UUD 1945 SEBAGAI REVOLUTIEGRONDWET: DARI SUPREMASI INSTITUSI KE SUPREMASI KONSTITUSI DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCAKOLONIAL
Oleh
Dr. Drs. I
Made Pageh, M.Hum.[1]
1.
Pendahuluan
UUD 1945 yang di dalamnya terdapat
Pancasila merupakan kaidah fundamental bangsa Indonesia, yang menjadi dasar dari
segala kaidah hukum, perundang-undangan, kebijakan, dan tata kenegaraan
Indonesia pascakolonial. Falsafah hidup bangsa dan negara dijiwai oleh
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kehendak founding father itu dalam dekolonisasi tahun 1945 dituangkan dalam
Pembukaan UUD 1945, dan dituangkan dalam pasal-pasal yang sangat singkat dan
memiliki kaidah normatif paling mendasar. Sifat kesementaraan itusebagai
istilah dikemukakan Ir. Soekarno dalam pidato tanggal 18 Agustus 1945 di
hadapan PPKI.
Para ahli ketatanegaraan kemudian
di tahun 1999 hingga 2002mengemukakan kembali pandangan Soekarno itu untuk
melakukan amandemen UUD 1945. Namun dalam pengertian bukan sebagai UUD
sementara, tetapi dapat dipahami sebagai kaidah-kaidah dasar yang membutuhkan
penjelasan lebih jauh untuk mengikuti perkembangan zaman era pascakolonial.
Pemahaman keliru yang sering diartikan “sementara, dibuat tergesa-gesa”, tanpa
memahami kebatinannya mengakibatkan munculnya berbagai persoalan dalam ketatanegaraan
di Indonesia pascakolonial. Pemahaman UUD 1945 sebagai konseptual harus
dikaitkan dengan norma dasar dan antitesa pada zamannya; dan UUD 1945 sebagai
proses sangat singkat bukan bermasalah pada normanya, tetapi pada deskripsi dan
penjabarannya (Azhari, 2011:154). Dari latar belakang itu sangat menarik untuk
dikaji perubahan kebatinan UUD 1945, terutama terkait dengan keberadaan GBHN
sebagai pengembangan kaidah-kaidah dasar yang terkandung dalam Pancasila dan
UUD 1945, dan pelaksanaan amandemen UUD 1945 dalam konteks teori pascakolonial.
Pascakololonial mempertanyakan secara tajam mengenai diri dan identitas sebagai
bangsa pernah terjajah, dimana penjajah telah menanamkan pengaruhnya dalam ideologi,
bahasa, wacana, kebenaran, sistem bahkan religi di daerah jajahan. Kolonialisme
itu muncul kembali dalam bentuk ketidaksadaran, sehingga dekolonisasi yang
tertuang dalam UUD 1945, dan GBHN dimana setelah UUD 1945 diamandemen beberapa
kali mengakibatkan GBHN ditiadakan, kekuasaan tertinggi didialektik, dan
tambahan pasal-pasal baru sebagai pemikiran rasional pascakolonial, yang secara
tidak sadar kembali ke era kolonialisme atau mengikuti pemikiran dan kebhatinan
kolonial (barat) kembali.
Berdasarkan uraian di atas dapat
dirumuskan beberapa pertanyaan: (1) Mengapa terjadi amandemen UUD 1945? (2)
Mengapa terjadi perubahan sistem ketatanegaran, sehingga GBHN ditiadakan?
Penulisan ini bertujuan untuk menyelusuri latar belakang amandemen UUD 1945,
memahami perubahan sistem ketatanegaraan, dan memberikan pandangan apakah MPR
perlu diberikan wewenang seperti zaman Orde Baru. Penulisan menggunakan studi pustaka
dikomparasikan dengan isu-isu strategis yang terjadi di masyarakat, sehingga
amandemen di kemudian hari menjadi lebih sempurna.
2. Latar
Belakang Amandemen UUD 1945
Amandemen menjadi bermasalah
karena jiwa zamannya, rasional dan antitesanya yang berbeda. Seharusnya
amandemen dibedakan dengan UUD 1945 asli, sehingga dapat dipahami kebhatinannya
(ideologi yang hegemonik dalam amandemennya). Dengan demikian amandemen terus
berlanjut sampai tak berhingga, tetapi norma dasar yang diamandemen menjadi UUD
Amandemen, atau tetap dalam konteks amandemen, karena berpotensi kebhatinannya
menyimpang dengan aslinya, sebagai dokumen sejarah pembentukan negara dan bangsa.
Setelah terbentuk MPR sebagai
hasil reformasi 1988 maka agenda reformasi dilanjutkan dengan melakukan
amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, 2000,
2001, dan 2002. Salah satu dasar dari amademen UUD 1945 itu adalah pidato Bung
Karno tanggal 18 Agustus 1945 di depan sidang PPKI yang menyebutkan UUD 1945
sebagai revolutiegrondwet. Pemahaman
pengamandemen terhadap istilah revolutiegrondwet
sebagai proses, bukan sebagai konseptual. Dengan demikian UUD 1945
dikaitkan dengan proses pembuatannya yang sangat singkat, tergesa-gesa, dan di
bawah bayang-bayang kolonialisme, sehingga perlu disempurnakan dan disesuaikan
dengan perkembangan zaman (era reformasi).
Dengan pemahaman itu maka dalam melakukan amandemen UUD 1945 terjadilah
negosiasi berbagai kepentingan politik, ekonomi, sosio-kultural yang terjadi di
Indonesia. Semangat perubahan untuk mengurangi terjadinya pemusatan kekuasaan,
dalam lembaga kenegaraan, dari pusat-daerah (otonomi daerah). Dengan harapan
trauma zaman Orde Baru dapat terobati, dan demokratisasi terjadi makin
menyentuh masyarakat secara langsung (dengan Pemilu Langsung), dalam pemilihan
wakil rakyat, kepala negara, kepala daerah (gubernur, wali kota dan bupati),
bahkan menyentuh satuan politik terbawah pemilihan Kades dan Kadus.
Secara
esensial terjadi perubahan norma-norma baik dalam politik, ekonomi,
sosial-budaya yang terkandung dalam UU 1945, bahkan kebathinan telah
meninggalkan UUD 1945 yang mengutamakan musyawarah dan mufakat. Ideologi
Pancasila telah berhibridasi bahkan terhegemoni oleh ideologi libralisme
(neolib), demokratisasi ala barat, kapitalisme, rasionalisme (ideologi kolonialis
dan kapitalis), ideologi tandingan pada awalnya. Dengan demikian amandemen
pasal-pasal dari UUD 1945 sudah keluar dari ranah ideologi awalnya. Dapat
dipahami, kondisi dari politisi yang di samping sebagai politisi adalah sebagai
pengusaha yang memiliki saham dan atau perusahan multinasional. Berkaca dari banyak
pimpinan partai, pejabat tinggi negara, berasal dari pengusaha menjadi politisi
dan menduduki jabatan strategis di Negara ini. Tentu politik (kekuasaan) dapat
diperjual-belikan seperti kegiatan ekonomi (kapitalisme) di Indonesia. Kondisi
politisi seperti ini tentu banyak mempengaruhi kebijakan politik yang diambilnya.
Walaupun ketika menjabat secara formalitas dilihat dari hukum positif semua
perusahannya sudah dialihkan pada kepercayaannya,atau diatasnamakan orang lain,
anak, istri, dan keluarga dekatnya untuk mengamankan diri dari tuntutan hukum.
Pertanyaannya apakah legalitas formalis (kulit) seperti itu akan mengubah
tindakan (isinya), tentu jawabannya ambigu.
Adakah yang dapat
menjamin bahwa politisi Indonesia bersih 100%, dengan demikian negosiasi
kepemilikan saham, prosentase fee dalam sebuah proyekoleh politisi dapat
dipahami. Bahkan terjadi sejak pembuatan UU, penganggaran, penggajian, jabatan,
dan kekuasaan lainnya diwarnai oleh transaksi politik. Teori postkolonial dapat
menjelaskan bahwa hibridasi, mimikri, hegemoni dari kekuasaan dan kapitalisme,
menjadikan ambiguitas terjadi, seperti pedang bermata dua. Bentuknya bisa
terjadi jual-beli pasal-pasal yang mengatur perekonomian, penundaan penanganan
kasus karena ada negosiasi dengan bayaran, kasus pencucian uang pejabat, kolusi
antara politisi dengan pengusaha dan sebagainya. Dengan demikian dapat
dikatakan sudah terjadi perubahan kebhatinan dalam amandemen UUD 1945 sejak
1999 dari berusaha melakukan dekolonisasi, dematerialisasi, dekapitalisasi,
dengan melakukan lokalisasi, Indonesianisasi berubah kembali pascakolonial
menuju zaman kolonial dengan aktor yang berbeda yaitu kapitalisasi,
individualisasi, globalisasi, dan internasionalisasi.
Dengan demikian
dapat disarikan beberapa norma, prinsip, kaidah menjadi roh atau kebhatinan dari
semangat zaman, jiwa zaman, dan ikatan budaya zaman yang terjadi saat UUD 1945
dirumuskan dengan ketika UUD 1945 diamandemen.
Tabel 01:
Perbedaan Kebhatinan dalam UUD 1945.
No.
|
Ketika
Dirumuskan Tahun 1945
|
Ketika
Diamandemen 1999-2002
|
1
|
Situasi
tertekan oleh kolonial Belanda dan Jepang
|
Situasi
Tertekan untuk mengadakan perubahan dari kekuasaan Orde Baru
|
2
|
Semangat
kemerdekaan atau lepas dari kekuasaan asing yang lalim dan kejam
|
Semangat
demokratisasi, lepas dari kekuasaan terpusat pada figur Soeharto yang
nepotisme
|
3
|
Situasi
anarkhis, tidak menentu, dan situasi revolusi (eforia kemerdekaan politik)
|
Situasi
reformasi, dengan semangat perubahan yang tidak memiliki arah yang jelas
(eforia perubahan).
|
4
|
Dasar Ideologi Pancasila masih dalam
tataran konsep menuju aplikasi yang diidealkan
|
Dasar Ideologi Pancasila dalam
tataran teraplikasi yang dipahami banyak penyelewengan, bahkan hanya wacana.
|
5
|
Dasar
teori penyusunan adalah teori integratif, normatif, dan kebersamaan, dengan
asar nasionalisme yang kuat (anti kolonialisme, kapitalisme).
|
Dasar
teori pembagian kekuasaan, neokapitalisme, pengetahuan modern, IPTEKS, dengan
banyak mendapat pengaruh barat (hibridasi/mimikri).
|
6
|
Politik
berdikari, nasionalisasi, dan persatuan yang menonjol.
|
Politik menarik,
modifikasi, berguru, meminjam, bekerja sama dengan kapitalisme
|
7
|
Berdarah
segar Pancasila dengan nasionalisme yang kuat.
|
Berdarah
Pancasila hibridasi dengan ideologi kapitalisme, modernisme, dan barat.
|
8
|
Melawan
penjajah untuk membebaskan diri dari kekuasaan dominatif kolonial (penjajahan
politik).
|
Melawan
kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketidak-merataan, ketidak-adilan dari
kekuasaan hegemonik, pascakolonial
|
9
|
Politik
mengarusutamaan musyawarah dan mufakat dengan keterwakilan dalam kepemimpinan
dan kekuasaan.
|
Politik
mengarusutamaan pemilihan dengan suara terbanyak, sehingga mengabaikan suara
minoritas dalam kepemimpinan dan kekuasaan.
|
10
|
Jujur dan
strategi memenangkan hati rakyat
|
Munafik-
duit dan strategi memenangkan suara terbanyak (elektabilitas).
|
11
|
Nasionalisme
dengan Pancasila dalam perlawanan fokus untuk kemerdekaan secara politik dari
kolonialisme. Merdeka-merdeka-merdeka!
|
Nasionalisme
fokus pada modernisme, neo-kapitalisme, Pancasila menjadi wacana dengan isi
modernisme dan neo-kapitalisme
|
12
|
Supremasi institusi
dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara
|
Supremasi
konstitusi, dengan hukum atau UU sebagai panglima.
|
Dikumpulkan dari berbagai sumber: News
Kompas (diunduh 14 Juni 2016),
Azhari (2011), Masoed (1994).
Perbedaan kebhatinan
(ideologi), struktur, kultur, pengarusutamaan, kepribadian, dasar, norma,
sistem menjadikan UUD 1945 yang dijadikan UU Dasar, mengakibatkan terjadi
diskontinuitas dalam UUD 1945 yang diamandemen dengan UUD1945 yang menjadi UUD
negara NKRI yang dimerdekakan tanggal 17 Agustus 1945. Kesadaran kritis bangsa
Indonesia di tahun 1999-2002 ketika amandemen dilakukan tidak disadari telah
banyak kembali berkolaborasi dengan ideologi, sistem, norma liberalisme, kolonialismedan
kapitalisme secara hegemonik. Dengan demikian maka penjajahan dalam bentuk lain
seperti kapitalisme, pengetahuan, teknologi, sistem demokrasi, dan sebagainya
kembali terjadi. Bebas dari penjajahan politik muncul penjajahan ekonomi atau
neo-kolonialisme. Karena hegemoni beroperasi di ranah ideologis, maka kesadaran
kritis bangsa Indonesia (termasuk kaum terdidik) tidak semuanya memiliki
kesadaran kritis (cf. Sutrisno dan Putranto, 2004; Heidegger, 2002; Pageh,
2016).
Di sinilah
kelemahan sebagai bangsa bekas jajahan barat yang terdominasi secara ideologis,
budaya, pengetahuan, dan kemanusiaan. Dengan suprimasi hukum dimana hukumnya
sangat baik tanpa cacat, tetapi jika pelaksananya masih terhegemoni, maka jangan-jangan
semuanya menjadi seolah-olah. Demokrasi kita menjadi mobokrasi, hukum kita
dapat dibeli, pengabdi/pelayan negara menjadi preyayi, raja, dan bos. Tidak ada
pikiran untuk melayani tetapi ada ideologis untuk dilayani, berkuasa dan tuding-tujuh bahkan sering lebih
kolonialis dari kolonial Belanda (Pageh, 2016). Jadi wacananya demokratis,
melayani tetapi aksinya feodal, seperti raja dan hanya mementingkan diri/keluarga/kelompok
sendiri, bahkan banyak memperkaya dinding cafe, istri muda, perusahaan asing,
bahkan lubang WC.
3. Perubahan
Ketatanegaraan dari Supremasi Institusi ke Supremasi Konstitusi
Setelah UUD 1945
diamandemen MPR menjadi lembaga negara setara dengan lembaga tinggi negara
lainnya, sehingga tidak ada lembaga negara tertinggi. Dengan demikian MPR tidak
lagi menjadi lembaga yang berwenang untuk menetapkan GBHN. Tatanan politik baru
ini menjadikan rakyat melalui pemilihan langsung diasumsikan sebagai kontrol
terhadap pilihannya. Kenyataanya terjadi situasi dan kondisi terbalik,
munculnya raja-raja kecil, dengan dalih atau mengatasnamakan rakyat bertindak
sewenang-wenang, karena menganggap dirinya legal karena pilihan rakyat
langsung. Kritik masyarakat yangmuncul pada pimpinannya baik pusat maupun
daerah dianggap lawan, dipolitisir, dan dijadikan alasan bahwa kritik/kontrol
itu sebagai perlawanan bagi orang kalah.
Era otonomi daerah dengan
paradigma pemilihan langsung sebagai perwujudan kedaulatan rakyat memunculkan
raja-raja kecil di daerah. Raja-raja kecil ini
merasa tidak butuh koordinasi dengan kekuasaan di atasnya (provinsi dan pusat),
dengan demikian muncul tren menjual segala sesuatu untuk meningkatkan Pendapata
Asli Daerah dengan dalih kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya. Dalam
kondisi itu, seharusnya secara ideal ada GBHN yang menjadi patokan daerah untuk
membesarkan negara dan bangsanya, sehingga Indonesia jaya, Indonesia kuat di
masa depan dapat terwujud. Di samping itu dapat dijadikan alat kontrol,
normatif, dan pedoman dalam memimpin negeri dan daerahnya.
Harapan ini mulai
ada tanda-tanda kesadaran lembaga tinggi negara MPR di Jakarta. Seperti
diberitakan sebagai berikut.
Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) resmi
mengajukan amandemen ke V Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengubah sejumlah
substansi dalam konstitusi. Hal tersebut diungkapkan Ketua Tim Ad Hoc II MPR,
Jafar Hafsah dalam sidang akhir MPR, Senin (29/9/2014).Rekomendasi MPR RI masa
jabatan 2009-2014 sebagai berikut, yakni melaksanakan penataan sistem
ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan
pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara dan
kesepakatan dasar untuk tidak mengubah pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan
bentuk NKRI, mempertegas sistem presidensial, serta perubahan dengan cara
adendum, kata Jafar.
Disebutkan pula, beberapa
hal penting dalam sistem ketatanegaraan yang perlu diubah, yakni terkait dengan
“penguatan MPR sebagai lembaga negara agar kembali mempunyai kewenangan tertinggi dalam
mengubah, menetapkan, dan menafsirkan
UUD 1945. Selain itu, MPR juga mengusulkan adanya penguatan Dewan Perwakilan
Daerah.Jika sebelumnya, DPD hanya berwenang mengajukan usulan dan ikut dalam
pembahasan, kini DPD juga berhak ikut dalam proses pengesahan sebuah rancangan
undang-undang.Wewenang DPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi untuk
mengusulkan, membahas, dan menyetujui RUU tertentu, melaksanakan fungsi penganggaran bersama DPR dan pemerintah,
serta melaksanakan fungsi pengawasan atas undang-undang” (Kompas, 2017).
Selain itu, Jafar mengatakan MPR
mengusulkan adanya penegasan sistem presidensial melalui penyederhanaan sistem
kepartaian dan pengaturan wewenang presiden sebagai kepala pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.Dan penataan wewenang lembaga tinggi negara agar tidak
tumpang tindih, sehingga hampir semua lembaga berjalan dalam ketakutan,
sehingga kebijakan publik dalam mengantarkan kesejahtraan rakyat takut
tersandung hukum.
GBHN diharapkan untuk
dihidupkan kembali. Setelah lama tidak
ada, Garis Besar Haluan
negara (GBHN) agar dihidupkan
kembali. Keberadaan GBHN penting
untuk mewujudkan kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan
dan terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan daerah. Walaupun
ada UU seperti menjadi GBHN (UU No. 25/2004 dan UUNo. 17/2007) menjadi seperti
macan ompong.
MPR sebagai lembaga negara dengan
kewenangan tertinggi berwenang dalam merepresentasikan sistem perwakilan secara
kelembagaan,
berwenang untuk
memandu kesesuaian antara jalannya penyelenggara negara dan tujuan negara yang
didasarkan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, serta Bhinneka Tunggal Ika.Tidak hanya merekomendasikan amandemen UUD 1945,
MPR juga mengusulkan
dilakukannya sidang tahunan MPR untuk mendengar laporan pertanggungjawaban dari
semua lembaga negara. Selama ini, hanya Presiden saja yang melakukan tradisi
laporan tahunan itu yakni setiap tanggal 16
Agustus. Sehingga semua dosa-dosa pejabat publik dipertanggungjawabkan oleh
presiden.
Gagasan Jafar
(Anggota MPR) ini sepertinya menginginkan kembalinya supremasi institusi MPR
dalam ketatanegaraan Indonesia yang sudah diganti dengan supremasi konstitusi. Gerakan
reformasi 1998 menyuarakan tuntutan amandemen UUD 1945, dari kedaulatan negara
ada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, menjadi kedaulatan ada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya menurut
UUD Pasal 1 ayat (2) Negara Repblik Indonesia 1945. Setelah 15 tahun perubahan
terjadi dengan tidak adanya GBHN sepertinya pembangunan nasional ini secara
utuh (makro) tidak terarah, bersifat lima tahunan, hanya untuk mempertahankan
kekuasaan, pejabat dalam akhir jabatannya tidak terjadi serah terima jabatan,
dan bahkan tidak mempertanggung jawabkan kinerjanya selama menjabat. Sepertinya
terjadi diskontinuitas antara pemimpin lama dengan penggantinya, sehingga
negara seperti selalu ada dalam kondisi sepertinya baru mulai.Pejabat lama
wajib hukumnya diatur dengan UU dengan sanksi jelas, kalau tidak
mempertanggungjawabkan kinerjanya selama sebagai pejabat publik. Hal ini untuk
membentuk karakter bangsa yang bertanggung jawab.
Apabila rekomendasi ini dijalankan, maka
setiap tahun MPR akan mendengarkan laporan dari Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Daerah.Sebagai wujud pertanggungjawaban kepada rakyat, kinerja lembaga negara
dalam menjalankan tugas perlu disampaikan kepada rakyat. Agenda mendengarkan
laporan kinerja ini bisa dilaksanakan melalui forum sidang tahunan MPR. Jika itu
terjadi betapa baiknya tata kenegaraan Indonesia di mata rakyat dan dunia,
dilihat dari akuntabilitas pemegang kekuasaan.
Memang dapat
dipahami bahwa dalam UUD 1945 tidak ditemukan istilah lembaga tertinggi negara,
tetapi dikonstruksi zaman Orde Baru melalui Tap MPR No I/MPR 1973 tentang Tata
Tertib MPR, dan diperkuat dengan Tap MPR No. III/MPR/1978, tentang Kedudukan
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Negara.Dengan jelas disebutkan MPR
merupakan Lembaga Tertinggi Negara,
sedangkan Lembaga Tinggi Negara adalah
Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Penerapan sila ke-4 “kekuasaan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan”, jelas terlaksanakan. Pemilihan wakil
rakyat langsung yang terwujud menjadi Majelis Perwakilan Rakyat, memang
sepantasnya menjelma menjadi pemilik kedaulatan tertinggi (representasi
rakyat), tetapi hukum sebagai produk pemerintah dan DPR tentu memiliki makna
berbeda. Kalau produk hukum dihasilkan oleh MPR tanpa dikecualikan, baru
mewakili rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi terwujud. Tetapi bukan
berarti semua yang berbau Orde Baru harus dihapuskan yang baik dilaksanakan
berlanjut, yang kurang bak diubah sesuai dengan kebutuhan bangsa (diunduh News
Kompas, 14-06-2016).
Masa reformasi
kedudukan tertinggi yang ada di tangan MPR sejarahnya zaman Orde Baru memunculkan
penumpukan kekuasaan, sehingga dimunculkan pemikiran check and balance. Niat baik itu tidak selamanya dapat diwujudkan dalam
menjalankan amanat rakyat. GBHN di masa lalu ditetapkan oleh MPR melalui
ketetapan-ketetapannya kini dengan adanya supremasi hukum dilaksanakan
berdasarkan UU, walaupun sudah ada UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, dan UU No. 17/2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang
2005-2025, namun UU itu baru dapat dilaksanakan setelah dibuatkan Peraturan
Pemerintahnya. Dalam konteks ini rakyat kembali berada di bawah supremasi
pemerintah, karena Peraturan Pemerintah sebagai juknis pelaksanaan UU dapat
dibuat disesuaikan dengan kepentingan penguasa, terkadang tidak berdasarkan
kepentingan rakyat.
Pascakolonial era kemerdekaan
terjadinya hibridasi dalam aplikasi ideologi Pancasila dengan ideologi
kapitalisme, modernisme barat, maka dapat
dikatakan terjadi diskontinuitas kaidah fundamental bangsa Indonesia, dan telah
terjadi hibridasi antara nasionalisme Indonesia berdasarkan Pancasila dan
ideologi libralisme, kapitalisme, terutama di pemerintahan dan masyarakat yang
terjadi diluar kesadaran karena bersifat hegemonik.
Kebhatinan UUD 1945
yang diamandemen tidak murninya lagi, karena jiwa zaman, ikatan budaya zaman
antara saat dirumuskan dan ketika diamandemen UUD 1945, secara jelas dapat
dipahami perbedaannya. Hal ini akan berimplikasi pada tafsir pelaksanaannya di
masyarakat luas, bahkan terjadi kesemerawutan tafsir dalam pengejawantahannya,
bergantung pada ideologi penafsirnya (Thompson, 2015). Dengan demikian GBHN
sangat dibutuhkan sebagai rekayasa Indonesia masa depan, dengan tahapan dan
perioritas yang diputuskan secara politik topik-topik krusial bagi masa depan
bangsa ini. Dengan melihat lemahnya posisi UU No. 25/2004 dan UU No 17/2007
membuktikan dalam wacana sudah ada pengganti GBHN, tetapi dalam pelaksanaannya
tidak terdengar dan aksinya apalagi hanya berdasarkan kepentingan lima tahunan
yaitu berorientasi mempertahankan kekuasaan oleh pejabat negara. Karena sering
melanggar kearifan lokal demi kekuasaan sesaat (Syafaat, dkk., 2008:41).
Pemilihan langsung
yang diwacanakan mewujudkan kedaulatan ada di tangan rakyat dengan melakukan
pemilihan langsung juga tidak memberikan kebaikan bagi bangsa yang pluralis dan
atau multikultural. Pemilihan yang hanya merupakan hasil perhitungan suara
elektabilitas tanpa berkualitas hasilnya, karena dapat dan mudah dibeli oleh
pemilik modal kapital. Suara seorang tokoh masyarakat, guru besar, dan figur
masyarakat sama dengan suara seorang petani di pedesaan. Dengan demikian kerinduan terhadap adanya
GBHN yang benar-benar dapat dijadikan norma dan ukuran penyimpangan politik
seorang politisi yang menjadi raja-raja kecil era otda agar tidak menimbulkan
perpecahan, penyimpangan, ketidak merataan, dan arogansi sektoral di Indonesia,
sangat dibutuhkan sebuah Lembaga Tertinggi dengan kekuasaan yang dapat dikontrol
(Check and Balance) dalam point-point
krusel terkait dengan Pembukaan UUD 1945, penumpukan kekuasaan, pelaksanaan
UUD, pengejawantahan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa.
Tidak ada maksud
untuk memutar kembali masa lalu itu ke masa kini, apalagi ke masa depan, karena
membalikkan sejarah tidaklah mungkin. Tetapi ingin tetap ada lembaga tertinggi
negara, namun kekuasaan MPR dikontrol
dengan perundang-undangan agar tidak berselingkuh (hegemonik, hibridasi,
memikri) dengan pusat kekuasaan dalam pembangunan bangsa (Fakih, 2013:70).Legitimasi
kekuasaannya sama sebagai hasil pemilihan rakyat secara langsung, sehingga
hanya rakyat yang dapat mengontrol. Pertanyaannya rakyat yang mana, bagaimana
meknismenya untuk mengontrol, karena kontrol sulit dilakukan karena hasil
pemilihan langsung, maka konflik legitimasi terjadi. Dengan demikian perlu perundangan
khusus dan lembaga kontrol khusus (hanya MPR yang representatif) yang memegang
kedaulatan rakyat tertinggi.
4.
Beberapa
Masalah Krusial Secara Hegemonik
Beberapa masalah krusial yang dapat
dijadikan pegangan oleh MPR untuk melakukan amandemen ke-V agar menjadi
perubahan tidak mengingkari UUD 1945 yang menjadi dasar negara 17-08 1945.
a. Amandemen
UUD 1945, MPR seharusnya juga memahami jiwa zaman, ikatan budaya zaman, dalam
pembentukan UUD 1945, sehingga tidak menghilangkan ideologi dasar yang
terkandung di dalamnya. Dengan kebhatinan pembebasan tanah air dari
kolonialisme dan kapitalisme. Sehingga konsep kolonialisme dan kapitalisme yang
dielektik (lawan) perlu dipahami demi penjuangan bangsa Indonesia.
b. Perubahan
supremasi institusi ke konstitusi, SDM penegak hukumnya perlu dipertimbangkan
matang-matang, era postkolonial, karena sudah terhegemoni oleh kolonialisme,
perlu pembebasan “mental dan ideologis”, karena masyarakat masih butuh waktu
untuk memiliki kesadaran hukum.
c. MPR perlu
direposisikan seperti semula, kelemahannya akan terjadi penumpukan kekuasaan
diatasi dengan membuat mekanisme kontrol oleh rakyat, dengan mekanisme “dengan
mengambil makna sila ke-4 Pancasila, dengan kebijakan/ perwakilan yang jelas sosok dan wujudnya secara formal.
d. GBHN dan
atau perundangan penggantinya harus jelas mekanisme kontrolnya oleh wakil
rakyat yang ditentukan secara formal di samping secara informal (gerakan
massa). Sehingga masa depan bangsa Indonesia terjamin menjadi jaya dan kuat.
e. Kaidah
fundamental dijamin dan dipastikan tidak dapat diubah dengan cara apapun, demi
NKRI. Diantaranya: (1) Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) NKRI sebagai
harga mati untuk dipertahankan; (3) Mempertegas sistem pemerintahan
presidensial, seperti kehendak; (4) norma-norma Pancasila (termasuk norma-norma
dalam penjelasannya) dijadikan
pasal-pasal.
f.
Pembangunan karakter bangsa bertanggung jawab dan berani menerima sanksi
hukum, sebagai pemerintah, penegak hukum, parpol, dan perorangan sangat
mendesak diundangkan, karena supremasi konstitusi membutuhkan manusia Indonesia
yang berkarakter, jujur, bertanggung jawab dan percaya pada diri sendiri.
g. Memasukkan
ke dalam pasal-pasal 4 Pilar kebangsaan, yaitu a. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional; b. UUD
1945 sebagai sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; c. NKRI
sebagai konsensus bentuk negara harus dijunjung tinggi; d. Bhineka Tunggal Ikadalam kemajemukan yang harus diamalkan.
5.
Simpulan dan
Saran
A.
Simpulan
Uraian di atas dapat disimpulkan,
bahwa sejarah revolutiegrondwetUUD
1945 agar dipahami memiliki kebhatinan, jiwa zaman, ikatan budaya zaman yang
harus dipahami oleh penyelenggara negara poskolonial, kesederhanaan ada pada
proses pembuatannya, tetapi bukan pada konseptual atau nilai-nilai dasar yang
dikandungnya. Hal ini menjadi kata kunci dalam amandemen UUD 1945, kesalahan
pemahaman nilai-nilai ini membawa dampak dalam amandemen menjadikan UUD 1945
yang diamandemen diwarnai oleh hegemoni kapitalisme, libralisme, demokrasi
barat, rasinalisme barat (IPTEK) yang menjadi lawan ketika pembentukannya.
Perubahan dalam menerjemahkan kedaulatan rakyat dari supremasi institusi ke
supremasi konstitusi membawa dampak perubahan ketatanegaraan, dan tidak adanya
produk nyata dari perwakilan rakyat hasil pemilu. Pemilu langsung dalam kondisi
masyarakat terdegradasi dalam berbagai kondisi (etnik, agama, kemajuan ipteks,
akses, kesadaran) menjadi riskan dalam manusianya yang melaksanakan
konstitusinya, karena sebaik apapun konstitusinya sangat ditentukan oleh aparat
penyelenggara hukumnya (cf. Haryatmoko, 2014:7).
Pengaruh kapitalisme dalam berbagai
kehidupan bangsa, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan sebagainya menjadikan
sebagian besar tindakan normatif penyelengaraan kenegaraan oleh pejabat sering
menjadi “seolah-olah”, sangat jauh berbeda antara norma hukum yang dibuat
dengan aksi nyata di masyarakat. Hal ini menuntut MPR sebagai institusi jelmaan
kedaulatan rakyat, harus menetapkan rambu-rambu (semacam GBHN) yang dapat
memaksa penguasa yang tersebar di masyarakat untuk melaksanakannya.
B.
Saran-saran
Saran-saran disampaikan
kepada MPR sebagai institusi wujud perwakilan kedaulatan rakyat. (1) Agar
amandemen UUD 1945 ke-5 nanti, dilengkapi dengan pasal berisi dekrit bahwa
kalau secara kebatinan amandemen menyimpang dengan UUD 1945 asli, apapun
alasannya agar kembali kepada aslinya (sesuai dengan pembentuk negara/founding father). (2) Supremasi
institusi, agar dilengkapi dengan perangkat check
and balance, dengan menjadikan sejarah perjuangan bangsa dan Pancasila
sebagai panglima. (3) MPR dilengkapi dengan perangkat kontrol pada pinpinannya
(bukan institusinya) dikembalikan sebagai perwakilan rakyat yang memegang
kedaulatan rakyat tertinggi, untuk menetapkan GBHN untuk pembangunan rakyat
semesta oleh penguasa dalam berbagai tingkatan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Aidul Fitriciada. 2011. UUD 1945 Sebagai Revolutiegrondwet: Tafsir
Poskolonial Atas Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi
Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
|
Fakih, Mansour. 2013. Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press.
|
Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta:
Penerbit Kompas.
|
Heidegger, Martin. 2002. Dialektika Kesadaran:Perspektif Hegel.
Saut Pasaribu (penerjemah). Yogyakarta: IKON Teralitera.
|
Maso’ed, Mohtar.1994. Negara Kapital dan Demokrasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
|
New Kompas.com. diunduh tanggal 14
Juni 2016.
|
Pageh, I Made. 2016. “Genealogi
Baliseering: Membongkar Ideologi Pendidikan Kolonial Belanda di Bali Utara
dan Implikasinya di Era Globalisasi”. Disertasi,
Kajian Budaya Unud.
|
Rachmad Syafa’at, dkk. 2008. Negara, Masyarakat Adat dn Kearifan Lokal.
Malang: In-Transpublishing.
|
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto.
2004. Hermeneutika Pascakolonial: Soal
Identitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
|
Thimpson, John B. 2015. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial
Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. Haqqul Yaqin
(penerjemah). Yogyakarta: IRCiSoD.
|
[1]I
Made Pageh Dosen Undisha FIS Jurusan Pendidikan Sejarah, kertas kerja ini dibuat
dalam Worshop Ketatanegaraan bersama MPR-RI, Hotel Melka Exelsior, Lovina,
tanggal 17-18 Juni 2016. Dalam rangka memberikan masukan pada MPR untuk
melakukan penataan terhadap ketatanegaraan Indonesia pascaamandemen UUD 1945.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda