Selasa, 12 Desember 2017

MEMBONGKAR DI BALIK MITOS KEPERAWANAN  REMAJAPUTRI KITA



Oleh  I Made Pageh
  1. Pengantar  
Kiranya dikebanyakan masyarakat keperawanan dipandang sesuatu yang luhur, yang suci, yang sakral. Tentunya yang dimaksud adalah keperawanan perempuan --bukan keperawanan hutan  atau alam Bali-- karena laki-laki tidak dapat dilacak keperawanannya dan malahan dianggap tidak perlu dipermasalahkan. Kehilangan keperawanan adalah kehilangan kegadisan dan ungkapan yang setara dengan itu untuk laki-laki tidak ada. Sedangkan keperjakaan pada laki-laki dikaitkan dengan setatus nikah, bukan pengalaman seksual atau kegigoloannya.

Apa bila seorang laki-laki mengawini perempuan maka dia berasumsi mempunyai hak penuh atas  keperawanan gadis itu. Dia harus gadis dan harus perawan, kehilangan keperawanan pada waktu gadis adalah aib besar, bukan hanya bagi gadis bersangkutan, tetapi juga bagi keluarga ikut menanggung malu. Daerah pariwisata sering dicurigai akan paling cepat kehilangan sensitivitas keperawanan. Khususnya Bali, apakah akan dapat mempertahankan kebiasaan atau peranata sosial, berupa budaya malu kehilangan keperawanan, ataukah tanda-tanda zaman ini terus dan terus akan meluas?

Keperawanan menjadi sangat menarik untuk dianalisis karena berkait dengan moralitas bangsa di era postmodernitas, yang kembali memandang bukan hanya kapital (uang saja) terpenting dalam kehidupan masyarakat postmodern, tetapi banyak secara disparitas menjadi dasar ukuran penting itu.
           
2. Mitos-Mitos Keperawanan
Menjaga keperawanan sebagai lambang kesucian, merupakan sebuah “belenggu” pada perempuan di masa lalu, dengan puncaknya berupa praktek “pemingitan”. Seorang gadis keraton dan bangsawan misalnya, pada masa kolonial dapat diibaratkan sebagai wanita di dalam pasungan, tidak ada kebebasan sama sekali. Perempuan sama sekali tidak berhak untuk menentukan masa depannya untuk memilih pendidikan, ketrampilan atau pengetahuan lain untuk mencapai cita-citanya. Dapat dikatakan perempuan hidup dalam kemiskinan dan kebodohan ada di bawah penindasan laki-laki.

Mitos-mitos keperawanan yang sangat bias gender sangat merugikan kaum perempuan. Jangankan seorang perjaka, seorang duda pun yang mengawini gadis, bisa pusing tujuh keliling jika gadis yang dikawininya diketahui sudah tidak perawan lagi. Pada tahun 1990-an pernah hangat kasus penyanyi Farid Hardja yang berniat menceraikan istrinya lantaran merasa “ditipu” sama bekas pacarnya yang dunikahi beberapa harinya.

Secara medis sebenarnya telah banyak diimformasikan tentang berbagai bentuk/karakteristik selaput dara (Hymen), namun tetap saja sang suami menuntut “darah malam pertama”, bahkan hal ini sering pula dipergunakan alasan untuk selingkuh atau menceraikan istrinya. Jadi perempuan selalu ada pada pihak yang lemah, sementara pasangannya tidak mau mendengar alasan yang dikemukakan, hal ini  pada hakikatnya merupakan ketidakadilan kultural dan mungkin juga dapat dikatakan sebagai salah satu pelecehan seksual terselubung. Semoga hal ini disadari oleh perempuan atau remajaputri kita dalam berhubungan dengan laki-laki dari manapun juga asalnya dan setatus sosialnya.

3. Tantangan Mempertahankan Keperawanan
Setidak-tidaknya ada empat tipe tantangan dalam mempertahan keperawanan yang harus diperhatikan era globalisasi ini yaitu tantangan biologis, psikologis, sosio-kultural dan politis. Untuk hal ini kita akan melihat hasil penelitian WHO mengenai masalah Generasi Muda, khusus yang dipaparkan di sini remaja putrinya. Disebutkan bahwa perempuan mencapai kematangan biologis dan psikologis yakni perubahan dari fase anak-anak ke fase dewasa, juga dalam kematangan bidang ekonomi dan sosial remajaputri lebih cepat mandiri. Banyak hal menarik dari hasil risert Badan Dunia WHO ini.

Masalah utama yang perlu dicermati, dalam mempertahankan keperawanan ini adalah makin cepatnya proses dewasa dan usia subur (reproduksi) remaja putri. Hal ini berpengaruh pada prilaku mereka dan perlu menjadikan perhatian dan maklum adanya. Hasil riset WHO tahun 1991, dibandingkan dengan hasil riset yang sama pada tahun 1970-an, ternyata proses menjadi dewasa perempuan maupun laki-laki mengalami percepatan 4-5 tahun. Penelitian akhir abad ke-19 ini sebagai contoh, wanita mengalami masa mentruasi rata-rata pada umur 17 tahun ke atas, ternyata sekarang pada usia 12 tahun telah mengalami mentruasi pertama. Sedangkan remajaputra mengalami “mimpi basah” pertama rata-rata pada usia 18 tahun (abad ke-19), kini rata-rata pada usia 13 tahun. Sehingga dapat di numerikkan setiap satu dasa warsa terjadi percepatan proses pendewasaan untuk kaun renaja putri 4-5 bulan. Faktor penyebabnya adalah faktor arus teknologi, imformasi dan komunikasi yang sangat deras, di samping faktor sosial-ekonomi dan perbaikan gizi pada masyarakat.

Apa yang paling menarik harus diketahui dari hasil riset ini? Kondisi percepatan dewasa tersebut justru berhadapan dengan tantangan usia nikah artinya: dulu usia nikah antara 16-17 tahun untuk remajaputri, dan 18-19 tahun untuk remajaputra, sedangkan usia nikah sekarang mengalami penundaan sampai umur 23 tahun untuk putri dan sekitar 30 tahun untuk putra. Hal ini pula mungkin menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya dampak negatif dan mendorong munculnya dekadensi moral pada masyarakat seperti terjadinya perzinahan, pemerkosaan, perselingkuhan, hamil pranikah, lunturnya nilai-nilai keperawanan dan pada gilirannya akan dapat merusak lembaga perkawinan itu sendiri.

Studi yang pernah diadakan oleh beberapa orang seperti Wimpie Pangkahila, Sarlito, Kelompok Dasakung, Faturochman dan Soetjipto Suharyo dan sebagainya sehubungan dengan dampak penundaan usia nikah ini, mememukan fakta-fakta yang meyakinkan bahwa hubungan pacaran remaja kita di tanah air (walaupun bervarisi cerminan angkanya) secara umum menunjukkan sifat hubungan yang makin permisif.

Semoga keperawanan tetap dapat dihormati oleh remajaputera maupun remajaputri sehingga esok “mentari pagi tetap menyinari dunia dan Dewi Sri tetap menjadi tempat berteduh si burung ceterung”. 

4. Pengaruh Glogalisasi  
Beberapa faktor yang mempenagruhi terjadinya pergaulan bebas dapat dipahami secara umum adalah (1) adanya pengaruh datangnya orang asing ke tanah air kita yang membawa peradaban baru, terutama hubungan bebas yang dipertontonkan oleh pendatang itu; (2) adanya pengaruh media massa yang sering mengeksplor pergaulan bebas itu, sehingga remajaputri kita menjadi salah mengerti antara nilai budaya barat dengan nilai budaya timur; (3) adanya pengaruh modernisme yang didasari oleh prinsip rasionalitas dengan kapital sebagai dasarnya, sehingga banyak kebutuhan kapital/uang untuk mengikuti keinginannya mengejar kemajuan nihilisme (hedonisme) itu, sehingga mengubah prinsip surga menjadi surga dunia, sehingga keperawanan diartikan lain dari sebelumnya.; (4) adanya pengaruh IPTEK yang dapat mengubah orientasi budaya masyarakat timur, yaitu dari monotheisme ke moneytheisme, dengan demikian adat-istiadat ditinggalkan diganti dengan budaya dan ideologi baru yaitu ideologi barat (libralisme, hedonisme,materialisme, rasinalisme, pragmatisme, dan berpikir jangka pendek).  

5. Simpulan 
Hubungan intim terjadi pada remaja kita,kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa (a) menundaan usia nikah, sehingga sebelum menikah, mereka kawin dulu, sehingga banyak remaja menikah karena MBA (Marred by accident ), atau sebaliknya menikah karena banyak memakai obat antihamil maka banyak kasus terjadi kematian bibit kehidupannya; (b) karena adanya pengaruh globalisasi, terutama kapital, hedonisme dan IPTEK. 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda