Rabu, 29 November 2017

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PERSPEKTIF SOSIO-KULTURAL

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PERSPEKTIF SOSIO-KULTURAL


1. Pendahuluan
          Metode penelitian acap kali dipilahkan menjadi dua, yakni peneltiian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dalam perspektif strukturalis, pemilahan ini tidak bersifat oposisi biner horizontal, melainkan mengarah pada oposisi biner vertikal atau berkelas.  Penelitian kuantitatif  ditempatkan pada posisi atas, bahkan mengarah kepada hubungan  hegemonik, sehingga penelitian kualitatif menjadi termarginalisasi. Ucapan-ucapan bernada sinis pun bermunculan, misalnya, ada yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif tidak ilmiah atau mereka yang menggeluti penelitian kualitatif adalah orang-orang yang “tidak laku” atau “tidak bisa” statistik sehingga tidak ada jalan lain, kecuali harus menggeluti penelitian kualitatif. Akibatnya, pada lembaga-lembaga tertentu penelitian kualitatif kurang mendapatkan “pasaran” daripada penelitian kualitatif.
            Pandangan seperti itu tentu bersifat bias akademik yang merugikan penelitian kualitatif, sehingga perlu diluruskan. Untuk itu, diperlukan wawasan yang mengarah pada pengembangan kesadaran guna memberikan ruang hidup yang setara kepada kedua jenis penelitian tersebut, sesuai dengan paradigma yang dianut, sifat, tujuan, dan fokusnya (Strauss dan Corbin, 2003; Faisal, 2001). Berkenaan dengan itu maka ada baiknya untuk terus mewacanakan penelitian kualitatif agar lebih dikenal secara akademik. Untuk itu, makalah ini mencoba mewacanakan dua aspek penting mengenai penelitian kualitatif, yakni: pertama, perdebatan epistemologi dan metodologi bertalian dengan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Kedua, karakteristik penelitian kualitatif dan dasar teori (paradigma) yang mendasarinya. Dengan demikian, tidak saja  diharapkan kita bisa memahami posisi penelitian kualitatif, tetapi yang lebih penting bisa pula menerapkannya secara tepat guna, terutama untuk penelitian bidang ilmu sosial dan humaniora.

2.   Metodologi Sosio-Kultural  
            Setiap tindakan atau interaksi sosial selalu dibimbing oleh sebuah sistem pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat. Pengetahuan ini menyediakan petunjuk-petunjuk praktis untuk interaksi para individu dalam masyarakat. Individu-individu secara intersubjektif berbagi pengetahuan satu dengan yang lainnya, dan secara kontinyu memodifikasi pengetahuan tersebut (Nugroho, 2001). Pengetahuan ini berfungsi sebagai resep bertindak dan atau sarana untuk menginterpretasikan maupun memberikan makna terhadap suatu kondisi, sebagaimana tercermin pada tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari (Geertz, 1973; Keesing, 1992).
            Walaupun pengetahuan ini adalah produksi dari manusia, namun eksistensinya dipahami sebagai sebuar realitas yang objektif dan memaksa anggota-anggota masyarakat untuk melakukan konformitas dengannya. Dengan mengacu kepada Durkheim realitas objektif ini disebut fakta sosial. Menurutnya, individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian, fakta sosial terlahir dalam bentuk cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat yang patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu (Johnson, 1992: 177). Menurut Berger dan Luckmann (1990) pengetahuan sehari-hari ini dikonstruksi oleh individu-individu dalam tiga fase, yakni internalisasi, eksternalisasi, dan objektivasi. Dengan cara ini manusia memahami pengetahuan itu secara apa adanya (take for granted).
            Dalam rangka memahami perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, peneliti sosial dan humaniora seyogyanya mendeskripsikan pengetahuan sosial atau fakta sosial itu tanpa dibingungkan oleh pengetahuan subjektifnya. Namun timbul masalah, yakni sejauh mana peneliti sosial dan humaniora sebagai orang luar bisa mencapai akses pengehatuan keseharian suatu komunitas yang menjadi objek kajiannya? Dalam konteks ini  ada debat antara sejarawan, sosiolog dan antropolog (ilmuwan sosial lainnya) tentang jawaban yang pasti akan hal ini. Perdebatan mereka tidak saja menyangkut aspek metodologi, tetapi juga aspek epistemologi.   
            Perdebatan tentang metodologi terutama bertalian dengan metode apa yang tepat dipakai untuk mengkaji fakta sosial, bukan hal yang baru, melainkan telah mengemuka pada abad ke XVIII dan awal abad ke XIX. Pada masa ini kaum posivistik atau penganut epistemologi naturalistik-positivistik berjaya.  Hal ini berkaitan erat dengan keunggulan teori  dan metodologi ilmu positivistik telah terbukti hasilnya, yakni lahirnya industrialisasi. Akibatnya, banyak kelompok disiplin yang bermunculan menjadi cikal bakal disiplin ilmu sosial (ekonomi, sosiologi, politik, psikologi, sejarah, antropologi, dll.), mulai melakukan pembaruan metodologis dengan mengikuti model ilmu alam. Ilmu alam dianggap sebagai tipe ideal bagi ilmu sosial  (Zed, 2006: 89).
            Epistemologi naturalistik-positivistik (lazim pula positivistik), “pendekatan sains atau pendekatan objektif” (Mulyana, 2001: 28), bersumber dari pemikiran Comte yang menegaskan bawa fenomena sosial, baik itu pengetahuan sosial maupun perilaku sosial, memiliki karakteristik yang sama dengan fenomena alam. Ada hukum umum yang mengatur tindakan manusia.  Tugas para ilmuwan sosial adalah menemukan dan menjelaskan hukum-hukum umum. Karena kemiripan kedua fenomena ini, maka metode penelitian ilmu alam dapat dipakai untuk melakukan penelitian ilmu sosial. Klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan kebenarannya lewat metode ilmu alam (science). Begitu pula Mulyana (2001: 24) menyatakan bahwa
            Oleh karena mempunyai pandangan ilmu alam, pendekatan objektif terhadap perilaku manusia memandang bahwa ada keteraturan dalam realitas dan dalam perilaku manusia, meskipun keteraturan itu bersifat probabilitik. Kaum objektivis menganggap dunia sosial mirip dengan dunia fisik, sebagai sesuatu yang konkret dan terpisah dari orang yang mengamatinya, dengan suatu struktur yang harus dan dapat ditemukan. Meskipun tidak ditemukan, struktur itu masih ada di sana dan independent dari mereka yang mencoba menemukannya. Dunia memiliki keteraturan tertentu yang menunggu untuk ditemukan. …. Jadi ilmuwan objektivis mencari hukum-hukum umum dengan menjelaskan variabel mana menyebabkan atau berkorelasi dengan variabel lainnya.    

 Setiap pengetahuan yang tidak berdasarkan pada metode ilmu alam – “penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis atas hipotesis mengenai hubungan di antara fenomena” (Mulyana, 2001: 23),  tidak layak disebut ilmu. Jika ilmu sosial dan humaniora ingin mendapatkan pengakuan masuk dalam kategri science, maka dia harus mengadopsi metode ilmu alam (Nugroho, 2001, 2004). Epistemologi positivistik telah mampu mengembangkan berbagai teknik penelitian, misalnya survei, analisis isi, statistik, dll. Dengan memakai prosedur statistik, peneliti dapat meprediksi dan menggeneralisir fenomena sosial (Nugroho, 2001, 2004).
Sebaliknya, ada pula epistemologi yang berlawanan dengannya, yakni epistemologi humanistik-kulturalistik atau lazim pula disebut studi humanistik atau pendekatan subjektif (Mulyana, 2001). Epistemologi ini berasal dari Wilhelm Dilthey (1822-1911). Dia  membedakan dua jenis ilmu, yakni Geisteswissenschften  dan Naturwissenshaften. Geisteswissenschften menunjuk pada ilmu sosial dan humaniora, sedangkan Naturwissenshaften menunjuk. pada ilmu-ilmu alam. Epistemologi humanistik-kulturalistik terkait dengan Geisteswissenschften, sedangkan epistemologi naturalistik-positivistik terkait dengan Naturwissenshaften. Keduanya tidak sama, karena fenomena alam berbeda daripada fenomena sosial. Tindakan manusia dan interaksi sosial memiliki makna subjektif yang harus diinterpretasikan. Sedangkan fenomena alam tidak memiliki makna subjektif. Karena itu, metode ilmu alam tidak bisa diterapkan untuk mengkaji fenomena sosial. Sangat menyesatkan jika metode ilmu alam dipakai mengkaji fenomena sosial (Nugroho, 2001; Palmer, 2003; Ricouer, 2006, Bleicher, 2003; Habermas, 2006; Howard, 2000; Gadamer, 2004).
Dilthey tidak saja menyerang asumsi-asumsi dasar paradigma positivistik, tetapi juga memberikan solusi tandingan. Pertama, Dilthey menafikan pendirian paradigma positivistik  yang mengatakan bahwa dunia tercipta di luar subjek (ilmuwan), yakni pada fakta-fakta yang dapat dikenali secara objektif. Subject matter ilmu-ilmu sosial tidak hanya urusan fakta-fakta bendawi, tetapi lebih berpusat pada ekspresi pikiran dan tindakan manusia yang diobjektivasikan. Kedua, Dilthey juga mengeritik gagasan metodologis positivisme yang mengatakan bahwa fakta-fakta sosial dapat diterangkan dengan hukum-hukum kausalitas ilmu alam. Dilthey sebaliknya berpandangan bahwa positivisme dapat menjelaskan alam fisik secara kausalitas, tetapi tindakan harus dimengerti  (to be understood, verstehen) dan bukannya dinalar  (erklaren) dengan menggunakan penjelasan kausalitas lewat logika nomotetis (Zed, 2006: 91). Untuk itu, Dilthey lewat epistemologi humanistik-kulturalistik, menawarkan metode khusus untuk mengkaji fenomena sosial, yakni observasi partisipasi, penelitian biografi, dan deskripsi mendalam atau menurut istilah Geertz (1973: 1-54) disebut thick description.
Dengan rumusan yang lain, Kenneth Burke sebagaimana dikutif oleh Mulyana (2001: 32-33) memberikan penjelasan bahwa
Perbedaan antara sesuatu (benda) dengan manusia adalah bahwa benda sekedar bergerak, sedangkan manusia bertindak karena itu bahasa mekanisme tidak memadai bagi studi diri manusia. Kaum subjektivis menjelaskan makna perilaku dengan menafsirkan apa yang orang lakukan. Interaksi atas perilaku ini tidak bersifat kausal, dan tidak bisa juga dijelaskan lewat penemuan hukum atas generalisasi empiris seperti yang dilakukan ilmuwan objektif. Fokus perhatian kaum subjektivis adalah bagian perilaku manusia yang disebut tindakan (action), bukan sekedar gerakan tubuh, yang mencakup ucapan, bukan dengkuran,; melompat, bukan terjatuh; bunuh diri, bukan sekedar kematian. Mengapa demikian? Karena, tidak seperti kebanyakan hewan, tumbuhan, dan mineral, manusia punya pikiran, kepercayaan, keinginan, niat, maksud, dan tujuan. Semuah hal itu memberi makna kepada kehidupan dan tindakan mereka, dan membuat kehidupan dan tindakan tersebut dapat dijelaskan.

Dengan demikian, menurut kaum subjektivis, bukan perilaku (social behavior - tingkah laku yang otomatis/mekanistik), melainkan tindakan (action), yakni  tingkah laku sosial yang berlatarkan niat tertentu, pertimbangan tertentu, alasan-alasan (reasons) yang tersembunyi di balik tindakan para pelaku tindakan sosial. Atau bermuara pada “makna sosial” (social meaning) dari suatu fenomena sosial. Fokusnya bisa ke arah untuk menemukan etika macam apa, frame (pola fikir) macam apa, tema atau nilai budaya macam apa, atau rasionalitas macam apa   yang terpancar dan atau tersembunyi (noumena) di balik suatu fenomena sosial (Faisal, 2001: 28-29).
            Perdebatan antara kaum naturalistik-positivistik dan kaum humanistik-kulturalistik menimbulkan perselisihan yang panas. Hal ini bermula di Jerman, lalu meluas di Eropa, bahkan terus berlanjut di Amerika. Perselisihan ini menjadi berkepanjangan dan oleh para filosof disebut sebagai Methodenstreit (Nugroho, 2001, 2004; Zed, 2005).  Max Weber (1864-1920),  berusaha mendamaikan perselisihan ini dengan menyatakan bahwa ilmu sosial dapat mengambil metode ilmu alam yang disebutnya metode enklaeren, dan dapat pula memakai metode interpretatif atau verstehen. Jadi, Weber berpegang pada epistemologi dualisme dalam penelitian ilmu sosial dan humaniora (Nugroho, 2004; Johnson, 1992: 216).

3. Perselisihan Pandangan dengan Ilmu Ekonomi
            Perselisihan metodologi juga terjadi pada ilmu ekonomi. Hal ini berawal ketika para filsof menentukan status keilmuan dan metodologi dari disiplin ekonomi. Pada tahun 1870-an dan 1880-an terjadi perdebatan antara Gustav Schmoller dan Carl Menger. Perdebatan mereka bertalian dengan permasalahan, apakah ilmu ekonomi bekerja mengikuti metode “eksata” atau “histories”, metode “deduktif” atau “induktif”, dan metode “abstrak” atau  “empiris”. Dengan kata lain, apakah ilmu ekonomi masuk ke dalam kategori pengetahuan nomotetik atau ideografik. Nonotetik adalah pengetahuan yang mencari hukum-hukum umum atau keteraturan, sedangkan ideografik adalah pengetahuan spesifik yang menyoroti gejala individual dan historis – berdasarkan pada humaniora  (Nugroho, 2004).
            Namun apa yang terjadi kemudian, pemenangnya adalah epistemologi naturalistik-positivistik. Ilmu ekonomi berupaya menyejajarkan dirinya dengan ilmu alam. Hal ini antara lain  dipelopori oleh Stuart Mill yang memperkenalkan ilmu ekonomi yang semula termasuk “ilmu moral” dengan rumus-rumus matematik atau ekonometrik (Zed, 2006: 89).  Menurut Nugroro (2004: 9)  “… kemenangan ini bukan dalam pengertian substansial tetapi lebih merupakan proses politik akademik di perguruan tinggi yang berkembang pada waktu itu.”. Atau dalam bahasa yang agak kritis, seperti dikemukakan Kuhn (2002), kemenangan suatu paradigma bukan semata-mata karena kehebatan paradigma yang bersangkutan, tetapi terkait pula dengan dukungan komunitas ilmiah. Apalagi banyak ahli ekonomi mendapatkan hadiah nobel karena keberhasilan mereka mengangkat disiplin ekonomi menjadi sains. “Ya, sains ekonomi (economics), sebuah new science yang semakin posivistis, bebas nilai, dan terutama karena semakin kuantitatif dan eksak” (Saenong, 2003: viii).  
            Para filsof yang tidak setuju dengan status ini (mereka yang mendukung ilmu ekonomi dengan wawasan historis, seperti Weber) terserap dalam sosiologi. Mereka mengembangkan ekonomi dengan wawasan historis dan budaya, di mana pada perkembangan lebih lanjut, masuk ke dalam disiplin sosiologi ekonomi. Sebagaimana ditunjukkan Nugroho (2001) dalam disertasinya yang berjudul “Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa”, sosiologi ekonomi bisa saja menggunakan teknik survai guna mendapatkan data agregat, namun di sisi yang lain observasi berpartisipasi dalam konteks verstehen atau to be understood sebagaimana dianjurkan oleh Weber dan Dilthey, tidak bisa dibaikan sehingga apa yang dilakukan manusia yang pada dasarnya merupakan ekspresi pikiran dan tindakan  yang diobjektivasikan, terpahami tercara utuh. Hasilnya sangat menakjubkan, karena Nugroho mampu menggambarkan secara cermat tentang kekuasaan uang pada sistem sosial budaya masyarakat Jawa.
Antropologi mengembangkan pula atropologi ekonomi. Hal ini diawali dengan karya Thorstein Veblem (1899), Brosnowski Malinowski (1922), dll. Antropologi ekonomi lebih menekankan pada kajian terhadap pranata ekonomi dalam kaitan yang holistik dengan pranata lainnya (agama, politik, ekologi, teknologi), terutama pada masyarakat yang belum secara luas mengenal mekanisme uang.
            Meskipun antropologi ekonomi menempatkan gejala pertukaran sebagai persoalan yang berdimensi luas, tetapi disiplin ini pada mulanya kurang menaruh perhatian terhadap pertukaran yang menggunakan mekanisme uang atau sistem ekonomi pasar. Sebaliknya, ilmu ekonomi, paling banyak berurusan dengan masalah pertukaran dalam ekonomi pasar. Walaupun demikian, ilmu ekonomi cenderung mengabaikan sosial budaya dalam menganalisis permasalahan ekonomi… Diabaikannya variabel-variabel tersebut berkaitan dengan kenyataan yang ditemukan dalam ekonomi neo-klasik bahwa hukum-hukum ekonomi berjalan tanpa kontrol variabel-variabel tersebut (Sairin, Semadi, dan Hudayana, 2002: 40).        
             
            Dewasa ini banyak  antropolog ekonomi  manaruh perhatian terhadap gejala pertukaran yang menggunakan uang. Hal ini sejalan dengan transformasi ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi modern, sedang melanda di berbagai tempat, sejak zaman penjajahan,  zaman poskolonial, dan terus berlanjut pada era globalisasi. Akibatnya, timbul perubahan mendasar, yakni ekonomi tradisional terkikis, lalu digantikan dengan ekonomi komersial yang semakin kuar pengaruhnya. Pasar (supermarket, hypermarket, mall) amat penting, sehingga posisinya  telah berubah menjadi areal yang tak ubahnya seperti tempat suci (Atmadja, 2007). Bersamaan dengan menerapan pembangunanisme pada negara-negara berkembang, maka timbul perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik  yang sangat luas dan kompleks. Antropologi ekonomi pun berkembang, yakni menggunakan pendekatan  Neo-Marxis sehingga melahirkan Marxisme Antropologi dan Ekonomi Politik (Clammer, 2003).
            Karya ilmiah yang bertemakan sosiologi  ekonomi maupun antropologi ekonomi terus berkembang. Selain karya tulis yang telah disebutkan di atas, maka karya tulis klasik Weber (2006; lihat pula Andresky, 1989) tidak bisa diabaikan. Begitu pula karya tulis Bellah (1992), Geertz (1977), de Jonge (1989), dan lain-lain, merupakan beberapa contoh penting bagaimana pakar sosiologi dan atau antropologi mengkaji masalah ekonomi, menggunakan paradigma humanistik-kulturalistik. Globalisasi menyebabkan negara-negara di dunia menyatu dalam suatu kampung global (Global Vilage), dan terlibat dalam jaringan bisnis. Faktor bisnis yang sangat penting adalah adalah 4C, yakni Communication, Capital, Corporations, and Consumer (Komunikasi, Modal, Korporasi, dan Konsumen) (Ohmahe, 2005). Hal ini menimbulkan dampak yang luas dan kompleks, sehingga menarik perhatian dari berbagai pakar. Mereka menggunakan pendekatan multidimensional, yakni tidak saja pendekatan ekonomi  (aspek yang banyak disoroti adalah hakikat manusia sebagai homo consumer, mesin hasrat, ekonomi libido, dll.), tetapi juga pendekatan sosiologi, politik, komunikasi, psikoanalisis, budaya, dll. Kajian terhadap globalisasi banyak pula  memakai teori kritis posmodern, terlihat pada kajian budaya  (Cultural Studies) (Piliang, 1998, 2003, 2004, 2005; Griffin, 2005; Ohmae, 2005;  Hertz, 2004; Tabb, 2006; Hirst dan Thomson, 2001; Steger, 2005).

4. Teori Kritis Jurgen Habermas
            Pergulatan antara pendekatan objektivis (epistemolog/paradigma naturalistik-postivistik, nomotetis) dan pendekatan subjektivis (epistemologi/paradigma humanistik-kulturalistik, ideografis) terus berlanjut. Pada tahun 1920-an muncul di Jerman filsof yang bergabung dalam Frankfurt School (Mazhab Frankfurt), antara lain ditokohi oleh Max Horkheimer, Theodor W. Ardorno, Herbert Marcus, dll. Tokoh muda mazhab ini, adalah Jurgen Habermas. Mazhab ini mengembangkan aliran filsafat pemikiran kritis dan teori-teori yang dikembangkannya, disebut teori kritis atau teori sosial kritis (Marinjay, 2005; Agger, 2003).
Ciri khas aliran kritis yang mengambil titik-pangkalnya dari pemikiran Karl Marx itu adalah bahwa pemikiran filosofis selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Ia  tidak mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni, seakan-akan filsafat dapat secara netral menganalisa hakikat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus terlibat di dalamnya. Pemikiran kritis merasa diri bertanggungjawab terhadap keadaan sosial yang nyata (Magnis-Suseno, 1990: ix-x).    

            Berkenaan dengan itu maka teori kritis mengajukan beberapa kritik terhadap pendekatan positivistik, yakni pertama, klaim positivistik tentang sifat value-free, begitu pula gagasan ilmu untuk ilmu (ilmu murni) dalam konteks kerja ilmu, dianggap tidak tepat. Ilmu harus memiliki karakteristik praksis – bukan riset kebijakan, karena terkait dengan kepentingan kekuasaan (mendominasi dan menghegemoni masyarakat), melainkan lebih menekankan pada riset advokasi dan emansipasi serta pencerahan dari agen-agen secara tersembunyi. Pencerahan dan emansipasi tidak mesti berarti tindakan pembebasan secara revolusioner, melainkan bisa pula berarti penelanjangan atas ideologi yang digunakan oleh agen-agen yang sengaja disembunyikan di balik suatu tindakan - teori kritis berubah menjadi kritik ideologi. Penyembunyian ideologi ini mengakibatkan orang lain (kelomppok subordinat) tidak bisa membebaskan dirinya, karena mereka terjerat pada kesadaran palsu – pandangan dunia mereka adalah ideologi yang keliru. Kedua, teori kritis menolak asas nomotetis, dengan alasan bahwa, suatu fenomena sosial secara historis dikondisikan oleh pengalaman-pengalaman sezaman dan secara kultural ditentukan oleh nilai-nilai dominan yang dianut. Ketiga,  teori kritis menolak pemisahan antara individu dan masyarakat, penalaran dan emosi (hasrat, keinginan), fakta dari nilai-nilai, pengetahuan ojektif dari opini subjektif sebagai bagian dari realitas. Keempat, teori positivistik menekankan pada konfirmasi empiris (empirical confirmation) melalui pengamatan (observations) dan percobaan (experiment), sedangkan teori kritis dapat diterima secara kognitif jika selamat dari proses evaluasi secara reflektif dan kontinyu (Zed, 2005; Agger, 2003; Martinjay, 2005; Geuss, 2004).
            Gagasan ini mendapat reaksi dari kaum potivistik. Pada tahun 1960, terjadi debat antara kaum positivisme dan mazhab teori kritis. Debat ini melibatkan Karl R. Popper, dan kawan-kawannya (Mazhab positivisme, positivisme logis/rasionalisme kritis - disebut Mazhab Wina) melawan  Theodor W. Ardorno, dan kawan-kawannya (mazhab teori kritis, Mazhab Frankfurt). Sebagaimana halnya dengan debat-debat sebelumnya, keduanya tidak mendapatkan titik temu sehingga silang pendapat antara kedua pendekatan tersebut tetap bertahan seperti sediakala. Bersamaan dengan itu  hegemoni pendekatan objektif atau epistemologi naturalistik-positivistik  tetap berlangsung secara kokoh sampai saat ini. Karena itu, debat antara kaum objektif/naturalistik-positivistik dan kaum subjektif/humanistik-kulturalsitik pun tetap berlangsung, namun dengan intensitas yang berbeda daripada sebelumnya (Nugroho, 2004; Taryadi, 1991; Wuisman, 1996; Albert, 2004).
            Habermas sebagai penganut teori kritis tidak saja terus mengeritisi paradigma positivistik, tetapi juga terus mengembangkan teori kritis, dengan cara memberikan pemaknaan atau penafsiran yang baru secara berkontekstual terhadap gagasan para pendahulunya. Perhatian Habermas, tidak saja tertuju pada bidang filsafat, tetapi juga pada bidang lainnya, yakni fenomenologi, bahasa, epistemologi, estetika, sosiologi, psikologi, dll. Berkenaan dengan itu Haberman (1990, 2006; lihat pula dalam Hardiman, 2003; 2003a; Nugroho, 2004) mengemukakan epistemologi atau paradigma ilmu sebagaimana terlihat pada tabel 1.

Tabel 01
Paradigma Ilmu Jurgen Habermas

Paradigma Instrumental
Paradigma Hermenutika
Paradigma Kritik
Instrumental Knowledge atau ilmu-ilmu empiris-analitis.
Historis Hermeneutik Konwledge
Critical/Emancipatori Konowledge atau ilmu-ilmu tindakan.
Pengetahuan menaklukan dan mendominasi objek
Pengetahuan membuat potret suatu gejala sosial budaya secara holistic.
Membebaskan manusia dari ketidakadilan dalam masyarakat Industri
Positivistik
Konstrukvistik/
Fenomenologi
Berakar pada tradisi Kant, Freud, Hegel, Marx
Hukum, generalisasi, universalisme
Memahami secara sungguh-sungguh (keunikan, kasus)
Teori emansipatoris (membangun teori rasional membebaskan manusia dari ketidakadilan).
Pendekatan ilmu-ilmu alam. Metode penelitian analitis-empirik (dalam hal ini diwakili oleh teknik survai dan analisis statistic).
Pendekatan intrepretatif (Fenomenologi, Etnometodologi) atas tindakan/ujaran sebagai suatu teks. Metode penelitian historis-hermeneutis.
Pendekatan holistik, partisipatoris, menghindarkan berfikir reduksionistik, deterministik, melihat realitas sosial dalam dimensi kesejarahan. Metode refleksi-diri.
Verifikasionis dan falsifikasionis
Menemukan teori/model grounded Theory (Hermenutik Melingkar)
Dekonstruksi terhadap realitas sosial untuk perbaikan secara partisipatoris.

Tabel 01 menunjukkan bahwa  Habermas membedakan paradigma ilmu menjadi tiga jenis, yakni paradigma instrumental, paradigma hermeneutik, dan paradigma kritis. Paradigma instrumental dapat disamakan dengan paradigma/pendekatan naturalistik-positivistik, nomotetik atau pendekatan objektif. Paradigma hermeneutik dapat disamakan dengan paradigma/pendekatan humanistik-kulturalistik, ideografis atau pendekatan subjektif. Paradigma instrumental tidak saja berlaku pada ilmu alam, tetapi juga pada ilmu sosial (pendekatan objektif).  Paradigma kritis merupakan pembenahan terhadap  paradigma instrumental dan paradigma hermeneutik dalam  ilmu sosial dan humaniora, terutama karena keduanya masih dianggap bercorak ilmu murni, atau tidak bertujuan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Jadi, dia mengabaikan aspek praksis yang bertalian dengan emansipatori  dan pencerahan yang diidealkan oleh teori kritis.  Khusus untuk ilmu sosial objektif, memiliki pula kelemahan, yakni mudah tergelincir menjadi  instrumental knowledge atau mengemban kepentingan kekuasaan secara terselubung, yakni alat untuk  mengontrol, mendominasi dan menghegemoni orang lain (subordinat) (Magnis-Suseno, 1990; Habermas, 1990). Dengan meminjam Foucault (2002, 2002a) berlakulah gagasan bahwa kekuasaan adalah pengetahuan  (knowledge is power). Mengingat bahwa  “… kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan” (Eriyanto, 2005: 66).
            Bertolak dari gagasan teori kritis, maka ilmu sosial dan humaniora secara ideal tidak mesti hanya menganut paradigma instrumental (model ilmu alam), tetapi harus pula bergerak ke arah paradigma hermeneutik dan paradigma kritis, mengingat bahwa
            Pada sisi lain, metode penelitian historis-hermeneutik dan kritis berupaya memahami manusia dari dimensi interaksi sosial-budaya baik horizontal (inter-subyek) dan vertikal (kesejarahan dan aspirasi), dan melalui analisis reflektif berupaya membebaskan manusia dari belenggu ideologi atau struktur politik yang mengungkungnya. Jadi, kedua metode penelitian itu lebih bersifat humanis dan dapat dipakai sebagai masukan dan sekaligus sarana kontrol (Nugroho, 2004: 14-15).

Walaupun demikian, tidak berarti bahwa yang satu harus men-the other-kan atau me-liyan-kan  (menjelekkan, menafikan atau membunuh yang lainnya), melainkan bagaimana mengusahakan kesemuanya memiliki ruang gerak yang setara, atau bahkan bisa saling melengkapi. Dalam konteks inilah menarik disitir contoh yang dikemukakan Nugroho (2004), dalam mengkaji masalah kemiskinan misalnya, pendekatan objektif bukan satu-satunya metode, melainkan bisa dilengkapi dengan metode historis-hermeneutis dan metode kritis. Pendekatan objektif yang bertumpu pada metode empiris-analitis dapat menyumbangkan informasi kuantitatif tentang garis kemiskinan dan ciri-cirinya. Metode historis-hermeneutik memahami proses pelembagaan kemiskinan, melalui informasi historis dan memberikan makna budaya atas kemiskinan  maupun cara-cara yang mereka gunakan agar mereka tetap eksis. Metode kritis melihat kemiskinan dari dimensi kekuasaan dan merefleksikan bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan persoalan struktur kekuasaan/politik sehingga perubahan struktural sangat diperlukan. Dalam konteks inilah riset partisipatori seperti dikemukakan oleh Kassam dan Mustafa ed. (1988) sangat penting.
    
5. Penelitian Kualitatif
            Sebagaimana dikemukakan di atas paradigma hermeneutik dan paradigma kritis, pada dasarnya berada pada ranah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memiliki berbagai sebutan, misalnya verstehen (pemahaman), karena mempertanyakan makna suatu fenomena sosial budaya secara mendalam dan tuntas. Penelitian kualitatif disebut Participant-Observation, karena peneliti itu sendiri yang harus menjadi instrumen utama dalam pengumpulan data dengan cara mengobservasi langsung objek yang ditelitinya. Penelitian kualitatif disebut studi kasus, karena objek yang diteliti bersifat unik, kasuistis, tidak ada duanya. Penelitian kualitatif disebut etnografi, etnometodologi, fenomenologi karena mengkaji perilaku manusia, kebudayaan, dan interaksi antarmanusia. Penelitian kualitatif disebut natural inquiry karena konteksnya yang natural, bukan artificial. Penelitian kualitatif disebut interpretative inquiry karena banyak melibatkan faktor subjektif, baik dari informan, subjek penelitian maupun peneliti itu sendiri (Irawan, 2006). Dengan adanya berbagai sebutan ini maka tidak mudah memberikan definisi tentang penelitian kualitatif, karena dia tidak terbatas hanya pada masalah data,  tetapi menyangkut pula objek kajian, atau bahkan prosedur penelitian.
 Walaupun sulit mendefinisikannya, namun penelitian kualitatif bisa dikenali, bahkan bisa dibedakan daripada penelitian kuantitatif dengan melihat ciri-cirinya. Namun, ciri-ciri penelitian kualitatif banyak, sehingga pendefinisianya pun bisa beragam. Untuk itu, bisa dikutif gagasan Strauss dan Corbin (2003) yang menyatakan, bahwa istilah penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Dia bisa saja menggunakan data yang dapat dihitung, misalnya data sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif.  Sedangkan Irawan (2006) menyatakan bahwa ciri sangat penting yang menandai penelitian kualitatif adalah makna kebenarannya yang bersifat intersubjektif, bukan kebenaran objektif. Artinya, kebenaran dibangun dari jalinan berbagai faktor secara bersama-sama, seperti budaya dan sifat-sifat unik dari individu-individu manusia. Realitas kebenaran adalah sesuatu yang dipersepsikan oleh yang melihat, bukan sekedar fakta yang bebas konteks, dan bebas dari interpretasi apapun. Kebenaran merupakan bangunan yang disusun oleh peneliti dengan cara mencatat dan memahami apa yang terjadi di dalam interaksi sosial kemasyarakatan.

5.1 Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
            Dengan mencermati berbagai pembahasan tentang penelitian kualitatif, seperti yang dilakukan Strauss dan Corbin (2003), Bogdan dan Taylor (1993), Irawan (2006), Moleong (2004), Brannen (1997), Muhadjir (2000), Mulyana (2001), Salim ed., (2001), Bungin ed. (2001), Denzin dan Lincoln ed. (1994), dan lain-lain, dapat dikemukakan beberapa ciri penelitian kualitatif seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 02
Ciri-ciri Penelitian Kualitatif

No.
Ciri
Keterangan
1.
Mengkostruksi realitas sosial budaya.
Penelitian kualitatif tidak bertujuan mengkonfirmasi realitas seperti dalam uji hipotesis, tetapi justru menampakkan atau membangun realitas (noumena) yang sebelumnya tacit, implisit,  tersembunyi, menjadi nyata, eksplesit atau nampak. Penelitian kualitatif tidak mutlak membutuhkan hipotesa, karena tidak menguji hipotesa – bukan verifikasi. Kerangka teoritik, yakni penjelasan ilmiah tentang konsep-konsep kunci yang digunakan, termasuk hubungan suatu konsep dengan konsep yang lainnya, sangat diperlukan. Penjelasan ini dimaksudkan untuk memberikan dugaan sementara atas hasil penelitian. Kerangka teori tidak memagari area penelitian, melainkan berperan sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti untuk menganalisis dan memahami realitas yang diteliti secara ilmiah.

2.
Meneliti interaksi peristiwa dan proses.
Penelitian kualitatif tertarik pada proses (berpikir, bertindak, proses terjadinya peristiwa). Proses lebih diutamakan daripada hasil.

3.
Melihat fenomena yang kompleks dan sulit diukur.
Penelitian kualitatif tidak sengaja membatasi fenomena (jumlah variabel - istilah ini tidak lazim dipakai dalam penelitian kualitatif) yang diteliti. Karena itu, fenomena apapun yang muncul yang terkait secara kontekstual dengan masalah/femomena yang dikaji, akan ditelusuri secara mendalam dan tuntas.

4.
Memiliki keterkaitan erat dengan konteks.
Penelitian kualitatif menghasilkan kebenaran atau temuan yang sangat kontekstual. Apa yang benar di stau konteks, tempat atau suatu lokus, belum tentu benar pada konteks lainnya. Karena itu objek penelitian kualitatif acap kali  kasuistis dan tidak untuk digeneralisir.

5.
Melibatkan peneliti secara penuh.
Penelitian kualitatif mensyaratkan peneliti sebagai alat penelitian yang utama. Sebab, hanya dengan cara ini, bisa dicapai verstehen  seoptimal mungkin. Dalam konteks ini maka teknik pengumpulan data berbentuk observasi partisipasi dan wawancara mendalam mutlak adanya. Hal ini terkait pula dengan triangulasi data sehingga kesahihan  data menjadi tebih terjamin.

6.
Memiliki latar belakang alamiah.
Penelitian kualitatif tidak merubah atau merekayasa lingkungan penelitian (bandingkan dengan penelitian eksprimen dalam IPA), semuanya dibiarkan berlangsung secara alamiah.

7.
Menggunakan sample purposif.
Penelitian kualitatif tidak menemukan generalisasi sehingga informan ditunjuk secara purposif. Pertimbangan lebih banyak pada kemampuan informan  untuk memasok informasi, sesuia dengan masalah penelitian. Pengetahuan informan (manusia pada umumnya) bersifat fungsional, sehingga tidak sebarang orang bisa dipakai informan untuk pemecahan suatu masalah.

8.
Menerapkan analisis induktif.
Penelitian kualitatif berpikir secara induktif, grounded. Dia mengumpulkan data tentang sesuatu sebanyak-banyaknya, dan dari data itu dicari polanya, prinsip-prinsip, dan akhirnya menarik kesimpulan dari analisisnya.

9.
Mengutakan makna di balik realitas.
Penelitian kualitatif memang mengemukakan realitas, namun tidak berhenti di sana. Dia tertarik untuk memasuki makna realitas bagi pelakunya. Pertanyaan mengapa menjadi penting sekali, karena terkait dengan makna tindakan sosial. Realitas yang nyata maupun yang ada di baliknya, digambarkan secara mendalam, menyeluruh, dan holistik sehingga hasil penelitian kualitatif kaya deskripsi.

10.
Mengajukan pertanyaan “mengapa” (why) dan “bagaimana” (how) bukan “apa” (what).
Penelitian kualitatif sangat menekankan pada pertanyaan “mengapa” guna mencari alasan maknawi suatu tindakan. Hal ini melahirkan jawaban yang kaya interpetasi yang berasal dari informan dan atau peneliti dalam konteks emik dan etik. Pertanyaan bagaimana juga penting, sesuai dengan sasaran penelitian kualitatif, yakni  tidak saja berurusan dengan alasan maknawi suatu tindakan sosial, tetapi juga terkait dengan prosesnya.


            Metode yang digunakan penelitian kualitatif adalah metode wawancara (mendalam, sambil lalu), metode observasi (terutama metode partisipasi), metode kajian pustaka, metode kajian dokumen, metode historis, metode studi kasus, dan metode etnografi (uraian mengenai metode-metode ini lihat Kontjaraningrat, 1983; untuk studi lihat Yin, 2004). Khusus dalam kaitannya dengan paradigma teori kritis, dia bercirikan sama dengan penelitian kualitatif, namun sebagaimana yang berlaku pada varian teori kritis yang diterapkan pada Kajian Budaya, maka penelitian kualitatif melengkapi pula dirinya dengan metode lain, misalnya metode dekonstruksi dan geneologi (Ricour, 2006; Al-Fayyani, 2005; Spivak, 2003; Norris, 2003; Faucault, 2002, 2002a; Kurzweil, 2004; Baker, 2004). Sedangkan untuk analisis data, penelitian kualitatif bisa mengikuti model interaktif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Humberman (1992) atau model etnografi yang berfokus pada pencarian tema-tema budaya melalui tiga teknik analisis, yakni : (1) domain, (2) taksonomi; dan (3) komponensial (Spradley, 1979; lihat pula Bungin ed., 2003).  

5.2 Dasar-dasar Penelitian Kualitatif
            Ada berbagai teori atau lazim pula disebut paradigma yang melandasi penelitian kualitatif, yakni fenomenologi, etnografi, interaksi simbolik, etnometodologi, dan konstruktivisme. Masing-masing teori ini memiliki gagasan yang berbeda (lihat Irawan, 2006; Bogdan dan Taylor, 1993; Kukla, 2003), sebagaimana terlihat pada tabel 3.
Tabel 03
Gagasan Teoretik Penelitian Kualitatif

No.
Teori
Keterangan

1.
Fenomenologi.
Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda (subjektif) atas sesuatu. Peneliti yang berpegang pada teori fenomenologi menekankan pada aspek subjektif tindakan manusia. Kaum fenomenologis percaya bahwa realitas adalah hasil konstruksi sosial, dan hasil pengalaman berinteraksi antara orang yang satu dengan yang lainnya. Peneliti tidak hanya melihat tindakan aktor, tetapi juga bagaimana reaksi orang lain (reaksi subjektif) – kasus joged bumbung porno atau goyang ngebor Inul, terhadapnya. Peneliti tidak menyimpulkan atas dasar baik-buruk, benar-salah, melainkan lebih pada apa yang dipikirkan oleh suatu masyarakat tentang suatu fenomena.

2.
Etnografi
Etnografi adalah usaha untuk menjelaskan suatu budaya atau suatu aspek dari budaya, sebagaimana tercermin pada tindakan sosial mereka dalam masyarakat. Etnografi sama dengan penelitian budaya. Budaya adalah tatanan kenyataan ideasional, sedangkan tindakan sosial adalah pencerminannya. Latar belakang budaya (acap kali tidak disadari oleh pelakunya) inilah yang diungkapkan oleh etnografer dalam bentuk potret naratif agar orang lain bisa memahaminya.

3.
Interaksi simbolik.
Dalam interaksi simbolik manusia diasumsikan sebagai makhluk yang bertindak atas dasar bagaimana mereka mendefinisikan, menafsirkan dan mengkonseptualisasikan sesuatu atas dasar pengalamannya. Apa yang ada dalam interaksi sosial, baik budaya kebendaan dan atau tindakan sosial, adalah simbol yang bisa ditafsirkan atau didefinisikan, dan berdasarkan hal inilah mereka membangun makna bersama, yang dipakai sebagai pola interaksi di antara mereka. Peneliti interaksi simbolik mencari titik pandang bersama (shared perspektive) atau social consencius yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
 
4.
Etnometodologi.
Etnometodologi adalah kajian terhadap proses yang dilakukan oleh individu-individu untuk membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari. Karena itu, dia lebih tertarik pada orang-orang biasa yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Bisa saja hal ini bersifat sesuatu yang kecil-kecil dan sepele yang hidup dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti unik, melaikan bisa juga untuk hal-hal praktis dan urusan sehari-hari.

5.
Konstruktivisme.
Menurut konstruktivisme, pengetahuan harus dibangun atau dikemukakan. Dengan mengajukan pertanyaan pada informan, peneliti konstruktivis mencoba menangkap apa yang terdapat dalam benak subjek, dan mengonstruksinya menjadi suatu konsep ilmu pengetahuan. Ada dua konstrukvisme, yakni konstruktivisme individual – peneliti menggali pengetahuan di benak individu, dan konstruktivisme sosiokultural – peneliti membimbing subjek merekonstruksi realita yang ada dalam masyarakat. Namun keduanya sama, yakni mengkonstruksi realita yang secara potensial sudah ada.

            Teori-teori ini memiliki penekanan yang berbeda, namun ada benang merah, yakni pengakuan terhadap adanya sesuatu (noumena) di balik tindakan manusia (fenomena). yakni budaya, pengetahuan,  pengalaman atau titik pandang bersama yang atau meminjam gagasan Kalangie (1994) kesemuanya bisa disebut tananan kenyataan yang ideasional yang meresepi tindakan manusia dalam masyarakat. Hal yang bersifat tacit inilah yang dicari oleh peneliti kualitatif agar tindakan manusia terpahami secara mendalam dan holistik. Pengkajian atas tindakan manusia bisa bersifat kasuistik atau hal-hal yang sepele dalam kehidupan sehari-hari - etnometodologi. Khusus dalam kaitannya dengan paradigma teori kritis, arah teorinya lebih menekankan pada teori-teori sosial kritis, termasuk di dalam teori posmodern, pos-struktural, poskolonial, dll. (Baker, 2004).
 Dengan demikian, tidak mengherankan jika peneliti kualitatif acap kali sulit menunjukkan secara tegas teori mana yang digunakannya. Namun, bisa saja teori yang satu sangat menonjol, tetapi yang lain melengkapinya, sehingga kompleksitas suatu masalah sosial budaya terpahami secara optimal. Bahkan, sebagaimana dikemukakan Piliang (2005) ada kecenderungan bahwa dalam ilmu sosial dan humaniora, tidak saja terjadi percampuran teori, melainkan sering pula terjadi perselingkuhan atau persilangan lintas disiplin sebagaimana terlihat di kalangan penganut teori posmodern. Dengan demikian, tidak ada lagi batas-batas ilmu pengetahuan secara tegas, sehingga  seperti dikemuakan Horgan (2005) dan Piliang (2005), terjadi kematian atau senjakala ilmu pengetahuan, yakni  sebuah kondisi lenyapnya batas-batas antara ilmu pengetahuan, tidak saja antara ilmu pengatahuan yang satu dengan yang lainnya, tetapi juga dengan bidang-bidang lainnya, seperti sastra, puisi, seni, keyakinan agama, filsafat, dll. Karena itu, ilmu pengetahuan tidak lagi dilihat dalam objektivitas, epiteme, dan validitas kebenarannya, tetapi daya pesona, retorika, aura, dan kehindahannya, layaknya sebuah lukisan Van Gogh, The Sun Flower (Piliang, 2005: xviii).


6. Efilog  
            Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa paradigma/pendekatan objektif, naturalistik-positivistik atau instrumental yang melahirkan penelitian kuantitatif  memang berjaya. Namun di sisi yang lain ada pula paradigma /pendekatan subjektif, humanistik-kulturalistik sehingga melahirkan penelitian kualitatif. Keduannya berlawanan, dan sampai sekarang terus terlibat dalam perdebatan. Ada pula paradigma lain, yakni paradigma kritis yang merupakan suatu alternatif –  selain penelitian kualitatif, bisa terkait dengan riset partisipasi. Paradigma ini tidak saja berbeda secara ontologi, tetapi juga secara epistemologi dan aksiologi. Kenyataan ini menimbulkan implikasi bahwa pengajaran metodologi penelitian di perguruan tinggi, sebaiknya mencakup ketiga paradigma tersebut. Atau paling tidak penelitian kualitatif mendapatkan perhatian yang setara dengan penelitian kuantitif. Dengan demikian, seseorang bisa memilih secara tepat  atas dasar masalah yang dikaji dan tujuan yang ingin dicapai, yakni apakah mencari penjelasan kausalitas – penelitian kuantitatif, ataukah untuk mencari alasan maknawi maupum pemahaman atas suatu tindakan sosial – penelitian kualitatif.

Daftar Pustaka

Agger, B. 2003. Teori-teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan dan Implikasinya. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Andreski, S. 1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama. (Hartono Penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Albert, H. 2004. Risalah Pemikiran Kritis. (Joseph Wagimin dan Moh. Hasan Bisri Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al-Fayyadi, M. 2005. Deridda. Yogyakarta: LKiS.

Atmadja, N.B. 2007. Bali Pada Era Globalisasi Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya. Yogyakarta: LKiS.

Baker, C. 2004. Cultural Studies Teori dan Praktik. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bellah, R.N. 1992. Relegi Tokugawa Akar-akar Budaya Jepang. (Wardah Hafidz). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bleicher, J. 2003. Hermenutika Kontemporer Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. (Ahmad Norma Permata Penerjemah). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Berger, P.L. dan Th. Luckmann. 1992. Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. (Hasan Basari Penerjemah). Jakarta: LP3ES.

Bodgan, R. dan S.J. Taylor. 1983. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. (A. Khozin Afandi Penerjemah). Surabaya: Usaha Nasional.

Brannen, J. 1977. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. (H. Nuktah Arfawie Kurde, dkk. Peberjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bungin, B. ed., 2001. Metodologi Peneltian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

____________. 2003. Analisis Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Clammer, J. 2003. Studi Eknomi Politik dan Pembangunan Neo-Marxis Antropologi. (Ilham B. Saenong Penerjemah). Yogyakarta: Sadasiva.
de Jonge, H. 1989. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi. (PT Gramedia Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia.

Eriyanto. 2005. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Faisal, S. 2001. “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”. Dalam Burhan Bungin ed., Metodologi Peneltian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Halaman 35-30.

Faucault, M. 2002. Pengetahuan dan Metode Karya-karya Foucault. (Arief Penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.

_____________. 2002a. Arkeologi Pengetahuan. (H.M. Mochtar Zoerni Penerjemah). Yogyakarta: Qalam.

Gadamer, H.-G. 2004. Kebenaran dan Metode Pengantar Filsafat Hermeneutika. (Ahmad Saidah Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Geertz, C. 1973. The Interpretation of Cultures Selected Essays. New York: Basic Books, Inc., Publisher.

_____________. 1977. Penjaja dan Raja Perubahan Sosial dan Modernisasi di Dua Kota Indonesia. (R. Soepomo Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia.

Geuss, R. 2004. Ide Teori Kritis Habermas dan Mazhab Frankfurt. (R. H. Abror Penerjemah). Yogyakarta: Pantarei Book.

Griffin, D.R. 2005. Visi-Visi Postmoderns Spriritual dan Masyarakat. (A. Gunawan Admiranto Penerjemah). Yogyakarta: Kanisius.

Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. (Hassan Basari Penerjemah). Jakarta: LP3ES.

____________.2006. Teori Tindakan Komunikatif Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Hardiman, F.B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernisasi Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

____________. 2003a. Kritik Ideologi Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.

Hertz, N. 2004. Kapitalisme Global dan Kematian Demokrasi Membunuh atas Nama Kebebasan . (Dindin Solahudin Penerjemah). Bandung: Nuansa.

Hirst, P. dan G. Thompson. 2001. Globalissai  adalah Mitos. (P. Sumitro Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Horgan, J. 2005. The end of Science Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Djejen Zainuddien Penerjemah). Jakarta: Teraju.

Howard, R.J. 2000. Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer Hermeneutika Wacana Analitis, Psikososial, dan Ontologis. (Kusmana dan M.S. Nasrullah Penerjemah). Jakarta: Yayasan Adi Karya.
Irawan, P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Ilmu Adaministrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UI.

Johnson, P.D. 1992. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (Robert M.Z. Lawang Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia.

Kalangie, N.S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: Megapoin.

Kassam, Y. dan K. Mustafa ed., 1988. Riset Partisipasi Riset Alternatif. Jakarta: P3M..

Keesing, R.M. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I. (Samuel Gunawan Penerjemah). Jakarta: Erlangga.

Koentjaraningrat ed.1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Kuezweil, E. 2004. Jaring Kuasa Strukturalisme. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kuhn, Th. S. 2002. The Structure of Scientific Revolutions Peran Paradigma dalam Revolosi Sains. (Tjun Surjaman Penerjemah). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kukla, A. 2003. Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. (Hari Kusharyanto Penerjemah). Yogyakarta: Jendela.

Norris, C. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jaques Derrida. (Inyiak Ridwan Muzir Penerjemah). Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Nugroho, H. 2001. Uang, Rentenir dan Hutang di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________. 2004. Menumbuhkan Ide-ide Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Magnis-Suseno, F. 1990. “Pengantar”. Dalam J. Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. (Hassan Basari Penerjemah). Jakarta: LP3ES. Halaman viii-xxix.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. (Tjetjep Rohendi Rohidi Penerjemah). Jakarta: UI-Press.

Moleong, L.J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, H.N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mulyana, D. 2001. Metologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Omahe, K. 2005. Tantangan dan Peluang di Dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan. (Ahmad Fauzi Penerjemah). Jakarta: Indeks.
Palmer, R.E. 2003. Hermeneutka Teori Baru Mengenai Interpretasi. (Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Piliang, Y.A. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.

___________.   2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

___________. 2005. Transpolitika Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta: Jalasutra.

___________. 2004. Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

___________. 2005. “Di antara Puing-puing Ilmu Pengetahuan”. Dalam J. Horgan, 2005. The end of Science Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Djejen Zainuddien Penerjemah). Jakarta: Teraju. Halaman vii-xviii.

Ricouer, P. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. (Muhammad Syukri Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Saenong, I.B. 2003. “Pengantar Penerjemah” Dalam J. Clammer, Studi Eknomi Politik dan Pembangunan Neo-Marxis Antropologi. (Ilham B. Saenong Penerjemah). Yogyakarta: Sadasiva. Halaman v-x.

Salim, A. ed., 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Spivak, G.C. 2003. Membaca Pemikiran Jaques Derrida Sebuah Pengantar. (Inyiak Ridwan Muzir Penerjemah). Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Renehart and Winston.
Steger, M.B. 2005. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. (Heru Prasetia Penerjemah). Yogyakarta: Lafadl.

Strauss, A. dan J. Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tatalangkah dam Teknik-teknik Teoritisi Data. (Muhammad Shodiq dan Iman Muttaqien Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tabb, W.K. 2006. Tabir Politik Globalisasi. (Uzair Fauzan dkk. Penerjemah). Yogyakarta: Lafida Pustaka.

Taryadi, A. 1991. Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper. Jakarta: PT Gramedia.

Weber, M. 2006. Sosiologi. (Nookholis Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wienman, J.J.M. 1996. Penelitian Ilmu Sosial Jilid I Asas-asas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Yin, R.K. 2004. Studi Kasus Desain dan Metode. (M. Djauzi Mudzakir Penerjemah). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Zed, M. 2006. “Ilmu Sosial Indonesia dalam Wacana Metodenstreit”. Taufik Abdullah ed. Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Halaman 55-110.

                      

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda