ZEITGEIST, CULTUUR GEBUNDENHEID, DIVERSITY IN UNITY : PANCASILA SEBAGAI SOKO GURU MASYARAKAT MULTIETNIK·
ZEITGEIST, CULTUUR GEBUNDENHEID,
DIVERSITY IN UNITY :
PANCASILA SEBAGAI SOKO GURU MASYARAKAT MULTIETNIK·
Oleh
I Made Pageh
Abstrak
Kondisi
objektif bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbhinekatunggal ika dalam etnik,
kultural, lingkungan fisik, dan kepercayaan/agama. Namun mereka memiliki
pengalaman sejarah yang sama, yaitu: sama-sama dijajah oleh bangsa asing.
Penjajahan itu, telah memberikan keuntungan untuk mempersatukan keanekaragaman
itu, sehingga secara bulat mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
menggunakan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara, dengan dasar-dasar
dan semangat kebhinekaan dalam ketunggalikaan (unity in diversity). Semangat kebhinekaan itu sudah sangat-sangat disadari
oleh pendiri negara. Sebagai contoh dapat dipahami dari penggunaan bahasa
melayu sebagai bahasa nasional, bukan bahasa Jawa sebagai bahasa yang dipakai
oleh mayoritas penduduk negara yang baru berdiri.
Ada beberapa
hal penting perlu dipahami bersama sbb: (1) Pancasila lahir adalah sebagai
falsafah negara yang lahir sebagai collective-ideology
dari seluruh aliran berpikir dari bangsa Indonesia; (2) Pancasila adalah
hakikat dari realitas sosial atau rokhnya masyarakat yang beranekaragam; (3)
Karena dia merupakan ideologi terbuka dan dimanis maka di dalamnya terbuka
kesempatan untuk menafsirkannya dan memaknainya sesuai dengan perkembangan
zaman dan perkembangan budaya jaman (zeitgeist
dan cultuurgebundenheid). Namun di
dalamnya memerlukan kehati-hatian menafsirkannya, dengan menggunakan pendekatan
croos cultural agar Pancasila tetap
dapat berfungsi mengayomi semua golongan; Pancasila dalam sejarahnya, telah
mengalami berbagai ujian dan cobaan rongrongan, tetapi tetapi Pancasila
terbukti dapat berperan dalam menyelamatkan keutuhan bangsa Indonesia; Kodrat
manusia Indonesia dapat terwakili dalam sila-sila yang terdapat dalam
Pancasila; Pancasila dengan pendekatan cross
cultural dapat berperan sebagai landasan moral Republik dan landasan
politik yang demokratik dalam masyarakat multietnik.
Kata
Kunci: Jiwa Zaman dan Ikatan Budaya Zaman, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila
Ordinat Masyarakat Multietnik.
1. Pendahuluan
Berbagai perubahan dan fenomena
konflik yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari reformasi mengharuskan
kita untuk mengkaji dan mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar kita
bernegara. Reformasi telah telah membawa perubahan besar dalam tata kehidupan
berbangsa dan bernegara. Demokratisasi dan pembangunan masyarakat madani (civil society) makin mengedepan dalam
wacana publik.
Dominasi negara atas rakyat dan sentralisasi kekuasaan yang selama Orde
Baru menjadi dasar dalam mengambil kebijakan publik semakin ditinggalkan
(Mas’oed,1994, 1989). Kini realisasinya dapat dipahami dalam UU/22/1999
mengenai Otonomi daerah. Terjadi peningkatan kontrol masyarakat dan tuntutan
semakin besarnya partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Hal
ini telah mengubah orientasi pemerintah dari sikap “mbahu dendo” ke sikap
“mbahu rekso” (meminjam istilah Kuntowijoyo). Reformasi juga menuntut sistem
pemerintah yang menggunakan pendekatan keamanan (security approach) ke arah sistem pemerintah yang demokratis dengan
pemdekatan partisipatoris. Di samping itu, pendekatan deduktif yang
dikembangkan pemerintah selama ini menjadikan pemerintah merupakan sumber
kebenaran satu-satunya dalam memaknai Pancasila, bahkan sangat kentara dalam
berbagai kasus makna yang dikembangkan sangat berbeda dengan sociofect yang ada di masyarakat. Dengan
demikian Pancasila telah dipermainkan dengan menjadikannya dogma semu yang
seolah-olah tidak mengakar dalam masyarakatnya.
Pancasila sebagai ideologi
kebangsaan yang dibangun oleh founding
father Indonesia dimaksudkan untuk merekatkan keanekaragaman hidup dan
kehidupan serta sejarah sistem budaya yang menjiwainya. Dengan kata lain dalam
keanekaragaman itu Pancasila berfungsi sebagai ideologi koordinatif di antara
keragaman itu (diversity in unity, bukan
unity in diversity).
Demikian juga ideologi Pancasila harus mampu menjadi ideologi yang
dinamis dan berkembang mengikuti arus zaman dan perkembangan budaya bangsanya (zeitgeist dan cultuurgebundenheid), jika ini tidak dimiliki maka dia akan
menjadi dogma sakral yang tanpa makna. Hal ini perlu diantisipasi karena
--belajar dari sejarah-- setiap zaman akan memiliki jiwa zaman dan ikatan
budaya (alikan gumi) yang berbeda dan
meningkat dengan tuntutan masyarakat
yang semakin kompleks (Kartodirdjo, 1992).
Peralihan akan bisa menjadi mala petaka bagi persatuan dan kesatuan bangsa
kalau tidak dapat berkaca dari sejarah, karena setiap zaman (perubahan rezim)
bisa jadi akan menafsirkan ideologi Pancasila sesuai dengan kepentingannya
sendiri, sehingga huru-hara (ontran-ontran) akan mengikuti perubahan rezim dan
perubahan kepemimpinan nasional Indonesia, setiap waktu dari zaman-ke zaman..
Dari latar belakang pemikiran tersebut di atas, dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut: bagaimana seharusnya Pancasila ditempatkan dan
diperankan dalam masyarakat majemuk untuk dapat tercipta perstuan dan kesatuan
(diversity in unity) dengan menengok fakta sejarah bangsa Indonesia, dengan
perspektif ke masa depan, dengan menempatkan ideologi Pancasila sebagai
ordinatnya?
Tulisan ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman ilmiah tentang peran
Pancasila sebagai pemersatu bangsa yang multietnik dan multikultural di
Nusantara ini. Di samping itu, juga bertujuan untuk dapat pamaham agar
Pancasila tidak menjadi alat bagi rezim penguasa baru, yang terkadang
mementahkan perjuangan panjang bangsa Indonesia, dengan gerakan-gerakan sesaat
demi tujuan jangka pendek kelompok dan golongan tertentu. Dengan harapan
persatuan dan kesatuan dan masyarakat madani (gemah ripah loh ginawe/ masyarakat adil dan makmur) dapat terwujud.
2. Pancasila, Zeitgeist dan Cultuurtgebundenheid Sejarah Bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup, sebagai dasar negara, dan sebagai
ideologi bangsa tidak perlu diuraikan lagi dalam makalah ini.
Berbagai pembahasan mengenai Pancasila yang selama ini telah
dimasyarakatkan secara luas, baik dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara
maupun dalam sistem pendidikan Nasional yang diterapkan dari lembaga prasekolah
(TK) sampai ke Perguruan Tinggi (PT). Pendekatannya telah dengan memasyarakat
pula kita ketahui dalam pengkajian pancasila, yaitu pendekatan yuridis,
pendekatan filosofis, dan pendekatan historis. Namun pendekatan historis yang
dipergunakan lebih merupakan legitimasi sejarah ketimbang menampilkan zeitgeist (jiwa zaman masing-masing
periodisasi sejarah) dan cultuurgebundenheid
(ikatan budaya zaman) yang ada dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Dengan
banyaknya terjadi pengingkaran fakta sejarah perjuangan bangsa ini, maka
pendekatan sejarah terkesan hanya menjadi
bahan legitimasi dan lip service penguasa.
Manusia sebagai bagian dari sejarah terkait erat dengan pengalamannya. Sedangkan kehidupan
bangsa (termasuk nation-building)
terkait erat dengan pengalaman kolektifnya yang disebut sejarah. Jika manusia
tidak belajar dari pengalamannya maka selamanya dia akan menjadi “bayi” yang
atau bayi yang baru lahir kemarin. Dengan demikian pertanyaan yang harus kita
lontarkan bersama-sama dalam pertemuan kali ini adalah maukah kita belajar dari
sejarah, bukan dapatkah kita belajar dari sejarah, atau bagaimana sejarah yang
telah terjadi, sehingga saya dapat memanfaatkannya untuk dapat berkuasa?
Setiap peralihan zaman sesungguhnya tambahan umur bagi suatu bangsa, dan
terjadi penambahan kedewasaan bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam setiap penggalan sejarah bisa didapat rohnya zaman (zeigeist-nya) dan di dalamnya ada lingkup budaya yang mengiringi
jiwa zaman itu (cultuurgebundenheid)
atau alikan gumi (istilah Bali) yang
dapat memberikan kebijakan dan pencerahan pada manusia yang menyejarah.
Pengalaman kolektif yang mencakup pelbagai dimensi kehidupan sebuah
komunitas bila dipandang dari perspektif historis mewujudkan suatu kesatuan,
maka dalam mentransmisikannya dari satu generasi ke generasi berikutnya sangat
intrumental sebagai mediasi pemersatu. Dengan kata lain, kehidupan berbangsa
dan bermasyarakat di dalam sejarah nasional kita, yang di dalamnya terkandung
keuniversalan dalam perbedaan maka ideologi Pancasila berfungsi sebagai salah
satu unsur penting dalam universalisme simbolik tersebut. Dan merupakan salah
satu ekspresi kultural nasionalisme, dalam kaca mata Sartono Kartodirdjo
(1999).
Kesadaran akan adanya perubahan zaman, dan keberlanjutan jiwa zaman (continuity and discontinuity) akan
memberikan keluwesan bangsa dalam menghadapi peralihan yang sedang terjadi.
Jiwa zaman dan budaya zaman boleh berubah, tetapi negara dan bangsa ini harus
dapat dipertahankan dan diwariskan seperti yang dicita-citakan oleh pendiri
negara bangsa ini. Dengan kata lain, masyarakat jangan membakar dan membabat
habis bangunan negara bangsa ini, jika kita bertengkar sebagai sebuah keluarga,
di bawah bangunan Negara Bangsa itu, karena dalam pembangunannya telah
menghabiskan beribu-ribu nyawa dan pengorbanan. Penghuninya boleh babat belur
tetapi jangan dijual, dibakar, dihancurkan rumah tinggal ini, yang mana akan
menjadi tempat tinggal anak cucu kita dikemudian hari.
Sejarah memberikan pelajaran, bahwa Nusantara ini telah beberapa kali
jatuh-bangun dan terjadi penggantian bentuk negara dan ideologi, yaitu: dari
zaman Sri Wijaya, Mojopahit, kerajaan Islam, zaman kolonial, dan Republik,
tetapi sebagai bangsa yang perlu hidup di muka bumi ini, akan tetap saja
menggunakan kawasan ini (Nusantara-Asia Tenggara) sebagai lebensrumnya. Kawasan Asia Tenggara ini, tidak bedanya dengan
aliran sungai yang tersumbat di sana-sini, oleh tanggul (sistem politik)
sehingga aliran air mengalami perubahan arus sementara, menunggu tanggul yang
satu atau yang lainnya bobol. Akankan Indonesia tanggul (negara) terbesar di
Asia Tenggara dalam waktu dekat akan bobol (?). Tidak seorang pun yang dapat
menjawabnya, karena itu adalah rahasia sejarah (Dick, 1988).
Dengan demikian, agar Indonesia tetap dapat menjadi negara besar, seperti
kata orang bijak “bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa
para pahlawannya; dengan kata lain, bangsa yang berprospek menjadi besar adalah
bangsa mampu dan mau belajar dari sejarah”. Hal ini mengingatkan kita pada
pidato Soekarno yang berjudul “Jasmerah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
3. Pancasila dalam Diversity in Unity
Kodrat manusia terpancar dalam Pancasila yang diciptakan oleh pendiri
negara untuk dijadikan budaya koordinatif dalam hakiki manusia Indonesia yang
dibesarkan di lingkungan geografis dan lingkungan budaya sangat majemuk. Secara
budaya persoalan hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan hidup
manusia sebagai “Aku/Ego” yang terkait dengan Lingkungan Alamnya, sesamanya
(masyarakat/Society), dan Tuhannya.
Bahwa betapa lengkapnya Pancasila
itu sebagai pemersatu (budaya koordinatif) dalam keanekaragaman budaya etnik (Bhineka Tunggal Ikha), sebagai uji coba
bahwa apa yang terurai di atas dapat juga dicobakan atau diaplikasikan dalam
ideologi lokal Bali yaitu “Tri Hita Karana”.
Hanya saja memang ideologi yang sangat pleksibel, pelaksanaannya sangat
bergantung pada tafsir dan integritas pribadi penafsirnya. Pancasila sebagai
yang ditafsirkan tidak akan luntur oleh hasil penafsirannya (penguasa). Bahkan
akan menambah kedewasaan penafsirnya dalam perkembangan berikutnya. Oleh karena
itu, agar penafsirannya tidak merugikan masyarakat luas maka demokratisasi
penafsiran dalam operasional berbagai bidang kehidupan, sangat dibutuhkan
bahkan menjadi sayarat mutlak dan kesadaran wajib bagi sang penguasa, demi
tidak terjadi penyimpangan yang disengaja atau demi kekuasaan.
Menegok sejarah lahirnya Pancasila dalam wacana yang ada dalam
sidang-sidang BPUPKI dan PPKI selama tiga bula dalam rangka mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia. Aliran-aliran pemikiran diwarnai oleh semangat
nasionalisme dan demokrasi. Lima sila Pancasila yang ada dalam alenia ke-4
Pembukaan UUD 1945 – oleh Hatta dan Drijarkara—secara konseptual dikelompokkan
ke dalam dua kelompok, yaitu: sila pertama dan kedua sebagai landasan moral
dari Republik yang akan didirikan; dan sila ketiga sampai kelima sebagai
landasan politik. Dengan jelas menganut paham nasionalisme dan demokrasi, dan
UUD 1945 disusun untuk melaksanakan itu dalam fasal-fasalnya. Dengan demikian,
usaha untuk memerdekakan wilayah RI dari Sabang sampai Meraoke, sudah
jelas-jelas melanggar semangat pendiri negara. Seperti misalnya, Piagam Jakarta yang disusun oleh
Panitia Sembilan di bawah pimpinan Soekarno, yang berisi anak kalimat “… dengan kewajiban menjalankan syarikat
Islam bagi pemeluknya”, ketika dalam merumuskan pembukaan UUD ’45 mau
dihapuskan tidak ada satu pun dari founding
father itu keberatan, bahkan telah disarankan untuk dihapus jauh
sebelumnya. Karena tidak ada alasan dalam alam demokratis untuk memaksakan
kehendak dalam urusan agama yang dianut oleh warga negaranya (lihat
Kuntowijoyo, 1991; Bahar, 1996:18).
Dengan demikian diversity in unityI
/ pendekatan cross cultural telah
menjadi dasar utama dalam pembentukan negara, dan tidak dapat dibalik, unity in diversity seperti nuansa
kebijakan pada zaman Orde Baru (Robison, 1990). Dalam konteks ini Pancasila
berperan mengayomi keanekaragaman budaya lokal, yakni dikordinasikan dalam
kerangka kesatuan Republik Indonesia.
Bangsa Indonesia sebelum tercipta menjadi sebuah negara bangsa, memiliki
ikatan budaya lokal (local genius)
yang terbagi ke dalam berbagai bahasa, suku, dan kepercayaan lokal.
Masing-masing memiliki kesamaan yang terwujud dalam Pancasila, yang digali dan
ditampilkan ketika kita berada di bawah hegemoni budaya asing (penjajah).
Nasionalisme Indonesia muncul sebagai contra-ideologi dalam menghadapi
kekuatan asing (penjajah). Dengan demikian, tidak ada satu budayapun di
Indonesia yang dapat mengaku sebagai budaya mayoritas terkait dengan
kontra-ideologi asing itu, karena keberadaannya sama-sama minoritas ketika itu,
terkait dengan dominasi dan penetrasi budaya kolonial eropa (lihat Kohn,1984;
Hobsbawm,1992; Kartodirdjo,1999). Kesepakatan ini diwujudkan dengan
memproklamasikan diri, pada tanggal 17 Agustus 1945, yang merupakan titik
kulminasi perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia dalam mengatasi kesukuan
dan kedaerahan yang terceraiberai (Abdulgani,1962). Menuju masyarakat merdeka
bersatu berdaulat menuju masyarakat adil dan makmur, berdasarkan Pancasila.
4. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan penting sebagai berikut: (1)
Pancasila lahir adalah sebagai falsafah negara yang lahir sebagai collective-ideology dari seluruh aliran
berpikir dari bangsa Indonesia; (2) Pancasila adalah hakikat dari realitas
sosial atau rokhnya masyarakat beranekaragam; (3) Karena dia merupakan ideologi
terbuka dan dimanis maka di dalamnya terbuka kesempatan untuk menafsirkannya
dan memaknainya sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan budaya jaman
(zeitgeist dan cultuurgebundenheid); Sejarah Pancasila mengandung berbagai ujian
dan cobaan dalam perjalanannya, terbukti dapat berperan dalam menyelamatkan
keutuhan bangsa; Kodrat manusia Indonesia dapat terwakili dalam sila-sila yang
terdapat dalam Pancasila; Dengan pendekatan croos
cultural Pancasila dapat berperan sebagai landasan moral Republik dan
landasan politik yang demokratik, pada masyarakat multietnik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, H. Roeslan. tt. Resapkan
dan Amalkan: Pancasila.
Prapantja, Jakarta.
|
Hobsbawm, E.J.. 1992. Nasionalisme
Menjelang Abad XXI. Hartian Silawati (penerjemah). Tiara Wacana:
Jogjakarta.
|
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Gramedia: Jakarta.
|
Kuntowijoyo. Paradigma Islam
Interpretasi untuk Aksi. A.E. Priyono (ed.). Mizan: Bandung.
|
Ma’oed, Mohtar. 1989. Ekonomi
dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971. LP3ES: Jakarta.
|
____________. 1994. Politik,
Birokrasi, dan Pembangunan. Pustaka Pelajar: Jogjakarta.
|
Robison, Richard. 1990. “Power and Economy in Suharto,s Indonesia”,
kumpulan Journal of Contemporary Asia
Publishers: Manila, Philippines and Wollongong, Australia.
|
Soekarno, Ir. 1965. Dibawah
Bendera Revolusi. Panitia Penerbit: Jakarta.
|
Undang-Undang Otonomi Daerah 1999. Singaraja Post: Singaraja.
|
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda