Selasa, 12 Desember 2017

ZEITGEIST, CULTUUR GEBUNDENHEID, DIVERSITY IN UNITY : PANCASILA SEBAGAI SOKO GURU MASYARAKAT MULTIETNIK·

ZEITGEIST, CULTUUR GEBUNDENHEID, DIVERSITY IN UNITY :
PANCASILA SEBAGAI SOKO GURU MASYARAKAT MULTIETNIK·
Oleh
I Made Pageh

Abstrak
            Kondisi objektif bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbhinekatunggal ika dalam etnik, kultural, lingkungan fisik, dan kepercayaan/agama. Namun mereka memiliki pengalaman sejarah yang sama, yaitu: sama-sama dijajah oleh bangsa asing. Penjajahan itu, telah memberikan keuntungan untuk mempersatukan keanekaragaman itu, sehingga secara bulat mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menggunakan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara, dengan dasar-dasar dan semangat kebhinekaan dalam ketunggalikaan (unity in diversity). Semangat kebhinekaan itu sudah sangat-sangat disadari oleh pendiri negara. Sebagai contoh dapat dipahami dari penggunaan bahasa melayu sebagai bahasa nasional, bukan bahasa Jawa sebagai bahasa yang dipakai oleh mayoritas penduduk negara yang baru berdiri.
Ada beberapa hal penting perlu dipahami bersama sbb: (1) Pancasila lahir adalah sebagai falsafah negara yang lahir sebagai collective-ideology dari seluruh aliran berpikir dari bangsa Indonesia; (2) Pancasila adalah hakikat dari realitas sosial atau rokhnya masyarakat yang beranekaragam; (3) Karena dia merupakan ideologi terbuka dan dimanis maka di dalamnya terbuka kesempatan untuk menafsirkannya dan memaknainya sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan budaya jaman (zeitgeist dan cultuurgebundenheid). Namun di dalamnya memerlukan kehati-hatian menafsirkannya, dengan menggunakan pendekatan croos cultural agar Pancasila tetap dapat berfungsi mengayomi semua golongan; Pancasila dalam sejarahnya, telah mengalami berbagai ujian dan cobaan rongrongan, tetapi tetapi Pancasila terbukti dapat berperan dalam menyelamatkan keutuhan bangsa Indonesia; Kodrat manusia Indonesia dapat terwakili dalam sila-sila yang terdapat dalam Pancasila; Pancasila dengan pendekatan cross cultural dapat berperan sebagai landasan moral Republik dan landasan politik yang demokratik dalam masyarakat multietnik.

Kata Kunci: Jiwa Zaman dan Ikatan Budaya Zaman, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila Ordinat Masyarakat Multietnik.

1. Pendahuluan
            Berbagai perubahan dan fenomena konflik yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari reformasi mengharuskan kita untuk mengkaji dan mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar kita bernegara. Reformasi telah telah membawa perubahan besar dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratisasi dan pembangunan masyarakat madani (civil society) makin mengedepan dalam wacana publik.
Dominasi negara atas rakyat dan sentralisasi kekuasaan yang selama Orde Baru menjadi dasar dalam mengambil kebijakan publik semakin ditinggalkan (Mas’oed,1994, 1989). Kini realisasinya dapat dipahami dalam UU/22/1999 mengenai Otonomi daerah. Terjadi peningkatan kontrol masyarakat dan tuntutan semakin besarnya partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Hal ini telah mengubah orientasi pemerintah dari sikap “mbahu dendo” ke sikap “mbahu rekso” (meminjam istilah Kuntowijoyo). Reformasi juga menuntut sistem pemerintah yang menggunakan pendekatan keamanan (security approach) ke arah sistem pemerintah yang demokratis dengan pemdekatan partisipatoris. Di samping itu, pendekatan deduktif yang dikembangkan pemerintah selama ini menjadikan pemerintah merupakan sumber kebenaran satu-satunya dalam memaknai Pancasila, bahkan sangat kentara dalam berbagai kasus makna yang dikembangkan sangat berbeda dengan sociofect yang ada di masyarakat. Dengan demikian Pancasila telah dipermainkan dengan menjadikannya dogma semu yang seolah-olah tidak mengakar dalam masyarakatnya.
            Pancasila sebagai ideologi kebangsaan yang dibangun oleh founding father Indonesia dimaksudkan untuk merekatkan keanekaragaman hidup dan kehidupan serta sejarah sistem budaya yang menjiwainya. Dengan kata lain dalam keanekaragaman itu Pancasila berfungsi sebagai ideologi koordinatif di antara keragaman itu (diversity in unity, bukan unity in diversity).
Demikian juga ideologi Pancasila harus mampu menjadi ideologi yang dinamis dan berkembang mengikuti arus zaman dan perkembangan budaya bangsanya (zeitgeist dan cultuurgebundenheid), jika ini tidak dimiliki maka dia akan menjadi dogma sakral yang tanpa makna. Hal ini perlu diantisipasi karena --belajar dari sejarah-- setiap zaman akan memiliki jiwa zaman dan ikatan budaya (alikan gumi) yang berbeda dan meningkat  dengan tuntutan masyarakat yang semakin kompleks (Kartodirdjo, 1992).
Peralihan akan bisa menjadi mala petaka bagi persatuan dan kesatuan bangsa kalau tidak dapat berkaca dari sejarah, karena setiap zaman (perubahan rezim) bisa jadi akan menafsirkan ideologi Pancasila sesuai dengan kepentingannya sendiri, sehingga huru-hara (ontran-ontran) akan mengikuti perubahan rezim dan perubahan kepemimpinan nasional Indonesia, setiap waktu dari zaman-ke zaman..
Dari latar belakang pemikiran tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: bagaimana seharusnya Pancasila ditempatkan dan diperankan dalam masyarakat majemuk untuk dapat tercipta perstuan dan kesatuan (diversity in unity) dengan menengok fakta sejarah bangsa Indonesia, dengan perspektif ke masa depan, dengan menempatkan ideologi Pancasila sebagai ordinatnya?
Tulisan ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman ilmiah tentang peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa yang multietnik dan multikultural di Nusantara ini. Di samping itu, juga bertujuan untuk dapat pamaham agar Pancasila tidak menjadi alat bagi rezim penguasa baru, yang terkadang mementahkan perjuangan panjang bangsa Indonesia, dengan gerakan-gerakan sesaat demi tujuan jangka pendek kelompok dan golongan tertentu. Dengan harapan persatuan dan kesatuan dan masyarakat madani (gemah ripah loh ginawe/ masyarakat adil dan makmur) dapat terwujud.

2. Pancasila, Zeitgeist dan Cultuurtgebundenheid Sejarah Bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup, sebagai dasar negara, dan sebagai ideologi bangsa tidak perlu diuraikan lagi dalam makalah ini.
Berbagai pembahasan mengenai Pancasila yang selama ini telah dimasyarakatkan secara luas, baik dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara maupun dalam sistem pendidikan Nasional yang diterapkan dari lembaga prasekolah (TK) sampai ke Perguruan Tinggi (PT). Pendekatannya telah dengan memasyarakat pula kita ketahui dalam pengkajian pancasila, yaitu pendekatan yuridis, pendekatan filosofis, dan pendekatan historis. Namun pendekatan historis yang dipergunakan lebih merupakan legitimasi sejarah ketimbang menampilkan zeitgeist (jiwa zaman masing-masing periodisasi sejarah) dan cultuurgebundenheid (ikatan budaya zaman) yang ada dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Dengan banyaknya terjadi pengingkaran fakta sejarah perjuangan bangsa ini, maka pendekatan sejarah terkesan hanya menjadi bahan legitimasi dan lip service penguasa.
Manusia sebagai bagian dari sejarah terkait erat dengan pengalamannya. Sedangkan kehidupan bangsa (termasuk nation-building) terkait erat dengan pengalaman kolektifnya yang disebut sejarah. Jika manusia tidak belajar dari pengalamannya maka selamanya dia akan menjadi “bayi” yang atau bayi yang baru lahir kemarin. Dengan demikian pertanyaan yang harus kita lontarkan bersama-sama dalam pertemuan kali ini adalah maukah kita belajar dari sejarah, bukan dapatkah kita belajar dari sejarah, atau bagaimana sejarah yang telah terjadi, sehingga saya dapat memanfaatkannya untuk dapat berkuasa?
Setiap peralihan zaman sesungguhnya tambahan umur bagi suatu bangsa, dan terjadi penambahan kedewasaan bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam setiap penggalan sejarah bisa didapat rohnya zaman (zeigeist-nya) dan di dalamnya ada lingkup budaya yang mengiringi jiwa zaman itu (cultuurgebundenheid) atau alikan gumi (istilah Bali) yang dapat memberikan kebijakan dan pencerahan pada manusia yang menyejarah.
Pengalaman kolektif yang mencakup pelbagai dimensi kehidupan sebuah komunitas bila dipandang dari perspektif historis mewujudkan suatu kesatuan, maka dalam mentransmisikannya dari satu generasi ke generasi berikutnya sangat intrumental sebagai mediasi pemersatu. Dengan kata lain, kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di dalam sejarah nasional kita, yang di dalamnya terkandung keuniversalan dalam perbedaan maka ideologi Pancasila berfungsi sebagai salah satu unsur penting dalam universalisme simbolik tersebut. Dan merupakan salah satu ekspresi kultural nasionalisme, dalam kaca mata Sartono Kartodirdjo (1999).
Kesadaran akan adanya perubahan zaman, dan keberlanjutan jiwa zaman (continuity and discontinuity) akan memberikan keluwesan bangsa dalam menghadapi peralihan yang sedang terjadi. Jiwa zaman dan budaya zaman boleh berubah, tetapi negara dan bangsa ini harus dapat dipertahankan dan diwariskan seperti yang dicita-citakan oleh pendiri negara bangsa ini. Dengan kata lain, masyarakat jangan membakar dan membabat habis bangunan negara bangsa ini, jika kita bertengkar sebagai sebuah keluarga, di bawah bangunan Negara Bangsa itu, karena dalam pembangunannya telah menghabiskan beribu-ribu nyawa dan pengorbanan. Penghuninya boleh babat belur tetapi jangan dijual, dibakar, dihancurkan rumah tinggal ini, yang mana akan menjadi tempat tinggal anak cucu kita dikemudian hari.
Sejarah memberikan pelajaran, bahwa Nusantara ini telah beberapa kali jatuh-bangun dan terjadi penggantian bentuk negara dan ideologi, yaitu: dari zaman Sri Wijaya, Mojopahit, kerajaan Islam, zaman kolonial, dan Republik, tetapi sebagai bangsa yang perlu hidup di muka bumi ini, akan tetap saja menggunakan kawasan ini (Nusantara-Asia Tenggara) sebagai lebensrumnya. Kawasan Asia Tenggara ini, tidak bedanya dengan aliran sungai yang tersumbat di sana-sini, oleh tanggul (sistem politik) sehingga aliran air mengalami perubahan arus sementara, menunggu tanggul yang satu atau yang lainnya bobol. Akankan Indonesia tanggul (negara) terbesar di Asia Tenggara dalam waktu dekat akan bobol (?). Tidak seorang pun yang dapat menjawabnya, karena itu adalah rahasia sejarah (Dick, 1988).
Dengan demikian, agar Indonesia tetap dapat menjadi negara besar, seperti kata orang bijak “bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya; dengan kata lain, bangsa yang berprospek menjadi besar adalah bangsa mampu dan mau belajar dari sejarah”. Hal ini mengingatkan kita pada pidato Soekarno yang berjudul “Jasmerah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
3. Pancasila dalam Diversity in Unity
Kodrat manusia terpancar dalam Pancasila yang diciptakan oleh pendiri negara untuk dijadikan budaya koordinatif dalam hakiki manusia Indonesia yang dibesarkan di lingkungan geografis dan lingkungan budaya sangat majemuk. Secara budaya persoalan hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan hidup manusia sebagai “Aku/Ego” yang terkait dengan Lingkungan Alamnya, sesamanya (masyarakat/Society), dan Tuhannya. 
Bahwa betapa lengkapnya Pancasila itu sebagai pemersatu (budaya koordinatif) dalam keanekaragaman budaya etnik (Bhineka Tunggal Ikha), sebagai uji coba bahwa apa yang terurai di atas dapat juga dicobakan atau diaplikasikan dalam ideologi lokal Bali yaitu “Tri Hita Karana”.
Hanya saja memang ideologi yang sangat pleksibel, pelaksanaannya sangat bergantung pada tafsir dan integritas pribadi penafsirnya. Pancasila sebagai yang ditafsirkan tidak akan luntur oleh hasil penafsirannya (penguasa). Bahkan akan menambah kedewasaan penafsirnya dalam perkembangan berikutnya. Oleh karena itu, agar penafsirannya tidak merugikan masyarakat luas maka demokratisasi penafsiran dalam operasional berbagai bidang kehidupan, sangat dibutuhkan bahkan menjadi sayarat mutlak dan kesadaran wajib bagi sang penguasa, demi tidak terjadi penyimpangan yang disengaja atau demi kekuasaan.
Menegok sejarah lahirnya Pancasila dalam wacana yang ada dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI selama tiga bula dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Aliran-aliran pemikiran diwarnai oleh semangat nasionalisme dan demokrasi. Lima sila Pancasila yang ada dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 – oleh Hatta dan Drijarkara—secara konseptual dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: sila pertama dan kedua sebagai landasan moral dari Republik yang akan didirikan; dan sila ketiga sampai kelima sebagai landasan politik. Dengan jelas menganut paham nasionalisme dan demokrasi, dan UUD 1945 disusun untuk melaksanakan itu dalam fasal-fasalnya. Dengan demikian, usaha untuk memerdekakan wilayah RI dari Sabang sampai Meraoke, sudah jelas-jelas melanggar semangat pendiri negara. Seperti misalnya, Piagam Jakarta yang disusun oleh Panitia Sembilan di bawah pimpinan Soekarno, yang berisi anak kalimat “… dengan kewajiban menjalankan syarikat Islam bagi pemeluknya”, ketika dalam merumuskan pembukaan UUD ’45 mau dihapuskan tidak ada satu pun dari founding father itu keberatan, bahkan telah disarankan untuk dihapus jauh sebelumnya. Karena tidak ada alasan dalam alam demokratis untuk memaksakan kehendak dalam urusan agama yang dianut oleh warga negaranya (lihat Kuntowijoyo, 1991; Bahar, 1996:18).
Dengan demikian diversity in unityI / pendekatan cross cultural telah menjadi dasar utama dalam pembentukan negara, dan tidak dapat dibalik, unity in diversity seperti nuansa kebijakan pada zaman Orde Baru (Robison, 1990). Dalam konteks ini Pancasila berperan mengayomi keanekaragaman budaya lokal, yakni dikordinasikan dalam kerangka kesatuan Republik Indonesia.
Bangsa Indonesia sebelum tercipta menjadi sebuah negara bangsa, memiliki ikatan budaya lokal (local genius) yang terbagi ke dalam berbagai bahasa, suku, dan kepercayaan lokal. Masing-masing memiliki kesamaan yang terwujud dalam Pancasila, yang digali dan ditampilkan ketika kita berada di bawah hegemoni budaya asing (penjajah).
Nasionalisme Indonesia muncul sebagai contra-ideologi dalam menghadapi kekuatan asing (penjajah). Dengan demikian, tidak ada satu budayapun di Indonesia yang dapat mengaku sebagai budaya mayoritas terkait dengan kontra-ideologi asing itu, karena keberadaannya sama-sama minoritas ketika itu, terkait dengan dominasi dan penetrasi budaya kolonial eropa (lihat Kohn,1984; Hobsbawm,1992; Kartodirdjo,1999). Kesepakatan ini diwujudkan dengan memproklamasikan diri, pada tanggal 17 Agustus 1945, yang merupakan titik kulminasi perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia dalam mengatasi kesukuan dan kedaerahan yang terceraiberai (Abdulgani,1962). Menuju masyarakat merdeka bersatu berdaulat menuju masyarakat adil dan makmur, berdasarkan Pancasila.
4. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan penting sebagai berikut: (1) Pancasila lahir adalah sebagai falsafah negara yang lahir sebagai collective-ideology dari seluruh aliran berpikir dari bangsa Indonesia; (2) Pancasila adalah hakikat dari realitas sosial atau rokhnya masyarakat beranekaragam; (3) Karena dia merupakan ideologi terbuka dan dimanis maka di dalamnya terbuka kesempatan untuk menafsirkannya dan memaknainya sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan budaya jaman (zeitgeist dan cultuurgebundenheid); Sejarah Pancasila mengandung berbagai ujian dan cobaan dalam perjalanannya, terbukti dapat berperan dalam menyelamatkan keutuhan bangsa; Kodrat manusia Indonesia dapat terwakili dalam sila-sila yang terdapat dalam Pancasila; Dengan pendekatan croos cultural Pancasila dapat berperan sebagai landasan moral Republik dan landasan politik yang demokratik, pada masyarakat multietnik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, H. Roeslan. tt. Resapkan dan Amalkan: Pancasila. Prapantja, Jakarta.

Hobsbawm, E.J.. 1992. Nasionalisme Menjelang Abad XXI. Hartian Silawati (penerjemah). Tiara Wacana: Jogjakarta.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Gramedia: Jakarta.

Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. A.E. Priyono (ed.). Mizan: Bandung.

Ma’oed, Mohtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971. LP3ES: Jakarta.

____________. 1994. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan. Pustaka Pelajar: Jogjakarta.

Robison, Richard. 1990. “Power and Economy in Suharto,s Indonesia”, kumpulan Journal of Contemporary Asia Publishers: Manila, Philippines and Wollongong, Australia.

Soekarno, Ir. 1965. Dibawah Bendera Revolusi. Panitia Penerbit: Jakarta.

Undang-Undang Otonomi Daerah 1999. Singaraja Post: Singaraja.






0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda