METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF PERSPEKTIF SOSIO-KULTURAL
METODOLOGI
PENELITIAN KUALITATIF PERSPEKTIF SOSIO-KULTURAL
1. Pendahuluan
Metode penelitian acap kali
dipilahkan menjadi dua, yakni peneltiian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Dalam perspektif strukturalis, pemilahan ini tidak bersifat oposisi biner
horizontal, melainkan mengarah pada oposisi biner vertikal atau berkelas. Penelitian kuantitatif ditempatkan pada posisi atas, bahkan mengarah
kepada hubungan hegemonik, sehingga
penelitian kualitatif menjadi termarginalisasi. Ucapan-ucapan bernada sinis pun
bermunculan, misalnya, ada yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif tidak
ilmiah atau mereka yang menggeluti penelitian kualitatif adalah orang-orang
yang “tidak laku” atau “tidak bisa” statistik sehingga tidak ada jalan lain,
kecuali harus menggeluti penelitian kualitatif. Akibatnya, pada lembaga-lembaga
tertentu penelitian kualitatif kurang mendapatkan “pasaran” daripada penelitian
kualitatif.
Pandangan seperti itu tentu bersifat
bias akademik yang merugikan penelitian kualitatif, sehingga perlu diluruskan. Untuk
itu, diperlukan wawasan yang mengarah pada pengembangan kesadaran guna
memberikan ruang hidup yang setara kepada kedua jenis penelitian tersebut,
sesuai dengan paradigma yang dianut, sifat, tujuan, dan fokusnya (Strauss dan
Corbin, 2003; Faisal, 2001). Berkenaan dengan itu maka ada baiknya untuk terus
mewacanakan penelitian kualitatif agar lebih dikenal secara akademik. Untuk
itu, makalah ini mencoba mewacanakan dua aspek penting mengenai penelitian
kualitatif, yakni: pertama, perdebatan
epistemologi dan metodologi bertalian dengan penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Kedua, karakteristik
penelitian kualitatif dan dasar teori (paradigma) yang mendasarinya. Dengan demikian,
tidak saja diharapkan kita bisa memahami
posisi penelitian kualitatif, tetapi yang lebih penting bisa pula menerapkannya
secara tepat guna, terutama untuk penelitian bidang ilmu sosial dan humaniora.
2. Metodologi Sosio-Kultural
Setiap tindakan atau interaksi
sosial selalu dibimbing oleh sebuah sistem pengetahuan yang berkembang dalam
masyarakat. Pengetahuan ini menyediakan petunjuk-petunjuk praktis untuk
interaksi para individu dalam masyarakat. Individu-individu secara
intersubjektif berbagi pengetahuan satu dengan yang lainnya, dan secara
kontinyu memodifikasi pengetahuan tersebut (Nugroho, 2001). Pengetahuan ini
berfungsi sebagai resep bertindak dan atau sarana untuk menginterpretasikan
maupun memberikan makna terhadap suatu kondisi, sebagaimana tercermin pada
tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari (Geertz, 1973; Keesing, 1992).
Walaupun pengetahuan ini adalah
produksi dari manusia, namun eksistensinya dipahami sebagai sebuar realitas
yang objektif dan memaksa anggota-anggota masyarakat untuk melakukan
konformitas dengannya. Dengan mengacu kepada Durkheim realitas objektif ini
disebut fakta sosial. Menurutnya, individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan,
didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai fakta sosial
dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian, fakta sosial terlahir dalam bentuk
cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat yang patut
dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu (Johnson, 1992:
177). Menurut Berger dan Luckmann (1990) pengetahuan sehari-hari ini
dikonstruksi oleh individu-individu dalam tiga fase, yakni internalisasi,
eksternalisasi, dan objektivasi. Dengan cara ini manusia memahami pengetahuan
itu secara apa adanya (take for granted).
Dalam rangka memahami perilaku manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, peneliti sosial dan humaniora seyogyanya mendeskripsikan
pengetahuan sosial atau fakta sosial itu tanpa dibingungkan oleh pengetahuan
subjektifnya. Namun timbul masalah, yakni sejauh mana peneliti sosial dan humaniora
sebagai orang luar bisa mencapai akses pengehatuan keseharian suatu komunitas
yang menjadi objek kajiannya? Dalam konteks ini
ada debat antara sejarawan, sosiolog dan antropolog (ilmuwan sosial
lainnya) tentang jawaban yang pasti akan hal ini. Perdebatan mereka tidak saja
menyangkut aspek metodologi, tetapi juga aspek epistemologi.
Perdebatan tentang metodologi
terutama bertalian dengan metode apa yang tepat dipakai untuk mengkaji fakta
sosial, bukan hal yang baru, melainkan telah mengemuka pada abad ke XVIII dan
awal abad ke XIX. Pada masa ini kaum posivistik atau penganut epistemologi
naturalistik-positivistik berjaya. Hal
ini berkaitan erat dengan keunggulan teori
dan metodologi ilmu positivistik telah terbukti hasilnya, yakni lahirnya
industrialisasi. Akibatnya, banyak kelompok disiplin yang bermunculan menjadi
cikal bakal disiplin ilmu sosial (ekonomi, sosiologi, politik, psikologi,
sejarah, antropologi, dll.), mulai melakukan pembaruan metodologis dengan
mengikuti model ilmu alam. Ilmu alam dianggap sebagai tipe ideal bagi ilmu
sosial (Zed, 2006: 89).
Epistemologi naturalistik-positivistik
(lazim pula positivistik), “pendekatan sains atau pendekatan objektif”
(Mulyana, 2001: 28), bersumber dari pemikiran Comte yang menegaskan bawa fenomena
sosial, baik itu pengetahuan sosial maupun perilaku sosial, memiliki
karakteristik yang sama dengan fenomena alam. Ada hukum umum yang mengatur tindakan
manusia. Tugas para ilmuwan sosial
adalah menemukan dan menjelaskan hukum-hukum umum. Karena kemiripan kedua
fenomena ini, maka metode penelitian ilmu alam dapat dipakai untuk melakukan
penelitian ilmu sosial. Klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan kebenarannya lewat
metode ilmu alam (science). Begitu
pula Mulyana (2001: 24) menyatakan bahwa
Oleh karena mempunyai
pandangan ilmu alam, pendekatan objektif terhadap perilaku manusia memandang
bahwa ada keteraturan dalam realitas dan dalam perilaku manusia, meskipun
keteraturan itu bersifat probabilitik. Kaum objektivis menganggap dunia sosial
mirip dengan dunia fisik, sebagai sesuatu yang konkret dan terpisah dari orang
yang mengamatinya, dengan suatu struktur yang harus dan dapat ditemukan.
Meskipun tidak ditemukan, struktur itu masih ada di sana dan independent dari mereka yang mencoba
menemukannya. Dunia memiliki keteraturan tertentu yang menunggu untuk
ditemukan. …. Jadi ilmuwan objektivis mencari hukum-hukum umum dengan
menjelaskan variabel mana menyebabkan atau berkorelasi dengan variabel
lainnya.
Setiap pengetahuan yang tidak
berdasarkan pada metode ilmu alam – “penelitian yang sistematis, terkontrol,
empiris, dan kritis atas hipotesis mengenai hubungan di antara fenomena”
(Mulyana, 2001: 23), tidak layak disebut
ilmu. Jika ilmu sosial dan humaniora ingin mendapatkan pengakuan masuk dalam
kategri science, maka dia harus
mengadopsi metode ilmu alam (Nugroho, 2001, 2004). Epistemologi positivistik
telah mampu mengembangkan berbagai teknik penelitian, misalnya survei, analisis
isi, statistik, dll. Dengan memakai prosedur statistik, peneliti dapat meprediksi
dan menggeneralisir fenomena sosial (Nugroho, 2001, 2004).
Sebaliknya, ada pula epistemologi yang berlawanan dengannya, yakni
epistemologi humanistik-kulturalistik atau lazim pula disebut studi humanistik
atau pendekatan subjektif (Mulyana, 2001). Epistemologi ini berasal dari
Wilhelm Dilthey (1822-1911). Dia
membedakan dua jenis ilmu, yakni Geisteswissenschften dan Naturwissenshaften.
Geisteswissenschften menunjuk pada ilmu
sosial dan humaniora, sedangkan Naturwissenshaften
menunjuk. pada ilmu-ilmu alam. Epistemologi humanistik-kulturalistik
terkait dengan Geisteswissenschften,
sedangkan epistemologi naturalistik-positivistik terkait dengan Naturwissenshaften. Keduanya tidak sama,
karena fenomena alam berbeda daripada fenomena sosial. Tindakan manusia dan
interaksi sosial memiliki makna subjektif yang harus diinterpretasikan.
Sedangkan fenomena alam tidak memiliki makna subjektif. Karena itu, metode ilmu
alam tidak bisa diterapkan untuk mengkaji fenomena sosial. Sangat menyesatkan
jika metode ilmu alam dipakai mengkaji fenomena sosial (Nugroho, 2001; Palmer,
2003; Ricouer, 2006, Bleicher, 2003; Habermas, 2006; Howard, 2000; Gadamer,
2004).
Dilthey tidak saja menyerang asumsi-asumsi dasar paradigma positivistik,
tetapi juga memberikan solusi tandingan. Pertama,
Dilthey menafikan pendirian paradigma positivistik yang mengatakan bahwa dunia tercipta di luar
subjek (ilmuwan), yakni pada fakta-fakta yang dapat dikenali secara objektif. Subject matter ilmu-ilmu sosial tidak
hanya urusan fakta-fakta bendawi, tetapi lebih berpusat pada ekspresi pikiran
dan tindakan manusia yang diobjektivasikan. Kedua,
Dilthey juga mengeritik gagasan metodologis positivisme yang mengatakan bahwa
fakta-fakta sosial dapat diterangkan dengan hukum-hukum kausalitas ilmu alam. Dilthey
sebaliknya berpandangan bahwa positivisme dapat menjelaskan alam fisik secara
kausalitas, tetapi tindakan harus dimengerti
(to be understood, verstehen) dan bukannya dinalar (erklaren)
dengan menggunakan penjelasan kausalitas lewat logika nomotetis (Zed, 2006:
91). Untuk itu, Dilthey lewat epistemologi humanistik-kulturalistik, menawarkan
metode khusus untuk mengkaji fenomena sosial, yakni observasi partisipasi,
penelitian biografi, dan deskripsi mendalam atau menurut istilah Geertz (1973:
1-54) disebut thick description.
Dengan rumusan yang lain, Kenneth Burke sebagaimana dikutif oleh Mulyana
(2001: 32-33) memberikan penjelasan bahwa
Perbedaan
antara sesuatu (benda) dengan manusia adalah bahwa benda sekedar bergerak,
sedangkan manusia bertindak karena itu bahasa mekanisme tidak memadai bagi
studi diri manusia. Kaum subjektivis
menjelaskan makna perilaku dengan menafsirkan apa yang orang lakukan. Interaksi
atas perilaku ini tidak bersifat kausal, dan tidak bisa juga dijelaskan lewat
penemuan hukum atas generalisasi empiris seperti yang dilakukan ilmuwan
objektif. Fokus perhatian kaum subjektivis adalah bagian perilaku manusia yang
disebut tindakan (action), bukan
sekedar gerakan tubuh, yang mencakup ucapan, bukan dengkuran,; melompat, bukan
terjatuh; bunuh diri, bukan sekedar kematian. Mengapa demikian? Karena, tidak
seperti kebanyakan hewan, tumbuhan, dan mineral, manusia punya pikiran,
kepercayaan, keinginan, niat, maksud, dan tujuan. Semuah hal itu memberi makna
kepada kehidupan dan tindakan mereka, dan membuat kehidupan dan tindakan
tersebut dapat dijelaskan.
Dengan demikian,
menurut kaum subjektivis, bukan perilaku (social
behavior - tingkah laku yang otomatis/mekanistik), melainkan tindakan (action), yakni tingkah laku sosial yang berlatarkan niat
tertentu, pertimbangan tertentu, alasan-alasan (reasons) yang tersembunyi di balik tindakan para pelaku tindakan
sosial. Atau bermuara pada “makna sosial” (social
meaning) dari suatu fenomena sosial. Fokusnya bisa ke arah untuk menemukan
etika macam apa, frame (pola fikir)
macam apa, tema atau nilai budaya macam apa, atau rasionalitas macam apa yang
terpancar dan atau tersembunyi (noumena)
di balik suatu fenomena sosial (Faisal, 2001: 28-29).
Perdebatan antara kaum naturalistik-positivistik
dan kaum humanistik-kulturalistik menimbulkan perselisihan yang panas. Hal ini bermula
di Jerman, lalu meluas di Eropa, bahkan terus berlanjut di Amerika.
Perselisihan ini menjadi berkepanjangan dan oleh para filosof disebut sebagai Methodenstreit (Nugroho, 2001, 2004;
Zed, 2005). Max Weber (1864-1920), berusaha mendamaikan perselisihan ini dengan
menyatakan bahwa ilmu sosial dapat mengambil metode ilmu alam yang disebutnya
metode enklaeren, dan dapat pula
memakai metode interpretatif atau verstehen.
Jadi, Weber berpegang pada epistemologi dualisme dalam penelitian ilmu sosial
dan humaniora (Nugroho, 2004; Johnson, 1992: 216).
3.
Perselisihan Pandangan dengan Ilmu Ekonomi
Perselisihan metodologi juga terjadi
pada ilmu ekonomi. Hal ini berawal ketika para filsof menentukan status
keilmuan dan metodologi dari disiplin ekonomi. Pada tahun 1870-an dan 1880-an
terjadi perdebatan antara Gustav Schmoller dan Carl Menger. Perdebatan mereka
bertalian dengan permasalahan, apakah ilmu ekonomi bekerja mengikuti metode
“eksata” atau “histories”, metode “deduktif” atau “induktif”, dan metode
“abstrak” atau “empiris”. Dengan kata
lain, apakah ilmu ekonomi masuk ke dalam kategori pengetahuan nomotetik atau
ideografik. Nonotetik adalah pengetahuan yang mencari hukum-hukum umum atau
keteraturan, sedangkan ideografik adalah pengetahuan spesifik yang menyoroti
gejala individual dan historis – berdasarkan pada humaniora (Nugroho, 2004).
Namun apa yang terjadi kemudian,
pemenangnya adalah epistemologi naturalistik-positivistik. Ilmu ekonomi berupaya
menyejajarkan dirinya dengan ilmu alam. Hal ini antara lain dipelopori oleh Stuart Mill yang
memperkenalkan ilmu ekonomi yang semula termasuk “ilmu moral” dengan
rumus-rumus matematik atau ekonometrik (Zed, 2006: 89). Menurut Nugroro (2004: 9) “… kemenangan ini bukan dalam pengertian
substansial tetapi lebih merupakan proses politik akademik di perguruan tinggi
yang berkembang pada waktu itu.”. Atau dalam bahasa yang agak kritis, seperti
dikemukakan Kuhn (2002), kemenangan suatu paradigma bukan semata-mata karena
kehebatan paradigma yang bersangkutan, tetapi terkait pula dengan dukungan
komunitas ilmiah. Apalagi banyak ahli ekonomi mendapatkan hadiah nobel karena
keberhasilan mereka mengangkat disiplin ekonomi menjadi sains. “Ya, sains
ekonomi (economics), sebuah new science yang semakin posivistis,
bebas nilai, dan terutama karena semakin kuantitatif dan eksak” (Saenong, 2003:
viii).
Antropologi mengembangkan pula atropologi ekonomi. Hal ini diawali dengan
karya Thorstein Veblem (1899), Brosnowski Malinowski (1922), dll. Antropologi
ekonomi lebih menekankan pada kajian terhadap pranata ekonomi dalam kaitan yang
holistik dengan pranata lainnya (agama, politik, ekologi, teknologi), terutama
pada masyarakat yang belum secara luas mengenal mekanisme uang.
Meskipun antropologi
ekonomi menempatkan gejala pertukaran sebagai persoalan yang berdimensi luas,
tetapi disiplin ini pada mulanya kurang menaruh perhatian terhadap pertukaran
yang menggunakan mekanisme uang atau sistem ekonomi pasar. Sebaliknya, ilmu
ekonomi, paling banyak berurusan dengan masalah pertukaran dalam ekonomi pasar.
Walaupun demikian, ilmu ekonomi cenderung mengabaikan sosial budaya dalam
menganalisis permasalahan ekonomi… Diabaikannya variabel-variabel tersebut
berkaitan dengan kenyataan yang ditemukan dalam ekonomi neo-klasik bahwa
hukum-hukum ekonomi berjalan tanpa kontrol variabel-variabel tersebut (Sairin,
Semadi, dan Hudayana, 2002: 40).
Dewasa ini banyak antropolog ekonomi manaruh perhatian terhadap gejala pertukaran
yang menggunakan uang. Hal ini sejalan dengan transformasi ekonomi tradisional
menuju sistem ekonomi modern, sedang melanda di berbagai tempat, sejak zaman
penjajahan, zaman poskolonial, dan terus
berlanjut pada era globalisasi. Akibatnya, timbul perubahan mendasar, yakni
ekonomi tradisional terkikis, lalu digantikan dengan ekonomi komersial yang semakin
kuar pengaruhnya. Pasar (supermarket,
hypermarket, mall) amat penting, sehingga posisinya telah berubah menjadi areal yang tak ubahnya
seperti tempat suci (Atmadja, 2007). Bersamaan dengan menerapan pembangunanisme
pada negara-negara berkembang, maka timbul perubahan sosial, budaya, ekonomi,
dan politik yang sangat luas dan
kompleks. Antropologi ekonomi pun berkembang, yakni menggunakan pendekatan Neo-Marxis sehingga melahirkan Marxisme
Antropologi dan Ekonomi Politik (Clammer, 2003).
Karya ilmiah yang bertemakan sosiologi
ekonomi maupun antropologi ekonomi terus
berkembang. Selain karya tulis yang telah disebutkan di atas, maka karya tulis klasik
Weber (2006; lihat pula Andresky, 1989) tidak bisa diabaikan. Begitu pula karya
tulis Bellah (1992), Geertz (1977), de Jonge (1989), dan lain-lain, merupakan beberapa
contoh penting bagaimana pakar sosiologi dan atau antropologi mengkaji masalah
ekonomi, menggunakan paradigma humanistik-kulturalistik. Globalisasi menyebabkan
negara-negara di dunia menyatu dalam suatu kampung global (Global Vilage), dan terlibat dalam jaringan bisnis. Faktor bisnis
yang sangat penting adalah adalah 4C, yakni Communication,
Capital, Corporations, and Consumer (Komunikasi, Modal, Korporasi, dan
Konsumen) (Ohmahe, 2005). Hal ini menimbulkan dampak yang luas dan kompleks,
sehingga menarik perhatian dari berbagai pakar. Mereka menggunakan pendekatan multidimensional,
yakni tidak saja pendekatan ekonomi (aspek
yang banyak disoroti adalah hakikat manusia sebagai homo consumer, mesin hasrat, ekonomi libido, dll.), tetapi juga
pendekatan sosiologi, politik, komunikasi, psikoanalisis, budaya, dll. Kajian
terhadap globalisasi banyak pula memakai
teori kritis posmodern, terlihat pada kajian budaya (Cultural
Studies) (Piliang, 1998, 2003, 2004, 2005; Griffin, 2005; Ohmae, 2005; Hertz, 2004; Tabb, 2006; Hirst dan Thomson,
2001; Steger, 2005).
4.
Teori Kritis Jurgen Habermas
Pergulatan antara pendekatan objektivis
(epistemolog/paradigma naturalistik-postivistik, nomotetis) dan pendekatan
subjektivis (epistemologi/paradigma humanistik-kulturalistik, ideografis) terus
berlanjut. Pada tahun 1920-an muncul di Jerman filsof yang bergabung dalam Frankfurt School
(Mazhab Frankfurt), antara lain ditokohi oleh Max Horkheimer, Theodor W.
Ardorno, Herbert Marcus, dll. Tokoh muda mazhab ini, adalah Jurgen Habermas.
Mazhab ini mengembangkan aliran filsafat pemikiran kritis dan teori-teori yang
dikembangkannya, disebut teori kritis atau teori sosial kritis (Marinjay, 2005;
Agger, 2003).
Ciri khas
aliran kritis yang mengambil titik-pangkalnya dari pemikiran Karl Marx itu
adalah bahwa pemikiran filosofis selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap
hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya
sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi.
Ia tidak mengisolasikan diri dalam
menara gading teori murni, seakan-akan filsafat dapat secara netral menganalisa
hakikat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus terlibat di dalamnya. Pemikiran
kritis merasa diri bertanggungjawab terhadap keadaan sosial yang nyata
(Magnis-Suseno, 1990: ix-x).
Berkenaan dengan itu maka teori
kritis mengajukan beberapa kritik terhadap pendekatan positivistik, yakni pertama, klaim positivistik tentang
sifat value-free, begitu pula gagasan
ilmu untuk ilmu (ilmu murni) dalam konteks kerja ilmu, dianggap tidak tepat.
Ilmu harus memiliki karakteristik praksis – bukan riset kebijakan, karena
terkait dengan kepentingan kekuasaan (mendominasi dan menghegemoni masyarakat),
melainkan lebih menekankan pada riset advokasi dan emansipasi serta pencerahan
dari agen-agen secara tersembunyi. Pencerahan dan emansipasi tidak mesti
berarti tindakan pembebasan secara revolusioner, melainkan bisa pula berarti penelanjangan
atas ideologi yang digunakan oleh agen-agen yang sengaja disembunyikan di balik
suatu tindakan - teori kritis berubah menjadi kritik ideologi. Penyembunyian
ideologi ini mengakibatkan orang lain (kelomppok subordinat) tidak bisa
membebaskan dirinya, karena mereka terjerat pada kesadaran palsu – pandangan
dunia mereka adalah ideologi yang keliru. Kedua,
teori kritis menolak asas nomotetis, dengan alasan bahwa, suatu fenomena sosial
secara historis dikondisikan oleh pengalaman-pengalaman sezaman dan secara
kultural ditentukan oleh nilai-nilai dominan yang dianut. Ketiga, teori kritis menolak
pemisahan antara individu dan masyarakat, penalaran dan emosi (hasrat,
keinginan), fakta dari nilai-nilai, pengetahuan ojektif dari opini subjektif
sebagai bagian dari realitas. Keempat,
teori positivistik menekankan pada konfirmasi empiris (empirical confirmation) melalui pengamatan (observations) dan percobaan (experiment),
sedangkan teori kritis dapat diterima secara kognitif jika selamat dari proses
evaluasi secara reflektif dan kontinyu (Zed, 2005; Agger, 2003; Martinjay, 2005;
Geuss, 2004).
Gagasan ini mendapat reaksi dari
kaum potivistik. Pada tahun 1960, terjadi debat antara kaum positivisme dan
mazhab teori kritis. Debat ini melibatkan Karl R. Popper, dan kawan-kawannya (Mazhab
positivisme, positivisme logis/rasionalisme kritis - disebut Mazhab Wina) melawan Theodor W. Ardorno, dan kawan-kawannya
(mazhab teori kritis, Mazhab Frankfurt). Sebagaimana halnya dengan debat-debat
sebelumnya, keduanya tidak mendapatkan titik temu sehingga silang pendapat antara
kedua pendekatan tersebut tetap bertahan seperti sediakala. Bersamaan dengan
itu hegemoni pendekatan objektif atau
epistemologi naturalistik-positivistik
tetap berlangsung secara kokoh sampai saat ini. Karena itu, debat antara
kaum objektif/naturalistik-positivistik dan kaum subjektif/humanistik-kulturalsitik
pun tetap berlangsung, namun dengan intensitas yang berbeda daripada sebelumnya
(Nugroho, 2004; Taryadi, 1991; Wuisman, 1996; Albert, 2004).
Habermas sebagai penganut teori
kritis tidak saja terus mengeritisi paradigma positivistik, tetapi juga terus mengembangkan
teori kritis, dengan cara memberikan pemaknaan atau penafsiran yang baru secara
berkontekstual terhadap gagasan para pendahulunya. Perhatian Habermas, tidak
saja tertuju pada bidang filsafat, tetapi juga pada bidang lainnya, yakni
fenomenologi, bahasa, epistemologi, estetika, sosiologi, psikologi, dll.
Berkenaan dengan itu Haberman (1990, 2006; lihat pula dalam Hardiman, 2003;
2003a; Nugroho, 2004) mengemukakan epistemologi atau paradigma ilmu sebagaimana
terlihat pada tabel 1.
Tabel 01
Paradigma Ilmu Jurgen Habermas
Paradigma Instrumental
|
Paradigma Hermenutika
|
Paradigma Kritik
|
Instrumental Knowledge atau
ilmu-ilmu empiris-analitis.
|
Historis Hermeneutik
Konwledge
|
Critical/Emancipatori Konowledge atau ilmu-ilmu tindakan.
|
Pengetahuan menaklukan dan
mendominasi objek
|
Pengetahuan membuat potret
suatu gejala sosial budaya secara holistic.
|
Membebaskan manusia dari
ketidakadilan dalam masyarakat Industri
|
Positivistik
|
Konstrukvistik/
Fenomenologi
|
Berakar pada tradisi Kant,
Freud, Hegel, Marx
|
Hukum, generalisasi,
universalisme
|
Memahami secara
sungguh-sungguh (keunikan, kasus)
|
Teori emansipatoris
(membangun teori rasional membebaskan manusia dari ketidakadilan).
|
Pendekatan ilmu-ilmu alam.
Metode penelitian analitis-empirik (dalam hal ini diwakili oleh teknik survai
dan analisis statistic).
|
Pendekatan intrepretatif
(Fenomenologi, Etnometodologi) atas tindakan/ujaran sebagai suatu teks.
Metode penelitian historis-hermeneutis.
|
Pendekatan holistik,
partisipatoris, menghindarkan berfikir reduksionistik, deterministik, melihat
realitas sosial dalam dimensi kesejarahan. Metode refleksi-diri.
|
Verifikasionis dan falsifikasionis
|
Menemukan teori/model grounded Theory (Hermenutik Melingkar)
|
Dekonstruksi terhadap
realitas sosial untuk perbaikan secara partisipatoris.
|
Tabel 01 menunjukkan bahwa
Habermas membedakan paradigma ilmu menjadi tiga jenis, yakni paradigma
instrumental, paradigma hermeneutik, dan paradigma kritis. Paradigma
instrumental dapat disamakan dengan paradigma/pendekatan
naturalistik-positivistik, nomotetik atau pendekatan objektif. Paradigma
hermeneutik dapat disamakan dengan paradigma/pendekatan humanistik-kulturalistik,
ideografis atau pendekatan subjektif. Paradigma instrumental tidak saja berlaku
pada ilmu alam, tetapi juga pada ilmu sosial (pendekatan objektif). Paradigma kritis merupakan pembenahan
terhadap paradigma instrumental dan
paradigma hermeneutik dalam ilmu sosial
dan humaniora, terutama karena keduanya masih dianggap bercorak ilmu murni,
atau tidak bertujuan melakukan perubahan terhadap masyarakat. Jadi, dia
mengabaikan aspek praksis yang bertalian dengan emansipatori dan pencerahan yang diidealkan oleh teori
kritis. Khusus untuk ilmu sosial
objektif, memiliki pula kelemahan, yakni mudah tergelincir menjadi instrumental
knowledge atau mengemban kepentingan kekuasaan secara terselubung, yakni
alat untuk mengontrol, mendominasi dan menghegemoni
orang lain (subordinat) (Magnis-Suseno, 1990; Habermas, 1990). Dengan meminjam
Foucault (2002, 2002a) berlakulah gagasan bahwa kekuasaan adalah
pengetahuan (knowledge is power). Mengingat bahwa “… kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan
saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa,
dan sebaliknya tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan” (Eriyanto, 2005: 66).
Bertolak
dari gagasan teori kritis, maka ilmu sosial dan humaniora secara ideal
tidak mesti hanya menganut paradigma instrumental (model ilmu alam), tetapi harus
pula bergerak ke arah paradigma hermeneutik dan paradigma kritis, mengingat bahwa
Pada sisi lain,
metode penelitian historis-hermeneutik dan kritis berupaya memahami manusia
dari dimensi interaksi sosial-budaya baik horizontal (inter-subyek) dan
vertikal (kesejarahan dan aspirasi), dan melalui analisis reflektif berupaya
membebaskan manusia dari belenggu ideologi atau struktur politik yang
mengungkungnya. Jadi, kedua metode penelitian itu lebih bersifat humanis dan
dapat dipakai sebagai masukan dan sekaligus sarana kontrol (Nugroho, 2004:
14-15).
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa yang satu harus men-the other-kan atau me-liyan-kan (menjelekkan, menafikan atau membunuh yang
lainnya), melainkan bagaimana mengusahakan kesemuanya memiliki ruang gerak yang
setara, atau bahkan bisa saling melengkapi. Dalam konteks inilah menarik disitir
contoh yang dikemukakan Nugroho (2004), dalam mengkaji masalah kemiskinan
misalnya, pendekatan objektif bukan satu-satunya metode, melainkan bisa
dilengkapi dengan metode historis-hermeneutis dan metode kritis. Pendekatan
objektif yang bertumpu pada metode empiris-analitis dapat menyumbangkan
informasi kuantitatif tentang garis kemiskinan dan ciri-cirinya. Metode
historis-hermeneutik memahami proses pelembagaan kemiskinan, melalui informasi
historis dan memberikan makna budaya atas kemiskinan maupun cara-cara yang mereka gunakan agar
mereka tetap eksis. Metode kritis melihat kemiskinan dari dimensi kekuasaan dan
merefleksikan bahwa kemiskinan berkaitan erat dengan persoalan struktur
kekuasaan/politik sehingga perubahan struktural sangat diperlukan. Dalam
konteks inilah riset partisipatori seperti dikemukakan oleh Kassam dan Mustafa ed. (1988) sangat penting.
5.
Penelitian Kualitatif
Sebagaimana dikemukakan di atas
paradigma hermeneutik dan paradigma kritis, pada dasarnya berada pada ranah
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memiliki berbagai sebutan,
misalnya verstehen (pemahaman), karena mempertanyakan makna suatu fenomena sosial
budaya secara mendalam dan tuntas. Penelitian kualitatif disebut Participant-Observation, karena peneliti
itu sendiri yang harus menjadi instrumen utama dalam pengumpulan data dengan
cara mengobservasi langsung objek yang ditelitinya. Penelitian kualitatif
disebut studi kasus, karena objek yang diteliti bersifat unik, kasuistis, tidak
ada duanya. Penelitian kualitatif disebut etnografi, etnometodologi,
fenomenologi karena mengkaji perilaku manusia, kebudayaan, dan interaksi
antarmanusia. Penelitian kualitatif disebut natural
inquiry karena konteksnya yang natural, bukan artificial. Penelitian kualitatif disebut interpretative inquiry karena banyak melibatkan faktor subjektif,
baik dari informan, subjek penelitian maupun peneliti itu sendiri (Irawan, 2006).
Dengan adanya berbagai sebutan ini maka tidak mudah memberikan definisi tentang
penelitian kualitatif, karena dia tidak terbatas hanya pada masalah data, tetapi menyangkut pula objek kajian, atau
bahkan prosedur penelitian.
Walaupun sulit mendefinisikannya,
namun penelitian kualitatif bisa dikenali, bahkan bisa dibedakan daripada
penelitian kuantitatif dengan melihat ciri-cirinya. Namun, ciri-ciri penelitian
kualitatif banyak, sehingga pendefinisianya pun bisa beragam. Untuk itu, bisa
dikutif gagasan Strauss dan Corbin (2003) yang menyatakan, bahwa istilah
penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Dia bisa
saja menggunakan data yang dapat dihitung, misalnya data sensus, namun
analisisnya bersifat kualitatif. Sedangkan
Irawan (2006) menyatakan bahwa ciri sangat penting yang menandai penelitian
kualitatif adalah makna kebenarannya yang bersifat intersubjektif, bukan
kebenaran objektif. Artinya, kebenaran dibangun dari jalinan berbagai faktor
secara bersama-sama, seperti budaya dan sifat-sifat unik dari individu-individu
manusia. Realitas kebenaran adalah sesuatu yang dipersepsikan oleh yang
melihat, bukan sekedar fakta yang bebas konteks, dan bebas dari interpretasi
apapun. Kebenaran merupakan bangunan yang disusun oleh peneliti dengan cara
mencatat dan memahami apa yang terjadi di dalam interaksi sosial kemasyarakatan.
5.1
Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Dengan mencermati berbagai pembahasan
tentang penelitian kualitatif, seperti yang dilakukan Strauss dan Corbin
(2003), Bogdan dan Taylor (1993), Irawan (2006), Moleong (2004), Brannen
(1997), Muhadjir (2000), Mulyana (2001), Salim ed., (2001), Bungin ed.
(2001), Denzin dan Lincoln
ed. (1994), dan lain-lain, dapat
dikemukakan beberapa ciri penelitian kualitatif seperti terlihat pada tabel 2.
Tabel 02
Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
No.
|
Ciri
|
Keterangan
|
1.
|
Mengkostruksi
realitas sosial budaya.
|
Penelitian
kualitatif tidak bertujuan mengkonfirmasi realitas seperti dalam uji
hipotesis, tetapi justru menampakkan atau membangun realitas (noumena) yang
sebelumnya tacit, implisit,
tersembunyi, menjadi nyata, eksplesit atau nampak. Penelitian
kualitatif tidak mutlak membutuhkan hipotesa, karena tidak menguji hipotesa –
bukan verifikasi. Kerangka teoritik, yakni penjelasan ilmiah tentang
konsep-konsep kunci yang digunakan, termasuk hubungan suatu konsep dengan konsep
yang lainnya, sangat diperlukan. Penjelasan ini dimaksudkan untuk memberikan
dugaan sementara atas hasil penelitian. Kerangka teori tidak memagari area
penelitian, melainkan berperan sebagai titik berangkat dan landasan bagi
peneliti untuk menganalisis dan memahami realitas yang diteliti secara
ilmiah.
|
2.
|
Meneliti
interaksi peristiwa dan proses.
|
Penelitian
kualitatif tertarik pada proses (berpikir, bertindak, proses terjadinya
peristiwa). Proses lebih diutamakan daripada hasil.
|
3.
|
Melihat
fenomena yang kompleks dan sulit diukur.
|
Penelitian
kualitatif tidak sengaja membatasi fenomena (jumlah variabel - istilah ini
tidak lazim dipakai dalam penelitian kualitatif) yang diteliti. Karena itu,
fenomena apapun yang muncul yang terkait secara kontekstual dengan
masalah/femomena yang dikaji, akan ditelusuri secara mendalam dan tuntas.
|
4.
|
Memiliki
keterkaitan erat dengan konteks.
|
Penelitian
kualitatif menghasilkan kebenaran atau temuan yang sangat kontekstual. Apa
yang benar di stau konteks, tempat atau suatu lokus, belum tentu benar pada
konteks lainnya. Karena itu objek penelitian kualitatif acap kali kasuistis dan tidak untuk digeneralisir.
|
5.
|
Melibatkan
peneliti secara penuh.
|
Penelitian
kualitatif mensyaratkan peneliti sebagai alat penelitian yang utama. Sebab, hanya
dengan cara ini, bisa dicapai verstehen
seoptimal mungkin. Dalam konteks ini maka teknik pengumpulan data
berbentuk observasi partisipasi dan wawancara mendalam mutlak adanya. Hal ini
terkait pula dengan triangulasi data sehingga kesahihan data menjadi tebih terjamin.
|
6.
|
Memiliki
latar belakang alamiah.
|
Penelitian
kualitatif tidak merubah atau merekayasa lingkungan penelitian (bandingkan
dengan penelitian eksprimen dalam IPA), semuanya dibiarkan berlangsung secara
alamiah.
|
7.
|
Menggunakan
sample purposif.
|
Penelitian
kualitatif tidak menemukan generalisasi sehingga informan ditunjuk secara purposif.
Pertimbangan lebih banyak pada kemampuan informan untuk memasok informasi, sesuia dengan
masalah penelitian. Pengetahuan informan (manusia pada umumnya) bersifat
fungsional, sehingga tidak sebarang orang bisa dipakai informan untuk pemecahan
suatu masalah.
|
8.
|
Menerapkan
analisis induktif.
|
Penelitian
kualitatif berpikir secara induktif, grounded.
Dia mengumpulkan data tentang sesuatu sebanyak-banyaknya, dan dari data itu
dicari polanya, prinsip-prinsip, dan akhirnya menarik kesimpulan dari
analisisnya.
|
9.
|
Mengutakan
makna di balik realitas.
|
Penelitian
kualitatif memang mengemukakan realitas, namun tidak berhenti di
|
10.
|
Mengajukan
pertanyaan “mengapa” (why) dan
“bagaimana” (how) bukan “apa” (what).
|
Penelitian
kualitatif sangat menekankan pada pertanyaan “mengapa” guna mencari alasan maknawi
suatu tindakan. Hal ini melahirkan jawaban yang kaya interpetasi yang berasal
dari informan dan atau peneliti dalam konteks emik dan etik. Pertanyaan
bagaimana juga penting, sesuai dengan sasaran penelitian kualitatif, yakni tidak saja berurusan dengan alasan maknawi
suatu tindakan sosial, tetapi juga terkait dengan prosesnya.
|
Metode yang digunakan penelitian
kualitatif adalah metode wawancara (mendalam, sambil lalu), metode observasi
(terutama metode partisipasi), metode kajian pustaka, metode kajian dokumen,
metode historis, metode studi kasus, dan metode etnografi (uraian mengenai
metode-metode ini lihat Kontjaraningrat, 1983; untuk studi lihat Yin, 2004). Khusus
dalam kaitannya dengan paradigma teori kritis, dia bercirikan sama dengan penelitian
kualitatif, namun sebagaimana yang berlaku pada varian teori kritis yang
diterapkan pada Kajian Budaya, maka penelitian kualitatif melengkapi pula
dirinya dengan metode lain, misalnya metode dekonstruksi dan geneologi (Ricour,
2006; Al-Fayyani, 2005; Spivak, 2003; Norris, 2003; Faucault, 2002, 2002a; Kurzweil,
2004; Baker, 2004). Sedangkan untuk analisis data, penelitian kualitatif bisa
mengikuti model interaktif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Humberman
(1992) atau model etnografi yang berfokus pada pencarian tema-tema budaya
melalui tiga teknik analisis, yakni : (1) domain, (2) taksonomi; dan (3)
komponensial (Spradley, 1979; lihat pula Bungin ed., 2003).
5.2 Dasar-dasar Penelitian Kualitatif
Tabel 03
Gagasan Teoretik Penelitian Kualitatif
No.
|
Teori
|
Keterangan
|
1.
|
Fenomenologi.
|
Setiap
orang memiliki sudut pandang yang berbeda (subjektif) atas sesuatu. Peneliti
yang berpegang pada teori fenomenologi menekankan pada aspek subjektif
tindakan manusia. Kaum fenomenologis percaya bahwa realitas adalah hasil
konstruksi sosial, dan hasil pengalaman berinteraksi antara orang yang satu
dengan yang lainnya. Peneliti tidak hanya melihat tindakan aktor, tetapi juga
bagaimana reaksi orang lain (reaksi subjektif) – kasus joged bumbung porno atau goyang ngebor Inul, terhadapnya. Peneliti tidak menyimpulkan atas dasar
baik-buruk, benar-salah, melainkan lebih pada apa yang dipikirkan oleh suatu
masyarakat tentang suatu fenomena.
|
2.
|
Etnografi
|
Etnografi
adalah usaha untuk menjelaskan suatu budaya atau suatu aspek dari budaya,
sebagaimana tercermin pada tindakan sosial mereka dalam masyarakat. Etnografi
sama dengan penelitian budaya. Budaya adalah tatanan kenyataan ideasional,
sedangkan tindakan sosial adalah pencerminannya. Latar belakang budaya (acap
kali tidak disadari oleh pelakunya) inilah yang diungkapkan oleh etnografer
dalam bentuk potret naratif agar orang lain bisa memahaminya.
|
3.
|
Interaksi
simbolik.
|
Dalam
interaksi simbolik manusia diasumsikan sebagai makhluk yang bertindak atas
dasar bagaimana mereka mendefinisikan, menafsirkan dan mengkonseptualisasikan
sesuatu atas dasar pengalamannya. Apa yang ada dalam interaksi sosial, baik
budaya kebendaan dan atau tindakan sosial, adalah simbol yang bisa
ditafsirkan atau didefinisikan, dan berdasarkan hal inilah mereka membangun
makna bersama, yang dipakai sebagai pola interaksi di antara mereka. Peneliti
interaksi simbolik mencari titik pandang bersama (shared perspektive) atau social
consencius yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
|
4.
|
Etnometodologi.
|
Etnometodologi
adalah kajian terhadap proses yang dilakukan oleh individu-individu untuk
membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari. Karena itu, dia lebih
tertarik pada orang-orang biasa yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Bisa saja hal ini bersifat sesuatu yang kecil-kecil dan sepele yang hidup
dalam masyarakat. Hal ini tidak berarti unik, melaikan bisa juga untuk
hal-hal praktis dan urusan sehari-hari.
|
5.
|
Konstruktivisme.
|
Menurut
konstruktivisme, pengetahuan harus dibangun atau dikemukakan. Dengan
mengajukan pertanyaan pada informan, peneliti konstruktivis mencoba menangkap
apa yang terdapat dalam benak subjek, dan mengonstruksinya menjadi suatu
konsep ilmu pengetahuan.
|
Teori-teori ini memiliki penekanan
yang berbeda, namun ada benang merah, yakni pengakuan terhadap adanya sesuatu (noumena)
di balik tindakan manusia (fenomena). yakni budaya, pengetahuan, pengalaman atau titik pandang bersama yang
atau meminjam gagasan Kalangie (1994) kesemuanya bisa disebut tananan kenyataan
yang ideasional yang meresepi tindakan manusia dalam masyarakat. Hal yang
bersifat tacit inilah yang dicari oleh peneliti kualitatif agar tindakan
manusia terpahami secara mendalam dan holistik. Pengkajian atas tindakan
manusia bisa bersifat kasuistik atau hal-hal yang sepele dalam kehidupan sehari-hari
- etnometodologi. Khusus dalam kaitannya dengan paradigma teori kritis, arah
teorinya lebih menekankan pada teori-teori sosial kritis, termasuk di dalam
teori posmodern, pos-struktural, poskolonial, dll. (Baker, 2004).
Dengan demikian, tidak
mengherankan jika peneliti kualitatif acap kali sulit menunjukkan secara tegas
teori mana yang digunakannya. Namun, bisa saja teori yang satu sangat menonjol,
tetapi yang lain melengkapinya, sehingga kompleksitas suatu masalah sosial
budaya terpahami secara optimal. Bahkan, sebagaimana dikemukakan Piliang (2005)
ada kecenderungan bahwa dalam ilmu sosial dan humaniora, tidak saja terjadi percampuran
teori, melainkan sering pula terjadi perselingkuhan atau persilangan lintas
disiplin sebagaimana terlihat di kalangan penganut teori posmodern. Dengan
demikian, tidak ada lagi batas-batas ilmu pengetahuan secara tegas,
sehingga seperti dikemuakan Horgan
(2005) dan Piliang (2005), terjadi kematian atau senjakala ilmu pengetahuan, yakni
sebuah kondisi lenyapnya batas-batas
antara ilmu pengetahuan, tidak saja antara ilmu pengatahuan yang satu dengan
yang lainnya, tetapi juga dengan bidang-bidang lainnya, seperti sastra, puisi,
seni, keyakinan agama, filsafat, dll. Karena itu, ilmu pengetahuan tidak lagi
dilihat dalam objektivitas, epiteme,
dan validitas kebenarannya, tetapi daya pesona, retorika, aura, dan kehindahannya,
layaknya sebuah lukisan Van Gogh, The Sun
Flower (Piliang, 2005: xviii).
6.
Efilog
Berdasarkan uraian di atas dapat
dikemukakan bahwa paradigma/pendekatan objektif, naturalistik-positivistik atau
instrumental yang melahirkan penelitian kuantitatif memang berjaya. Namun di sisi yang lain ada
pula paradigma /pendekatan subjektif, humanistik-kulturalistik sehingga
melahirkan penelitian kualitatif. Keduannya berlawanan, dan sampai sekarang
terus terlibat dalam perdebatan. Ada
pula paradigma lain, yakni paradigma kritis yang merupakan suatu alternatif
– selain penelitian kualitatif, bisa
terkait dengan riset partisipasi. Paradigma ini tidak saja berbeda secara
ontologi, tetapi juga secara epistemologi dan aksiologi. Kenyataan ini menimbulkan
implikasi bahwa pengajaran metodologi penelitian di perguruan tinggi, sebaiknya
mencakup ketiga paradigma tersebut. Atau paling tidak penelitian kualitatif
mendapatkan perhatian yang setara dengan penelitian kuantitif. Dengan demikian,
seseorang bisa memilih secara tepat atas
dasar masalah yang dikaji dan tujuan yang ingin dicapai, yakni apakah mencari
penjelasan kausalitas – penelitian kuantitatif, ataukah untuk mencari alasan
maknawi maupum pemahaman atas suatu tindakan sosial – penelitian kualitatif.
Daftar Pustaka
Agger, B. 2003. Teori-teori
Sosial Kritis Kritik, Penerapan dan Implikasinya. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Andreski, S. 1989. Max Weber:
Kapitalisme, Birokrasi dan Agama. (Hartono Penerjemah). Yogyakarta :
Tiara Wacana.
Albert, H. 2004. Risalah
Pemikiran Kritis. (Joseph Wagimin dan Moh. Hasan Bisri Penerjemah). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Al-Fayyadi, M. 2005. Deridda.
Yogyakarta : LKiS.
Atmadja, N.B. 2007. Bali Pada Era
Globalisasi Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya. Yogyakarta : LKiS.
Baker, C. 2004. Cultural Studies
Teori dan Praktik. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta :
Kreasi Wacana.
Bellah, R.N. 1992. Relegi
Tokugawa Akar-akar Budaya Jepang. (Wardah Hafidz). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Bleicher, J. 2003. Hermenutika
Kontemporer Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. (Ahmad Norma
Permata Penerjemah). Yogyakarta : Fajar Pustaka
Baru.
Berger, P.L. dan Th. Luckmann. 1992. Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan.
(Hasan Basari Penerjemah). Jakarta :
LP3ES.
Bodgan, R. dan S.J. Taylor. 1983. Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif. (A. Khozin Afandi Penerjemah). Surabaya : Usaha Nasional.
Brannen, J. 1977. Memadu Metode
Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. (H. Nuktah Arfawie Kurde, dkk.
Peberjemah). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bungin, B. ed., 2001. Metodologi Peneltian Kualitatif Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
____________. 2003. Analisis
Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan
Model Aplikasi. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada.
Clammer, J. 2003. Studi Eknomi
Politik dan Pembangunan Neo-Marxis Antropologi. (Ilham B. Saenong
Penerjemah). Yogyakarta : Sadasiva.
de Jonge, H. 1989. Madura dalam
Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam Suatu Studi Antropologi
Ekonomi. (PT Gramedia Penerjemah). Jakarta :
PT Gramedia.
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana
Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta :
LKiS.
Faisal, S. 2001. “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”. Dalam
Burhan Bungin ed., Metodologi Peneltian Kualitatif Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Halaman
35-30.
Faucault, M. 2002. Pengetahuan
dan Metode Karya-karya Foucault. (Arief Penerjemah). Yogyakarta :
Jalasutra.
_____________. 2002a. Arkeologi
Pengetahuan. (H.M. Mochtar Zoerni Penerjemah). Yogyakarta :
Qalam.
Gadamer, H.-G. 2004. Kebenaran
dan Metode Pengantar Filsafat Hermeneutika. (Ahmad Saidah Penerjemah). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Geertz, C. 1973. The
Interpretation of Cultures Selected Essays. New York : Basic Books, Inc., Publisher.
_____________. 1977. Penjaja dan
Raja Perubahan Sosial dan Modernisasi di Dua Kota
Indonesia .
(R. Soepomo Penerjemah). Jakarta :
PT Gramedia.
Geuss, R. 2004. Ide Teori Kritis
Habermas dan Mazhab Frankfurt. (R. H. Abror Penerjemah). Yogyakarta :
Pantarei Book.
Habermas, J. 1990. Ilmu dan
Teknologi sebagai Ideologi. (Hassan Basari Penerjemah). Jakarta : LP3ES.
____________.2006. Teori
Tindakan Komunikatif Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat. (Nurhadi
Penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Hardiman, F.B. 2003. Melampaui
Positivisme dan Modernisasi Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan
Problem Modernitas. Yogyakarta : Kanisius.
____________. 2003a. Kritik
Ideologi Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta : Buku Baik.
Hertz, N. 2004. Kapitalisme
Global dan Kematian Demokrasi Membunuh atas Nama Kebebasan . (Dindin
Solahudin Penerjemah). Bandung :
Nuansa.
Hirst, P. dan G. Thompson. 2001. Globalissai adalah Mitos. (P. Sumitro Penerjemah). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia .
Horgan, J. 2005. The end of
Science Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Djejen Zainuddien Penerjemah). Jakarta : Teraju.
Howard, R.J. 2000. Pengantar
Teori-teori Pemahaman Kontemporer Hermeneutika Wacana Analitis, Psikososial,
dan Ontologis. (Kusmana dan M.S. Nasrullah Penerjemah). Jakarta : Yayasan Adi Karya.
Irawan, P. 2006. Penelitian
Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Departemen Ilmu Adaministrasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UI.
Johnson, P.D. 1992. Teori
Sosiologi Klasik dan Modern. (Robert M.Z. Lawang Penerjemah). Jakarta : PT Gramedia.
Kassam, Y. dan K. Mustafa ed.,
1988. Riset Partisipasi Riset Alternatif.
Jakarta : P3M..
Keesing, R.M. 1992. Antropologi
Budaya Suatu Perspektif Kontemporer Jilid I. (Samuel Gunawan Penerjemah). Jakarta : Erlangga.
Koentjaraningrat ed.1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia.
Kuezweil, E. 2004. Jaring Kuasa
Strukturalisme. (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta :
Kreasi Wacana.
Kuhn, Th. S. 2002. The Structure
of Scientific Revolutions Peran Paradigma dalam Revolosi Sains. (Tjun
Surjaman Penerjemah). Bandung :
PT Remaja Rosdakarya.
Kukla, A. 2003. Konstruktivisme
Sosial dan Filsafat Ilmu. (Hari Kusharyanto Penerjemah). Yogyakarta :
Jendela.
Norris, C. 2003. Membongkar Teori
Dekonstruksi Jaques Derrida. (Inyiak Ridwan Muzir Penerjemah). Yogyakarta : Ar-Ruzz.
Nugroho, H. 2001. Uang, Rentenir
dan Hutang di Jawa. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
__________. 2004. Menumbuhkan
Ide-ide Kritis. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Magnis-Suseno, F. 1990. “Pengantar”. Dalam J. Habermas, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi.
(Hassan Basari Penerjemah). Jakarta :
LP3ES. Halaman viii-xxix.
Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-metode Baru.
(Tjetjep Rohendi Rohidi Penerjemah). Jakarta :
UI-Press.
Moleong, L.J. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, H.N. 2000. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake
Sarasin.
Mulyana, D. 2001. Metologi
Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya.
Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Omahe, K. 2005. Tantangan dan
Peluang di Dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan. (Ahmad Fauzi
Penerjemah). Jakarta :
Indeks.
Palmer, R.E. 2003. Hermeneutka
Teori Baru Mengenai Interpretasi. (Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed
Penerjemah). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Piliang, Y.A. 1998. Sebuah Dunia
yang Dilipat Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga Matinya
Posmodernisme. Bandung :
Mizan.
___________. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna. Yogyakarta : Jalasutra.
___________. 2005. Transpolitika
Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta :
Jalasutra.
___________. 2004. Posrealitas
Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Yogyakarta :
Jalasutra.
___________. 2005. “Di antara Puing-puing Ilmu Pengetahuan”. Dalam J.
Horgan, 2005. The end of Science
Senjakala Ilmu Pengetahuan. (Djejen Zainuddien Penerjemah). Jakarta : Teraju. Halaman
vii-xviii.
Ricouer, P. 2006. Hermeneutika
Ilmu Sosial. (Muhammad Syukri Penerjemah). Yogyakarta :
Kreasi Wacana.
Saenong, I.B. 2003. “Pengantar Penerjemah” Dalam J. Clammer, Studi Eknomi Politik dan Pembangunan
Neo-Marxis Antropologi. (Ilham B. Saenong Penerjemah). Yogyakarta :
Sadasiva. Halaman v-x.
Salim, A. ed., 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial
(dari Denzin Guba dan Penerapannya). Yogyakarta :
Tiara Wacana.
Spivak, G.C. 2003. Membaca
Pemikiran Jaques Derrida Sebuah Pengantar. (Inyiak Ridwan Muzir
Penerjemah). Yogyakarta : Ar-Ruzz.
Spradley, J.P. 1979. The
Ethnographic Interview. New York :
Holt, Renehart and Winston.
Steger, M.B. 2005. Globalisme
Bangkitnya Ideologi Pasar. (Heru Prasetia Penerjemah). Yogyakarta :
Lafadl.
Strauss, A. dan J. Corbin. 2003. Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif Tatalangkah dam Teknik-teknik Teoritisi Data.
(Muhammad Shodiq dan Iman Muttaqien Penerjemah). Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Tabb, W.K. 2006. Tabir Politik
Globalisasi. (Uzair Fauzan dkk. Penerjemah). Yogyakarta :
Lafida Pustaka.
Taryadi, A. 1991. Epistemologi
Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper. Jakarta : PT Gramedia.
Weber, M. 2006. Sosiologi.
(Nookholis Penerjemah). Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Wienman, J.J.M. 1996. Penelitian
Ilmu Sosial Jilid I Asas-asas. Jakarta :
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia .
Yin, R.K. 2004. Studi Kasus
Desain dan Metode. (M. Djauzi Mudzakir Penerjemah). Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Zed, M. 2006. “Ilmu Sosial Indonesia dalam Wacana Metodenstreit”.
Taufik Abdullah ed. Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada. Halaman 55-110.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda