KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DALAM PERSPEKTIF SOSI-KULTURAL
Oleh:
I Made Pageh, M.Hum[1]
1. Pendahuluan
Masalah kepemimpinan oleh beberapa pakar sering dihubungkan dengan
masalah kekuasaan, karena kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dengan kekuasaan
(power). Mengenai sistem kepemimpinan
maupun konsep kekuasaan di Indonesia sudah banyak mendapat perhatian dari para
pakar politik, pakar antropologi, pakar sosiologi maupun pakar sejarah melalui
pendekatan kebudayaan atau lebih terarah lagi dengan pendekatan antropologi
politik, antara lain: Budiardjo (l984), Moertono (l985), Holt (ed.), (l972);
Kartodirdjo, (l982); Mattulada, (l975); Sutedja, (l978); Wiratmadja, (l975);
Agung, (l984).
Sistem kepemimpinan dapat dilihat
dari konsep kekuasaan yang dimiliki atau dilaksanakan oleh sang pemimpin.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan Koentjaraningrat yang menentang pendapat
Benedict R.O.G. Anderson tentang konsep kekuasaan orang Jawa dalam tulisannya
yang terkenal The Idea of Power in
Javanese Culture (l972), karena Anderson
membandingkan secara kontras konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa dengan
konsep kekuasaan dalam kebudayaan di Eropa dan Amerika. Menurut
Koentjaraningrat, kekuasaan merupakan kekuatan energi yang sakti dan keramat,
merupakan suatu konsepsi simbolis (lihat Budiardjo, l984:l29). Sifat sakti
memang merupakan salah satu syarat yang penting bagi pemimpin Jawa . Dalam hal
yang sama, Sartono Kartodirdjo juga mengkritik pendapat Anderson dalam The Javanese consept of Power, dimana ia mahami kata “sakti”
disamakan dengan kata Inggris power.
Menurut Sartono Kartodirdjo, Anderson
belum menangkap secara benar konsep power
dalam masyarakat Jawa secara keseluruhannya. Selanjutnya Sartono berpendapat
bahwa konsep kekuasaan dalam sistem kepemimpinan masyarakat tradisional Jawa, memiliki empat
dimensi ialah: (l) sakti yang
menunjuk pada kekuatan magis atau kekuatan pisik; (2) mandraguna berkaitan dengan keulungan dalam pengetahuan; (3) mukti mempunyai referensi kepada kekayaan
dan kesejahteraan; (4) wibawa berarti
terpandang karena penuh prestise dalam statusnya. Pendapatnya ini dihubungkan
dengan teori Max Weber tentang bagaimana seseorang memperoleh kekuasaan yang berdasarkan
pada status, power, and wealth (lihat
Alfian, (ed.), l985:l9-20).
Masalah kepemimpinan di Indonesia
pada dewasa ini sedang mengalami krisis kepemimpinan, hal ini kita dapat
ketahui dari berbagai informasi dari media masa yaitu melalui TV, majalah,
maupun surat kabar harian yang terbit di Bali maupun di luar Bali, (sejak
lengsernya kepemimpinan Presiden Suharto pada tanggal 2l Mei l998, sampai pada
kasus Bank Bali yang diperbincangkan di
media massa). Memang kasus menyangkut merosotnya nilai-nilai kepemimpinan,
merupakan masalah yang sangat kompleks, tidak saja menyangkut soal ekonomi,
tetapi juga mengenai masalah politik, sosial, budaya, agama, terutama adalah
masalah moral atau akhlak manusia.
Demikian kompleksnya penyebab krisis kepemimpinan itu, sehingga tulisan singkat
ini membatasi diri untuk mengkaji masalah kepemimpinan dari aspek budaya
melalui pendekatan sosio-kultural
dan pendekatan historis. Dengan demikian, tulisan ini berharap dapat memberikan
informasi dan pemahaman tentang sistem kepemimpinan serta nilai-nilai
kepemimpinan (kearifan dan kebajikan) yang layak menjadi panutan sehingga
bangsa Indonesia tidak kehilangan identitas dirinya sebagai bangsa yang berbudaya dan beradab. Melalui
perspektif sosio-kultural diuraikan
tentang sistem kepemimpinan dalam masyarakat tradisional dan masyarakat yang
sedang mengalami kemajuan atau menuju ke masyarakat modern, dengan mengambil
contoh kepemimpinan beberapa daerah
di Indonesia.
2. Kepemimpinan Masyarakat
Tradisional
Hampir
setiap daerah di Indonesia ,
memiliki sistem kepemimpinan dengan konsep-konsep kekuasaannya yang sangat
dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan daerahnya dan pengaruh agama yang
dianut oleh masyarakat pendukungnya. Sebagai contoh, masyarakat Bugis di
Sulawesi Selatan memiliki konsep yang dinamakan Latoa, salah satu sumber kearifan tradisional lokal yang isinya
melukiskan kerajaan Bugis-Bone. Menurut beberapa sumber dapat dipahami,
bagaimana kedudukan, peranan, jalan pikiran, sikap dan pandangan hidup orang
Bugis, dalam kegiatan politik sebagai warga negara (Mattulada, l975). Dari
sekian banyak nilai yang terdapat dalam Latoa,
yang dianggap paling adalah Panngaderreng
yaitu aturan-aturan adat dan sistem norma adat, sebagai wujud kebudayaan,
karena di samping mencakup pengertian norma adat juga mengandung unsur-unsur
yang meliputi seluruh tingkah-laku kegiatan hidup manusia.
Mengenai sistem kepemimpinan antara masyarakat
Bali dan Jawa mempunyai banyak kesamaan,
karena sumber-sumber sastra maupun hukumnya sama, hampir semuanya berasal dari
masa Kediri dan
Majapahit. Sumber-sumber yang dapat digolongkan sastra antara lain: Ramayana, Adiparwa, Arjunawiwaha, Bharatajudha, Lubdhaka, Sutasoma, dan Tantri (Kamandaka) (Poerbatjaraka,
l952). Salah satu sumber yang perlu diketengahkan adalah sumber yang berkaitan
dengan pemerintahan dan hukum yang berasal dari masa Majapahit adalah Nagarakretagama yang ditemukan di Puri
Cakranegara di Lombok, pada tahun l896 (Slametmulyana, l979). Dari sumber
inilah dapat diketahui sistem pemerintahan Kerajaan Majapakit (Pigeaud,
l960), sehingga kemudian oleh beberapa
ahli diteliti tentang perundang-undangannya
(Slametmulyana, l967) dan tatanegara Majapahit (Yamin, l962).
Pada masa kerajaan di Bali juga mengenal berapa kitab hukum yaitu Agama, Adi-Agama, dan Kutara Agama yang
berasal dari Majapahit (Djelantik,
l909) dan diperkirakan bersumber dari kitab Manawa
Dharmacastra yang berasal dari India (Pudja dan Sudharta, l973). Dilihat
dari sumber-sumber sastra dan hukum itu menjadi santapan rohani dan tatanan
hidup kemasyarakatn di kalangan elite tradisional, dapat diketahui betapa besar
pula pengaruh kebudayaan Majapahit ke dalam masyarakat Bali .
Kedudukan raja dalam masyarakat tradisional memiliki kekuasaan yang
berdasarkan otoritas tradisional yang diterimanya sebagai hak turun-temurun.
Pihak penguasa memberi perlindungan dan pengayoman pada rakyatnya, sedangkan
rakyat memberikan pelayanan, penghormatan, dan kesetiaan pada raja atau kepala sukunya atau penguasa
peguyubannya. Di samping memiliki otoritas tradisional, masih ada bentuk
hubungan kekuasaan yang bersumber pada kualitas pribadi berupa supernatural dalam wujud kewibawaan yaitu
otoritas kharismatik yang menimbulkan kesetiaan pengikutnya (Albrow,
l989:26-38; Wolf, l973:l-20; Legg, l983:l0). Kedudukan raja yang memiliki
otoritas kharismatik sangat menarik bila dihubungkan dengan konsep kosmologinya
Heine Geldern, tentang negara dan kedudukan raja di Asia Tenggara (Geldern,
l982). Dimulai dengan menawarkan pengertian pokok tentang kesejajaran antara
makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Hal ini
melahirkan suatu kepercayaan kosmos-magis atau kosmos-religius. Konsep ini
akhirnya menimbulkan suatu kepercayaan bahwa ibu-kota kerajaan atau istana (puri) bukan saja sebagai pusat politik
dan kebudayaan, tetapi juga sebagai pusat magis kerajaan. Status raja kemudian
disejajarkan dengan kedudukan dewa, sehingga melahirkan “kultus dewa raja”,
yang diharapkan dapat memberi perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan bagi
semua rakyatnya. Konsep kultus dewa raja
ini, dikenal juga dengan konsep divine
kingship dari Heine Geldern. Hal ini juga diterapkan oleh Clifford Geertz dalam
tulisannya Negara: The Theatre State in Nineteenth- Century
Bali (l980), adalah suatu ide politik yang dapat mengatur perilaku dan institusi
sosial politik.
Dalam studi peradaban kuno dapat diketahui bahwa kesadaran kolektif
tentang dunia dan alam semesta yang kosmos-sentris sangat menentukan gambaran (image) mereka tentang ruang dan waktu.
Ruang dan waktu dianggap sebagai daya kekuatan yang misterius dan maha besar
yang menguasai apa saja, yang mengatur dan menentukan kehidupan di dunia fana,
dan juga kehidupan para dewa (Cassirer, l990:63). Terhadap kesejajaran antara
makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan manusia, menurut istilah di
Bali disebut bhuwana agung dan bhuwana alit, orang Bali percaya bahwa
manusia berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata
angin, pada bintang-bintang dan planit-planit. Kekuatan ini dapat menghasilkan
kemakmuran dan kesejahteraan, atau sebaliknya dapat membikin kehancuran
tergantung pada individu, masyarakat atau negara dalam menyelaraskan kehidupan
dan kegiatannya dengan jagat raya. Guna mengupayakan keselarasan itu dapat
ditempuh melalui petunjuk-petunjuk para ahli astrologi untuk mengetahui serta
menetapkan hari baik dan hari naas atau buruk.( Swellengrebel, l960:36-53).
Kepercayaan terhadap kosmos-magis ini juga berkembang di Asia Tenggara.
(Geldern, l982:2-5).Beberapa jenis upacara yang dilakukan oleh orang Bali atau masyarakat Bali
sebagai wujud pengulangan seperti upacara ke
sanga atau tabuh gentuh, (tahun baru Isaka) melahirkan pandangan kosmogonik
tentang bergeraknya waktu secara siklus. Mengenai gambaran waktu yang siklus
ini sudah lama dikenal, disebut mahayuga
atau di Bali dikenal dengan caturyuga terdiri
dari Kertayuga atau Krtayuga, yaitu zaman keemasan, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga, yaitu zaman yang mendekati
zaman kehancuran atau kyamat di mana kemerosotan moral manusia sudah tidak
dapat dikendalikan lagi (lihat Tjatoerjoega (naskah), Gedong Kirtya No.
IIb l436; Resi Sasana Catur Yuga (naskah),
Gedong Kirtya, No.884).
3. Kepemimpinan dan Kuasa
Salah
satu faktor yang penting dalam mengemban atau memelihara kekuasaan adalah
kepemimpinan. Kuatnya pengaruh kebudayaan Hindu yang masuk ke Bali sejak
memuncaknya kebudayaan Hindu di Jawa Timur antara abad X dan XIV terutama yang
berhubungan dengan sastra, agama, etika dan filsafat, sangat meresap di
kalangan elite penguasa, elite agama dan sastrawan di Bali. Pengaruh agama dan
kebudayaan Hindu itu pada dasarnya berisi atau mengandung nilai-nilai tetang
ajaran bagaimana seorang pemimpin berpandangan, bersikap dan berprilaku agar
dapat mengantarkan rakyatnya untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin
sesuai dengan ajaran agama Hindu moksartham
jagaddhitaya ca iti dharmah, dengan demikian seorang pemimpin diharapkan menjadi
panutan rakyat dan masyarakat pada umumnya. Nilai-nilai itulah yang melandasi
konsep kekuasaan yang mencerminkan watak satria
(jujur, berani dan bertanggung jawab), sakti,
(kekuatan batin yang luhur dan suci), wibuh
( kaya dan berjiwa sosial), wirya (memiliki
ketenangan batin), wibawa (berwibawa,
disegani karena jujur dan rendah hati), pradnyan
(berpengetahuan, pandai, dan berpandangan luas), dan wicaksana (adil dan bijaksana). Konsep kekuasaan tersebut di atas
tersirat dalam Kakawin Ramayana, dan
ajarannya disebut Astabrata. Di dalam
Kakawin Ramayana ada disebutkan:
….
Hyang Indra, Yama, Surya, Candranilah,
Kurewa, Barunagni, nahan wulu ta sira
maka
angga sang bupatri matangyan inisti asta brata….
Artinya:
Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila/Bayu,
Kuwera, Baruna dan Agni, itulah delapan dewa yang merupakan badan sang
pemimpin, kedelapan itulah yang disebut Astabrata.
Kepemimpinan berdasarkan Astabrata adalah sebagai berikut:
l. Indra
Brata: sesuai dengan sifat Dewa Indra sebagai Dewa Air mempunyai tugas
untuk memberi kesuburan dan kemakmuran tampa pilih kasih. Ini berarti seorang
pemimpin harus bertindak adil dalam mensejahterakan masyarakat.
2.Yama Brata:
sifat Dewa Yama adalah penegak hukum dan
keadilan. Sesuai dengan hukum karma-pala, perbuatan yang baik akan mendapat
pahala yang baik, sebaliknya perbuatan yang jahat akan mendapat hukuman yang
setimpal dengan kejahatannya.
3. Surya
Brata: Seorang pemimpin harus dapat menirukan sifat-sifat matahari yaitu
dengan panasnya ia mengisap air secara perlahan-lahan. Demikian hendaknya dalam
mengambil suatu keputusan jangan tergesa-gesa dan selalu memberikan kesadaran
kepada rakyat terhadap kewajibannya.
4. Candra
Brata: seperti sifat rembulan selalu memberikan kesenangan kepada siapa
saja yang melihatnya, demikianlah hendahnya bagi seorang pemimpin dalam
memberikan wejangan hendahnya dengan kata-kata yang manis serta perangai yang
lembah-lembut.
5. Bayu
Brata: Sifat Dewa Angin adalah memberi kesegaran dan kekuatan bagi mahluk
hidup.Seperti sifat angin yaitu pada waktu berembus ia tidak kelihatan,
demikianlah seorang pemimpin harus dapat mengatasi penderitaan rakyatnya secara
diam-diam tampa menimbulkan kegelisahan.
6.Kuwera
Brata: Dewa Kuwera adalah dewa kekayaan atau dewa kemakmuran. Ajaran yang
terkandung dalam Kuwera Brata adalah agar sang pemimpin dapat memberikan
kesenangan kepada rakyatnya, bersifat dhana
artinya bermurah hati dan sosial dalam hal makanan, pakaian dan perumahan,
dengan demikian negara akan menjadi makmur, aman dan sentosa.
7. Paca
Brata: Paca adalah Dewa Laut atau Dewa Baruna yang mempunyai senjata sakti
yang disebut Nagapaca. Dengan senjata
sakti itu dapat diikat dan dibasmi orang yang bermaksud jahat. Dengan demikian
seyogyanya seorang pemimpin berpengetahuan dan berpandangan luas agar apa yang
diucapkan betul-betul dapat mengikat hati yang mendengarnya, dan bertindak
secara tegas berdasarkan dharma atau
kebenaran.
8. Agni
Brata: Sifat Dewa Agni adalah
seperti sifat nyala api, hidup dan berkobar-kobar dan bila perlu membakar habis
yang merintanginya. Maksud ajaran ini adalah agar sang pemimpin hendaknya
mempunyai semangat besar dan mampu membangkitkan rakyat untuk membangun
negara.(Ramayana, lb.l75b.dst.)
Ajaran
Astabrata ini juga dikenal dalam
masyarakat Jawa (Moertono, l985: l74-l78). Dalam sistem kepemimpinan pada
masyarakat Bugis seperti apa yang terdapat dalam sumber tradisional Latoa, ada disebutkan bahwa mereka yang
dapat diangkat menjadi parewa ri-tanae (alat
kekuasaan negara), artinya pakkatenni ade
(pemegang kekuasaan) apabila mereka memiliki empat syarat: pertama, mempunyai
karsa atau inisiatif; kedua, jujur; ketiga, berani; keempat, kaya. Adapun orang
yang mempunyai karsa, empat pula macamnya: pertama, takut kepada dewata
(taqwa), kedua, takut ia berkata buruk, ketiga, takut ia berbuat aniaya;
kekempat, takut ia mengambil cekka (berbuat
tak jujur) (Mattulada, l975:ll9).
Dari
ajaran Astabrata dapat dipetik
intinya bahwa hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, antra raja dengan
rakyat merupakan jalinan hubungan yang betul-betul harmonis antara kecintaan
dan kesetiaan dalam mewujudkan kesejahteraan lahir-batin. Untuk memenuhi
kebutuhan di bidang kerohanian masih diperlukan seorang rohaniwan yaitu seorang
pendeta (Bhagawanta) sebagai
penasehat raja dalam mengendalikan pemerintahan. Tritunggal (raja, pendeta, dan rakyat) dapat dijumpai pada sloka Ramayana yang menyebutkan:
Prabu tanpa wiku sirna,
Wiku tanpa prabu rug,
Prabu tanpa bala paratra.
Artinya:
Raja (pemimpin) tanpa
pendeta, kosong/hampa,
Pendeta tanpa raja,
hancur,
Raja (pemimpin) tanpa
rakyat, kiamat.(Ramayana, lb.4a)
Peranan
pendeta dalam fungsinya sebagai penasehat raja, di Bali sudah dikenal sejak
masa Bali Kuna, di dalam salah satu prasasti ada disebutkan golongan pendeta
Siwa bergelar Dang Acarya dan
kompleks tempat tinggalnya dinamakan Kasewan,
sedangkan golongan pendeta Buddha bergelar Dang
Upadhyaya dan berkediaman di Kasogatan.
(Goris, l954). Pada masa Majapahit fungsi pendeta tidak hanya di bidang agama
juga berperan di bidang hukum (jurisdiksi) yang disebut Dhyaksa. (Sartono Kartodirdjo, l993). Hubungan tritunggal antara
pemimpin, rohaniwan dan rakyat merupakan alat pengikat bhatin seorang pemimpin
agar ia selalu mawas diri dan selalu ingat kepada kewajiban dharma seperti yang disebutkan dalam
kitab suci Weda tentang tujuan hidup menurut ajaran agama Hindu: Moksartham jagaddhitaya ca iti dharmah: mencapai kebahagiaan lahir dan bhatin,
menegakkan kebenaran dan keadilan. Manusia dilahirkan ke dunia ini adalah untuk
membahagiakan dunia beserta isinya. Dalam ajaran Agama Hindu sebgai landasan
pokok bagi manusia hidup di dunia ini ialah Trikaya
parisuddha yaitu tiga tata laksana yang utama yaitu: Manasika,
berpikir yang benar; Wacika, berkata
yang benar; dan Kayika, berbuat yang
benar.(Sebagai referensi, lihat Prajaniti
Widya Sasana Hindu Dharma, l97l). Guna mewujudkan kebahagiaan, seorang
pemimpin hendaknya memahami Catur Pariksa
yaitu:.Sama, Beda, Dhana, dan Danda. Sama berarti tidak membedakan
sesama manusia karena manusia pada hakekatnya sama sebagai mahluk Tuhan. Dalam Niticastra disebutkan sangat untunglah
bagi orang yang mempunyai putra yang baik budinya sebagai alat untuk mencapai
sorga loka. Bagaimana menuntun manusia (orang) agar berbuat baik, diuraikan
secara mendalam dalam kitab S’lokantara. (Sudharta,
l982). Beda, artinya seorang pemimpin
hendaknya dapat membedakan antara baik dan buruk, antara yang harus dikerjakan
dan yang tidak boleh dikerjakan. Filsafat Agama Hindu yang dianut nasyarakat
Hindu di Bali mengenal istilah rwa
bhineda artinya dua hal yang berbeda atau berlawanan, yaitu baik dan buruk
yang selalu menyelimuti pikiran dan badan manusia, sehingga manusia selalu
ingin “memerangi” keburukan atau kejahatan itu dengan kebaikan. Sebenarnya
konsep atau pandangan rwa bhineda itu
di dunia barat dan juga di Indonesia dikenal anggapan bahwa dunia dibangun atas
opsisi biner (binary opposition)
seperti: baik dan buruk, sakral dan profan, utara dan selatan, laki-laki dan
perempuan, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan masalah membedakan baik dan
buruk itu, di dalam Sarasamuccaya disebutkan:
Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik
dan buruk, leburlah dalam perbuatan yang
baik segala perbuatan yang
buruk itu, demikianlah pahalanya menjelma menjadi ma nusia.
Dhana, artinya bermurah hati, rela berkorban
untuk kepentingan orang banyak. Seorang pemimpin tidak hanya mementingkan diri
dendiri tetapi menjalankan dharma
(kewajiban yang benar) untuk kepentingan orang banyak. Danda, berarti berani
bertindak tegas, berani menjatuhkan hukuman setimpal dengan kesakahannya, dan
berani membela terhadap mereka yang berbuat benar. Didalam Bhagavadgita ada
disebutkan:
Apabila sadar akan kewajibanmu,
engkau tidak boleh gentar, bagi kesatria adalah
kebahagiaan,
lebih besar dari pada berjuang menegakkan kebenaran. Tetapi jika eng-
kau
tidak berperang menegakkan kebenaran ini, maka dosa papalah bagimu (Bha-
gavadgita, II, 3l dan 34).
Ada lagi konsep kepemimpinan
dalam ajaran agama Hindu yang digunakan oleh para pemimpin dan tokoh masyarakat
di Bali pada masa kerajaan yaitu sebelum kena pengaruh kebudayaan barat,
diantaranya ada disebutkan dalam
Sadwarnaning Rajaniti yaitu Sad Niti
Casana yang terdiri dari: l). Abhiga-mika: pemimpin hendaknya dapat
menarik simpati rakyat artnya selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat dan
mengetahui tuntutan hati nurani rakyat.. 2). Pradnya, artinya seorang pemimpin harus bersikap bijaksana,
mengambil keputusan yang tepat dan adil, berpengetahuan, memiliki wawasan yang
luas. 3). Utsaha, artinya seorang
pemimpin hendaknya memiliki daya kreatif dan inisiatif yang besar. 4). Atmasampad, seorang pemimpin memiliki
kepribadian yang luhur, mulia, dan jujur, serta hidup sederhana. 5). Sakya samanta, seorang pemimpin
hendaknya bisa mengontrol bawahan, serta bisa memberi petunjuk agar bawahan
merasa senang, dengan demikian hasil pejerjaannya dapat ditingkatkan. 6). Akshudra Parisakta, sang pemimpin
hendaknya bisa memimpin sidang dan dapat menyimpulkan pendapat orang dengan
baik.(diambil dari Prajaniti Widya
Sasana, l97l:70-74).
4. Pusaka Leluhur dan Kekuasaan
Tidaklah lengkap apabila masalah pusaka ini tidak
dibahas, karena pusaka dalam sistem kepemimpinan tradisional merupakan bagian
yang tak terpisahkan dengan kekuasaan.
Di kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, seperti kerajaan-kerajaan di
Jawa, Sulawesi Selatan, Aceh, dan di beberapa kerajaan kecil lainnya pusat
kekuasaan ada di tangan raja atau sultan, dan istana (kraton, puri) seolah-olah dapat berfungsi untuk mengayomi atau
melindungi rakyatnya karena adanya suatu kepercayaan bahwa barang-barang pusaka
yang tersimpan di istana itu memiliki kekuatan magis yang luar biasa. Betapa
kuatnya kepercayaan terhadap barang pusaka yang berhubungan erat dengan kekuasaan,
hal seperti ini masih kuat di kalangan masyarakat Bali. Dari latarbelakang
sejarah dapat kita ketahui bahwa pada masa pemerintahan Sri Kresna Kapakisan,
raja yang pertama datang dari Majapahit ke Bali, beliau menerima seperangkat
pakaian kebesaran dan sebuah keris pusaka bernama Si Lobar sebagai tanda
pemberian kekuasaan yang sah (legitimasi) dari raja Majapahit untuk memerintah
di Bali. Betapa besarnya arti atau makna dari nilai-nilai yang terkandung dalam
barang pusaka itu sebagai simbol kekuasaan, lebih-lebih barang pusaka itu
dibawa khusus oleh Maha Patih Gadjah Mada sudah tentu dapat mengangkat derajat
dan kewibawaan sang raja. Kepercayaan terhadap kekuatan dan kesaktian pusaka
terutama keris, merupakan sarana yang sangat penting dalam memperoleh maupun
mempertahankan kekuasaa. Beberapa contoh dapat dikemukakan, pada waktu Dalem
Ketut Ngulesir raja pertama kerajaan Gelgel pergi menghadap Raja Hayam Wuruk di
Majapahit, ia juga dianugrahi seperangkat pakaian kebesaran dan sebuah keris
bertuah bernama Bengawan Canggu. Demikian juga pada masa pemerintahan Dalem
Watu Renggong, merupakan masa kejayaannya
kerajaan Gelgel baik di bidang pemerintahan maupun di bidang kebudayaan,
Dalem Watu Renggong memeliki beberapa buah keris pusaka sebagai warisan dari
leluhurnya antara lain si Lobar, si Bengawan Canggu, si Tanda Lalang, dan si
Nandaka.
Bila dikaitkan dengan
kebudayaan, ternyata bidang sastra dapat juga berfungsi sebagai simbol
kewibawaan karena dengan memahami atau mempelajari sastra dapat menjadikan manusia
wicaksana (bijaksana), dan pradnyan (pandai, menguasai ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu pula istana atau puri di samping sebagai pusat
pemerintahan, juga merupakan pusat kebudayaan. Pada masa pemerintahan Dalem
Watu Renggong datang seorang pujangga besar dan rohaniwan dari Jawa yaitu Dang
Hyang Nirarta ke Bali, beliau kemudian banyak menulis antara lain: Usana Bali,
Kidung Sebunbangkung, Sara Kusuma, Ampik, Legarang, Mahisa Langit, Hewer,
Mayadanawamantaka, Dharma Pitutur, Wasista Seraya, Kawya Dharma Putus, Dharma
Sunya Keling, Mahisa Megatkung, Kekawin Danghyang Nirarta, Wilet Demung Sawit,
Gugutuk Menur, Brati Sasana, Tuan Semeru, dan Aji Pangurikan. Pada sumber lain
ada juga buah karyanya yaitu Sunarigama dan Jong Biru. Salah seorang muridnya ialah
I Gusti Bale Agung telah menulis beberapa karangan antara lain: Rereng Canggu,
Wilet, Wukir Padelengan, Segara Gunung, Jagul Tua, Wilet Mayura, Anting-Anting
Timah, dan Arjuna Pralabda. Masih banyak lagi pengarang-pengarah yang
bermunculan sebagai karya sastra dari keturunan Danghyang Nirarta, yaitu Ida
Pedanda Telaga menulis Ender, Ida Pedanda Manuaba mengarang Bali Sangara, Ida
Pedanda Nyoman Pidada mengarang Tantri Carita, Wangbang Turida, Ida Pedanda
Bukcabe terkenal dengan hasil karyanya Kidung Ranggawuni, Amerta Masa, Amura
Tembang, Patal, Wilet Sih Tan Pegat, dan Rereng Taman, kemudian ia menulis lagi
beberapa karangan yaitu Rara Kadura, Kebo Dungkul, Caruk Amerta Masa. (Babad Dalem, Babad Blahbatuh).
Bagaimana kedudukan para
pujangga (di Jawa disebut Mpu) didalam masyarakat, sudah jelas kedudukan mereka
sangat dihargai karena mereka dianggap orang yang berilmu, orang yang memiliki
“sakti” mereka sangat dihormati dan disegani. Oleh karena itu juga hubungan
para pujangga dengan raja sangat dekat, bahkan sering kali diberi kediaman (asram) dekat istana, dan ini berarti
pula menambah kewibawaan dan kedudukan raja semakin kuat, terutama dalam
mempertahankan kekuasaannya.
Domonasi kharismatik dan
loyalitas mempunyai hubungan yang sangat erat dan penting. Dalam sejarah Bali
dapat dilihat dengan jelas bagaimana loyalitas seorang patih atau punggawa
terhadap rajanya dapat diketahui dari jasa-jasanya terhadap sang raja. Ketika I
Gusti Ngurah Jelantik Bogol dapat mengalahkan Dalem Bungkut di Nusa Penida, Dalem
Saganing menghadiahkan sebuah keris bertuah bernama Mertyujiwa kepada I Gusti
Ngurah Jelantik Bogol. (Babad Dalem, Cf.
Babad Blahbatuh). Adat kebiasaan pemberian sebilah keris kepada para
punggawa oleh raja, hal ini pernah dilaksanakan di Kerajaan Karangasem sampai
permulaan abad XX yang disebut keris
cacaran. Pemberian keris itu mengandung makna sebagai legitimasi atas
kekuasaan yang diberikan kepada seorang punggawa sebagai penguasa di daerah
tertentu dan merupakan perpanjangan tangan raja terhadap rakyatnya. Di samping
itu pemberian keris itu juga mengandung nilai simbolis untuk alat kontrol raja
terhadap kesetiaan bawahannya. Jelaslah bahwa pusaka sebagai simbol kekuasaan
yang dimiliki oleh seorang pemimpim dalam hal ini raja, secara teori kekuasaan
dapat dijelaskan bagaimana seseorang pemimpin memperoleh atau mendapatkan
kekuasaan, bagaimana mendistribusikan kekuasaan, dan bagaimana sang pemimpin
mempertahankan kekuasaannya.
5. Menciptakan Sistem yang Adil dan Demokratis
Dalam masyarakat tradisional sudah sejak lama
mengenal pemilihan sistem pemilihan seorang pemimpin terutama pada tingkat desa
maupun banjar dilakukan oleh krama banjar bardasarkan prinsip primus interpares. (Schrieke, l959:
l69-l70). Pada desa adat atau lebih tepat disebut desa pakraman, para anggota (krama)
memiliki hak dan kewajiban yang sama, baik dalam melaksanakan tugas-tugas
di desa maupun dalam mengeluarkan pendapat. Tampaklah disini masalah demokrasi
artinya segala sesuatunya ditentukan oleh krama
dengan persetujuan (perarem) sudah
dilaksanakan secara baik tampa menimbulkan keresahan atau gejolak sosial dan
selalu mengacu pada ketentuan awig-awig
(peraturan).
Perkembangan
masyarakat Indonesia sejak abad XIX sudah mulai terbuka bagi lalu lintas dunia
sehingga masuklah kebudayaan barat melalui pendidikan yang memperkenalkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pendirian lembaga-lembaga pendidikan dengan membuka
sekolah-sekolah sejak abad XIX itu tidak lain dalam rangka mendukung politik
kolonial dalam proses industrialisasi, komersialisasi, dan birokratisasi.
(Kartodirdjo, l987: ll4). Sistem birokrasi tradisional sudah mulai mengarah
pada sistem birokrasi modern, tampak pada proses spesialisasi dan diferensi
sosial ekonomi dan meningkatkan professionalisme. Ciri-ciri pokok birokrasi modern
berdasarkan pandangan Max Weber ialah: l. pembagian tugas secara tegas dan
spesialisasi yang tinggi, 2. adanya struktur kewenangan hierarki dengan
batas-batas tanggung jawab yang jelas, 3. Hubungan antara anggota bersifat
impersonal, 4. pengangkatan pegawai berdasarkan kecakapan teknis, 5.
profesionalisme yang tinggi akan menjamin pelaksanaan tugas secara efisien (Blau, l962:38-33). Dilihat dari sistem pembagian tugas yang ditentukan
secara legal-rasional sudah mengarah pada demokratisasi, sedangkan dalam sistem
pemerintahan tradisional segala sesuatunya sangat ditentukan oleh sang pemimpin
yaitu raja. Demikian juga dalam menentukan kriteria penerimaan pegawai mapun
pemimpin, tidak lagi semata-mata
ditentukan oleh faktor status sosial yaitu keturunan, tetapi ditentukan oleh
tingkat pendidikan.
Di
dalam negara demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Ditinjau dari sudut
kekuasaan, dapat dikembalikan pada hubungan antara sang pemimpin dengan rakyat
yaitu berdasarkan patron-client
relationship yang semetris artinya hubungan yang saling menguntungkan.
Apabila dalam sistem kepemimpinan tradisional sang pemimpin memberi pengayoman
dan perlindungan kepada yang dipimpin dan yang dipimpin (rakyat) memberi
loyalitas dan kesetiaan kepada sang pemimpin, maka dalam kepemimpinan pada
negara demokrasi sang pemimpin (leader)
harus lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan menghendaki kepemimpinan yang
terbuka. Kepemimpinan di Indonesia pada selama Orde Baru, pada mulanya berjalan
cukup baik karena pemerintah sebelumnya telah merumuskan jalannya pemerintahan
dan jalannya pembangunan dalam GBHN sesuai dengan UUD l945 yang telah menjadi
kesepakatan para wakil rakyat di DPR. Namun apa yang terjadi pada akhir –akhir
tahun l998, kepemimpinan di Indonesia tidak lagi mencerminkan kepemimpinan yang
demokratis karena kebijakan-kebijakan yang diambil penuh dengan rekayasa,
“semuanya dapat diatur” sehingga sistem demokrasi mulai “tersumbat” dan
berakhir dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Apabila
kita kembali melihat ajaran-ajaran kepemimpinan didalam kitab-kitab sastra
seperti yang telah diuraikan di depan, di sana banyak kita jumpai nilai-nilai
yang bersifat demokratis seperti misalnya pemimpin yang baik harus mendengarkan
dan dapat menghayati suara hati nurani rakyat artinya selalu mengutamakan
kepentingan rakyat. Krisis kepemimpinan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia
bersumber pada pemimpin yang kehilangan kepercayaan rakyatnya karena cacat
moral akibat ketidakjujuran. Untuk menciptakan sistem yang adil dan demokratis
memang sangat tergantung pada para pemimpin bangsa ini karena nasib rakyat
Indonesia sebagian besar ditentukan oleh para pemimpinnya. Oleh karena itu pada
masa sekarang dan untuk menghadapi masa yang akan datang, kita mencari figur
pemimpin yang mau mempelajari tentang konsep-konsep kepemimpinan yang bersumber
pada sastra (Ramayana, Bharatayuda,
Sutasoma, Tantri, dsb.) kitab-kitab agama, filsafat dan etika, sehingga
pembekalan ilmu pengtahuan di bidang kerohanian sejajar dengan ilmu pengetahuan
di bidang pemerintahan, dan dalam era globalisasi ini, seorang pemimpin
dituntut memiliki ilmu pengetahuan yang luas, sesuai dengan kemajuan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Dengan demikian kita akan menemukan figur pemimpin
yang berwibawa, jujur, bersifat terbuka, dan mempunyai pandangan yang luas.
6. Simpulan
Dalam mengkaji konsep-konsep kekuasaan dan sistem
kepemimpinan di Indonesia pada masa sekarang tidak dapat mengabaikan tentang
sumber-sumber kepemimpinan pada masa kerajaan, karena nilai-nilai kepemimpinan
pada masa itu masih relevan diterapkan sampai saat ini. Hampir setiap kerajaan
di Indonesia yang mengalami kejayaan dari periode abad XIV sampai abad XIX
sangat kaya dengan nilai-nilai kepemimpinan dan konsep kekuasaan, merupakan
warisan budaya bangsa Indonesia yang sangat tinggi nilainya. Kekayaan budaya
itu ternyata kurang mendapat perhatian dari pemimpin-pemimpin yang hidup pada
masa “modern” yang cendrung neolib,
transaksional. Kurang visioner, sehingga terpukau mempelajari konsep-konsep kekuasaan dari dunia barat yang
kadang-kadang tidak cocok dengan alam budaya bangsa Indonesia.
Guna menanggulangi krisis
kepemimpinan yang bersumber pada KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga
menyebabkan krisis ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, perlu mencari figur
pemimpin yang cocok dengan aspirasi masyarakat Indonesia dan berbudaya
Indonesia, sehingga kedepan
muncul figur pemimpin memahami sosio-kultural bangsanya berkan
peranan saudara menjadi pahlawan muda di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Adia
Wiratmadja, G.K., l975. Leadership:
Kepemimpinan Hindu. Magelang: (tt) Babad Blahbatuh (manuskrip)
|
Babad Dalem (manuskrip).
|
Blau, Peter M. and Marsall W. Meyer,
l987. Birokrasi dalam Masyarakat
Modern. Jakarta: Universitas Indonesia.
|
Cassirer,
Ernest. l990. Manusia dan
Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia.
|
Claire Holt (ed,), l972. Culture and Politics in Indonesia.
Ithaca: Cornell University Pess.
|
Dewan Pmpinan Pusat Pradjaniti Hindu
Indonesia, l97l. Prajaniti Widya Sasana.
Denpasar.
|
Djilantik, Goesti Poetoe, l909. Agama: Balisch Wetboek. Batavia:
Landsdrukkerij.
|
Eliade,
Mircea, l959. Cosmos and History: The Myth of the Eternal Return. New York: Harper & Row.
|
Geertz, Clifford, l980. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century
Bali. Princeton: Princeton University Press.
|
Geertz, Clifford, l992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
|
Geldern, R. Heine, l982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan
Raja di Asia Tenggara.
Jakarta: Rajawali.
|
Goris, R. l954. Prasati Bali. I-II. Djakarta: Lembaga Bahasa dan Budaya
Universitet Indo-
nesia.
|
Kartodirdjo, Sartono. 1987. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif
Sejarah. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
----------------------------. l968.
Segi-Segi Struktural Historiografi Indonesia. Lembaran Sejarah. No.3. Desember. Yogyakarta:
Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra & Kebud. Universitas Gadjah Mada.
---------------,
1987. Perkembangan Peradaban Priyayi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
--------------,
1982. Pemikiran dan Perkembangan
Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia.
--------------,
l993. 700 Th. Majapahit. Surabaya:
CV. Tiga Dara Surabaya.
|
Mattulada, l975. Latoa:
Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi-Politik Orang Bugis. Disertasi, (belum
diterbitkan). Jakarta: Universitas Indonesia.
|
Mertha
Sutedja, Wayan. 1978. Dasar-Dasar
Kepemimpinan Tradisionil di Bali. Denpasar: Sumber Mas Bali.
|
Miriam
Budiardjo (ed.), l984. Aneka Pemikiran
Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakrta: Sinar Harapan.
|
Pigeaud, Th. 1960. Java in the Fourteenth Century, Vol.
1-5. Fhe Hague: Martinus Nijhoff.
|
Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan
Hadidjaja, 1952. Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djembatan.
|
Pudja,
G. dan Tjokorda Rai Sudharta, 1973.
Manawa Dharmacastra. Jakarta: Lembaga Pen terjemah Kitab Suci Weda.
|
Putra
Agung, A.A.Gde, l984. “Konsep Kekuasaan Pada Orang Bali” dalam. Widya Dharma. No.7, Th.III, Agustus, hlm. 6-9; No.9, Th.III, Desember, hlm. 11-14 dan 38.
|
Rai
Sudharta, Tjok. 1982. S’lokantara. Jakarta:
Parisada Hindu Dharma Pusat.
|
Resi Sasana Catur Yuga. (naskah).
Gedong Kirtya, No. 884.
|
Schrieke,
B.O.J. 1959. Indonesian Sociological Studies. I. ‘s-Granenhage: W.
van Hoeve.
|
Slametmuljana, 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya.
Jakarta:
Bhratara Karya .
----------------,
l967. Perundang-Undangan Madjapahit.
Djakarta: Bhratara
|
Soemarsaid
Moetono, l985. Negara dan
Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
|
Swellengrebel, J.L.(ed.), l960. Bali: Studies in Life, Thought, and
Ritual. The Hague: W. van Hoeve.
|
Tjatoer
Joege (naskah). Gedong Kirtya, No. II/b, l456/6.
|
Yamin,
H. Muhammad, l962. Tatanegara
Madjapahit (Sapta Parwa), Parwa I-III. Djakarta: Jajasan Prapantja.
|
[1] Disampaikan
dalam pelatihan Guru-guru peserta SM3T di Dodiklat Tentara Kampung Tinggi
Singaraja Bali.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda