Rabu, 29 November 2017

PAPUA VERSUS PAPUA: PERUBAHAN DAN PERSPEKTIF BUDAYA

Resensi Buku

I Made Pageh (FHIS Undiksha Singaraja)


1.      Pandangan Umum  
Judul buku “PAPUA VERSUS PAPUA: Perubahan dan Perspektif Budaya” karya I Ngurah Suryawan, mensyaratkan kehendak penulisnya untuk menunjukkan bahwa perpecahan di Papua terjadi karena pertarungan antar orang Papua dalam memperebutkan  modal-modal budaya (Bourdieu), terutama modal kuasa dan capital. Pertarungan terjadi antara kekuatan suku-suku di Papua dengan suku lainnya di Papua koneksi dari kuasa Negara dan kapital (investasi asing) di Papua. Inilah yang hendak disampaikan, dengan keberpihakan penulis pada kearifan budaya lokal Papua, agar budaya lokal itu tidak tersingkir. Strategi pemertahaman budaya lokal itulah (khususnya) dalam sumber daya alam (tanah) dan  pendidikan diharapkan tetapmenjadi milik orang Papua, dalam pendidikan agar tidak mengembangkan pendidikan kolonialis, tetapi yang membebebaskan, yaitu trategi pendidikan menggunakan kearian lokal sebagai pendekatan, sehingga rakyat papua tidak tersisih dari tanah papua.
2.      Pembahasan per bab
Berikut akan dibahas per bab dipahami dari kemampuan saya membaca, kemudian diberikan komentar sebagai masukan dan atau harapan dalam pembahasan.
I. Suryawan mengharap tumbuh Ilmu Antropologi yang terlibat (antropolog dari papua), sehingga masyarakat papua bukan menjadi “objek”, tetapi dapat berperan sebagai “subjek”. Sehingga tidak terjadi penggambaran yang sangan “kolonialistik”, stigmatif, eksotisme terhadap kebudayaan Papua. Karena kenyataannya di Papua terjadi mobilitas budaya sangat tinggi, akibat dari pengaruh luas di masa lalu, globalisme, kapitalisme asing yang secara rial terjadi di tanah Papua. Dalam kondisi inilah masyarakat Papua diharapkan dapat membangun makna budaya dan mendefinisikan etniknya sendiri (from within).
Pendidikan merupakan salah satu gerakan sosial yang dapat mengantarkan masyarakat Papua dapat mendefinisikan dirinya berdasarkan pewarisan nilai-nilai masa lampau, dan menyesuaikan dirinya dengan gerak massa. Pendidikan bernuansa humaniora dengan berbagai rumpun dan keahlian budaya dapat berperan dalam humanisasi maysarakat Papua. Pengaruh kuasa, capital (investasi) dan jaringan komunikasi dalam masyarakat jaringan (penulis) sangat berpengaruh pada budaya Papua kontemporer.[2]
Papua menjadi terpragmentasi akibat pengaruh budaya, capital, kekuatan ekternal (Global, negara), semuanya ini meminggirkan budaya lokal, melokalisir (istilah Suryawan), hal. 49. Situasi ini menghadirkan “geger budaya” konflik antar etnik yang ada di Papua. Dalam konflik itu kekuatan asing menggunakan suku, budaya lokal  untuk kepentingan kuasa dan sumber daya alam Papua. Era globalisasi adalah mustahi atau niscaya dapat dihindari oleh  masyarakat papua, dengan adanya arus informasi, arus modal, arus kuasa, arus ideologi, dan arus manusia di era kesejagatan (kampung Global ini).
Masyarakat Papua baru diharapkan uryawan dapat berdaptasi dengan kemajuan zaman global, sehingga muncul glokalisasi, budaya lokal ikut menjadi bagian dari budaya global, dalam bertidak diharapan pada papua baru “Think Globally and actlocally”.
Harapan Suryawan itu lebih bersifat utopis, ketimbang realities, karena betapa kekuatan capital dan asing sedang mengobrak-abrik tanah Papua. Harapan pendidikan bersifat lokalitas, dengan memberikan dia hidup beradap tasi dengan alamnnya, sementara alamnya telah diperkosa menjadikan “negara” lebih bedosa dari dosa konstruktif otopis yang kita bangun, hanya saja ajak mereka bedialog apa yang merka maui, dari kekayaan tanah mereka agar tidak terjadi keterasingan di tanah mereka sendiri.
II. Liminalitas budaya Papua menjadikan papua sedang ada dalam persimpangan, memilih kembali ke asli, bagaikan berdiri di ruang kosong, mengikuti globalisme sudah terstigma papua sangat eksotik. Di sinilah suryawan juga delima memberikan pilihan mana yang harus diempati atau dibela apakah suku-suku yang bertahan pada tradisi? Atau susu-suku yang mendapat dukungan dari pemerintah/investor (Globalisme/modernisme). Pilihan jatuh pada kemajauan diikuti, tetapi tradisi Papua jangan ditinggalkan, itu namanya belum memilih dalam pilihan yang disodorkan. Menjawab Judul Papua versus papua, pilihan masih gamang dalam buku ini, mudah disebutkan tetapi sukar diaplikasikan. Pilihan jalan tengah bukan ciri karya Cultural Studies, tetapi pilihan antropologi struktural fungsional.
            Konflik terjadi dalam konteks perebutan sumber daya kuasa (politik) dan ekonomi sering suku-suku Papua sendiri menggunakan sukunya (Patipa) sebagai dasar/alasan untuk kepentingan politik dan ekonomi. Suku-suku yang bekerja sama dengan pusat, capital (investasi Asing) bertentangan dengan kekuatan suku-suku atau kampung-kampung Papua. Terjadi perpecahan ke dalam, atau papua terpragmentasi oleh kekuatan global, capital, pusat (negara). Muncul politik pemekaran sebagai alasan untuk mensejahtrakan dan memajukan Papua, sehingga papua semakin tersisih dalam persaingan yang terjadi di tanah Papua. Karena tanah papua sudah terpapar pada interkoneksi global, terikat pada norma-norma hokum internasional, sehingga rakyat Papua menjadi penonton dan terasing di negari sendiri. Pandangan ini dapat diterima, tetapi hal ini adalah bersifat spekulatif/teoretis kritis, karena datanya tidak terlalu jenuh.
            III. Papua awal sesungguhnya merupakan etnik-etnik lokal berdasarkan kampung, sungai, bahasa ecara terpisah,  sekitar 253 bahasa lokal (hal. 109). Baru tahun 1899 (manokwari dibangun oleh Belanda), sehingga terkonstruksi identitas Papua Barat (1961). Papua merasa dikolonisasi baik oleh Belanda maupun oleh Indonesia. Sebagai contoh identitas papua dinamis, bergerak, setelah 1963-1969, bahwa:
Orang Papua nama Irian Jaya, karena menjadi simbol penghinaan Indonesia terhadap budaya mereka. Pada tahun 1988 setelah reformasi berembus, rakyat Papua menuntut daerah mereka diberinama Papua atau Papua Barat. Pada tanggal 1 Januari 2002, ketika UU Otda khusus diberlakukan secara resmi nama Papua digunaka (hal. 111).
Pepera 1969 menjadikan Irian Jaya dibawah NKRI, justru hal ini menjadi akar konflik yang ada di Papua Barat. Desain besar dari pusat menjadikan Papua Barat beberapa propinsi, menjadi momok masyarakat Papua karena dianggap memecah belah daerahnya demi kuasa dan kapital. Daerah yang begitu luas secara rial memang sangat sulit negara melayani rakyatnya di sana, sehingga ada desain besar untuk memekarkan Papua Barat, menjadi beberapa propinsi, kabupaten, da kecamatan, sehingga dirasionalisasikan sebagai bentuk kesejahtraan rakyat papua. Namun desain ini telah berubah menjadi candu bagi masyarakat papua, karena dengan pemekaran itu muncul berbagai kepentingan, berbagai eksistensi merasa berjasa, ujung-ujungnya minta proyek, kuasa, PNS, dan sebagainya.
            Dalam kondisi demikian diharapkan muncul identitas papua baru yang melampaui sekadar suku-suku yang terus bertikai untuk kepentingan sesaat itu, diharapkan muncul identitas papua yang melampau identitas etnik/suku-suku yang bertikai itu.
            IV.  Dinamika yang terus terjadi, konflik di dalam etnik dan kampung terus terjadi, sehingga habis tenaganya untuk bertarung di dalam. Kapital asing terus menguasa Hutan dan tanah mereka, dan sementara mereka tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengolah hutan dan tanah tandus. Masyarakat suku asli sebagai pelilik tanah selalu measa memiliki tanah yang dikuasai oleh investor, sementara UU 41/1999 tetang Kehutanan berbicara lain. Sehingga ada beberapa kasus kapung kumuh berada disekitar perumahan elit korporasi trans nasional. Pengaruh luar ini menhancurkan budaya, agama lokal digantikan oleh budaya dan agama asing (Islam dan Kristen).
            Kapitalisme tanah adat terjadi, walau ada hak ulayat di papua, karena masyarakat papua kini sudah memandang tanah sebagai capital (hal. 164). Padahal tanah dan orang papua secara historis adalah saling bergandung dalam keberadaannya.
            Saya khawatir apakah pemahaman 4 pilar kebangsaan dipahami oleh rakyat papua. Yang terus berjuang menentang keindonesiaan, jika dibiarkan terus bergulir bangsa ini dapat terpecah belah, butuh penanaman karakter keindonesian dalam buku ini, sehingga ilmu antropologi bukan untuk ilmu saja, atau kebenaran yang dikontruksi di sini butuh perspektif keindonesiaan, untuk menangkal lokalisme (etnosentrisme) berlebihan demi keutuhan bangsa dan negara.
komodifikasi tanah ini perlu dibahas secara mendalam bahwa ideologi pasar, kapitalisme, sesungguhnya menjadikan konflik-konflik berbasis hutan dan tanah di Papua, terutama paradigma yang terjadi antara suku-suku yang tidak tahu menahu hukumpositif, kontrak, dan sebagainya yang dia ketahui bahwa tanah Papua adalah miliknya, setiap yang datang dianggap tidak berhap bahkan penipu. Dibutuhkan pemahaman lebih dalam ideology orang Papua, dan penjelasan secara konseptual NKRI terkait dengan wilayahnya termasuk Papua, merupakan hasil jerih payah bangsa dan pejuang Indonesia. Sejengkal tanah yang diproklamasikan wajib dibela sampai titik darah penghabisan (ini nasionalisme tanah Indonesia). Orang yang mengaku etnik apa saja di nusantara sebagai asset bangsa, yang nota bena lahir setelah kemerdekaan wajib tunduk pada nasionalisme itu (4 pilar kebangsaan harga mati).
            V. Kini perjuangan rakyat Papua terus bergerak memperjuangkan hak-haknya dengan menyasar pasar-pasar modern (CFC, Gelael, Swalayan, dll). Beberapa kasus ditunjukkan oleh Ngurah Suryawan yang terjadi di Papua, karena orang papua merasa terus ditipu oleh setiap langkah pembangunan yang terjadi di Papua. Perjuangan itu lebih bersifat politis dan ekonomis, sehingga harus dilawan dengan politis dan ekonomis pula, sehingga jangan Megara dijadikan komoditas politik untuk dipecah belah sebagai komoditi.
            Politik ruang dan pemekaran wilayah terus dilakukan pemerintah, namun tetap rakyat papua merasa (curiga) akan ditipu. Penipuan bukan hanya dilakukan oleh orang luar tetapi juga oleh orang papua sendiri, bekerja sama dengan asing. Oleh karena itu kelompok pejuang Papua seperti SOLPAP dan KOMMPAP berusaha untuk membangun kemandirian ekonomi rakyat Papua, hanya saja penyakit uang juga terjadi di Papua. Satu satunya jalan untuk mencapai kemandirian Papua adalah kembali pada akar budaya papua sendiri, dengan meminimalisir pengaruh global merasuk ideologi kapitalis pada rakyat Papua.
            Jika penyakit ideologi kapitalis, hedonis, dan kenyamanan hidup duniawi telah menjadi bagian kehidupan rakyat Papua, maka secara teoretis sangat sulit mengembalikan papua menjadi Papua seperti yang dibayangkan dalam tulisan Suryawan ini.
            VI. Lilin kehidupan rakyat Papua adalah bangkit kesadaran untuk memimpin diri sendiri, dengan siasat memecahkan kebisuan adalah komitmen menjaga keluarga, bekerja keras, menjaga kedamaian,  dan pendidikan kembali kejati diri Papua adalah lilin kehidupan bagi Papua. Perana Gereja menjadi sangat penting karena konflik-konflik yang terjadi sangat merugikan rakyat Papua. Dengan demikian orang papua akan bergerak memecahkan kebisuan dan mendifinisikan dirinya.
Namun secara idealis peran gereja diharapkan dapat meredam konflik kepentingan lokal dan global itu, tetapi secara pragmatis kalau tidak dikuatkan memalui pendidikan hal ini sangat sulit dilakukan, bahkan menjadi bumerang bagi kemajuan Papua sendiri.
            VII.  Pendidikan sesungguhnya menjadi kata kunci mengubah nasib orang papua, pendidikan diharapkan Surayawan adalah pendidikan yang tidak mencabut akar budaya lokal, sehingga pendidikan tidak hegemonic (kolonialis), tetapi pendidikan yang membebaskan (back to natural). Missionaris dan Indonesia sama-sama asing bagi papua, dengan demikian dibutuhkan pendidikan yang kreatif untuk mengantarkan masyarakat Papua mengerti jatidiri, kepribadian, dan lingkungannya sendiri. Seperti telah digagas oleh missionaris  di papua zaman colonial. Sedangkan buku yang berisi “ini budi, ini bapak budi, budi ke sawah, dll) tidak kontekstual. Sehingga dibutuhkan usaha untuk melakukan perbaikan melalui guru-guru di papua. Di era gobal bukan hanya konsep global yang masuk, tetapi diharapkan konsep lokal juga masuk ke dalamnya (Glokal).
            Butuh pendidikan supra etnik papua, agar kesadaran antaretnik pada masyarakat multietnik papua terwujud. Pendekatan budaya dalam pendidikan dipandang penting. Merepleksikan budaya lokal dalam pendidikan (bahasa ibu) dipandang sangat penting oleh Suryawan. Namun yang dapat mempertahankan kelangsungan hidup etnik papua menurut pandangan saya justru harus dibangun sarana dan prasarana pendidikan modern, sehingga kesetaraan dengan teman sebangsanya segera dapat terwujud, sehingga mempercepat papua mandiri secara IPTEKS, karena anugrah tanah papua berkelimpahan kekayaan alam.
            Dibutuhkan media dan mediasi budaya untuk melawan arus globalisasi di papua agar mereka tidak tercerabut dari akar budayanya. Disinliah suryawan menawarkan pendidikan dengan nalar inklusif, dalam artian ketika berjumpa dengan liyan (yang lain) pikiran tidak di arahkan kembali pada yang asli, tetapi pada identitas baru, sehingga identitas subjek (papua) terjadi secara resistensi abadi.
            Saya memandang, secara teoretik jika budaya papua tidak bersentuhan dengan budaya luar (nasional/global), saya kawatir bahwa dosa negara menjadi bertambah besar, membiarkan saudaranya tetap eksotik, lamban berubah, konflik berkepanjangan dan mengantar kematian bagi budaya dan masyarakat Papua. Social engenering melalui pendidikan, tetap harus antisipatif terhadap perubahan masa depan yang penuh tantangan (global dan kapitalis). Oleh karena itu percepatan kemajauan pendidikan, dengan mengambil pembelajaran CTL (Contekstual Learning) kepapuaan sangat penting, namun wawasan dunia luar juga lebih penting. Bahkan melalui pendidikan percepatan kesetaraan dengan warganya yang lain di Indonesia saya harap terjadi sesegera mungkin. Kekuatan global, kaitalis (investasi) tidak dapat dihindari di papua (keniscayaan). Jika tidak mau papua menjadi museum hidup, dan masa depannya tetap suram karena diwarnai oleh konflik berdasar kepentingan politik dan ekonomi saja.
VIII. Simpulan
Secara Metodis tulisan ini menggunakan pendekatan budaya (bahwa segala sesuatu ada budaya di dalamnya). Karena membahas khusus Budaya Papua maka buku ini merupakan kajian etnografis spekulatif kritis. Data dikumpulkan dengan pengamatan, dan penelitian terlibat (emansipatoris) from wthin. Sebagai kajian etnografis kritis Ngurah Suryawan berusaha memosisikan diri berpihak pada budaya lokal Papua yang ada dalam liminalitas prahara dan sedang digerus oleh kekuatan eksternal.
Teori yang digunakan bersifat eklektif, namun yang menonjol teori yang digunakan adalah teori Clliford Geertz (cultural interpretif) yang memandang “budaya sebagai semiotik jaringan symbol”, dan pendekatan struktural-transformatif dalam melihat budaya “asli menyejarah yang telah terkoneksi dengan budaya luar beradaptasi sejak lama dengan budaya modern, global,  tentu dalam perspektif cultural studies (Edward Said, Fanon, Spivak, Bourdie, Gramsci, Honni Bhabha/Post Kolonial), serta teori struktural fungsional klasik tidak dilupakan.
Saya memahami penggunaan teori ini secara inplisit, sehingga tersembunyi dalam setiap uraiannya teori tersebut di atas, tetapi penulisnya berbekal kaya teori kajian budaya, sehingga aksi budaya, pendidikan, kebijakan yang dikritisi, terutama yang dapat menghancurkan budaya lokal di Papua, menjadi seperti tampak nyata. Padahal Papua Barat tidaklah sekecil Bali, seperti generalisasi yang ditulis dalam banyak buku beliau. Spekulasi ini menjadikan karya ini sangat teoretis (filsafat sosial kritis).
Pembahasan pendidikan dijelaskan bahwa: (a) betapa pentingnya pemahaman sejarah lokal itu, terutama sejarah sunyi yang tidak dapat ruang suara dalam pendidikan di Papua; (b) pendidikan bukanhanya produk, tetapi yang penting prosesnya perlu dipahami; (c) membangun papua perlu pendekatan budaya (humaniora) dengan menghidupkan “akar-akar historis” dari masalah-masalah masa kini.
Pandangan saya secara umum penulisan bahwa karya ini bersifat spekulatif, didasari oleh demikian luasnya daerah Papua secara geografis, dan demikian multietniknya Papua (253 bahasa daerah), tetntu penelitian ini lebih bernuansa teoretis, dibandingkan dengan faktual (as actuality) tentang gambaran Papua secara keseluruhan. Wacana yang terbangun tidaklah dapat dijadikan “bahan” untuk melakukan genderalisasi, sebagaimana karya sosiologi structural fungsional umumnya. 
Saya sampaikan penghargaan dan salut pada produktivitasnya Ngurah Suryawan sebagai akademisi muda, menghasilkan buku antropologis/ etnogrfis kritis ini. Karena bahan bacaan mengenai Papua sangat langka. Secara umum buku ini layak dikonsumsi secara akademik, hanya saja hati-hati menggunakan genderalisasi, bahkan lebih bersifat studi kasus, pada daerah yang diamati, diempati oleh penulisnya. Ketidak-jelasan spasial, temporal, suku, dan budaya etnik yang dikritisi (bersifat identitas Papua yang dinamis)  sehingga menjadikan karya ini butuh dipertajam tukikkannya, diperjenuh datanya, diperjelas where, when, who, how dan whay-nya. Karena memahami papua tanpa diawali sejarahnya menjadikan pemahaman pembaca seperti berlaku untuk seluruh suku (253 Bahasa) dan wilayah yang sangat luas. Konsekuensinya ruh /jiwa zaman (zeitgeist) dan ikatan budaya zamannya (cultuurgebudenheit) yang dikritisi menjadi kabur. Pengetahuan ini, jika tidak disandingkan dengan bacaan lain, akan menjadi konstruksi pemahaman pembaca tentang papua bisa jadi keliru.
            Kebenaran yang dikonstruksi sangat bergantung pada perspektif yang digunakan, apa yang diberikan masukan bukan berarti mengurangi kelebihan buku ini, tetapi demi kesempurnaan dan dialog menggunakan nalar dan keilmuan bahwa tidak ada kebenaran tunggal dalam kajian budaya, atau sejarah dan ilmu social lainnya (Terimakasih, Made Pageh, Singaraja 12 Juli 2017).











[1] Identitas Buku: (1) Judul: PAPUA VERSUS PAPUA: Perubahan dan Perspektif Budaya, (2) Pengantar: Manuel Kaisiepo, (3) Penerbit: Labirin: Yogyakarta, 2017, (4) Tebal: 262 halaman
[2] Masyarakat jaringan (teknologi informatika) sangat berperan dalam mengubah paradigma masyarakat papua, sehingga konflik dan masalah yang ada di papua cepat menjadi konsumsi seluruh suku dan penduduk papua termasuk masyarakat dunia. 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda