Minggu, 10 Desember 2017

POTENSI PENGEMBANGAN PARIWISATA DESA  DAN INVESTASI BERKELANJUTAN 

POTENSI PENGEMBANGAN PARIWISATA DESA
 DAN INVESTASI BERKELANJUTAN  
Oleh
Dr. I Made Pageh, M.Hum.
Dosen FHIS Undiksha Singaraja


I.          Pendahuluan  

1.1              Latar Belakang   
Pariwisata di Bali hakikatnya menjual alam dan budaya Bali pada wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Bali sebagai tujuan wisata sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Desa di Bali hampir semuanya memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai objek pariwisata, hanya saja masing-masing memiliki potensi wisata berbeda. Kalau dilihat dari pekerjaan masyarakat Bali yang sebagian besar hidup dari pertanian, sangat memungkinkan untuk digali potensi agrowisata dan budaya pertanian (subak) sebagai objek wisata, sebagai pendukung pariwisata budaya yang sudah berkembang. Pilihan kita apakah mau mengembangkan pariwisata budaya atau wisata alam, atau perpaduan darinya. Penyiapan objek wisata desa yang unik akan menarik golongan tertentu yang datang ke Bali, karena begitu banyaknya wisatawan ke Bali, maka sesuai dengan hakikat manusia yang unik dan memiliki kesenangan beragam, maka wisata pertanian, perkebunan, sangat memungkinkan untuk menarik wisatawan yang memiliki kesenangan, kepentingan, dan minat unik dan beragam tadi.
Hanya saja dalam keunikan desa itu, ada hal yang secara umum harus dipenuhi oleh desa wisata yang menjadi tujuan wisata. Seperti pemahaman bahwa bangsa asing memiliki kebiasaan melestarikan lingkungan alam dan satwa, kebersihan, dan jaminan keamanan. Seperti sangat perhatian terhadap hijaunya lingkungan, bebas sampah plastik, sanitasi, air bersih, dan keramahtamahan masyarakat setempat. Nilai-nilai universal itu, terkadang di lingkungan desa tidak memdapat perhatian masyarat setempat.
Memahami budaya barat, dan memahami budaya lokal (Bali sebagai objek wisata) adalah kewajiban bagi pengelola daerah tutujuan wisata (DTW), kedua budaya itu harus difasilitasi dan didamaikan secara universal, sehingga dapat saling menguntungkan satu dengan yang lainnya. Di sinilah dibutuhkan investasi dana untuk mengembangkan objek wisata desa yang menarik, sehingga investasi yang ditanam oleh pemerintah melalui Anggaran Desa (Anggaran Dana Desa), dan dana investor atau kewirausahaan yang memiliki kepentingan ekonomi (untung), menjadi produktif, berkembang dan menghasilkan, sehingga berdampak pada muncul kesejahteraan masyarakat desa secara umum.
Budaya Bali sangat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain: (1) sejarah sistem religi yang berkembang di Bali, (2) bentuk budaya yang tersisa (adaptasi budaya, mimikri, dan hibridasi budaya agama) yang berkembang secara unik di masing-masing desa adat di Bali. Keunikan budaya desa di Bali berdasarkan desa, kala, patra itu, memiliki latar belakang  utama (1) bentuk pemertahanan jiwa budaya berupa sistem religi dan kuasa politik di masa lalu; (2) adanya ikatan budaya desa pakraman yang dikembangkan sejak dulu kala. Percampuran dan penguatan jiwa dan ikatan budaya yang dimiliki desa pakraman itu, dapat dijadikan objek wisata budaya yang menarik.  Jiwa dan ikatan budaya desa itu masih tersisa berupa artefack budaya, seperti: Merajan, Pura Desa, Setra, Tradisi Desa, sistem ritual, sistem sosial, sistem religi, ikatan Banwa, dan lilitan wali yang masih bertahan dapat dikemas menjadi wisata budaya menarik.
Keunikan desa seperti atraksi, sejarah, tradisi dapat digali untuk dikemas secara maksimal. Memang tidak semua Desa dapat dikembangkan menjadi objek wisata, tetapi yang pasti dapat dikembangkan menjadi desa penunjang wisata budaya atau wisata alam yang sudah berkembang duluan. Dengan demikian investasi dana pemerintah dan investor dapat diprospektifkan untuk kerajinan pariwisata dan pertanian untuk wisatawan. Dengan demikian dana investor dan pemerintah (ADD) menjadi produktif, penduduk desa dapat dididik menggunakan waktu luangnya pada kegiatan kreatif dan produktif dipasarkan untuk wisatawan.
 Bali Utara sebagai daerah tropis dan banyak lahan kering sangat potensial untuk dikemas sebagai wisata perkebunan tanaman sejenis yang dapat dijual pada wisatawan yang memiliki kebutuhan khusus ke Bali. Seperti direncanakan tanaman buah khusus untuk dijadikan objek wisata, misalnya: tamaman duren, manggis, mangga, rambutan, kelapa, jambu biji, jambu air, salak dan tanaman lainnya yang dapat diprospekkan pada pasaran lokal, regional, dan internasional. Petani sangat mudah memroduksi hasil pertanian besar-besaran, hanya saja yang menjadi masalah adalah pemasarannya. Pemasaran ketika panen raya menjadi masalah karena sangat murah dan bahkan tidak ada yang membeli hasil pertanian yang melimpah itu. Di sinilah diharapkan ada kontrak petani dengan pengusaha dan pemerintah bahwa panen yang akan dihasilkan sangat berlimpah itu, hasilnya dilola investor atau pemerintah (kontrak jangka panjang) dan wajib hukumnya bagi pemodal untuk menyiapkan pengolahan buah ketika ada panen raya. Respons petani saat ini, ketika hasilnya melimpah dan tidak dapat dijual dengan harga layak dengan memotong tanamannya (sudah dipelihara 5-10 tahun), mengganti dengan tanaman lain menunggu berbuah puluhan tahun lagi. Di sinilah investasi dana pemerintah dan investor sangat diharapkan, agar petani aman bertani, sementara hasilnya sudah ada yang mengurusnya, peran pemerintah dan investor dalam pendanaannya menjadi sangat kondusif. 
            Wisata desa diharapkan menjual produk unik, proses, dan atraksi uniknya. Sebagai petani menjual lokasi perkebunan dan pertanian (trecking), dan memetik buah dari pohonnya langsung. Dengan menyiapkan penginapan rumah penduduk, dapur penduduk, pelayan rumah tangga dan kealamian lainnya pada wisatawan yang memiliki minat khusus.

1.2             Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dikaji, antara lain. (1) Apa potensi desa yang dapat dikemas menjadi objek wisata desa yang menarik wisatawan datang ke desa? (2) Bagaimana investasi berkelanjutan disinergikan di dalamnya?
1.3             Tujuan Penulisan
Tujuan tulisan ini untuk dapat menggali potensi desa untuk dijadikan objek wisata menarik; dapat memberikan wawasan pada masyarakat desa untuk dapat menjadikan potensi desanya sebagai objek wisata yang dapat dijual pada wisatawan secara berkelanjutan; dengan demikian dapat menjaga iklim investasi di desa wisata itu secara berkelanjutan.

II.       Konsep Pariwisata Desa
2.1 Pariwisata Desa
Pariwisata merupakan anak dari kapitalisme, wisatawan datang ke DTW (daerah tujuan wisata) membawa uang (capital) untuk dapat refreshing, dapat kesenangan, pengalaman baru, situasi baru, kuliner unik, dan  souvenir asli daerah untuk dibawa pulang ke daerah asalnya. Tujuan lain seperti pendidikan (PKL), penanaman modal, prestise individu, ketrampilan khusus yang dapat dipertontonkan di daerah asalnya, terutama dapat self esteem sebagai bagian masyarakat modern dengan capital sebagai ukurannya. Sehingga keberadaannya sangat ditentukan oleh “seberapa barang mahal, aktivitas mahal, dan makanan mahal yang dapat dikonsumsinya”, karena makin mahal barang yang dikonsumsi makin tinggi prestise yang disandangnya. Sebagai DTW harus memahami budaya modern asing itu, sehingga tidak dapat menggunakan harga lokal (Rp) sebagai ukuran, harus menggunakan standard dollar ($). 
            Pariwisata merupakan industri tanpa asap, industri yang memiliki keterkaitan secara integral satu faktor dengan faktor lainnya. Tidak mungkin sebuah daerah akan dapat menyiapkan seluruh faktor yang dibutuhkan untuk kemajuan wisata desa, dibutuhkan sinergi secara holistik. Spillanne (1989:92) menyebutkan bahwa kemajuan industri pariwisata ditunjang oleh bermacam-macam usaha yang perlu dilola secara terpadu, di antaranya:
1.       Promosi wisata untuk memperkenalkan objek wisata
2.      Transfortasi, jalan, dan ases yang lancar
3.      Kemudahan keimigrasian atau biro wisata yang cakap
4.      Akomudasi yang menjamin penginapan yang nyaman
5.      Pemandu wisata yang cakap budaya, dan lingkungan
6.      Penawaran barang dan jasa dengan mutu terjamin, dengan harga yang wajar.
7.      Pengisian waktu dengan atraksi-atraksi yang menarik
8.     Kondisi kebersihan dan kesehatan lingkungan hidup (go green Bali today).
9.      Keramah tamahan, tegur sapa, mimik pantu mimik penduduk bersahabat, menjaga perasaan tamu yang datang (tambahan penulis).
Dari kutipan di atas dapat disederhanakan untuk mudah memahami, pariwisata desa terkait erat dengan: (1) kebersihan dan sanitasi lingkungan desa. (2) Ases ke desa wisata yan digarap, (3) Objek wisata desa yang ditawarkan: alam/trecking, budaya unik, proses, ketrampilan, dll. (sekarang lebih mudah melalui video on line di web). (4) Penginapan (standarisasi rumah penduduk). (5) Restouran dapat dipusatkan, dengan tawaran kuliner lokal, terpusat. (6) Atraksi budaya: baris, jogged, gambuh, barong nong kling, pembuatan keranjang hias, wakul, capil ental/klangsah, tuak, pembuatan gula Bali, kisa, dulang, lukis kaca, perak, buatan tenun, dan sebagainya. Tawarkan yang khas daerah masing-masing. (7) Souvenir Desa terpusat, dengan menawarkan produk lokal dengan kemasan mewah, dan mudah dibawa ke luar desa. Seperti makanan (kuliner kering), hasil kerajinan bamboo, kayu unik, foto-foto dengan ruang selfi (dari bambu, goa, kayu, rumah pohon, dll).
III  Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan pendekatan filsafat kritis, kajian budaya, penulisannya menggunakan daya nalar kritis, dan data sejarah Bali, kemudian data dikonstruksi secara umum, yang kemudian dapat dikritisi oleh masyarakat desa atau peserta, sehingga dengan akal sehatnya akan dapat mengonstruksi  secara mandiri potensi desanya yang dapat dijadikan objek wisata menarik, menggunakan poin-poin yang didiskusikan dalam petemuan ini. Deskrisi wacana berdasarkan data sejarah, data sosial-budaya, dan abstraksi beberapa konsep sejarah, social-budaya, ekonomi dan politik yang terkait dalam uraian ini.

IV. Pembahasan  
4.1 Faktor Pariwisata Desa
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan industri pariwisata, yaitu: (1) faktor objek wisata, (2) ases jalan (transfortasi), (2) akomudasi, restouran, atraksi budaya, souvenir, peramu wisata, dan sanitasi- kebersihan lingkungan. Komponen ini merupakan faktor yang harus dipersiapkan untuk turis dapat datang ke DTW Desa yang dikembangkan. Pemerintah melalui dias pariwisatanya berkewajiban untuk membantu desa untuk membangkitkan desa wisata, agar kesejahteraan masyarakat desa dapat terwujud. Dana Desa (ADD) dan investor di desa diharapkan untuk diarahkan kepada potensi desa yang dimilikinya. Dengan demikian dapat menjamin keberlangsungan pembangunan desa dengan menggunakan kekuatannya dari dalam desa. Dibangkitkan dengan melakukan gotong royong demi kemajuan desanya.
Pernyiapan sentra kerajinan, kesenian, dan ataraksi desa secara berkala. Melakukan pemilahan sampah, sehingga desa menjadi bersih dengan demikian penyakit menjadi menjauh, dan sebagainya. Desa jadinya memiliki orientasi masa depan. Kalau tidak mungkin dikembangkan menjadi pusat parwisata, paling tidak menjadi desa penunjang pariwisata dengan menyediakan souvenir khas desa yang dijual di daerah pariwisata yang sudah maju. Lama kelamaan tamu akan datang melihat daerah pusat kerajinan yang ingin mereka jadikan souvenir. Dengan alasan apakah mau melihat proses pembuatan, atau agar dapat membeli dengan harga yang lebih murah karena dibeli dari tangan pertama.
Keunikan yang ditawarkan, akan menarik turis manca negara atau wisatawan nusantar untuk datang, karena pengalaman itu tidak ditemukan di daerah asalnya.  Juga dapat menawarkan pengalaman baru, terutama yang terkenal di daerah asalnya. Kedatangan tamu ke Bali sangat beragam, baik asalnya, kulitnya, keinginan, dan kesenangannya (Sutrisno, 2004:2). Pariwisata desa menangkap peluang tamu yang memiliki keinginan khusus ini.
4.2  Masyarakat Jaringan di Era Globalisasi
Kedatangan tamu asing ke Bali sudah membawa program yang ditawarkan oleh biro perjalanan di daerah asalnya. Oleh karena itu usahakan menawarkan lewat web (intrnet), dan berikan kepastian dan jaminan pada pemesanan, dengan alamat web yang jelas, sehingga interaksi terjadi lewat dunia maya, sehingga kedatangan wisatawan apakah kelompok besar (siswa), keluarga, pribadi dan sebagainya, memiliki kepastian. Melayani wisatawan sebagai masyarakat jaringan yang menguasai web dan internet, maka dalam aktivitas pariwisata dibutuhkan orang khusus yang menangani web desa wisata tersebut. Sehingga sehari-harinya dia bekerja sebagaimana pekerjaan professional lainnya. Dia akan memfasilitasi, memanegemen, mempersiapkan, apa yang dibutuhkan sehari sebelum wisatawan/pemesan datang.
Wisata Desa membutuhkan seorang yang bekerja setiap saat pada web khusus untuk berdagangan wisata desa bersangkutan. Mengelola informasi di dunia maya menjadi kenyataan karena kedatangan tamu diketahui dari internet itu. Dengan web (internet) masyarakat dunia (yang tinggal di Jerman, Jepang, Eropa, Amerika, dan belahan dunia lainnya) dengan mudah dapat mengakses apa yang nereka inginkan yang ada di belahan dunia lainnya, pada saat itu juga, yang dihubungkan oleh dunia maya (jaringan internet). Dunia telah masuk saku manusia, dengan gatget (HP Android) komunikasi masyarakt dunia terjadi secara serentak. Kejadian hari ini, ketika di uploud maka akan diketahui oleh masyarakat lainnya di seluruh dunia, asalkan menarik bagi mereka untuk diketahui. Dunia bukan selebar daun kelor, telah berubah menjadi kenyataan bahwa dunia tidak lebih dari segenggam dau kelor yang dapat dilipat ke dalam saku. Kesadaran itu harus dipahami, karena kita sudah menjadi satu dengan masyarakat dunia lainnya melalui jaringan, sehingga saya sebutkan sebagai masyarakat jaringan.
Persiapan penerimaan tamu disesuaikan sesuai dengan pesanan dan kemampuan kita untuk menyiapkannya, dengan jaminan tidak akan mengecewakan pemesan. Tamu yang datang adalah alat promosi paling efektif dalam dunia pariwisata. Butuh disiapkan masyarakat sadar wisata, dengan menguasai bahasa asing, kebesihan lingkungan, pemilahan sampah, sanitasi lingkungan, kamar kecil yang bersih, keramah tamahan penduduk, dan persiapan lainnya agar satu kesatuan dalam pelaksanannya. Tentu hal itu membutuhkan alat pendesiplinan. Sebagai alat pendisiplinannya adalah bagian berupa prosentase dari penghasilan itu, perlu dibicarakan dan dipastikan hasilnya akan dinikmati secara bersama-sama oleh masyarakat desa bersangkutan (Agger, 2003:247).
            Pembagian kerja dalam menerima turis datang sudah diatur secara professional, terkendali, dan menyuguhkan yang terbaik, dengan alokasi waktu yang pasti. Managemen waktu bagi tamu asing harus dilola dengan baik dan pasti, tidak ada tunda-tunda waktu dengan alasan belum siap. Disinilah peran pemerintah, bekerja sama dengan  kelompok sadar wisata yang dibentuk di daerah tujuan wisata, agar tidak mengacaukan industri pariwisata secara umum.
Kesigapan desa dalam mengelola waktu dan kegiatan yang harus disuguhkan sesuai dengan janji kita dalam promosi, sangat menentukan kedatangan tamu pada hari-hari berikutnya. Promosi daerah desa tujuan wisata yang tidak dijelaskan dengan kata-kata, tetapi berdialog dengan tamu asing, adalah kebersihan lingkungan terlihat ada pemilahan sampah ocial dengan sampah ocial, sanitasi lingkungan baik tidak ada selokan kotor, mampet, bahu dan sebagainya. Penghijauan jalan, pekarangan, dan lingkungan atraksi tidak ada sampah berserakan. Foto-foto, selfie turis dan masyarakat merupakan promosi yang berdialog secara aktif tetapi tidak dengan bahasa verbal, tetapi dengan bahasa simbolik.

4.3 Pariwisata Desa Yang Ditawarkan: Menangkap Wisatawan Berkebutuhan Khusus.
            Wisatawan yang berasal dari daerah maju, betapapun mewahnya hotel tidak membuat mereka kagum, karena di daerah asalnya sudah biasa dengan kemewahan dan glamor modern itu. Justru yang tidak pernah mereka dapatkan di daerah asalnya, akan sangat menarik minatnya. Misalnya mengapa ubud menjadi sangat terkenal di manca negara, karena ubud dapat menangkap turis yang berkebutuhan khusus, yang mencari situasi berbeda dari daerah asalnya. Dengan menyediakan rumah seperti rumah tangga dengan ketenangan terjamin, yaitu hotel yang menyendiri dengan kamar, halaman, tempat makan,mandi sendiri seperti sebuah keluarga mandiri. Masalah harga tidak ditanyakan berapa saja akan dibayar, karena memang menerima tamu kaya. Mereka datang ke Bali melepas kepengapan, keramaian, ingin sepi menyendiri, dan tidak terganggu.  Hal itu ditemukan di Ubud, bukan di Kuta atau di Sanur. Di samping apa yang didapatkan di Ubud, Kuta, Sanur, Candi Dasa dan Lovina, ada beberapa aktivitas yang juga memberikan pengalaman khusus. Secara teoretis beberapa keinginan khusus itu:
Tabel 01: Touris dengan Kebutuhan Khusus.
No
Kebutuhan Khusus
Ketrampilan yang Ditawarkan
1.
Belajar menari Bali
- Belajar singkat beberapa dasar tari Bali
- Belajar Cak Bali
- Belajar Joged Bali Klasik dan Modern
- Belajar tari jauk, baris, janger, dll
- Menarikan barong, dll.

2.
Belajar ocia Bali dari Bambu
-Belajar memainkannya seruling
 -Belajar ngerindik/granting/Nyingklik
-Belajar ngango kempli, dll
-Belajar mreret
-Belajar ngengong
-Belajar Nyegog
-Belajar memainkan Musik Bumbung (rantang lepas ocialion), dll.

3.
Ketrampilan Proses Pembuatan Musik dari amboo
-Belajar membuat seruling
-belajar membuat kempli
-belajar membuat kulkul
-belajar membuat Grantang/rindik
-Belajar membuat preret,
-Belajar membuat gengong, dll .

4.
Ketrampilan main dan membuat Gangsing
-Gangsing kayu utuh
-Gangsing dari papan dirakit
-dll

5.
Memasak Makanan Khas Bali
-Ngelawar paku, Nangka, gedang, pisang batu, klungah, isen, blimbing, dll.
-jukut-jukutan: urab, plecing, plahpah, dll
-jukut ares, embung, kakul, dll.

6.
Proses buat jajanan Basah
-Proses membuat lempog dari ketela di pohon, sampai ngabut lantas jadi jajan lempog.
-membuat timus (idem)
-membuat pisang rai (idem),
-membuat godoh (idem)
-membuat dodol
-membuat jaja- uli, abug, benyon, dll.
7.
Proses membuat I Baas dan Serbuk Kopi Bali
-proses buat nyahnyah I baas Bali
-proses buat dari nyahnyah kopi jadi serbuk
-proses buat gula Bali, dari tuak- jadi gula.
-proses buat arak Bali dari tuak-jadi arak, dll
8.
Proses membuat Rontal di Bali
-Proses daun ental (Video)- menulis di ental.
-Proses buat souvenir dari daun ental, lidinya, buahnya, daunnya, tuaknya diperkenalkan dan dijelaskan prosesnya di Bali.

9.
Proses membuat Gula Bali dari tuak jaka
-tuaknya jadi gula
-ijuknya jadi atap sanggah
-daun mudanya jadi jejahitan
-roonnya jadi jejahitan, dan alat ritual lainnya
-batangnya jadi Genggong
-batangnya jadi patin udud, blakas, dll.
-mitos pohon jaka di Desa Tua
10
Proses membuat dan hasil kerajinan dari perak dan emas
-proses ngolah perak jadi renik perhiasan (souvenir barang perak)
-proses ngolah emas jadi renik perhiasan (souvenir emas)
-proses buat kain songket, souvenir songket.

11
Kebutuhan menjadi orang Bali/Nginep di rumah penduduk
-sediakan rumah penduduk, dengan satndarisasi keamanan, kebersihan, wc, dan standarminimal sebagai rumah layak dihuni touris.

12
Merasakan sebagai pemilik kebun /swah.
-memetik buah (jambu biji, duren, kopi, salak, jeruk, tomat, stroberi, dll. Butuh jalan lingkar di desa bersangkutan.


Banyak ketrampilan lain, dan keunikan lainnya yang dapat ditawarkan, seperti berjalan keliling desa, dengan melihat sisi-sisi kehidupan desa yang asli. Selfi di Rumah Pohon, Plataran Bamboo, Goa, tepi tebing, kandang sapi, dan sebagainya di podok-pondok dibuat khusus diperuntukkan tamu yang akan datang.
Proses penanaman padi (mekirig), metekap, ngelampit, dan sebagainya yang dapat dijadikan objek wisata menarik, dengan menawarkan pengalaman khusus dan unik bagi wisatawan, karena di desanya sudah serba mekanik. Hal ini akan sangat menarik dan menguntungkan desa dan petani, tentu dengan kesepakatan bahwa mereka akan mendapat bagian (prosentase) yang sudah disepakati sebelumnya. Ini adalah suatu objek wisata yang berlangsung jangka panjang, yaitu menjadikan sesuatu professional sebagai komuditas yang tidak habis-habisnya sepanjang zaman. Pengalaman-pengalaman unik dan khusus itulah yang dapat ditawarkan melalui pariwisata desa di Bali Utara.
            Kalau sebuah desa kebetulan memiliki anugrah berupa keindahan alam, seperti air terjun Gitgit, Munduk, Les, dan  pematang sawah yang indah (Jati Luwih), Pura yang unik dan indah seperti Bedugul dan Besakih, Tanah Lot dan sebagainya, maka objek wisata itu merupakan anugrah untuk orang Bali. Memang objek itu ada di luar daerah kita, tetapi pekerjanya, pengusahanya, hotelnya, restourannya, pembuat souvenirnya, pramuwisatanya tentu tidak semuanya dari daerah tersebut. Pekerja pariwisata dari mana-mana dan ada dalam berbagai sector terkait dengan pariwisata. Akan sangat keliru jika berpikir bahwa objek wisata itu hanya menguntungkan penduduk lokal. Bayangkan berapa keluarga Islam dikayakan oleh objek wisata bedugul, yang memang hidup dan berusaha dari dunia pariwisata sekitar bedugul itu. Dengan demikian maka tidak harus memiliki tanah dan punya warung di sekitar objek wisata bersangkutan untuk mau ikut menikmati glamor dunia pariwisata. Biarpun tinggal di Buleleng misalnya di Tejakula, tetapi dapat membuat kerajinan rontal (misalnya) namun dijual di Tanah Lot, Objek Wisata Bedugul atau Besakih.
            Investasi dana desa, investor harus memfasilitasi penduduk, melatih ketrampilan khusus dan menjualkan produk yang dihasilkan, karena penduduk memiliki masalah dalam penjualan, bukan pada produksinya. Dana investor dan pemerintah diharapkan diperuntukkan pada perencanaan (desain) barang, pelatihan, dan penjualannya. Sedang produksinya serahkan pada masyarakat desa wisata atau penunjang wisata bersangkutan.

4.4            Pariwisata Desa dan Sinergi Investasi Berkelanjutan
Produksi barang kerajinan untuk dunia pariwisata dapat dijual di sentra wisata desa yang dibuat dan secara berkelamnutan dijual pada pusat-pusat pariwisata lainnya. Pelatihan ketrampilan membuat barang kerajinan, produk unggulan daerah lainnya dapat dibiayai untuk dijual di pusat-pusat wisata yang sudah maju. Dengan demikian investasi dana yang ditanam pada bidang-bidang tertentu akan kembali dengan penjualan barang kerajinan itu di daerah lain, di samping di pusat kerajinan yang disediakan untuk memasarkan produk kerajinan itu.
Di samping menjual produksi kerajinan yang didanai, dapat juga menjual atau memasarkan proses pembuatan produk itu pada tamu mancanegara dan nusantara, dengan menyasar siswa PKL di Bali, rombongan dari negara tertentu, individu yang memiliki keinginan dan kesenangan khusus seperti yang ditawarkan di atas.
Produk unggulan di desa wisata diharapkan “one village one product”, dengan kekhasannya, seperti barang yang disebarkan di sentra-sentra objek wisata, jangan membuat produk duplikasi, dan sudah terkenal di daerah lain. Misalnya Desa Pakudui Tegal Lalang, pasti wisatawan yang datang mau membeli dan atau melihat proses pembuatan Garuda-Wisnu Kencana di sana. Kemasan produk souvenir dari daun rontal dapat dikreasi di daerah Buleleng Timur, karena menjadi habitat pohon rontal. Juga bagaimana misalnya daerah Jagaraga, Bungkulan, Kubutambahan membuat souvenir ‘Orang Belanda Naik Sepeda Ontel”, seperti yang dibuat dan dipesan Belanda agar Pura Meduwe Karang berisi relief berisi “mimikri budaya Belanda” pada Garuda Wisnu Kencana (cf. Pageh, 2016; Martono,2011:158).
Produk itu didanai dan dijualkan di lokasi pembuatan dan di pusat-pusat penjualan souvenir itu di pasar seni dan atau di hotel-hotel. Dengan demikian produk dapat diuangkan dan diukur kasbecknya, sehingga investor dapat mengetahui pluktuasi keuangan dan budgetnya secara lebih pasti. Dengan demikian dapat diketahui perkembangan modal, melalui penghasilan yang didapat dari proses pelatihan touris, dan penjualan produk yang dihasilkan. Dengan demikian pemerintah dan investor dapat memantau iklim investasi yang terjadi secara bekelanjutan. Tentu hal ini akan memberikan iklim investasi berbagai modal berkolaborasi dan berjalan secara pasti. Modal yang dimaksud pemerintah memiliki modal politik/kuasa, investor memiliki modal kapital, dan desa memiliki modal sosial dan modal budaya. Modal inilah dimaksudkan untuk disinergikan dalam industri pariwisata (Field, 2010:149; cf. Bourdieu, 1986).
V. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
1.       Prakondisi yang harus disiapkan, seperti: (1) objek wisata, (2) asses (transformasi dan internet), (3) atraksi budaya, (4) akomudasi, (5) restouran, (6) souvenir khas desa/lokal, (7) sanitasi, kebersihan desa (bebas plastik), dan (8) keramah-tamahan penduduk lokal.
2.      Perlu disiapkan keterlibatan petani dalam pariwisata, dengan menanamkan investasi pemerintah dan investor untuk menanam tanaman yang potensial untuk pengembangan agrowisata.
3.      Dibutuhkan pembentukan kelompok sadar wisata sebagai mentor pengembangan pariwisata desa dan pekerja profesional khusus menangani web, internet, e-mailme, media sosial lainnya untuk mempromosikan, menawarkan, dan mengelola pesanan melalui dunia maya (on line).
4.      Kerjasama sinergis antara petani, pemerintah, dan investor secara pasti, pendanaannya, dalam menanam tanaman yang dirposfektifkan pariwisata diikat dengan kontrak/perjanjian jangka pajang.
5.      Menyediakan ruang atraksi, proses produk, dan barang souvenir unik, dan tempat penjualan souvenir, kuliner sebagai penunjang keramaian. 

5.2            Saran dan rekomendasi
1.       Pengembangan desa wisata disarankan untuk mengkaji secara mendalam potensi desa yang dapat dikembangkan, sebagai objek wisata, atau sebagai desa pemeroduksi souvenir penunjang objek wisata lsinnya.
2.      Setiap desa direkomendasikan untuk memproduk satu objek wisata, souvenir khas desa, sehingga muncul “one village one product”, dengan demikian tidak terjadi persaingan yang tidak sehat.

DAFTAR PUSTAKA
Spillane, James J. 1989. Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya. Kanisius: Yogyakarta.

Bourdieu, P. 1986. “the Form of Capital”, dalam J.G. Richardson (ed.) Hand Book of Theory and Research for the Sociology of Education. Greenwood Press: New York, p.241-248.

Pageh, I Made. 2016. “Genealogi Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara dan Implikasinya di Era Globalisasi”. Disertasi Kajian Budaya. Universitas Udayana: Denpasar.

Sutrisno, Mudji. 2004. “Pentingnya Pencarian Diri Kultural”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor) Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Kanisius: Yogyakarta.

Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, dan Poskolonial. Raja Wali Press: Jakarta.

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Nurhadi (Penerjemah). Kreasi Wacana: Yogyakarta.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda