng sebagai kejadian historis padahal banyak yang ahistoris perlu dikritisi dengan baik. Jadi kelahiran Buleleng dengan Ibu Kotanya Singaraja kalau dikaitkan dengan Panji Sakti ketuaan pemilihan angka tahun (jika ditambah 78 tahun lagi), mungkin tahun saka dikira tahun masehi, maka menjadi lahir 30 Maret 1604 saka, menjadi 30 Maret 1682 Masehi, akan menjadi masuk akal.
Tahun 1750 Blambangan sudah jatuh ke tangan Menguwi, saudaranya Ki Gusti Ngurah Panji Gede bernama Ki Gusti Ayu Panji diambil istri oleh Raja Menguwi, Blambangan dan Negara selanjutnya diperintah oleh raja keturunan mengawi trah Tekmung bergelar Cokorde Sakti Blambangan.
Dari uraian di atas dapat dipahami (mengerti) bahwa karya babad terkadang memang tidak masuk akal, dan kadang-kadang tidak manusiawi (lebih bersifat surgawi), sehingga perlu dikaji secara kritis menggunakan ilmu-ilmu sosial (kemanusiaan). Karena banyak kejadian, tahun, dan peristiwa mengacu pada kebesaran seorang tokoh saja, tanpa mempertimbangkan manusiawi atau bukan. Panji Sakti sebagai tokoh legendaris bukanlah tokoh haus kekuasaan, tetapi merupakan pemimpin yang memiliki wawasan jauh ke depan menembus era global ini.
Wawasan sangat cemerlang, dalam dalam memperkuat pasukannya, dia membawa orang-orang Islam Belambangan ke Bali dijadikan pasukan khusus kerajaan, ditempatkan pada sebuah enclave di sebelah timur laut kerajaan Buleleng, suatu daerah bernama desa Pegayaman. Pada zamannya ada dua orang Belanda yang membelot kepadanya, dua orang ini banyak mengajarkan teknik dan taktik perang modern. Di pihak Belanda dua orang pembelot ini merupakan pengalaman yang paling buruk dalam perjalanan sejarah Belanda di Indonesia.[25] Karena pada saat itu, Belanda memandang Panji Sakti merupakan musuh yang sangat berbahaya dari luar Jawa. Termasuk kerajaan Solo memandang bahaya pasukan Panji Sakti, sehingga raja Susuhan (Sunan) Solo membuat pendekatan melalui penghadiahan seekor Gajah pada Panji Sakti, sebagai tanda persahabatan.[26]
 Dalam pembangunan di bidang eknomi Panji Sakti ingin menguasai daerah segitiga emas, yaitu:  Bali Barat-Surabaya-Madura, merupakan daerah pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial saat itu. Ini harus dipandang sebagai usaha untuk mewujudkan cita-cita, visi, gagasan, dan gambaran masa depan (tokoh Mitologis Panji Landung), untuk mengantarkan kerajaannya memiliki lebensrum i(ruang hidup) secara ekonomis, terutama menguasai daerah perdagangan pantai Utara Bali (menguasai daerah Bangli), dan daerah segitiga emas di antara Jawa-Bali-dan Madura (tanjung Perak Surabaya), sehingga Blambangan harus dikuasainya, untuk mewujudkan visinya, dengan misi menguasai Belambangan.[27]
            Pada abad ke-17, setelah raja Buleleng yang beristana di Sukasada yaitu Ki Gusti Panji Sakti wafat, maka yang menggantikannya adalah puteranya bernama I Gusti Ngurah Panji Gede dan diwakili oleh adiknya, bernama I Gusti Ngurah Panji Made, keduanya bertempat tinggal di Puri Sukasada. Setelah wafatnya kedua tokoh ini, kerajaan diperintah oleh putera sulung I Gusti Ngurah Panji Made, yang bernama I Gusti Ngurah Panji Bali, juga tinggal di Sukasada.[28] Beliau berputera dua orang. Setelah I Gusti Panji Bali wafat kerajaan dibagi dua, yaitu sebagian diperintah oleh I Gusti Ngurah Panji yang berkedudukan di Sukasada, dan sebagiannya lagi diperintah oleh I Gusti Ngurah Jelantik yang bertempat tinggal di Singaraja (di Puri Buleleng).[29]
            Beberapa tahun kemudian kedua putera pewaris kerajaan ini berselisih paham, dan berakibat munculnya perang saudara, pada tahun 1804. Dalam perang saudara itu, I Gusti Ngurah Jelantik (dari Puri Buleleng) meminta bantuan kepada raja Karangasem ketika itu bernama I Gusti Ngurah Gede Karangasem, dengan perjanjian kalau mereka menang dalam perang saudara itu, setiap tahun dia akan menyerahkan setengah hasil pajaknya pada raja Karangasem, dan pemerintahan akan dipegang berdua (kondonium).[30] Akhirnya dalam perang saudara itu raja Sukasada yang bernama I Gusti Ngurah Panji dapat dikalahkan. Sehingga sejak itu, raja dari Karangasem ikut memegang tampuk pemerintahan di Puri Buleleng dengan bertempat tinggal di Puri Buleleng.
            Setelah I Gusti Ngurah Jelantik wafat, pemerintahan dipegang sendiri oleh I Gusti Gede Karangasem, raja dari Karangasem. I Gusti Bagus Jelantik Banjar, yaitu putera sulung I Gusti Ngurah Jelantik (almarhum) hanya diangkat menjadi patih di Singaraja, ditempatkan di Puri Bangkang. Tak berapa lama setelah I Gusti Gede Karangasem menjadi Raja di Buleleng, dipecat oleh raja Karangasem, digantikan oleh I Gusti Ngurah Agung, dari Karangasem juga. Raja pengganti ini terbunuh di Jembrana karena tidak disukai oleh rakyatnya, lalu beliau digantikan oleh I Gusti Agung Pahang dari Karangasem. Sehingga dinasti karangasem mulai berkuasa di Buleleng, awal abad ke-19 itu.
            Penguasa Buleleng selanjutnya baik dari dinasti karangasem maupun keturunan langsung beliau lebih banyak melakukan konsolidasi ke dalam, dan perang perebutan tahta dan tidak bertambah kuat apalagi mengembangkan sayap ke luar Bali, di Bali saja terus melorot, dan juga zaman kemerdekaan tambah melorot lagi dari kota keresidenan sampai ke kota kabupaten, dari daerah sampai Jatim hanya di Buleleng saja. Mungkin ke depan jika tidak mengubah visi Buleleng akan menjadi kota kecamatan (Desa Adat Buleleng saja), jika aktivitas ekonomi kota  berpindah  ke Bedugul (basis pariwisata), atau ke gerokgak (basis IT dan atau Transportasi Udara).
4. Keteladanan Kepemimpinan Tokoh Legendaris (Bhatara Sinuhun)  I Gusti Ngurah Panji Sakti di Era Kesejagatan
                Sebelumnya marilah kita melihat apa saja persoalan Buleleng yang dihadapi Buleleng dilihat dari kaca mata sejarah. Dan Bagaimana kira-kira kalau dilihat dari perspektif Kepeminpinan Kang Sinuhun Panji Sakti.
4.1  Analisis Masalah Bleleng (dalam Perspektif Historis)
            Secara Struktural masyarakat Buleleng yang memiliki kondisi rawan munculnya konflik di era reformasi dan globalisasi ini, dapat berwujud aneka bentuk.
 Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu dengan yang lain. Misalnya orang Arab mengembangkan subkultur tersendiri, Cina tersendiri, Bali tersendiri, Jawa tersendiri, Eropa dan sebagainya secara terpisah-pisah (pahami masyarakat sekitar Pelabuhan Buleleng). Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi yang bersifat nonkomplementer. Struktursosial terbagi-bagi yang tidak saling melengkapi, bahkan terkadang struktur sosial yang disepakati bersama (mewujudkan masyarakat yang berpancasila) dipungkiri, dengan berbagai alasan. Ini sangat berbahaya terhadap sistem sosial yang disepakati bersama. Terutama jika golongan mayoritas mengkoptasi golongan minoritas (pahami Bali Mayoritas yang minoritas di Indonesia).
Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar dan terkadang ditumbuhkan dalam nuansa persaingan, sehingga konflik laten menjadi bom waktu (pahami konsep Nyama Islam dan Nyama Bali, berubah menjadi Jelema Islam dan Jelema Bali, Jelema Dauh Tukad, dadngin Tukad, dll). Datangnya ideologi kemasyarakatan baru yang mengkoyak kekeluargaan yang lama dirintis di Bali oleh Panji Sakti.
Secara relatif sering mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan yang lainnya, baik terbuka maupun laten. Sebagai contoh konflik laten antara masyarakat enclave Islam dan enclave Hindu misalnya (kasus Pegayaman-Silangjana- Kampung Baru- Tegal Mawar- dll) menjadi berbau Agama dan Etnis.
Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling di dalam bidang ekonomi, sedangkan dalam  kebudayaan diproteksi oleh Negara. Ada dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain, misalnya menjelang Pilkada, dan Pemilu rakyat sangat mudah diadu-domba demi kepentingan sesaat.
            Pandangan penganut strukturalisme fungsional mengatakan setidaknya ada dua faktor yang dapat mengitegrasikan suatu sistem sosial antara lain: (1) konsensus nasional; (2) menjadi anggota lebih dari satu kesatuan sosial (cross-cutting affiliations), karena kemungkinan konflik yang timbul dapat diantisifasi oleh adanya coss-cutting loyalities, karena satu anggota masyarakat menjadi lebih dari satu anggota kesatuan sosial dalam sistem sosial tersebut.
Dalam hal ini ada dua tingkatan konflik yang terjadi yaitu (1) konflik yang bersifat idiologis, dan (2) konflik dalam tingkatan politis. Yang pertama, pada tingkat bersifat ideologis, konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi dari berbagai-bagai kesatuan sosial. Dan kedua, yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian setatus, kekuasaan, dan sumber-sumber daya yang tersedia, seperti sumber daya fisik, sosial, ekonomi dan politik, dan lain-lain, yang adanya terbatas di masyarakat.
Zaman kolonial Belanda memanfaatkan dengan menciptakan segregasi sosial dan konflik ke dalam melalui kaplingisasi perkampungan khusus yang berbau etnis di Bali Utara dan daerah sentral ekonomi lainnya. Contoh Kampung Arab, Kampung Islam, Kampung Bali, Kampung Jawa, Bugis dan sebagainya di sekitar pusat ekonomi ketika itu adalah Pabean Buleleng. Sudah tentu dia juga memasukkan sisten kekuasaannya agar sistem sosial dapat berfungsi. Dalam hal inilah kepastian hukum, atau hukum yang tidak memihak sangat dibutuhkan (lihat Pageh, 1998).
            Suatu integrasi sistem sosial yang tangguh akan terwujud apabila (1) sebagian besar dari anggota masyarakat bersepakat tentang batas-batas teritorial suatu kelompok sosial dimana mereka merasa menjadi anggota warganya. Misalnya batas yang jelas warga yang mana masuk adat atau desa adat mana; (2) apabila sebagian besar anggota masyarakat sepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik yang berlaku bagi wilayah tersebut, sehingga apa yang dibuat menjadi legitimit untuk dilaksanakan dalam mewujudkan kontrol, sanksi pelanggaran. Sedangkan tradisi Buleleng hubungan nyama selam dengan nyama Bali Hindu telah secara tradisi dilaksanakan sejak zaman kerajaan (Kampung Buleleng dan Kampung Pegatepan, Tegallinggah), yand dirusak oleh pengembang agama kemudian. Sehingga integrasi tidak dapat dipertahankan. Atau mereka tidak belajar dari sejarah sehingga tidak tahu, sehingga dia mengembangkan idiologis dan trend politik yang mengakibatkan terjadinya disintegrasi masyarakat Buleleng. Konflik ideologis dan politik yang memang telah kita ketahui ada jangan sampai dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan. Terutama pada saat krisis, politik dagang sapi dapat masuk, sehingga yang Buleleng ludes sendiri (kasus Buleleng Kelabu).

 4.2 Potensi Bali Utara Untuk Dikembangkan (dalam Perspektif Historis)
Pembangunan Bali Utara (Buleleng) dapat memanfaatkan pemikiran Panji Sakti dalam pembangunannya. Potensi Bali Utara di era global dapat dikembangkan, jika otonomi daerah sampai ke tingkat dua betul-betul dilaksanakan. Secara historis saya akan menunjukkan potensi dasar/keistimewaan yang dimiliki oleh Buleleng, yang berbeda dengan daerah Bali lainnya. Dalam kesempatan yang sangat istimewa ini saya sampaikan kepada peserta Diskusi Ilmiah saat ini, saya sampaikan agar dalam membangun Buleleng, dapat menyikapi pembangunan di masa datang ikut memikirkan strategi dan perencanaan serta kebijakan untuk membangunkan kota Singara raja dari tidurnya, sehingga “singa tidur” berubah menjadi “Singaraja” yang betul-betul Rajanya Singa, bukan penyakit Raja Singa (spilis).
Gusti Ngurah Panji Sakti Raja Buleleng telah berpikir untuk mengantarkan Singaraja menjadi raja ekonomi di kawasan timur, beliau telah berusahamewujudkan visinya dengan misi penguasaan Pantai Utara Bali dan Blambangan (Jatim) untuk menguasai daerah segitiga emas yang ada di hadapannya, yaitu pelabuhan Tanjung Perak dan sekitarnya, sehingga Blambangan dikuasai. Dengan demikian Panji Sakti bukan saja seorang politikus yang ulung, tetapi juga sebagai seorang ekonom yang luar biasa, karena beliau memiliki ciuman ekonomis yang sangat tajam. Sayang, umur manusia memang tidak panjang tetapi idenya sangat relevan hingga kini, walaupun telah digagas beberapa puluh abad yang lalu. Dan juga sangat sayang pemimpin selanjutnya tidak ada yang memiliki kaliber berpikir sehebat Panji Sakti, Lebih banyak pemimpin yang tumbuh kemudian bersifat primordial.
Daerah Bali Utara yang potensial “ditumbuhkembangkan, dibudidayakan, diupayakan, digali, dijual, disulap”  untuk kemakmuran rakyatnya.
Seharusnya, kembalikan Kota Singaraja menjadi kota dagang dan kota pelabuhan, caranya adalah dengan merelokasi kembali Pelabuhan Buleleng agar berfungsi menjadi pelabuhan bongkar-muat barang, seperti dulu kala, seperti pelabuhan Benoa sekarang, karena pelabuhan ini pada dasarnya adalah pelabuhan alam, pengerukannya tidak terlalu berat kalau dilihat dari data sejarah kondisi lautnya.[31] Dengan demikian ekonomi Buleleng dan rakyat Buleleng akan menjadi berkembang. Sementara ini Singaraja adalah bagaikan pemilik sapi kita tidak hanya akan mendapatkan kotorannya saja tetapi bisa dapat susunya. Logikanya, di samping belajar dari sejarah, secara rasional di dalam perspektif global, pantai Utara Bali berhadapan dengan ekonomi macan Asia yang dapat disangga dengan menyediakan pelabuhan bebas, sehingga kapal-kapal asing dapat masuk ke daerah Bali Utara.
Dengan demikian distribusi dan perdagangan akan dapat tumbuh. Sebagai contoh kalau pemerintah kita tidak bergantung dengan keputusan pusat, mengapa kita tidak membuka dermaga di Pelabuhan Buleleng, sehingga ketika di Gilimanuk bebel saat tahun baru, naik haji dll. kapal-kapal penyebrangan dapat masuk ke Buleleng, pelancong juga otomatis masuk Buleleng. Belanda dalam melakukan studi kelayakan tidak menemukan daerah lain di Bali yang lebih fisibel dari Pabean Buleleng untuk dikembangkan menjadi sebuah pelabuhan terbuka. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena di pantai utara Bali banyak ada pelabuhan alam yang dalam sekejap dapat disulap menjadi  pelabuhan. Pelabuhannya tersebar di panti Utara Bali, yang dulu disewa oleh syahbandar-syahbandar Cina. Potensi laut itu harus dikembangkan, dengan mengembalikan status kota Singaraja sebagai Kota Pelabuhan dan kota dagang  jangan diubah dengan citra lain karena tidak mungkin kita mungkir dari kebenaran faktual yang ada (lihat Pageh, 1998).
Buleleng adalah kota tua dan kota bersejarah yang sangat tua dalam konteks birokrasi barat, sehingga seharusnya Singaraja dapat belajar secara birokrasi apa yang dilakukan Belanda di masa lalu dalam mengembangkan Singaraja sampai dapat berstatus sebagai Kota Keresidenan Bali dan Lombok. Seperti ada usaha sengaja (secara politis) menjadi Buleleng sebagai daerah pinggiran/ feriperi.
Buleleng dapat  mengundang investor asing dalam memanfaatkan alam yang terbuka seperti tersebut di atas, sehingga pabrik-pabrik besar, perumahan, dan kegiatan industri lainnya dapat dibangun di lahan kering (bukan sawahnya yang seperti sekarang, karena daerah Buleleng hanya (sedikit) di Buleleng Tengah memiliki potensi lahan basah), yang kini habis dikapling untuk investasi jangka panjang oleh bos berduit, bukan dalam artian dikapling karena kebutuhan akan pembangunan proyek properti yang tidak ada pilihan lain kecuali sawah-sawah yang ada seperti di Badung dan Gianyar.
Kembangkan Buleleng secara sungguh-sungguh agar menjadi kota pendidikan. Jangan sebatas wacana, tetapi tidak ada tindakan nyata.[32]  Pembangunan yang berwawasan lingkungan agar pembangunan dapat sustainable dalam jangka panjang di Buleleng terjadi. Jadi pembangunan di arahkan ke hadapannya yaitu Negara-negara raksasa ekonomi di hadapan Buleleng, dengan Pantai Buleleng sebagai daerah Muka bukan seperti sekarang menjadi Teba (tebennya). Kepalanya menghadap ke laut, jangan ngekor dengan Bali Selatan.
Sejak dulu Bali Utara terkenal sebagai penghasil kopi, jeruk, kelapa, sapi, babi dan kambing, belakangan anggur dan mangga yang luar biasa. Potensi ini perlu digarap yang sejak lama terpendam karena mengikuti arus pusat, pembangunannya tidak belajar dari potensi daerah. Kita sangat potensial dapat berkembang pesat jika memanfaatkan potensi pantai terluas di Bali, dan daerah Belakang juga terluas untuk dilola secara baik. Panji Sakti memandang sebagai daerah belakangnya (hinterland) pendukungnya.

5. Simpulan
                Panji Sakti adalah tokoh besar bukan hanya karena sebagai pendiri kerajaan Buleleng, yang telah dihancurkan oleh generasinya terakhir karena berpindah ke Agama Kristen, tetapi karena kecerdasan, keberanian, dan kehebatan visinya ke depan menguasai daerah pusat-pusat perdagangan laut dan menguasai daerah segi tiga mas Tanjung Perak di Jatim. Kekaguman padanya bukan hanya lawan-lawan di Bali, juga Jawa Blambangan, Solo bahkan ke Belanda VOC keder dengannya. Dukungan basis desa Bali Kuno sangat potensial, karena trahnya menjadi dibela sampai mati oleh masyarakat Bali Aga. Pendukung tidak cukup hanya orang Bali yang Hindu, dibikin enclave Islam yang panatik sebagai alat negaranya. Beda Agama dan Suku adalah potensi dan peluang  bukan halangan dan tantangan. Secara teori dia menganut tife kepemimpinan yang visioner yang transformational, bukan transaction (serba upah dan koropsi) seperti sebagaian pemimpin daerah sekarang. Tumben jadi raja (raja-raja kecil).
                Panji Sakti memiliki pandangan muka negaranya adalah laut, dan pusat-pusat perdagangan di pantai Bali sampai ke Jawa. Pertanian dan perkebunan adalah daerah Belakangnya (hinterland-nya). Niat ada tapi dalam pelaksanaannya karena tife kepemimpinannya transactional menjadi mentok dan bersifat se-olah-olah the same as.








DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I Ketut. 1994. “Bali dalam Kilasan Sejarah”, dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. I Gde Pitana (editor). Penerbit Bali Post: Denpasar.

Ardika, I Wayan. “Memperkuat Jatidiri Masyarakat Buleleng Melalui Kajian Arkeologi”, Makalah. Disampaikan dalam Seminar Kesejarahan Program Studi Sejarah, 22 Desember 1996.

Couteau, Jean. 1995. “Transformasi Struktural Masyarakat Bali”, dalam  Bali di Persimpangan Jalan, 2 (Sebuah Bunga Rampai). Nusa Data Indo-Budaya: Denpasar, hal. 12-68.

Furnivall, J.S. 1944. Netherlands India: A Studi of Plural Economy. Cambridge: University Press.

Habermas, Juergen. 1988. “Dunia Kehidupan dan Sistem”, dalam Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Hobsbawn, E.J.1992. Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Hartian Silawati (pen.). Tiara Wacana Yogyakarta.

Huntington, Samuel P..1983. Tertib Politik di dalam  Masyarakat yang Sedang Berubah. Suryatin B.A (pen.). Rajawali: Jakarta.

Ismawan, Bambang. 1985. “Pendidikan yang Diperlukan untuk Pengembangan Pedesaan”, dalam Peter Hagul (editor) Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Yayasan Dian Desa: Yogyakarta.

Kuntowijoyo. 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia.A.E Priyono dan Lukman Hakiem (peny.). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Mohtar Masoed. 1994. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

____________. 1994a. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Pageh, I Made. 1998. “Dari Tengkulak Sampai Subandar: Perdagangan Komoditas Lokal Bali Utara Pada Zaman Kolonial Belanda, 1850-1942”. Tesis (S-2) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (unphablish).

Wiradi, Gunawan. 1995. “Demokrasi Ekonomi: Sebuah Renungan Ulang”, dalam Menyingkap Retorika dan Realita: Refleksi dan Visi Jejak 50 Tahun Indonesia. Hetifah Sjaifudin dan Juni Thamrin (Peny.). Akatiga: Bandung, hal.133-150.









[1] Made Pageh adalah alumnus Jurusan Sastra Sejarah  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1998, kini menjadi Pembantu Dekan III  FIS(akhir masa jabatan kali ke-2), termasuk funding father Unipas (dosen Pendidikan sejarah Unipas, 1986-1989).  Tulisan ini disampaikan dalam diskusi ilmiah dengan tema Aktualisasi Kepemimpinan Ki Barak Panji Sakti dalam Pelaksanaan Pembangunan di Kabupaten Buleleng yang diselenggarakan di Aula Universitas Panji Sakti.
[2] Lord Moran merupakan staf medis dalam satuan batalyon infantry Inggris selama PD I (1914-1918)  yang juga pernah diangkat menjadi dokter pribadi Sir Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris pada masa perang. Kapasitas tugasnya itu, memiliki tempat duduk terdepan untuk menyelidiki pimpinan kelas bawah maupun atas.
[3] Label pengiring yang dimaksud adalah negara monarkhi (Inggris, Malaysia, Belanda, dll.), tapi sistem pemerintahannya adalah melaksanakan mandak kehendak rakyat melalui perwakilannya. Demikian juga komonis, negara Pancasilais, dan sebagainya.
[4] Lihat Babad Kerajaan Buleleng (Wayan Simpen AB, alih bahasa), (Percetakan Cempaka 2, Denpasar, tahun 1989), hal. 5-6.
[5] Ayah Jelantik Bogol adalah Kryan Jelantik yang gugur dalam penaklukan Belambangan, dia menyisakan seorang anak bernama Jelantik Bogol, juga nantinya menjadi tentara yang selalu berperang memegol, tidak mau membawa senjata karena merasa dirinya sudah teguh wat kawat balung besi (istilah Bali).
[6] Legitimasi kepemimpinan tradisional masih tetap dalam konteks kultus dewa raja, legitimasi utamanya adalah bersifat niskala. Tokoh mitologis Panji Landung adalah perwujudan dari teori ini.
[7] Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Tiara Wacana, 1995), hal.7; Pageh, Metodologi Sejarah (Larasan, 2010).
[8] Dibikin mitos Yeh Ketupat, untuk dapat air tak perlu gali sumur, cukup menancapkan kerisnya.
[9] Babad Buleleng, Koleksi Musium Bali Kitab No. 453; Lihat pula,  Babad Kerajaan Buleleng. Alih Bahasa oleh Wayan Simpen A.B., (Denpasar, 1989), hal. 13

[10] Konon dua Desa Menyali dan Bulian adalah dua desa Kuno yang Kubayannya adalah bersaudara, dan sama-sama memiliki kekuatan khusus karena Menyali memiliki Ilmu Kebathinan bernama Ilmu Manik Sekecap, sedangkan Desa Bulian memiliki Juwuk Linglang. Semuanya dapat menghidukan orang yang telah mati. Tradisi yang ada di sana disebutkan dalam mitos rakyat (folklor) setiap Tilem Kesanga mengadakan Tajen Manusia (Mesiat Jelema) kalangannya di Tanah Polo dekat Jagaraga. Panji Sakti lama belajar Ilmu Manik Sekecap itu di Menyali, dan Mohon Juwuk Linglang itu di Desa Bulian, namun belum Mumpuni (Nasak Kanda Phatnya), karena dimitoskan kalau berlamjut tidak dapat beranak laki-laki, beliau berhenti. Namun menjadikan orang-orang kuat bekas tentara Bali Age itu (Pusat di Indra Pura/Depaha) sebagai inti pasukan Teruna Guak.
[11] Visi ideologis persembahyangan telah dilakukan oleh pemerintahan Buleleng dengan pelaksanaan berbagai upacara yang dilakukan, namun apakah isinya telah diketahui atau bukan, mengapa Panji Sakti memuja Pura Bukit Sinunggal tidak terpublikasikan.
[12]  ”Babad Buleleng, Koleksi Musium Bali Kitab No. 453; Lihat pula,  Babad Kerajaan Buleleng. Alih Bahasa oleh Wayan Simpen A.B., (Denpasar, 1989), hal. 16

[13] Informasi dari Jero mangku Suwarsana, S.St yang kini menjadi Kepala UPTD Gedong Kirtya.
[14] I Ketut Ginarsa, Sejarah Lahirnya  Kota Singaraja, (Singaraja: Indra Djaya, 1986), hal. 14-21. Menurut saya itu belum kritis, masih membutuhkan penafsiran lebih kritis dan aktual. Ada irasional antara umur tokoh Panji Sakti dengan pembangunan Puri Buleleng, hampir setengah abad selisihnya. Butuh penelitian dan rasionalisasi antara umur tokoh dengan pembangunan puri Buleleng yang disebutkan Ginarsa di atas. Demikian juga jagung seperti dikenal di Buleleng ditambahkan Gembal, sehingga diasosiasikan dengan nama Buleleng sama dengan Jagung Gembal, padahal  tidak ada tercatat jagung gembal itu dalam dokumen, akan lebih kontekstual dan lebih ‘as actuality’ kalau jagung tetap jagung, pura ibu leleng tetap leleng, seperti folklor di atas, walaupun masih berupa fakta lunak  (Pageh, 2009).

                [15] I Ketut Ginarsa, Sejarah Lahirnya  Kota Singaraja, (Singaraja: Indra Djaya, 1986), hal. 14-21. Ini nampaknya terjadi akronologis, sehingga perlu kajian lebih khusus tentang kelahiran kota Singaraja. Demikian juga jagung Gembal diasosiasikan dengan berdirinya kota Singaraja adalah bersifat ahistoris, tidak kontekstual, dan tidak ada asosiasi sama sekali dengan keadaan daerah dan zamannya. Patung Singaraja di maksud bukanlah Patung di muka Kantor Bupati sekarang, tetapi patung di tengah kerajaannya, karena Patung Singaraja sekarang di pertigaan itu baru dibangun sekitar tahun 1950-an.
[16] Ini lebih tua lagi umur Panji Sakti, sekitar 146 tahun (?).
[17] Dalam sumber babad, kemenangan ini tidak direspons positif karena Dalem Juru masih ada hubungan keluarga, sehingga patih Ularan dianggap melanggar perintah.
[18] Nyoka. Sejarah Bali (Denpasar: Toko Buku Ria), hal. 26.
[19] Secara biologis tidak ada hubungannya, tetapi secara adat dipersaudarakan (anak angkat), sehingga secara klan, dimasukkan ke dalam keluarganya ikut sebagai rajeg sentana. Konsep inilah yang digunakan di daerah Bali Selatan untuk kawin nyentana, meras, ngangkat anak, konversi klan dan sebagainya.
[20] Kekuasaan Raja Jayapangus mengelilingi kekuasaan Gelgel yaitu dengan membangun kekuasaan dari pantai Timur Bali Utara ke barat dan melingkar ke bantiran, Pujungan, Batungsel, Angsri, Nusadua. Semunya mengikuti konsep Nyegara-Gunungnya.
[21] Periksa Prasasti Bulian A dan Bulian B.
[22] Babad Buleleng Terjemahan,   Simpen AB. 1989. Mengalami kerancuan,   tahun 1580-1605 adalah pemerintahan Dalem Sagening, sedangkan ditulis kelahiran Panji Sakti sekitar tahun 1550. Pulang ke Den Bukit sekitar umur 13 tahun (1563). Jadi Panji Sakti lahir ketika dia belum menjadi raja di Gelgel. Oleh karena itu kita lebih condong memilih tahun 1697 sebagai tahun penyerangan Blambangan pertama. Berarti pendudukan Blambangan tahun 1691 (hal.16) berarti Panji Sakti telah berumur 141 tahun (?), bahkan 152 tahun kalau dikaitkan dengan karya Sujana (2001). Sementara inilah tidak dianalisis oleh Ginarsa dalam menyelusuri lahirnya kota Singaraja.
[23] I Made Sujana. Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII.(Kuta Bali, 2001), hal.29.
[24] Di sinilah perlu dijadikan bahan untuk mengkritisi tahun pendirian Kota Singaraja. Kita tahun kota Singaraja merupakan perkembangan kemudian, yang dikembangkan dari Puri Sukasada, Dalem Sagening memerintah Gelgel sampai 1665 (Karya Nyoka,1990). Jika Buleleng lahir tahun 1604, maka saat kota singaraja lahir Dalem Sagening sudah berumur 61 tahun. Dan jika penyerangan Blambangan dilaksanakan tahun 1697 berarti panjisakti telah berumur 93 tahun (?). Jika tahun 1600 sebagai serangan ketiga Panji Sakti telah berumur sekitar 59 tahun. Sementara kemenangan Panji Sakti terhadap Blambangan tahun 1691 (141 umur panji Sakti?).
[25] H.J. de Graaf, “Gusti Pandji Sakti Vorst van Boeleleng”, dalam TBG, deel LXXXII- Aflevering I (Koningsplein W.12- Batavia-C, 1949), hal. 76 
[26] Gajah itu dibawa oleh orang Probolingo (pantai Lingga), ada Banjar Jawa (pekatik Gajahnya tinggal di Br. Jawa hanya tersisa makamnya saja di desa ini, Desa Peguyangan (tempat) berguyangnya/ kubangan Gajah, dll.
[27] Tokoh Panji Landung, merupakan tokoh simbolik yang berarti kebesaran Panji, Landung artinya tinggi, dan Panji tempat kekuasaannya pertama. Jadi dapat disimpulkan justru Babad Buleleng itu dibikin oleh Purohito, saat kerajaan Panji berdiri, dengan berbagai kisah kedewaan dan kebesar Panji Sakti, justru setelah kegagalamnya menguasai daerah Tabanan. Serangan Tawon diartikan rakyat/laskar Tabanan terutama Kubayan di Kaki Gunung Batukaru.
[28]  Mulai terjadi bibit Prahara Kerajaan Panji Sakti, karena seharusnya yang diangkat menjadi raja adalah putra dari keturunan  I Gusti Ngurah Panji Gede, karena haknya di
[29] Tentang Ki Gusti Panji Sakti, ditulis dengan baik oleh Dr. H.J.de Graff :” Gusti Panji Sakti, Vorst van Buleleng”, dalam TBG, th,1949, hal.59 dst; lihat pula Ketut Ginarsa, ”Sejarah Buleleng”, dalam Bahasa dan Budaya, Th III No.6, (Jogjakarta: 1955).
[30] Condonium adalah konsep kekuasaan bersama antara wakil kerajaan Karangasem dan Kerajaan Buleleng yang berkedudukan di Puri Buleleng. Lama berlangsung sampai meninggalnya I Gusti Ngurah Jelantik, yang kemudian diambil-alaih oleh dinasti Karangasem.
[31]Menurut beberapa sumber yang saya pernah baca pelabuhan Buleleng dapat menampung hampir 60 kapal perang, saat terjadi perang Jagaraga dan Perang Banjar, karena pelabuhan tersebut dibatasi oleh dimding karang di timurnya dan di bagian barat daerah tajung alam juga ada karang melintang yang mengamankan kapal-kapal dari arus laut dalam (Gregory, 1853:18).
[32] Gagasan Undiksha membikin Fakultas Kedokteran pemkab harus mendukungnya secara oll out, demikian juga gagasan pendirian Bali Art Media Cender  di Bali Utara, bekerja sama dengan Sam Yung University Korea adalah bukti laut jadi muka, dan negara maju di depan kita sebagai mitra.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda