PAPUA VERSUS PAPUA: PERUBAHAN DAN PERSPEKTIF BUDAYA
Resensi Buku
I Made
Pageh (FHIS Undiksha Singaraja)
1. Pandangan
Umum
Judul buku “PAPUA
VERSUS PAPUA: Perubahan dan Perspektif Budaya” karya I Ngurah Suryawan, mensyaratkan
kehendak penulisnya untuk menunjukkan bahwa perpecahan di Papua terjadi karena
pertarungan antar orang Papua dalam memperebutkan modal-modal budaya (Bourdieu), terutama modal
kuasa dan capital. Pertarungan terjadi antara kekuatan suku-suku di Papua dengan
suku lainnya di Papua koneksi dari kuasa Negara dan kapital (investasi asing) di
Papua. Inilah yang hendak disampaikan, dengan keberpihakan penulis pada
kearifan budaya lokal Papua, agar budaya lokal itu tidak tersingkir. Strategi
pemertahaman budaya lokal itulah (khususnya) dalam sumber daya alam (tanah) dan
pendidikan diharapkan tetapmenjadi milik
orang Papua, dalam pendidikan agar tidak mengembangkan pendidikan kolonialis,
tetapi yang membebebaskan, yaitu trategi pendidikan menggunakan kearian lokal
sebagai pendekatan, sehingga rakyat papua tidak tersisih dari tanah papua.
2. Pembahasan
per bab
Berikut akan dibahas per bab dipahami dari kemampuan
saya membaca, kemudian diberikan komentar sebagai masukan dan atau harapan
dalam pembahasan.
I. Suryawan mengharap
tumbuh Ilmu Antropologi yang terlibat (antropolog dari papua), sehingga masyarakat
papua bukan menjadi “objek”, tetapi dapat berperan sebagai “subjek”. Sehingga
tidak terjadi penggambaran yang sangan “kolonialistik”, stigmatif, eksotisme terhadap
kebudayaan Papua. Karena kenyataannya di Papua terjadi mobilitas budaya sangat
tinggi, akibat dari pengaruh luas di masa lalu, globalisme, kapitalisme asing
yang secara rial terjadi di tanah Papua. Dalam kondisi inilah masyarakat Papua
diharapkan dapat membangun makna budaya dan mendefinisikan etniknya sendiri (from within).
Pendidikan merupakan
salah satu gerakan sosial yang dapat mengantarkan masyarakat Papua dapat
mendefinisikan dirinya berdasarkan pewarisan nilai-nilai masa lampau, dan menyesuaikan
dirinya dengan gerak massa. Pendidikan bernuansa humaniora dengan berbagai
rumpun dan keahlian budaya dapat berperan dalam humanisasi maysarakat Papua.
Pengaruh kuasa, capital (investasi) dan jaringan komunikasi dalam masyarakat
jaringan (penulis) sangat berpengaruh pada budaya Papua kontemporer.[2]
Papua menjadi
terpragmentasi akibat pengaruh budaya, capital, kekuatan ekternal (Global,
negara), semuanya ini meminggirkan budaya lokal, melokalisir (istilah
Suryawan), hal. 49. Situasi ini menghadirkan “geger budaya” konflik antar etnik
yang ada di Papua. Dalam konflik itu kekuatan asing menggunakan suku, budaya lokal untuk kepentingan kuasa dan sumber daya alam
Papua. Era globalisasi adalah mustahi atau niscaya dapat dihindari oleh masyarakat papua, dengan adanya arus
informasi, arus modal, arus kuasa, arus ideologi, dan arus manusia di era
kesejagatan (kampung Global ini).
Masyarakat Papua baru
diharapkan uryawan dapat berdaptasi dengan kemajuan zaman global, sehingga
muncul glokalisasi, budaya lokal ikut menjadi bagian dari budaya global, dalam
bertidak diharapan pada papua baru “Think
Globally and actlocally”.
Harapan Suryawan itu
lebih bersifat utopis, ketimbang realities, karena betapa kekuatan capital dan
asing sedang mengobrak-abrik tanah Papua. Harapan pendidikan bersifat
lokalitas, dengan memberikan dia hidup beradap tasi dengan alamnnya, sementara
alamnya telah diperkosa menjadikan “negara” lebih bedosa dari dosa konstruktif
otopis yang kita bangun, hanya saja ajak mereka bedialog apa yang merka maui,
dari kekayaan tanah mereka agar tidak terjadi keterasingan di tanah mereka
sendiri.
II. Liminalitas
budaya Papua menjadikan papua sedang ada dalam persimpangan, memilih kembali ke
asli, bagaikan berdiri di ruang kosong, mengikuti globalisme sudah terstigma
papua sangat eksotik. Di sinilah suryawan juga delima memberikan pilihan mana
yang harus diempati atau dibela apakah suku-suku yang bertahan pada tradisi?
Atau susu-suku yang mendapat dukungan dari pemerintah/investor
(Globalisme/modernisme). Pilihan jatuh pada kemajauan diikuti, tetapi tradisi
Papua jangan ditinggalkan, itu namanya belum memilih dalam pilihan yang
disodorkan. Menjawab Judul Papua versus papua, pilihan masih gamang dalam buku
ini, mudah disebutkan tetapi sukar diaplikasikan. Pilihan jalan tengah bukan
ciri karya Cultural Studies, tetapi
pilihan antropologi struktural fungsional.
Konflik
terjadi dalam konteks perebutan sumber daya kuasa (politik) dan ekonomi sering
suku-suku Papua sendiri menggunakan sukunya (Patipa) sebagai dasar/alasan untuk
kepentingan politik dan ekonomi. Suku-suku yang bekerja sama dengan pusat,
capital (investasi Asing) bertentangan dengan kekuatan suku-suku atau
kampung-kampung Papua. Terjadi perpecahan ke dalam, atau papua terpragmentasi
oleh kekuatan global, capital, pusat (negara). Muncul politik pemekaran sebagai
alasan untuk mensejahtrakan dan memajukan Papua, sehingga papua semakin
tersisih dalam persaingan yang terjadi di tanah Papua. Karena tanah papua sudah
terpapar pada interkoneksi global, terikat pada norma-norma hokum internasional,
sehingga rakyat Papua menjadi penonton dan terasing di negari sendiri. Pandangan
ini dapat diterima, tetapi hal ini adalah bersifat spekulatif/teoretis kritis,
karena datanya tidak terlalu jenuh.
III.
Papua awal sesungguhnya merupakan etnik-etnik lokal berdasarkan kampung,
sungai, bahasa ecara terpisah, sekitar
253 bahasa lokal (hal. 109). Baru tahun 1899 (manokwari dibangun oleh Belanda),
sehingga terkonstruksi identitas Papua Barat (1961). Papua merasa dikolonisasi
baik oleh Belanda maupun oleh Indonesia. Sebagai contoh identitas papua
dinamis, bergerak, setelah 1963-1969, bahwa:
Orang Papua nama
Irian Jaya, karena menjadi simbol penghinaan Indonesia terhadap budaya mereka.
Pada tahun 1988 setelah reformasi berembus, rakyat Papua menuntut daerah mereka
diberinama Papua atau Papua Barat. Pada tanggal 1 Januari 2002, ketika UU Otda
khusus diberlakukan secara resmi nama Papua digunaka (hal. 111).
Pepera 1969 menjadikan Irian Jaya
dibawah NKRI, justru hal ini menjadi akar konflik yang ada di Papua Barat.
Desain besar dari pusat menjadikan Papua Barat beberapa propinsi, menjadi momok
masyarakat Papua karena dianggap memecah belah daerahnya demi kuasa dan kapital.
Daerah yang begitu luas secara rial memang sangat sulit negara melayani
rakyatnya di sana, sehingga ada desain besar untuk memekarkan Papua Barat,
menjadi beberapa propinsi, kabupaten, da kecamatan, sehingga dirasionalisasikan
sebagai bentuk kesejahtraan rakyat papua. Namun desain ini telah berubah menjadi
candu bagi masyarakat papua, karena dengan pemekaran itu muncul berbagai
kepentingan, berbagai eksistensi merasa berjasa, ujung-ujungnya minta proyek,
kuasa, PNS, dan sebagainya.
Dalam
kondisi demikian diharapkan muncul identitas papua baru yang melampaui sekadar
suku-suku yang terus bertikai untuk kepentingan sesaat itu, diharapkan muncul
identitas papua yang melampau identitas etnik/suku-suku yang bertikai itu.
IV. Dinamika yang terus terjadi, konflik di dalam
etnik dan kampung terus terjadi, sehingga habis tenaganya untuk bertarung di
dalam. Kapital asing terus menguasa Hutan dan tanah mereka, dan sementara
mereka tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengolah hutan dan tanah tandus.
Masyarakat suku asli sebagai pelilik tanah selalu measa memiliki tanah yang
dikuasai oleh investor, sementara UU 41/1999 tetang Kehutanan berbicara lain.
Sehingga ada beberapa kasus kapung kumuh berada disekitar perumahan elit
korporasi trans nasional. Pengaruh luar ini menhancurkan budaya, agama lokal
digantikan oleh budaya dan agama asing (Islam dan Kristen).
Kapitalisme
tanah adat terjadi, walau ada hak ulayat di papua, karena masyarakat papua kini
sudah memandang tanah sebagai capital (hal. 164). Padahal tanah dan orang papua
secara historis adalah saling bergandung dalam keberadaannya.
Saya
khawatir apakah pemahaman 4 pilar kebangsaan dipahami oleh rakyat papua. Yang
terus berjuang menentang keindonesiaan, jika dibiarkan terus bergulir bangsa
ini dapat terpecah belah, butuh penanaman karakter keindonesian dalam buku ini,
sehingga ilmu antropologi bukan untuk ilmu saja, atau kebenaran yang
dikontruksi di sini butuh perspektif keindonesiaan, untuk menangkal lokalisme
(etnosentrisme) berlebihan demi keutuhan bangsa dan negara.
komodifikasi tanah ini
perlu dibahas secara mendalam bahwa ideologi pasar, kapitalisme, sesungguhnya
menjadikan konflik-konflik berbasis hutan dan tanah di Papua, terutama
paradigma yang terjadi antara suku-suku yang tidak tahu menahu hukumpositif,
kontrak, dan sebagainya yang dia ketahui bahwa tanah Papua adalah miliknya,
setiap yang datang dianggap tidak berhap bahkan penipu. Dibutuhkan pemahaman
lebih dalam ideology orang Papua, dan penjelasan secara konseptual NKRI terkait
dengan wilayahnya termasuk Papua, merupakan hasil jerih payah bangsa dan
pejuang Indonesia. Sejengkal tanah yang diproklamasikan wajib dibela sampai
titik darah penghabisan (ini nasionalisme tanah Indonesia). Orang yang mengaku
etnik apa saja di nusantara sebagai asset bangsa, yang nota bena lahir setelah
kemerdekaan wajib tunduk pada nasionalisme itu (4 pilar kebangsaan harga mati).
V.
Kini perjuangan rakyat Papua terus bergerak memperjuangkan hak-haknya dengan
menyasar pasar-pasar modern (CFC, Gelael, Swalayan, dll). Beberapa kasus
ditunjukkan oleh Ngurah Suryawan yang terjadi di Papua, karena orang papua
merasa terus ditipu oleh setiap langkah pembangunan yang terjadi di Papua. Perjuangan
itu lebih bersifat politis dan ekonomis, sehingga harus dilawan dengan politis
dan ekonomis pula, sehingga jangan Megara dijadikan komoditas politik untuk
dipecah belah sebagai komoditi.
Politik
ruang dan pemekaran wilayah terus dilakukan pemerintah, namun tetap rakyat
papua merasa (curiga) akan ditipu. Penipuan bukan hanya dilakukan oleh orang
luar tetapi juga oleh orang papua sendiri, bekerja sama dengan asing. Oleh
karena itu kelompok pejuang Papua seperti SOLPAP dan KOMMPAP berusaha untuk
membangun kemandirian ekonomi rakyat Papua, hanya saja penyakit uang juga
terjadi di Papua. Satu satunya jalan untuk mencapai kemandirian Papua adalah
kembali pada akar budaya papua sendiri, dengan meminimalisir pengaruh global
merasuk ideologi kapitalis pada rakyat Papua.
Jika
penyakit ideologi kapitalis, hedonis, dan kenyamanan hidup duniawi telah
menjadi bagian kehidupan rakyat Papua, maka secara teoretis sangat sulit
mengembalikan papua menjadi Papua seperti yang dibayangkan dalam tulisan
Suryawan ini.
VI.
Lilin kehidupan rakyat Papua adalah bangkit kesadaran untuk memimpin diri
sendiri, dengan siasat memecahkan kebisuan adalah komitmen menjaga keluarga,
bekerja keras, menjaga kedamaian, dan
pendidikan kembali kejati diri Papua adalah lilin kehidupan bagi Papua. Perana
Gereja menjadi sangat penting karena konflik-konflik yang terjadi sangat
merugikan rakyat Papua. Dengan demikian orang papua akan bergerak memecahkan
kebisuan dan mendifinisikan dirinya.
Namun secara idealis
peran gereja diharapkan dapat meredam konflik kepentingan lokal dan global itu,
tetapi secara pragmatis kalau tidak dikuatkan memalui pendidikan hal ini sangat
sulit dilakukan, bahkan menjadi bumerang bagi kemajuan Papua sendiri.
VII. Pendidikan sesungguhnya menjadi kata kunci
mengubah nasib orang papua, pendidikan diharapkan Surayawan adalah pendidikan
yang tidak mencabut akar budaya lokal, sehingga pendidikan tidak hegemonic
(kolonialis), tetapi pendidikan yang membebaskan (back to natural). Missionaris dan Indonesia sama-sama asing bagi
papua, dengan demikian dibutuhkan pendidikan yang kreatif untuk mengantarkan
masyarakat Papua mengerti jatidiri, kepribadian, dan lingkungannya sendiri.
Seperti telah digagas oleh missionaris
di papua zaman colonial. Sedangkan buku yang berisi “ini budi, ini bapak
budi, budi ke sawah, dll) tidak kontekstual. Sehingga dibutuhkan usaha untuk
melakukan perbaikan melalui guru-guru di papua. Di era gobal bukan hanya konsep
global yang masuk, tetapi diharapkan konsep lokal juga masuk ke dalamnya
(Glokal).
Butuh
pendidikan supra etnik papua, agar kesadaran antaretnik pada masyarakat
multietnik papua terwujud. Pendekatan budaya dalam pendidikan dipandang
penting. Merepleksikan budaya lokal dalam pendidikan (bahasa ibu) dipandang
sangat penting oleh Suryawan. Namun yang dapat mempertahankan kelangsungan
hidup etnik papua menurut pandangan saya justru harus dibangun sarana dan
prasarana pendidikan modern, sehingga kesetaraan dengan teman sebangsanya
segera dapat terwujud, sehingga mempercepat papua mandiri secara IPTEKS, karena
anugrah tanah papua berkelimpahan kekayaan alam.
Dibutuhkan
media dan mediasi budaya untuk melawan arus globalisasi di papua agar mereka
tidak tercerabut dari akar budayanya. Disinliah suryawan menawarkan pendidikan
dengan nalar inklusif, dalam artian ketika berjumpa dengan liyan (yang lain) pikiran
tidak di arahkan kembali pada yang asli, tetapi pada identitas baru, sehingga
identitas subjek (papua) terjadi secara resistensi abadi.
Saya
memandang, secara teoretik jika budaya papua tidak bersentuhan dengan budaya
luar (nasional/global), saya kawatir bahwa dosa negara menjadi bertambah besar,
membiarkan saudaranya tetap eksotik, lamban berubah, konflik berkepanjangan dan
mengantar kematian bagi budaya dan masyarakat Papua. Social engenering melalui pendidikan, tetap harus antisipatif terhadap
perubahan masa depan yang penuh tantangan (global dan kapitalis). Oleh karena
itu percepatan kemajauan pendidikan, dengan mengambil pembelajaran CTL
(Contekstual Learning) kepapuaan sangat penting, namun wawasan dunia luar juga
lebih penting. Bahkan melalui pendidikan percepatan kesetaraan dengan warganya
yang lain di Indonesia saya harap terjadi sesegera mungkin. Kekuatan global,
kaitalis (investasi) tidak dapat dihindari di papua (keniscayaan). Jika tidak
mau papua menjadi museum hidup, dan masa depannya tetap suram karena diwarnai
oleh konflik berdasar kepentingan politik dan ekonomi saja.
VIII. Simpulan
Secara Metodis
tulisan ini menggunakan pendekatan budaya (bahwa segala sesuatu ada budaya di
dalamnya). Karena membahas khusus Budaya Papua maka buku ini merupakan kajian etnografis
spekulatif kritis. Data dikumpulkan dengan pengamatan, dan penelitian terlibat
(emansipatoris) from wthin. Sebagai
kajian etnografis kritis Ngurah Suryawan berusaha memosisikan diri berpihak
pada budaya lokal Papua yang ada dalam liminalitas prahara dan sedang digerus
oleh kekuatan eksternal.
Teori yang digunakan
bersifat eklektif, namun yang menonjol teori yang digunakan adalah teori
Clliford Geertz (cultural interpretif)
yang memandang “budaya sebagai semiotik jaringan symbol”, dan pendekatan
struktural-transformatif dalam melihat budaya “asli menyejarah yang telah
terkoneksi dengan budaya luar beradaptasi sejak lama dengan budaya modern,
global, tentu dalam perspektif cultural studies (Edward Said, Fanon,
Spivak, Bourdie, Gramsci, Honni Bhabha/Post Kolonial), serta teori struktural
fungsional klasik tidak dilupakan.
Saya memahami
penggunaan teori ini secara inplisit, sehingga tersembunyi dalam setiap
uraiannya teori tersebut di atas, tetapi penulisnya berbekal kaya teori kajian
budaya, sehingga aksi budaya, pendidikan, kebijakan yang dikritisi, terutama
yang dapat menghancurkan budaya lokal di Papua, menjadi seperti tampak nyata.
Padahal Papua Barat tidaklah sekecil Bali, seperti generalisasi yang ditulis
dalam banyak buku beliau. Spekulasi ini menjadikan karya ini sangat teoretis
(filsafat sosial kritis).
Pembahasan pendidikan
dijelaskan bahwa: (a) betapa pentingnya pemahaman sejarah lokal itu, terutama
sejarah sunyi yang tidak dapat ruang suara dalam pendidikan di Papua; (b)
pendidikan bukanhanya produk, tetapi yang penting prosesnya perlu dipahami; (c)
membangun papua perlu pendekatan budaya (humaniora) dengan menghidupkan
“akar-akar historis” dari masalah-masalah masa kini.
Pandangan saya secara
umum penulisan bahwa karya ini bersifat spekulatif, didasari oleh demikian
luasnya daerah Papua secara geografis, dan demikian multietniknya Papua (253
bahasa daerah), tetntu penelitian ini lebih bernuansa teoretis, dibandingkan
dengan faktual (as actuality) tentang
gambaran Papua secara keseluruhan. Wacana yang terbangun tidaklah dapat
dijadikan “bahan” untuk melakukan genderalisasi, sebagaimana karya sosiologi
structural fungsional umumnya.
Saya sampaikan
penghargaan dan salut pada produktivitasnya Ngurah Suryawan sebagai akademisi
muda, menghasilkan buku antropologis/ etnogrfis kritis ini. Karena bahan bacaan
mengenai Papua sangat langka. Secara umum buku ini layak dikonsumsi secara
akademik, hanya saja hati-hati menggunakan genderalisasi, bahkan lebih bersifat
studi kasus, pada daerah yang diamati, diempati oleh penulisnya.
Ketidak-jelasan spasial, temporal, suku, dan budaya etnik yang dikritisi
(bersifat identitas Papua yang dinamis)
sehingga menjadikan karya ini butuh dipertajam tukikkannya, diperjenuh
datanya, diperjelas where, when, who, how
dan whay-nya. Karena memahami papua tanpa diawali sejarahnya menjadikan
pemahaman pembaca seperti berlaku untuk seluruh suku (253 Bahasa) dan wilayah
yang sangat luas. Konsekuensinya ruh /jiwa zaman (zeitgeist) dan ikatan budaya zamannya (cultuurgebudenheit) yang dikritisi menjadi kabur. Pengetahuan ini,
jika tidak disandingkan dengan bacaan lain, akan menjadi konstruksi pemahaman
pembaca tentang papua bisa jadi keliru.
Kebenaran
yang dikonstruksi sangat bergantung pada perspektif yang digunakan, apa yang
diberikan masukan bukan berarti mengurangi kelebihan buku ini, tetapi demi
kesempurnaan dan dialog menggunakan nalar dan keilmuan bahwa tidak ada
kebenaran tunggal dalam kajian budaya, atau sejarah dan ilmu social lainnya
(Terimakasih, Made Pageh, Singaraja 12 Juli 2017).
[1]
Identitas Buku: (1) Judul: PAPUA VERSUS PAPUA: Perubahan dan Perspektif Budaya,
(2) Pengantar: Manuel Kaisiepo, (3) Penerbit: Labirin: Yogyakarta, 2017, (4)
Tebal: 262 halaman
[2]
Masyarakat jaringan (teknologi informatika) sangat berperan dalam mengubah
paradigma masyarakat papua, sehingga konflik dan masalah yang ada di papua
cepat menjadi konsumsi seluruh suku dan penduduk papua termasuk masyarakat
dunia.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda